Anda di halaman 1dari 46

Nyeri dan Penatalaksanaannya

DEFINISI NYERI 1
Menurut “The International Association for the Study of Pain” (IASP) tahun
1979, yangdiajukan oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: “Painis the
unpleasant sensory and emotional experience,associated with actual or
potensial tissue damage or described in term of such damage” (Nyeri adalah
rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu
yang tergambarkan seperti itu).
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:
1. Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya
unsur utama yang harus ada untuk disebut nyeri, adalah
rasa tidak menyenangkan.
2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan,
artinya persepsi nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan
status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan subjektif.
Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat dirasakan
berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsangyang sama
dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang
berbeda.
3. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain
associated with actual tissue damage). Nyeri ini disebut sebagai nyeri
akut (acute pain) yang diharapkan menghilang seiraima dengan proses
penyembuhannya.
4. Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup
kuat (rangsang noksius), yang berpotensi merusak jaringan.
Nyeri ini disebut nyeri fisiologik (physiological pain),fungsinya untuk
membangkitkan refleks proteksi guna mencegah terjadinya kerusakan
jaringan lebih lanjut.
5. Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi
tergambarkan seolah-olah terdapat kerusakan jaringan yang hebat (pain
described in term such damage). Nyeri yang terakhir ini justru timbul setelah
penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3 bulan digolongkan
sebagai nyeri kronik (chronic pain).
MEKANISME NYERI 1
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan
sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang
secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang
terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:
1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu
rangsang nyeri(noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik,
yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini
dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.
2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan
rangsang melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi.
3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi
interaksi antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang
masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol
oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin,
dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada
kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang
yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa
terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem
analgesikendogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan
persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya,pendidikan, atensi, serta
makna atau arti dari suatu rangsang.
4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi,
dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf Aδ
yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi
lambat). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya
memiliki perbedaan baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada
presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut Aδ hanya peka terhadap
stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C, peka terhadap berbagai
stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor
serabut C disebut juga sebgai polymodal nociceptors.Demikian pula neurotransmiter
yang dilepaskan oleh serabut Aδ di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan
serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang
merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting sehubungan dengan mekanisme
nyeri pascabedah. Selama pembedahan trauma pembedahan merupakan stimulus
noksius yang akan diterima dan dihantar oleh kedua saraf tersebut, sedangkan
pascabedah (proses inflamasi) merupakan rangsang noksius yang hanya diterima
dan dihantar oleh serabut C. Dengan kata lain nyeri pascabedah akan didominasi
oleh serabut C.

Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi
dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf
aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu soup yang mengandung
mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P,
histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme
asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang
ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya
perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika
kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya
menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar
penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim
siklooksigenase.

Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla
spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya
stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses
transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri
atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama
dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-
order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau
menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu
dorsalis terdiri atas dua jenis yakni pertama,nociceptive-specific neuron (NS) yang
secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Keduanya
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus
noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnyarespon
treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal
transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-
perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis
menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut
sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up”ini dapat menyebabkan
neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi
bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak
bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat
berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.

Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa
ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut
C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia
pada kornu dorsalis yangsulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri
kronik yang sulit disembuhkan
Perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi
sentraladalah:
 Pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan
berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.
 Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus
yang lebih dari potensial ambang.
 Ketiga, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara
normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.
Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah
dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi
sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan
pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada
ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah
sekitar kornu dorsalis. Ini berartibahwa serabut saraf yang biasanya tidak
menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi
sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan
antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-
noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif
maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan
ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen
primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian
untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA)
banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat
memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat
menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada
mekanisme“wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian
antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor
NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid bila
diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi
alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga
merupakan penyekat reseptor NMDA.

Gambar , dikutip dari Cousin MJ, Power I, Smith G.

Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses
nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan
influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-
calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide
Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO(Nitric
Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal
sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang
akan merusak sel saraf itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan diatas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor
NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat
produksi dari NO akanmempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan
penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut
sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya“wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai
sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan
nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang
bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa
dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi
fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai
hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau
mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri
pascabedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh
karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau
meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat
NSAID (COX1 atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah
terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.
KLASIFIKASI NYERI
1. Nyeri Akut
Menurut Federation of State Medical Boards of the United States; acute pain
is the normal, predicted physiological response to an adverse
chemical, thermal or mechanical stimulus, associated with surgery trauma and
acute illness. (Nyeri akut adalah respon fisiologik normal yang diramalkan
terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan,
trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan
oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses
penyembuhannya.1

Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu :2


1. Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang
mengenai kulit, subkutis, mukosa. Biasanya bersifat burning (seperti
terbakar), contoh : terkena ujung pisau atau gunting
2. Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang
muncul dari otot rangka,tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh darah, tendon
dan syaraf. Nyeri menyebardan lebih lama dari pada nyeri somatik
luar, contoh : sprain sendi
3. Nyeri visceral, yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam,
stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak.
Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.
Prototipe dari nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Analgesia
balans merupakan teknikpenaganan nyeri pasca bedah yang sangat ideal dan
efektif sebab dapat menghasilkan pain free dan stress free. Analgesia
balans adalah suatu teknik pengelolaan nyeri pascabedah yang menggunakan
pendekatan multimodal di mana, mekanisme nyeri dihambat atau ditekan pada
setiap tahap pada proses nosisepsi (transduksi, transmisi dan modulasi). Jadi
nyeri dihambat pada tiga tempat secara bersamaan, sehingga terjadi hambatan
yang bersifat sinergik. 1

