DEFINISI NYERI 1
Menurut “The International Association for the Study of Pain” (IASP) tahun
1979, yangdiajukan oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: “Painis the
unpleasant sensory and emotional experience,associated with actual or
potensial tissue damage or described in term of such damage” (Nyeri adalah
rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu
yang tergambarkan seperti itu).
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:
1. Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya
unsur utama yang harus ada untuk disebut nyeri, adalah
rasa tidak menyenangkan.
2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan,
artinya persepsi nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan
status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan subjektif.
Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat dirasakan
berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsangyang sama
dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang
berbeda.
3. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain
associated with actual tissue damage). Nyeri ini disebut sebagai nyeri
akut (acute pain) yang diharapkan menghilang seiraima dengan proses
penyembuhannya.
4. Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup
kuat (rangsang noksius), yang berpotensi merusak jaringan.
Nyeri ini disebut nyeri fisiologik (physiological pain),fungsinya untuk
membangkitkan refleks proteksi guna mencegah terjadinya kerusakan
jaringan lebih lanjut.
5. Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi
tergambarkan seolah-olah terdapat kerusakan jaringan yang hebat (pain
described in term such damage). Nyeri yang terakhir ini justru timbul setelah
penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3 bulan digolongkan
sebagai nyeri kronik (chronic pain).
MEKANISME NYERI 1
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan
sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang
secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang
terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:
1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu
rangsang nyeri(noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik,
yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini
dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.
2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan
rangsang melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi.
3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi
interaksi antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang
masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol
oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin,
dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada
kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang
yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa
terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem
analgesikendogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan
persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya,pendidikan, atensi, serta
makna atau arti dari suatu rangsang.
4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi,
dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf Aδ
yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi
lambat). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya
memiliki perbedaan baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada
presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut Aδ hanya peka terhadap
stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C, peka terhadap berbagai
stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor
serabut C disebut juga sebgai polymodal nociceptors.Demikian pula neurotransmiter
yang dilepaskan oleh serabut Aδ di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan
serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang
merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting sehubungan dengan mekanisme
nyeri pascabedah. Selama pembedahan trauma pembedahan merupakan stimulus
noksius yang akan diterima dan dihantar oleh kedua saraf tersebut, sedangkan
pascabedah (proses inflamasi) merupakan rangsang noksius yang hanya diterima
dan dihantar oleh serabut C. Dengan kata lain nyeri pascabedah akan didominasi
oleh serabut C.
Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi
dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf
aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu soup yang mengandung
mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P,
histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme
asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas
Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang
ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya
perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika
kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya
menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar
penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim
siklooksigenase.
Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla
spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya
stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses
transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri
atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama
dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-
order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau
menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu
dorsalis terdiri atas dua jenis yakni pertama,nociceptive-specific neuron (NS) yang
secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Keduanya
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus
noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnyarespon
treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal
transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-
perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis
menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut
sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up”ini dapat menyebabkan
neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi
bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak
bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat
berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa
ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut
C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia
pada kornu dorsalis yangsulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri
kronik yang sulit disembuhkan
Perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi
sentraladalah:
Pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan
berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.
Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus
yang lebih dari potensial ambang.
Ketiga, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara
normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.
Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah
dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi
sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan
pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada
ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah
sekitar kornu dorsalis. Ini berartibahwa serabut saraf yang biasanya tidak
menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi
sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan
antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-
noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif
maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan
ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen
primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian
untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA)
banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat
memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat
menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada
mekanisme“wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian
antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor
NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid bila
diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi
alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga
merupakan penyekat reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses
nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan
influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-
calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide
Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO(Nitric
Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal
sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang
akan merusak sel saraf itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan diatas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor
NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat
produksi dari NO akanmempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan
penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut
sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya“wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai
sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan
nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang
bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa
dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi
fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai
hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau
mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri
pascabedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh
karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau
meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat
NSAID (COX1 atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah
terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.