2. Nyeri Kronik 1
The International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
kronik sebagai“pain that persists beyond normal tissue healing time, which
is assumed to be three months”(nyeri kronik adalah nyeri yang menetap melampaui
waktu penyembuhan normal yakni 3 bulan).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nyeri kronik adalah
nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari
tiga bulan tanpa adanya malignitas. Oleh karena itu nyeri kronik biasa disebut
sebagai chronic non malignant pain. Dikenal tiga macam bentuk nyeri kronik
yakni:
1. Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai, misalnya complex
regional pain syndromyang dahulu dikenal sebagai reflex
symphathetic dystrophy, post herpetic neuralgia, phantom pain,neurophatic
pain, dan lain-lain.
2. Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas, misalnya nyeri pinggang
bawah (low back pain), sakit kepala, dan lain-lain.
3. Nyeri yang didasari atas kondisi kronik,
misalnya osteoartheritis atau reumathoid arthritis, dan lainlain. Sangat
subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lain.
3. Nyeri Kanker 1
Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik, maka masalah nyeri kanker
jauh lebih rumit. Hal itu disebabkan karena nyeri kanker tidak saja bersumber dari
faktor fisik akibat adanya kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh faktor
nonfisik berupa faktor psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang
secara keseluruhan disebut NYERI TOTAL. Dengan kata lain,NYERI TOTAL
dibentuk oleh berbagai unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual. Oleh karena
itu, pengelolaan nyeri kanker yang baik membutuhkan pendekatan multidisplin yang
melibatkan sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih dari itu, anggota keluarga
penderita pun harus dilibatkan utamanya dalam perawatan yang tidak
kurang pentingnya.
Nyeri kanker dapat dibagi atas 2 kategori :
a. Nyeri Organik:
 Nyeri nosiseptif : Nyeri somatik (kulit, otot, tulang dan jaringan lunak)
dan Nyeri visceral (organ thoraks dan abdomen)
 Nyeri non nosiseptif : Nyeri neuropatik (deafferentiation pain) akibat adanya
penekanan dan kerusakan jaringan saraf.
b. Nyeri Pysikologik

Menurut WHO, dikenal sebagai three step ladder, yang pemberiannya harus : by
the mouth, by the clock, by the ladder. Dimulai dari step ladder I, diikuti step II dan III

Analgesik Nonopioid
 Usual analgesics : Aspirin, Acetominophen
 NSAIDs ( Non-selective COX Inhibitors
):Ibuprofen, Ketoprofen, Naproxen, Diclofenac
Sodium, Indomethacin, Ketorolac, Piroxicam, Mefenamic acid.
 NSAIDs ( Selective COX-2 Inhibitors ): Celecoxib, Parecoxib, Rofecoxib, etc.

Opioids untuk Moderate Pain


 Weak Opioid : Codein (biasanya digunakan sebagai antitussive, Konstipasi
merupakan efek yang sering terjadi)
Opioids untuk Severe Pain
 Morphine-Like Agonist
: Morphine, Levorphanol, Codein, Hydromorphine,Methadone, Oxycodone, Fentanyl
transdermal, Meperidine
 Partial Agonist : Buprenorphine
 Mixed Agonist – Antagonist : Pentazocine, Nalbuphine, Butorphanol
Obat Adjuvant
 Corticosteroids : Dexamethasone, Prednison
 Anticonvulsant : Carbamazepine, Gabapentin, etc
 Antidepressant : Amytriptiline, Doxepine
 Neuroleptics : Methotrimeprazine
 Antihistamines : Hydroxyzine
 Local anesthetic/antiarrhytmics : Lidocaine
 Psycho-stimulans : Dextroamphetamine
 Laxatives : Bisacodyl, Lactulose, etc
 Antiemetics : Droperidol, Metoclopropamide, etc
Formula in RSWS
 Moderate pain
Acetaminophen/Aspirin 500 mg
Codein 20 mg
Dulcolax ¼ tab
mf pulv dtd XXX
6 dd I cap
06.00 18.00
10.00 22.00
14.00 02.00

+ adjuvant

 Severe pain
MST 5 - 10 mg
2 dd I tab
Celebrex 100–200 mg
2 dd I cap

06.00 18.00

+ adjuvant

NYERI NEROPATI / NYERI KRONIK


Klasifikasi 3
Berdasarkan Letak Nyeri
1. Nyeri Neuropatik Perifer. Pada nyeri neuropatik perifer Letak lesi di
sistem perifer, mulai dari saraf tepi, ganglion radiks dorsalis sampai ke radiks
dorsalis. Contoh: Diabetik Periferal Neuropati (DPN), Post Herpetik Neuralgia
(PHN), Trigeminal neuralgia, CRPS tipe I, CRPS tipe II.
2. Nyeri Neuropatik Sentral. Letak lesi dari medula spinalis sampai ke
korteks Contoh: Nyeri post stroke, Multiple Sclerosis, Nyeri post trauma
medula spinalis
Berdasarkan waktu terjadinya
1. Nyeri Neuropatik Akut. Nyeri yang dialami kurang dari 3 bulan. Contoh
Neuralgia herpetika, Acute Inflammatory Demyelinating Neurophaty.
2. Nyeri Neuropatik Kronik. Nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan.Nyeri
neuropatik kronis juga dibedakan menjadi:
a. Malignan (nyeri keganasan, post operasi, post radioterapi, post chemoterapi )
b. Non Malignan (neuropati diabetika, Carpal Tunnel Syndrome, neuropati toksis,
avulsi pleksus,
trauma medula spinalis, neuralgia post herpes)

Berdasarkan Etiologi
1. Saraf Perifer
• Trauma: neuropati jebakan, kausalgia, nyeri perut, nyeri post torakotomi
• Mononeuropati: Diabetes, invasi saraf/ pleksus oleh keganasan, Iradiasi pleksus,
penyakit jaringan ikat (Systemic Lupus Erytematosus, poliartritis nodusa)
• Polineuropati: Diabetes, alkohol, nutrisi, amiloid, penyakit Fabry, isoniasid,
idiopatik.
2. Radiks dan ganglion : Diskus (prolaps) arakhnoiditis, avulsi radiks, rizotomi operatif,
neuralgia post herpes, trigeminal neuralgia, kompresi tumor.
3. Medula Spinalis : Transeksi total, hemiseksi, kontusio atau kompresio, hematomieli,
pembedahan, syringomieli, multiple sclerosis, Arteri-Vena Malformasi, Defisiensi Vit
B12, mielitis sifilik.
4. Batang Otak : Sindroma Wallenberg, Tumor, Syringobulbi, Multiple Sclerosis,
Tuberkuloma.
5. Talamus Infark : hemoragik, tumor, lesi bedah pada nukleus sensorik utama.
6. Korteks / Sub korteks Infark : Arteri-Vena Malformasi, Truma dan tumor.

Berdasarkan asalnya:
1. Nyeri nosiseptif (nociceptive pain)
Nyeri perifer. Asal : kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll → nyeri akut, letaknya
lebih terlokalisasi.
Nyeri visceral / central. Lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya.
2. Nyeri neuropatik

Etiologi
Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering : 4
Nyeri neuropatik perifer
 Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik
 Polineuropati alkoholik
 Polineuropati oleh karena kemoterapi
 Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
 Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)
 Neuropati sensoris oleh karena HIV
 Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post
thorakotomi)
 Neuropati sensoris idiopatik
 Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
 Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
 Neuropati diabetik
 Phnatom limb pain
 Neuralgia post herpetik
 Pleksopati post radiasi
 Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
 Neuropati oleh karena paparan toksik
 Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
 Neuralgia post traumatik
Nyeri neuropatik sentral
 Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis
 Mielopati HIV
 Multiple sclerosis
 Penyakit Parkinson
 Mielopati post iskemik
 Mielopati post radiasi
 Nyeri post stroke
 Nyeri post trauma korda spinalis
 Siringomielia
Penatalaksanaan 6
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan
analgesik opioid. Terapi utamanya adalah the tricyclic antidepressants (TCA's),
antikonvulsan dan systemic local anesthetics. Agen farmakologi yang lain:
corticosteroids, topical therapy dengan substance P depletors, autonomic drugs dan
NMDA receptor antagonist. Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi
nyeri neuropati adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.
Terapi Farmaka
1. Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyeri
neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin,
desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu
memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik
menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor
presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor
5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan
konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga
meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin
beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi
ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-
Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri
berkurang.
2. Anti konvulsan
Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem
saraf dan antikonvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Nyeri neuropati dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan
paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses
kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan adalah penghentian
proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi
sentral dan peningkatan inhibisi.
 Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels
(VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron.
 Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC, merubah
atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik,
meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita
HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Efek samping utama adalah
skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.
 Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer
mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai
gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri
neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi
HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi.
Gabapentin mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam sel untuk berinteraksi
dengan reseptor α2β yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.

Terapi Blok Transmisi


1. Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf.
2. Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal
Terapi Alternatif
1. Stimulator
2. Akupuntur
3. Hipnosis
4. Psikologi
ISTILAH-ISTILAH YANG BERKAITAN KHUSUS DENGAN NYERI
 Nyeri Neuropatik : Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
sistem saraf.
 Nyeri Neuropati : Berbeda dari nyeri nosiseptif, Nyeri biasanya bertahan lebih
lama dan merupakan proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer
atau CNS. Biasanya lebih sulit diobati. Mekanismenya mungkin karena dinamika
alami pada sistem saraf. Pasien mungkin akan mengalami: rasa terbakar, tingling,
shock like, shooting, hyperalgesia atau allodynia.
 Nyeri Neurogenik : Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi , disfungsi
atau gangguan sementara primer pada sistem saraf pusat atau perifer.
 Neuralgia : Nyeri pada daerah distribusi saraf.
 Neuritis : Inflamasi pada sistem saraf.
 Neuropati : Gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf.
 Jika mengenai 1 saraf disebut mononeuropati
 Pada beberapa saraf disebut mononeuropati multipleks
 Bersifat difus dan bilateral disebut polineuropati
 Alodinia : Nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri.
 Hiperalgesia : Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal
menimbulkan nyeri.
 Hiperestesia : Meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus, tidak termasuk
didalamnya sensasi khusus (indera lain).
 Hiperpatia : Sindroma dengan nyeri bercirikan reaksi nyeri abnormal terhadap
stimulus, khususnya terhadap stimulus berulang, seperti pada peninggian nilai
ambang.
 Disestesia : Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik bersifat
spontan maupun dengan pencetus.
 Parestesia : Sensasi abnormal, baik bersifats pontan maupun dengan
pencetus.
 Analgesia :Tidak adanya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan
normal menimbulkan nyeri.
 Hipoalgesia : Berkurangnya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam
keadaan normal menimbulkan nyeri.
 Anestesia : Hilangnya sensitivitas terhadap stimulus tidak termasuk sensasi
khusus (indera lain).
 Hipoestesia :Menurunnya sensitivitas terhadap stimulus, kecuali sensasi
khusus (indera lain).
 Anestesia Dolorosa : Nyeri pada area atau regio yang semestinya bersifat
anestetik.
 Kausalgia : Sindroma yang timbul pada lesi saraf pasca trauma yang ditandai
nyeri seperti terbakar, alodinia, hiperpatia yang menetap, seringkali bercampur
dengan disfungsi vasomotor serta sudomotor dan kemudian diikuti oleh gangguan
trofik.
 Nyeri Sentral : Nyeri yang didahului atau disebabkan atau disfungsi primer
pada sistem saraf pusat.
 Nyeri Neuropatik Perifer : Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau
disfungsi primer sistem saraf perifer.
 Nosiseptor : Serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri.
 Non-nosiseptor : Serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri.
 System nosiseptif : System yang teribat dalam transmisi dan persepsi
terhadap nyeri.
 Stimulus Noksius : Stimulus yang menimbulkan kerusakan terhadap jaringan
tubuh normal.
 Nilai Ambang Nyeri : Intensitas stimulus terkecil yang dapat dirasakan
sebagai nyeri.
 Tingkat Toleransi Nyeri : Tingkat nyeri terbesar (intensitas maksimum) yang
mampu ditoleransi/ditahan subyek.
 Trigger Point : Titik dalam satu area tertentu pada otot dan/ atau fasianya
yang menimbulkan pola nyeri menjalar yang khas, dapat berupa kesemutan atau
baal sebagai reaksi terhadap tekanan yang agak lama.
 Tender Point : Nyeri lokal yang timbul pada otot, ligamentum, tendo atau
jaringan periosteum pada penekanan yang agak lama.
Senin, 02 Januari 2012

Penaganan Nyeri Paska Bedah


1. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan hal yang terpenting dalam penanganan nyeri pasca
bedah karena dapat digunakan untuk :
 Menilai intensitas nyeri pasien pasca bedah
 Menentukan pilihan terapi bagi pasien pasca bedah
 Menentukan efektifitas terapi nyeri pasca bedah yang telah diberikan.
Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan penilaian nyeri pasca bedah :

1. Penilaian nyeri perlu dilakukan dalam keadaan istirahat dan bergerak ( Rest
and Movement pain )
2. Penilaian nyeri perlu dilakukan sebelum dan sesudah terapi diberikan untuk
melihat efektifitas terapi
3. Penilaian di PACU atau ICU dapat dilakukan sesering mungkin sampai nyeri
dapat dikelola dengan baik dan dipertahankan ( 15 – 30 menit pada awal
pemberian dan dilanjutkan setiap 1 – 2 jam sampai intensitas nyeri telah
menurun
4. Penilaian nyeri di bangsal perlu dilakukan secara regular setiap 4 – 8 jam
untuk melihat keberhasilan terapi yang telah diberikan dan respon pasien
terhadap terapi (efek samping dan komplikasi teknik penanganan nyeri )
5. Nyeri dan respon pasien termasuk nyeri dan komplikasi perlu dicatat dalam
form status APS untuk dijadikan acuan dalam penatalksanaan selanjutnya
6. Keluarga pasien dapat berperan dalam penilaian nyeri terutama pada pasien
khusus seperti anak-anak dan pasien geriatrik.

Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai intensitas nyeri pasien
pasca bedah
1. Verbal Rating Scale
Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan dengan skala “tidak nyeri”
– “nyeri ringan“ – “ nyeri sedang“ – “nyeri hebat“ – “nyeri sangat hebat“

Gambar 1. Verbal Rating Scale

2. Numerical Rating Scale

Nyeri Paling Hebat Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan
dengan menggunakan skala angka dari “0” sampai “10” untuk menggamb arkan
nyerinya dimana ‘0” berarti tidak nyeri sedangakan “10” berarti nyeri yang paling
hebat
Gambar 2. Numerical Rating Scale

3. Visual Analogue Score


Penilaian berupa garis lurus sepanjang 100 mm ( 10 cm ) dimana pasien diminta
untuk menunjukkan letak intensitas nyeri pada suatu garis lurus yang dimulai
dengan “ tanpa nyeri “ sampai pada akhir garis yang berarti “nyeri sangat hebat”

Gambar 3. Visual Analog Score

4. Wong-Baker Faces Pain Scale


Merupakan skala bergambar ekspresi wajah dari ekspresi senyum atau gembira
sampai ekspresi menangis yang menunjukkan nyeri yang sangat hebat. Pasien
dapat menentukan sendiri gambaran ekspresi dari skala untuk menggambarkan
intensitas nyeri yang dialami.

Gambar 4. Wong-Baker Faces Pain Scale

2. EDUKASI PASIEN
Pemberian informasi kepada pasien tentang nyeri pasca bedah dan penanganannya
akan memberikan dampak yang baik dalam penanganan nyeri, sehingga pasien
dapat mempunyai harapan yang realistik tentang penanganan nyeri yang diberikan (
nyeri teratasi , bukan tanpa nyeri sama sekali ).
Informasi yang dapt diberikan termasuk :
1. Pentingnya penanganan nyeri pasca bedah
2. Metode – metode yang dapat dilakukan untuk penanganan nyeri pasca bedah
3. Rutinitas penilaian nyeri
4. Optimal intensitas nyeri yang dapat ditoleransi oleh pasien
5. Partisipasi pasien dalam penanganan nyeri pasca bedahnya.

3. PILIHAN TEKNIK PENANGANAN NYERI PASCA BEDAH


a. BALANCED ANALGESIA
Balanced Analgesia (Multimodal Analgesia) menggunakan dua atau lebih obat
analgesia yang bekerja pada mekanisme yang berbeda untuk mendapatkan efek
analgesia yang superior tanpa efek samping yang berarti bila dibandingkan dengan
pemberian obat tunggal dengan dosis yang besar. Beberapa contoh dari balanced
analgesia adalah 1) Kombinasi opioid epidural dengan lokal anestetik epidural ; 2 )
kombinasi intravena opioid dengan NSAIDs yang mempunyai “sparing effect “
terhadap efek sistemik opioid.
Balanced analgesia sebaiknya menjadi pilihan pada penanganan nyeri pasca bedah
bila memungkinkan sesuai dengan jenis operasi dan kondisi pasien. Parasetamol
dan NSAIDs menjadi obat utama pada nyeri pasca bedah dengan intensitas ringan
sementara opioid dan atau teknik anestesi lokal dapat digunakan untuk intensitas
nyeri sedang (moderate pain ).

Tabel 2. Pilihan analgesik untuk nyeri pasca bedah


Non-opioid analgetik Paracetamol
NSAIDs, including COX-2 inhibitors
Gabapentin, pregabalin
Opioid lemah Codeine
Tramadol
Paracetamol combined with codeine or tramadol
Opioid kuat Morphine
Fentanyl
Pethidine
Adjuvant Ketamine
Clonidine

Tabel 2.1. Morfin

Morfin
1. Intravena
2. Subkutan dengan infus kontinyu atau bolus intermit
Pemberian tent
3. Intramuskuler (tidak disarankan sehubungan dengan
nyeri yang dapat ditimbulkan. 5-10mg tiap 3-4 jam).
Dosis :
Bolus: 1-2 mg, lockout 5-15menit (umumnya 7 - 8 menit),
IV/PCA
tidak ada kecepatan basal
0,1 - 0,15 mg/kg tiap 4-6jam, yang berdasarkan atas
Subkutan
hubungannya dengan skor nyeri dan frekuensi nafas
Pemantauan Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efek samping
Efek-efek samping seperti mual, muntah sedasi dan apnu
Keterangan
Tidak ada lagi pemberian opioid atau sedative

Tabel 2.2. Kodein


Kodein
Pemberian Oral
3mg/kg/hari dikombinasi dengan paracetamol.
Dosis : Tablet kodein yang dibutuhkan minimal sebesar
30mg
Pemantauan Skor nyeri, sedasi, efek-efek samping
Kerja analgetik tampaknya berdasarkan
konversinya menjadi morfin, dimana tampak
Keterangan tidak memberi manfaat pada sejumlah kecil
pasien sehubungan dengan tidak adanya enzim
converting

Tabel 2.3. Tramadol


Tramadol
1. Intravena : injeksikan dengan perlahan (risiko tinggi
terjadinya mual-muntah)
Pemberian
2. Intramuskuler
3. Pemberian secara per-oral sesegera mungkin
Dosis : 50-100 mg tiap 6 jam, atau kontinyu 10 – 40 mg/jam
Pemantauan Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efek samping
Tramadol mengurangi reuptake serotonin dan
norepinephrine dan merupakan agonis opioid lemah.
Keterangan Sehubungan dengan efisiensi analgetiknya, 100mg
tramadol sebanding dengan 5-15mg morfin.
Obat-obat sedatif dapat mengakibatkan efek additive