KLASIFIKASI NYERI
1. Nyeri Akut
Menurut Federation of State Medical Boards of the United States; acute pain
is the normal, predicted physiological response to an adverse
chemical, thermal or mechanical stimulus, associated with surgery trauma and
acute illness. (Nyeri akut adalah respon fisiologik normal yang diramalkan
terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan,
trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan
oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses
penyembuhannya.1
2. Nyeri Kronik 1
The International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
kronik sebagai“pain that persists beyond normal tissue healing time, which
is assumed to be three months”(nyeri kronik adalah nyeri yang menetap melampaui
waktu penyembuhan normal yakni 3 bulan).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nyeri kronik adalah
nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari
tiga bulan tanpa adanya malignitas. Oleh karena itu nyeri kronik biasa disebut
sebagai chronic non malignant pain. Dikenal tiga macam bentuk nyeri kronik
yakni:
1. Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai, misalnya complex
regional pain syndromyang dahulu dikenal sebagai reflex
symphathetic dystrophy, post herpetic neuralgia, phantom pain,neurophatic
pain, dan lain-lain.
2. Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas, misalnya nyeri pinggang
bawah (low back pain), sakit kepala, dan lain-lain.
3. Nyeri yang didasari atas kondisi kronik,
misalnya osteoartheritis atau reumathoid arthritis, dan lainlain. Sangat
subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lain.
3. Nyeri Kanker 1
Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik, maka masalah nyeri kanker
jauh lebih rumit. Hal itu disebabkan karena nyeri kanker tidak saja bersumber dari
faktor fisik akibat adanya kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh faktor
nonfisik berupa faktor psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang
secara keseluruhan disebut NYERI TOTAL. Dengan kata lain,NYERI TOTAL
dibentuk oleh berbagai unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual. Oleh karena
itu, pengelolaan nyeri kanker yang baik membutuhkan pendekatan multidisplin yang
melibatkan sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih dari itu, anggota keluarga
penderita pun harus dilibatkan utamanya dalam perawatan yang tidak
kurang pentingnya.
Nyeri kanker dapat dibagi atas 2 kategori :
a. Nyeri Organik:
Nyeri nosiseptif : Nyeri somatik (kulit, otot, tulang dan jaringan lunak)
dan Nyeri visceral (organ thoraks dan abdomen)
Nyeri non nosiseptif : Nyeri neuropatik (deafferentiation pain) akibat adanya
penekanan dan kerusakan jaringan saraf.
b. Nyeri Pysikologik
Menurut WHO, dikenal sebagai three step ladder, yang pemberiannya harus : by
the mouth, by the clock, by the ladder. Dimulai dari step ladder I, diikuti step II dan III
Analgesik Nonopioid
Usual analgesics : Aspirin, Acetominophen
NSAIDs ( Non-selective COX Inhibitors
):Ibuprofen, Ketoprofen, Naproxen, Diclofenac
Sodium, Indomethacin, Ketorolac, Piroxicam, Mefenamic acid.
NSAIDs ( Selective COX-2 Inhibitors ): Celecoxib, Parecoxib, Rofecoxib, etc.
+ adjuvant
Severe pain
MST 5 - 10 mg
2 dd I tab
Celebrex 100–200 mg
2 dd I cap
06.00 18.00
+ adjuvant
Berdasarkan Etiologi
1. Saraf Perifer
• Trauma: neuropati jebakan, kausalgia, nyeri perut, nyeri post torakotomi
• Mononeuropati: Diabetes, invasi saraf/ pleksus oleh keganasan, Iradiasi pleksus,
penyakit jaringan ikat (Systemic Lupus Erytematosus, poliartritis nodusa)
• Polineuropati: Diabetes, alkohol, nutrisi, amiloid, penyakit Fabry, isoniasid,
idiopatik.
2. Radiks dan ganglion : Diskus (prolaps) arakhnoiditis, avulsi radiks, rizotomi operatif,
neuralgia post herpes, trigeminal neuralgia, kompresi tumor.
3. Medula Spinalis : Transeksi total, hemiseksi, kontusio atau kompresio, hematomieli,
pembedahan, syringomieli, multiple sclerosis, Arteri-Vena Malformasi, Defisiensi Vit
B12, mielitis sifilik.
4. Batang Otak : Sindroma Wallenberg, Tumor, Syringobulbi, Multiple Sclerosis,
Tuberkuloma.
5. Talamus Infark : hemoragik, tumor, lesi bedah pada nukleus sensorik utama.
6. Korteks / Sub korteks Infark : Arteri-Vena Malformasi, Truma dan tumor.
Berdasarkan asalnya:
1. Nyeri nosiseptif (nociceptive pain)
Nyeri perifer. Asal : kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll → nyeri akut, letaknya
lebih terlokalisasi.
Nyeri visceral / central. Lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya.
2. Nyeri neuropatik
Etiologi
Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering : 4
Nyeri neuropatik perifer
Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik
Polineuropati alkoholik
Polineuropati oleh karena kemoterapi
Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)
Neuropati sensoris oleh karena HIV
Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post
thorakotomi)
Neuropati sensoris idiopatik
Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
Neuropati diabetik
Phnatom limb pain
Neuralgia post herpetik
Pleksopati post radiasi
Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
Neuropati oleh karena paparan toksik
Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
Neuralgia post traumatik
Nyeri neuropatik sentral
Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis
Mielopati HIV
Multiple sclerosis
Penyakit Parkinson
Mielopati post iskemik
Mielopati post radiasi
Nyeri post stroke
Nyeri post trauma korda spinalis
Siringomielia
Penatalaksanaan 6
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan
analgesik opioid. Terapi utamanya adalah the tricyclic antidepressants (TCA's),
antikonvulsan dan systemic local anesthetics. Agen farmakologi yang lain:
corticosteroids, topical therapy dengan substance P depletors, autonomic drugs dan
NMDA receptor antagonist. Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi
nyeri neuropati adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.
Terapi Farmaka
1. Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyeri
neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin,
desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu
memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik
menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor
presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor
5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan
konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga
meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin
beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi
ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-
Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri
berkurang.
2. Anti konvulsan
Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem
saraf dan antikonvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Nyeri neuropati dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan
paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses
kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan adalah penghentian
proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi
sentral dan peningkatan inhibisi.
Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels
(VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron.
Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC, merubah
atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik,
meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita
HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Efek samping utama adalah
skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.
Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer
mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai
gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri
neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi
HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi.
Gabapentin mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam sel untuk berinteraksi
dengan reseptor α2β yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.
1. Penilaian nyeri perlu dilakukan dalam keadaan istirahat dan bergerak ( Rest
and Movement pain )
2. Penilaian nyeri perlu dilakukan sebelum dan sesudah terapi diberikan untuk
melihat efektifitas terapi
3. Penilaian di PACU atau ICU dapat dilakukan sesering mungkin sampai nyeri
dapat dikelola dengan baik dan dipertahankan ( 15 – 30 menit pada awal
pemberian dan dilanjutkan setiap 1 – 2 jam sampai intensitas nyeri telah
menurun
4. Penilaian nyeri di bangsal perlu dilakukan secara regular setiap 4 – 8 jam
untuk melihat keberhasilan terapi yang telah diberikan dan respon pasien
terhadap terapi (efek samping dan komplikasi teknik penanganan nyeri )
5. Nyeri dan respon pasien termasuk nyeri dan komplikasi perlu dicatat dalam
form status APS untuk dijadikan acuan dalam penatalksanaan selanjutnya
6. Keluarga pasien dapat berperan dalam penilaian nyeri terutama pada pasien
khusus seperti anak-anak dan pasien geriatrik.
Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai intensitas nyeri pasien
pasca bedah
1. Verbal Rating Scale
Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan dengan skala “tidak nyeri”
– “nyeri ringan“ – “ nyeri sedang“ – “nyeri hebat“ – “nyeri sangat hebat“
Nyeri Paling Hebat Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan
dengan menggunakan skala angka dari “0” sampai “10” untuk menggamb arkan
nyerinya dimana ‘0” berarti tidak nyeri sedangakan “10” berarti nyeri yang paling
hebat
Gambar 2. Numerical Rating Scale
2. EDUKASI PASIEN
Pemberian informasi kepada pasien tentang nyeri pasca bedah dan penanganannya
akan memberikan dampak yang baik dalam penanganan nyeri, sehingga pasien
dapat mempunyai harapan yang realistik tentang penanganan nyeri yang diberikan (
nyeri teratasi , bukan tanpa nyeri sama sekali ).
Informasi yang dapt diberikan termasuk :
1. Pentingnya penanganan nyeri pasca bedah
2. Metode – metode yang dapat dilakukan untuk penanganan nyeri pasca bedah
3. Rutinitas penilaian nyeri
4. Optimal intensitas nyeri yang dapat ditoleransi oleh pasien
5. Partisipasi pasien dalam penanganan nyeri pasca bedahnya.
Morfin
1. Intravena
2. Subkutan dengan infus kontinyu atau bolus intermit
Pemberian tent
3. Intramuskuler (tidak disarankan sehubungan dengan
nyeri yang dapat ditimbulkan. 5-10mg tiap 3-4 jam).