Tabel 2.4. Kombinasi kodein + paracetamol


Kombinasi kodein + paracetamol
Pemberian Oral
Paracetamol 500mg + kodein 30mg.
Dosis :
4x1g paracetamol/hari
Pemantauan Skor nyeri, sedasi, efek-efek samping
Kerja analgetik tampaknya berdasarkan konversinya
Keterangan
menjadi morfin

Tabel 2.5. NSAIDs


NSAIDs
1. Intravena: pemberian harus dimulai setidaknya 30-60 menit
sebelum pembedahan berakhir.
Pemberian
2. Pemberian secara peroral dimulai sesegera mungkin
Durasi: 3-5 hari.
1. NSAIDs konvensional antara lain:
Dosis :
Ketorolac: 3x30-40mg/hari (hanya sediaan intravena)
Diclofenac: 2x75mg/hari
Ketoprofen: 4x50mg/hari
2. NSAIDs selektif :
COX-2 inhibitor saat ini dapat digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri pasca bedah. Efeknya sebanding
dengan ketorolac namun memiliki efek samping terhadap
saluran cerna yang kecil.
Antara lain :
Parecoxib: 40mg dilanjutkan dengan 1-2 x 40mg/hari
(sediaan iv) atau celecoxib: 200mg/hari.
Meskipun demikian, terdapat perbedapatan sehubu ngan
dengan risiko kardiovaskuler yang dapat ditimbulkan pada
pasien - pasien dengan atherosclerosis.
Skor nyeri
Fungsi ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal atau
kardiovaskuler, pasien umur tua, atau pasien dengan
riwayat episode hipotensi berat.
Pemantauan
Efeksamping terhadap saluran cerna. NSAIDs non selektif
dapat dikombinasikan dengan proton pump inhibitor (mis.
Omeprasol) pada pasien dengan risiko gangguan saluran
cerna.
Dapat ditambahkan sebagai premedikasi
Dapat digunakan bersama dengan paracetamol dan/atau
Keterangan
opioid atau analgesia lokal-regional untuk penanganan
nyeri sedang hingga berat.

Beberapa kombinasi balans analgesia


1. Pethidine 50mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam
dikombinasikan dengan NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg, ketorolac
3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).
2. Tramadol 100mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam
dikombinasikan dengan NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg, ketorolac
3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).

b. EPIDURAL ANALGESIA
Menggunakan teknik regional epidural dengan meletakkan kateter epidural dan
memberikan obat – obat anestetik lokal, opioid dan adjuvant lainnya pada masa
pasca bedah baik secara intermittent maupun kontinyu
Penentuan letak kateter epidural terutama ditentukan oleh jenis operasi dan insisi
bedah dengan prinsip bahwa letak kateter epidural berada pada bagian tengah dari
segmen dermatom insisi bedah.

Tabel 3 . Penentuan letak kateter epidural untuk penanganan nyeri pasca


bedah
High to mid thoracic Bedah thoraks
(antara T5-T8) Bedah abdomen atas (esophagectomy,
gastric, open chole, pancreas)
Mid to Low thoracic Bedah abdomen bawah (colectomy)
(antara T8-T12) Nephrectomy
Low thoracic to high Bedah abdomen bawah
lumbar Bedah pelvis (hysterectomy, radical
(antara T10 – T12) prostectomy)
Lumbar Seluruh prosedur ekstremitas bawah
(antara L1 – L4) Bedah panggul

Beberapa regimen kombinasi anestetik lokal dan opioid dapat diberikan melalui
kateter epidural secara intermitten maupun kontinyu dengan menggunakan syringe
pump.
Pemberian opioid terutama memperhatikan jenis opioid yang digunakan :
 Opioid lipofilik : fentanyl, meperidine yang mempunyai onset kerja yang cepat
namun terbatas dalam durasi kerja dan berefek segmental
 Opioid hidrofilik : morphine yang mempunyai onset kerja yang lambat namun
dengan durasi kerja yang panjang dan berefek pada dermatom yang lebih luas
Obat anestetik lokal yang digunakan adalah anestetik lokal kerja panjang seperti
bupivacaine , levobupivacaine dan ropivacaine dengan pengenceran sampai
konsentrasi 0.0625 % - 0.2 % yang tidak mempunyai pengaruh pada kemampuan
motorik otot.

Tabel 4. Beberapa kombinasi opioid–anestetik lokal untuk epidural pasca bedah


Konsentrasi opioid Konsentrasi anestetik local
Morphine 50 mcg/ml Bupivacaine 0.0625 - 0.125 %
Fentanyl 2-5mcg/ml Levobupivacaine 0.0625 - 0.125 %
Meperidine 2mg/ml Ropivacaine 0.1 – 0.2 %

Tabel 5. Regimen epidural untuk pemberian kontinyu


Kombinasi obat Konsentrasi Laju / jam Dosis Peningkatan dosis pada
“breakthrough“ saat breakthrough
Bupivacaine atau 0,0625 – 0,125 % 0,1 – 1 – 1,5 ml 1 ml
Levo-bupivacaine 1 – 10 mcg/ml 0,15 ml/kg/jam Diulang setelah
Fentanyl 10-15 mnt
Bupivacaine atau Levo- 0,0625 – 0,125 % 4 – 10 ml /jam 1 -2 ml 1 ml
Bupivacaine 0,01 –0,02 mg/ml Diulang setelah
Morphine 10-15 mnt
Ropivacaine 0,1 – 0,2 % 0,1 – 0,15 1 – 1,5 ml 1 ml
Fentanyl 1 – 10 mcg/ml ml/kg/jam Diulang setelah
10-15 mnt
Ropivacaine 0,1 – 0,2 % 4-10 1 – 2 ml 1 ml
Morphine 0,01–0,02 mg/ml ml/jam Diulang setelah
10-15 mnt
Jika pasien mengalami efek samping berupa sedasi perlu dipertimbangkan mdosis
maksimal opioid dalam sejam : morphine < 0,5 mg/jam , fentanyl < 100 mcg/jam ,
pethidine < 20-25 mg/jam