Dosis :
Bolus: 1-2 mg, lockout 5-15menit (umumnya 7 - 8 menit),
IV/PCA
tidak ada kecepatan basal
0,1 - 0,15 mg/kg tiap 4-6jam, yang berdasarkan atas
Subkutan
hubungannya dengan skor nyeri dan frekuensi nafas
Pemantauan Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efek samping
Efek-efek samping seperti mual, muntah sedasi dan apnu
Keterangan
Tidak ada lagi pemberian opioid atau sedative
b. EPIDURAL ANALGESIA
Menggunakan teknik regional epidural dengan meletakkan kateter epidural dan
memberikan obat – obat anestetik lokal, opioid dan adjuvant lainnya pada masa
pasca bedah baik secara intermittent maupun kontinyu
Penentuan letak kateter epidural terutama ditentukan oleh jenis operasi dan insisi
bedah dengan prinsip bahwa letak kateter epidural berada pada bagian tengah dari
segmen dermatom insisi bedah.
Beberapa regimen kombinasi anestetik lokal dan opioid dapat diberikan melalui
kateter epidural secara intermitten maupun kontinyu dengan menggunakan syringe
pump.
Pemberian opioid terutama memperhatikan jenis opioid yang digunakan :
Opioid lipofilik : fentanyl, meperidine yang mempunyai onset kerja yang cepat
namun terbatas dalam durasi kerja dan berefek segmental
Opioid hidrofilik : morphine yang mempunyai onset kerja yang lambat namun
dengan durasi kerja yang panjang dan berefek pada dermatom yang lebih luas
Obat anestetik lokal yang digunakan adalah anestetik lokal kerja panjang seperti
bupivacaine , levobupivacaine dan ropivacaine dengan pengenceran sampai
konsentrasi 0.0625 % - 0.2 % yang tidak mempunyai pengaruh pada kemampuan
motorik otot.
2. Efek Samping
a. Sedasi dan Depresi nafas
Perlu direspon dengan cepat bila terjadi efek sedasi. Hentikan syringe pump
dan persiapkan alat-alat bantu nafas (ambu bag dengan masker) serta obat-obatan
seperti naloxon. Sementara menunggu tim APS mintalah perawat untuk tetap berada di
samping pasien, menggerakkan pasien dan meminta pasien untuk bernafas dalam.
Observasi tanda vital dan penanganan jalan nafas dilakukan bila diperlukan.
Aspirasi kateter epidural untuk menyingkirkan kemungkinan migrasi ke
intratekal atau intravaskular.
Bila terjadi perubahan status mental seperti kebingungan, singkirkan hipoksia
ataupun hipotensi.
Jika pasien tertidur maka pikirkan kemungkinan terjadinya kelebihan dosis
opioid perjam sehingga perlu dipikirkan untuk menurunkan laju infus atau konsentrasi
opioid dalam larutan.
Bila terjadi depresi nafas ( < 8 x/mnt atau SpO2 < 92% ) maka dapat
diberikan terapi suportif jalan nafas dan pernafasan disertai pemberian naloxon 1-2
mcg/kg secara pelan ( 1-2 menit ) dan dapat diulang setiap 3-5 menit sampai efek
depresi nafas teratasi. Monitoring pasca pemberian nalokson perlu dilakukan
mengingat efek kardiopulmonal yang mungkin terjadi ( ventricular takikardia dan udem
paru )
b. Gangguan motorik ekstremitas bawah
i. Hal ini biasanya berhubungan dengan perubahan letak kateter di dalam ruang
epidural
Singkirkan kemungkinan migrasi intratekal
Tarik kateter 0,5-1cm
Jika rasa keram tetap ada maka turunkan konsentrasi anestesi lokal atau
hentikan penggunaan anestesi lokal dalam larutan
ii. Semua keluhan rasa keram perlu dicatat dan apakah penghentian anestesi lokal via
epidural dapat mengurangi keram yang terjadi
c. Pruritus
Berikan Benadryl 12,5-25mg/iv atau oral setiap 4 jam bila dibutuhkan. Obat ini
dapat memberikan efek sedasi.