Tabel 6. Regimen epidural untuk pemberian intermittent


Kombinasi obat Dosis Interval
pemberian pemberian
Bupivacaine atau Levobupivacaine 0,1 – 0,125 % 6 – 10 ml 4 – 6 jam
Fentanyl 20-30 mcg

Bupivacaine atau Levobupivacaine 0,1 – 0,125 % 6 – 10 ml 6 – 8 jam


Pethidine 20-30 mg
Bupivacaine atau Levobupivacaine 0,1 – 0,125 % 6 – 10 ml 12 - 18 jam
Morphine 1 - 4 mg *
*disesuaikan dengan umur pasien
Penatalaksanaan analgesia dan efek samping epidural analgesia
1. Analgesia inadekuat
 Berikan bolus dari syringe pump. Bila tidak menggunakan syringe pump pada
pemberian intermittent maka berikan larutan lokal anestetik ditambah fentanyl 25 – 50
mcg melalui kateter epidural
 Pertimbangkan untuk meningkatkan kecepatan infus continue atau
meningkatkan konsentrasi bupivakain atau mengganti opioid ke yang lebih hidrofilik
 Jika pasien tetap merasakan nyeri meskipun telah mendapatkan dosis awal ,
cek tempat insersi kateter epidural. Bila tampak baik maka berikan lagi bolus lagi atau
menambahkan Fentanyl 50 mcg dalam NSS pada kateter daerah lumbal atau 25 – 50
mcg pada kateter torakal. Bila analgesia tetap tidak adekuat maka lakukan tes kateter
dengan anestesi lokal dengan lidokain 2% atau bupivacain 0,25% 4-5ml untuk kateter
lumbal atau 2-3ml untuk kateter torakal. Antisipasi hipotensi yang mungkin terjadi.
 Jika pasien hipotensi namun mengeluh nyeri maka berikan bolus opioid saja.
Sementara pasien yang mengantuk (tanda-tanda sedasi) namun mengeluhkan nyeri
maka berikan bolus hanya anestesi lokal.
 Jika kateter tidak pada posisi yang benar dan kemungkinan berada di daerah
subkutan, ganti kateter epidural atau berikan alternatif analgesia secara sistemik:
pethidin, fentanyl, parecoxib, tramadol.

2. Efek Samping
a. Sedasi dan Depresi nafas
 Perlu direspon dengan cepat bila terjadi efek sedasi. Hentikan syringe pump
dan persiapkan alat-alat bantu nafas (ambu bag dengan masker) serta obat-obatan
seperti naloxon. Sementara menunggu tim APS mintalah perawat untuk tetap berada di
samping pasien, menggerakkan pasien dan meminta pasien untuk bernafas dalam.
Observasi tanda vital dan penanganan jalan nafas dilakukan bila diperlukan.
 Aspirasi kateter epidural untuk menyingkirkan kemungkinan migrasi ke
intratekal atau intravaskular.
 Bila terjadi perubahan status mental seperti kebingungan, singkirkan hipoksia
ataupun hipotensi.
 Jika pasien tertidur maka pikirkan kemungkinan terjadinya kelebihan dosis
opioid perjam sehingga perlu dipikirkan untuk menurunkan laju infus atau konsentrasi
opioid dalam larutan.
 Bila terjadi depresi nafas ( < 8 x/mnt atau SpO2 < 92% ) maka dapat
diberikan terapi suportif jalan nafas dan pernafasan disertai pemberian naloxon 1-2
mcg/kg secara pelan ( 1-2 menit ) dan dapat diulang setiap 3-5 menit sampai efek
depresi nafas teratasi. Monitoring pasca pemberian nalokson perlu dilakukan
mengingat efek kardiopulmonal yang mungkin terjadi ( ventricular takikardia dan udem
paru )
b. Gangguan motorik ekstremitas bawah
i. Hal ini biasanya berhubungan dengan perubahan letak kateter di dalam ruang
epidural
 Singkirkan kemungkinan migrasi intratekal
 Tarik kateter 0,5-1cm
 Jika rasa keram tetap ada maka turunkan konsentrasi anestesi lokal atau
hentikan penggunaan anestesi lokal dalam larutan
ii. Semua keluhan rasa keram perlu dicatat dan apakah penghentian anestesi lokal via
epidural dapat mengurangi keram yang terjadi

c. Pruritus
 Berikan Benadryl 12,5-25mg/iv atau oral setiap 4 jam bila dibutuhkan. Obat ini
dapat memberikan efek sedasi.
 Jika Benadryl tidak efektif maka pertimbangkan memberikan naloxon dosis
rendah secara drips 20-60mcg/jam.
 Jika pasien tidak mengeluhkan nyeri namun mengeluhkan pruritus kurangi
kecepatan infus 2ml dan nilai pasien kembali sebelum memberikan naloxon.
d. Mual dan Muntah
 Pemberian antiemetic (metoklopramid 10mg/iv, ondansetron 4mg/iv).
 Pertimbangkan mengurangi dosis opioid setelah menyingkirkan penyebab
lain, seperti hipotensi.
e. Hipotensi
 Menjamin hidrasi yang adekuat dan pengantian cairan bila diperlukan.
 Penurunan tekanan darah 20% dari tekanan darah basal maka perlu
disingkirkan penyebab lain selain efek anestetik lokal.
 Penggunaan larutan opioid tunggal atau menurunkan konsentrasi anestetik
lokal serta rehidrasi perlu dilakukan bila terjadi hipotensi akibat epidural
analgesia.

3. Beberapa komplikasi epidural analgesia yang perlu diperhatikan


a. Abses epidural
 Menilai dan mengevaluasi daerah insersi kateter epidural setiap hari
(sebaiknya tiap 8 jam) terhadap tanda-tanda terjadinya infeksi seperti nyeri,
eritema, pembengkakan atau adanya darinase.
 Menilai tiap perubahan motorik maupun sensorik tiap 4 jam termasuk
didalamnya nyeri pungggung, demam, gangguan BAB dan BAK atau adanya
kekakuan leher.
b. Hematom epidural
 Menilai dan mengevaluasi daerah insersi kateter epidural setiap hari
(sebaiknya tiap 8 jam) terhadap adanya keluhan nyeri atau pembengkakan di
daerah insersi tersebut.
 Menilai tiap perubahan motorik maupun sensorik tiap 4 jam termasuk
didalamnya timbulnya sensasi keram yang progresif, kelemahan, atau gangguan
BAB dan BAK.
c. Subdural puncture
 Menilai peningkatan efek samping yang tiba-tiba dan progresif, seperti,
hilangnya sensasi dan fungsi motorik dan hipotensi. Terjadi pada saat
pemasangan kateter epidural.
d. Migrasi kateter epidural ke ruang sub-arachnoid
 Menilai adanya perubahan motorik, sensorik dan hemodinamik setelah
pemberian dosis intermitten atau dosis kontinyu.
 Pertimbangkan untuk menghentikan pemberian regimen epidural dan
mengganti dengan analgesia sistemik.
e. Migrasi kateter epidural ke intravaskular
 Menilai adanya darah yang teraspirasi via kateter epidural
 Menilai level nyeri dari pasien, dimana analgesia yang tidak adekuat dapat
terjadi sehubungan dengan adanya sejumlah opioid yang masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.
 Menilai gejala-gejala intoksikasi anestetik lokal seperti pusing, hipotensi,
agitasi atau bahkan kejang.

4. Penghentian epidural analgesia


1. Keputusan penghentian analgesia via epidural dilakukan oleh tim APS
dengan melihat kondisi dan kebutuhan analgesia pasien
2. Sebagian besar kateter epidural dipertahankan untuk 2 - 4 hari mengingat
intensitas nyeri pasca bedah yang semakin menurun seiring jalannya
penyembuhan, walaupun beberapa kasus dapat dipertahankan sampai 5 – 7 hari.
3. Pertimbangkan untuk mempertahankan kateter epidural beberapa jam pada
saat transisi dari analgesia epidural ke analgesia peroral atau intravena.

c. BLOK SARAF PERIFER


Blok saraf perifer telah digunakan untuk penanganan nyeri pasca bedah untuk
menurunkan kebutuhan opioid dan efek sampingnya. Blok saraf perifer juga dapat
menghindari efek samping akibat blok neuroaksial (epidural-spinal) seperti epidural
hematom, epidural abses, dan paraparesis.

Tabel 7. Beberapa blok saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah


Blok Saraf Jenis Pembedahan
Ilioinguinal, iliohipogastrik, dan Hernia inguinal dan femoral
genitofemoral
Nervus dorsalis penis Penis
Femoral Femur bagian depan diatas lutut
Nervus kutaneus lateral Femur bagian lateral
Ankle Blok (Sural nerve) Kaki
Digital (ring block) Jari-jari
Interkostal Dinding dada atau abdomen

Tabel 8. Beberapa blok pleksus saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah
Blok Pleksus Daerah analgesia
Pleksus brakhialis dengan pendekatan Lengan atas dan bahu
interskalenus
Pleksus brakhialis dengan pendekatan Lengan dan siku
supraklavikular
Pleksus brakhialis dengan pendekatan Lengan bawah dan tangan
aksilar

Mekanisme Nyeri Kanker dan


Penatalaksanaannya
PENDAHULUAN
Kanker merupakan istilah untuk sekelompok penyakit yang bervariasi tipe dan lokasinya.
Penyakit ini disebabkan oleh hilangnya kontrol terhadap kapasitas reproduksi sel. Sel-sel ini
tidak membelah sesuai programnya, namun terus membelah dan bermultiplikasi secara
abnormal hingga menimbulkan massa tumor yang nampak dan terdeteksi. Massa tumor ini
dihasilkan oleh proliferasi sel autonom yang berkelanjutan dan abnormal, akibat perubahan
permanen beberapa sel yang ditransmisikan dari kelompok selnya. 1
Sel-sel kanker mirip dengan sel-sel asalnya dan memiliki struktur DNA dan RNA yang mirip
(namun tidak identik). Inilah alasan mengapa sel-sel ini jarang terdeteksi oleh sistem imun,
khususnya jika sistem imun melemah.1,2
Metastase didefinisikan sebagai stadium dimana sel-sel kanker ditransportasikan melalui
aliran darah atau sistem limfatik. Kanker dapat mengenai segala kelompok umur, namun
resiko meningkat sesuai penambahan umur, terkait kerusakan DNA lebih nampak pada DNA
yang menua. Pertumbuhan sel yang tidak teregulasi pada penyakit ini disebabkan oleh mutasi
pada gen yang mengkode protein yang mengontrol pembelahan sel. Kebanyakan mutasi
bahkan mentransformasi sel normal menjadi sel maligna.1,2
Mayoritas kanker bersifat sporadik dan mungkin diteruskan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Dua puluh persen kanker bersifat herediter. Ini berarti gen abnormal bertanggung
jawab terhadap penurunan penyakit ini dari orang tua terhadap anaknya. Penyebab kanker
dan tipe kanker masih belum diketahui dengan jelas. Belum ada penyebab jelas mengapa
seorang terkena kanker dan yang lainnya tidak. Sel-sel kanker bermultiplikasi sangat cepat
dan menjadi maligna. Mutasi gen ini terjadi akibat beberapa faktor kompleks terkait gaya
hidup, herediter, dan lingkungan. Mutasi ini dapat disebabkan oleh agen khemis atau kimiawi
yang disebut karsinogen, oleh pemaparan terhadap zat radioaktif, atau oleh beberapa virus
yang dapat menyelipkan DNAnya ke dalam genom manusia.1,2,3
Terdapat beragam jenis kanker, umumnya dinamakan berdasarkan lokasi atau tipe selnya.
Namun gejala dan tanda-tanda penyakit ini umumnya sama dan dibagi tiga kelompok yaitu :
1. Tanda-tanda lokal : munculnya penonjolan (tumor) atau pembengkakan,
perdarahan, ulserasi dan nyeri. Penekanan jaringan sekitar oleh massa tumor dapat
menimbulkan tanda berupa ikterus.
2. Tanda-tanda metastasis (penyebaran) : pembesaran kelenjar limfe, batuk dan
hemoptisis, hepatomegali, nyeri tulang, fraktur pada tulang yang mengalami
metastase, dan gejala neurologis, serta nyeri.
3. Tanda-tanda sistemik : penurunan berat badan, penurunan nafsu makan dan
kaheksia, keringat berlebihan (keringat pada malam hari), anemia dan fenomena
paraneoplastik spesifik seperti thrombosis atau perubahan hormonal, serta demam
akibat pengaruh penyakit ini terhadap sistem imun.1,3
Tiga puluh persen pasien datang dengan keluhan nyeri saat mereka didiagnosa kanker, dan
65-85 % pasien mengalami nyeri seiring dengan berkembangnya penyakit kanker mereka.
Diperkirakan sepertiga pasien dengan kanker mendapat terapi dan tiga perempatnya
mengalami nyeri. Nyeri ini sangat bervariasi dan bersifat individual. Nyeri pada kanker
tulang menempati prevalensi tertinggi untuk nyeri sedang hingga berat dan leukemia dengan
prevalensi nyeri sedang berat yang terendah. Kejadian nyeri meningkat seiring perkembangan
penyakit dan bervariasi sesuai tempat primernya. Faktor lain yang turut berkontribusi yaitu
stadium penyakit, adanya metastasis, terlibatnya struktur tulang, terkenanya struktur saraf
oleh tumor, lepasnya mediator-mediator kimiawi oleh sel-sel tumor, dan faktor dari pasien
sendiri seperti cemas dan depresi. 2,4,5
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penderita kanker mengalami lebih dari satu tipe
nyeri. Pada sebuah survey, 81% pasien dilaporkan mengeluhkan dua atau lebih tipe nyeri dan
34% melaporkan lebih dari tiga tipe nyeri. Ketakutan pasien akan kanker sehubungan
dengan ketakutan mereka akibat nyeri berat oleh kanker. 69% pasien kanker yang disurvei
melaporkan bahwa nyeri berat akibat kanker membuat mereka ingin bunuh diri dan 57%
pasien memprediksikan hidup mereka akan berakhir dengan sangat nyeri.6
Grafik 1. Prediksi insiden kanker yang diestimasi untuk negara berkembang dan negara industri. Walaupun
insiden antara kedua kategori negara hampir sama pada tahun 1990, insiden pada negara berkembang makin
meningkat dibanding negara industri, dengan prediksi 2 dari 3 pasien kanker baru pada tahun 2020 muncul dari
negara berkembang. (Salminen E, dkk, 2005) 6