Jika Benadryl tidak efektif maka pertimbangkan memberikan naloxon dosis
rendah secara drips 20-60mcg/jam.
Jika pasien tidak mengeluhkan nyeri namun mengeluhkan pruritus kurangi
kecepatan infus 2ml dan nilai pasien kembali sebelum memberikan naloxon.
d. Mual dan Muntah
Pemberian antiemetic (metoklopramid 10mg/iv, ondansetron 4mg/iv).
Pertimbangkan mengurangi dosis opioid setelah menyingkirkan penyebab
lain, seperti hipotensi.
e. Hipotensi
Menjamin hidrasi yang adekuat dan pengantian cairan bila diperlukan.
Penurunan tekanan darah 20% dari tekanan darah basal maka perlu
disingkirkan penyebab lain selain efek anestetik lokal.
Penggunaan larutan opioid tunggal atau menurunkan konsentrasi anestetik
lokal serta rehidrasi perlu dilakukan bila terjadi hipotensi akibat epidural
analgesia.
Tabel 8. Beberapa blok pleksus saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah
Blok Pleksus Daerah analgesia
Pleksus brakhialis dengan pendekatan Lengan atas dan bahu
interskalenus
Pleksus brakhialis dengan pendekatan Lengan dan siku
supraklavikular
Pleksus brakhialis dengan pendekatan Lengan bawah dan tangan
aksilar
NEUROFISIOLOGI NYERI
Terdapat beberapa reseptor yang sensitif terhadap stimuli noksius. Nosiseptor ini adalah saraf aferen primer dengan ujung
perifernya berespon terhadap berbagai stimuli noksius. Nosiseptor ini memiliki dua fungsi yaitu transduksi dan transmisi.
Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan termal dapat mengaktivasi reseptor, mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi pada
aferen primer. Informasi ini selanjutnya dikodekan dalam frekuensi impuls yang ditransmisi menuju sistem saraf pusat,
dimana persepsi nyeri terjadi. Baik nosiseptor bermielin ataupun tidak bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke sistem saraf
pusat. Nosiseptor bermielin berespon terhadap stimuli mekanik secara khusus dan dengan konduksi yang cepat melalui
serabut saraf A-delta, menyebabkan sensasi nyeri tajam. 6,7
Nosiseptor tak bermielin adalah serabut saraf polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal dan kimiawi, dengan
penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan sifat nyerinya tumpul dan rasa terbakar. 4,6,7
Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor baik secara mekanik maupun kimiawi. Telah diketahui
berbagai molekul yang digunakan nosiseptor untuk mendeteksi stimuli. Contoh, reseptor vanilloid (VR1), yang
diekspresikan oleh kebanyakan nosiseptor, mendeteksi panas dan asam, proton ekstrasellular, dan metabolit lipid. Untuk
mendeteksi stimuli mekanik, nosiseptor mengekspresikan pintu saluran mekanik¬ yang mengaktifkan cascade pengiriman
sinyal sebagai respon terhadap regangan yang berlebihan-dan beberapa reseptor purinergik, yang diaktifkan oleh ATP. ATP
dilepaskan oleh sel-sel akibat stimulasi mekanik yang berlebihan. Untuk merasakan stimuli noksius kimiawi, nosiseptor
mengekspresikan reseptor dengan susunan kompleks yang diaktivasi oleh faktor inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan
rusak. Faktor inflamasi tersebut antara lain proton, endothelin, prostaglandin, bradikinin, dan nerve growth factor. Dengan
teridentifikasinya reseptor yang diekspresikan pada permukaan nosiseptor maka meningkatkan pemahaman kita mengenai
mengapa tumor menyebabkan nyeri ketika sel-selnya menginvasi dan menghancurkan jaringan perifer. 4
Gambar 1. Deteksi oleh neuron-neuron sensorik terhadap stimuli noksius yang diproduksi sel tumor. Nosiseptor
(merah) menggunakan beberapa tipe reseptor yang berbeda untuk mendeteksi dan mentransmisikan sinyal
stimuli noksius yang diproduksi oleh sel-sel kanker (kuning) atau sel lain di sekitarnya. Reseptor vanilloid-1
(VR1) mendeteksi proton ekstrasellular (H+) yang diproduksi oleh sel-sel kanker, sedangkan reseptor
endothelin-A (ETAR) mendeteksi endothelins (ET) yang dilepaskan oleh sel-sel kanker. Dorsal-root acid-
sensing ion channel (DRASIC) mendeteksi stimuli mekanik akibat pertumbuhan tumor yang secara mekanik
meregangkan serabut saraf sensorik. Reseptor lain yang diekspresikan oleh neuron sensorik antara lain reseptor
prostaglandin (EP), yang mendeteksi prostaglandin E2 (PGE2) yang diproduksi oleh sel kanker dan sel-sel
inflamatorik (makrofage). Nerve growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh makrofage terikat pada reseptor
tyrosine kinase (TrkA), sedang ATP ekstrasellular terikat pada reseptor purinergik P2X3. Aktivasi reseptor-
reseptor ini meningkatkan eksitabilitas nosiseptor, diantaranya fosforilasi saluran natrium (Na+ Channel) 1.8
dan/atau 1.9 dan menurunkan ambang yang dibutuhkan untuk eksitasi nosiseptor. 4
Sebagai tambahan terhadap saluran-saluran dan reseptor yang mendeteksi trauma jaringan, neuron sensorik bersifat sangat
“plastic”, yaitu mereka dapat mengubah fenotip mereka sebagai respon terhadap trauma perifer. Setelah trauma jaringan,
banyak nosiseptor yang mengubah pola pengiriman sinyal peptide dan ekspresi growth-factor mereka. Perubahan fenotip
neuron sensorik ini mendasari, sebagian, sensitisasi perifer, dimana tingkat ambang aktivasi menurun, sehingga stimulus
noksius yang normalnya ringan dianggap sebagai stimulus noksius tinggi (hyperalgesia), atau stimulus non-noksius
dipersepsikan sebagai stimulus noksius (allodynia) Kerusakan jaringan perifer juga mengaktifkan nosiseptor yang
sebelumnya “silent” atau “sleeping”, sehingga menjadi sangat responsif terhadap stimulus non-noksius atau noksius
ringan.4
Hiperalgesia primer terjadi akibat sensitisasi nosiseptor pada jaringan yang trauma. Hiperalgesia sekunder terjadi akibat
perubahan sistem saraf sentral oleh aktivasi nosiseptor dan mungkin oleh meluasnya daerah hiperalgeia kutaneus disekitar
daerah trauma. Sekali teraktivasi, nyeri ditransmisikan melalui serabut saraf A delta dan C dan memasuki medulla spinalis
secara lateral, bersinaps pada kornu dorsalis superfisial untuk mengaktivasi sistem nosiseptif asceding. 4,6
SENSITISASI SENTRAL6,7
Gambar 2. Sensitisasi sistem saraf pusat terjadi oleh aktivasi cascade neuroimun dalam jaringan, sistem saraf
perifer, atau sistem saraf pusat. 7
Respon pasien terhadap opioid sangat bervariasi sehingga dokter harus selalu melihat
keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri kanker yang
terkontrol dengan opioid namun dengan efek samping yang berat, sebaiknya mendapatkan
terapi intervensional lebih dini. Terapi intervensi bervariasi mulai dari blok saraf yang
sederhana hingga teknik invasif seperti blok regional atau neurolitik, atau bahkan prosedur
bedah saraf. Pilihan dalam melakukan prosedur intervensional bersifat individual, berbeda-
beda untuk tiap kasus, berdasarkan resiko dan manfaat untuk tiap-tiap pasien.
Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa hari hingga beberapa minggu. Blok
neurolitik bisa sampai berberapa bulan dan alat implantasi bisa sampai beberapa tahun.
Teknik regional seperti opioid neuroaksial dan anestetik lokal biasanya dipraktikkan lebih
dulu sebelum metode intervensi yang lain.Prosedur ablatif atau destruksi neuron, dengan
rasio resiko-manfaat yang sempit, sebaiknya ditunda selama penyembuhan nyeri masih bisa
dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian, beberapa prosedur, seperti blok
pleksus celiac pada pasien kanker pankreas memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan
lebih dini dengan neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk
menilai efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok ini juga
berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur ablatif. Komplikasi
neurologis akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu hilangnya fungsi motorik permanen,
paresthesia, dan dysthesia. Pemilihan prosedur yang sesuai dapat menurunkan penggunaan
opioid sistemik dan meningkatkan kualitas hidup.