MEKANISME NYERI KANKER


Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur yang sensitif dengan nyeri seperti tulang, jaringan
lunak, serabut saraf, organ dalam, dan pembuluh darah. Nyeri juga dapat diakibatkan oleh terapi pembedahan, kemoterapi,
atau radioterapi. Meskipun penyebab nyeri kanker dan tipenya bervariasi, mekanisme yang mendasarinya telah dipahami
sebagai fenomena neurofisiologik dan neurofarmakologik yang kompleks.5,6
Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri nosiseptif, terdiri dari nyeri somatik dan nyeri viseral, dan nyeri
neuropatik. Pengetahuan akan tipe nyeri kanker penting dalam penatalaksanaan nyeri kanker yang adekuat.6

NEUROFISIOLOGI NYERI
Terdapat beberapa reseptor yang sensitif terhadap stimuli noksius. Nosiseptor ini adalah saraf aferen primer dengan ujung
perifernya berespon terhadap berbagai stimuli noksius. Nosiseptor ini memiliki dua fungsi yaitu transduksi dan transmisi.
Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan termal dapat mengaktivasi reseptor, mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi pada
aferen primer. Informasi ini selanjutnya dikodekan dalam frekuensi impuls yang ditransmisi menuju sistem saraf pusat,
dimana persepsi nyeri terjadi. Baik nosiseptor bermielin ataupun tidak bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke sistem saraf
pusat. Nosiseptor bermielin berespon terhadap stimuli mekanik secara khusus dan dengan konduksi yang cepat melalui
serabut saraf A-delta, menyebabkan sensasi nyeri tajam. 6,7
Nosiseptor tak bermielin adalah serabut saraf polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal dan kimiawi, dengan
penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan sifat nyerinya tumpul dan rasa terbakar. 4,6,7
Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor baik secara mekanik maupun kimiawi. Telah diketahui
berbagai molekul yang digunakan nosiseptor untuk mendeteksi stimuli. Contoh, reseptor vanilloid (VR1), yang
diekspresikan oleh kebanyakan nosiseptor, mendeteksi panas dan asam, proton ekstrasellular, dan metabolit lipid. Untuk
mendeteksi stimuli mekanik, nosiseptor mengekspresikan pintu saluran mekanik¬ yang mengaktifkan cascade pengiriman
sinyal sebagai respon terhadap regangan yang berlebihan-dan beberapa reseptor purinergik, yang diaktifkan oleh ATP. ATP
dilepaskan oleh sel-sel akibat stimulasi mekanik yang berlebihan. Untuk merasakan stimuli noksius kimiawi, nosiseptor
mengekspresikan reseptor dengan susunan kompleks yang diaktivasi oleh faktor inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan
rusak. Faktor inflamasi tersebut antara lain proton, endothelin, prostaglandin, bradikinin, dan nerve growth factor. Dengan
teridentifikasinya reseptor yang diekspresikan pada permukaan nosiseptor maka meningkatkan pemahaman kita mengenai
mengapa tumor menyebabkan nyeri ketika sel-selnya menginvasi dan menghancurkan jaringan perifer. 4
Gambar 1. Deteksi oleh neuron-neuron sensorik terhadap stimuli noksius yang diproduksi sel tumor. Nosiseptor
(merah) menggunakan beberapa tipe reseptor yang berbeda untuk mendeteksi dan mentransmisikan sinyal
stimuli noksius yang diproduksi oleh sel-sel kanker (kuning) atau sel lain di sekitarnya. Reseptor vanilloid-1
(VR1) mendeteksi proton ekstrasellular (H+) yang diproduksi oleh sel-sel kanker, sedangkan reseptor
endothelin-A (ETAR) mendeteksi endothelins (ET) yang dilepaskan oleh sel-sel kanker. Dorsal-root acid-
sensing ion channel (DRASIC) mendeteksi stimuli mekanik akibat pertumbuhan tumor yang secara mekanik
meregangkan serabut saraf sensorik. Reseptor lain yang diekspresikan oleh neuron sensorik antara lain reseptor
prostaglandin (EP), yang mendeteksi prostaglandin E2 (PGE2) yang diproduksi oleh sel kanker dan sel-sel
inflamatorik (makrofage). Nerve growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh makrofage terikat pada reseptor
tyrosine kinase (TrkA), sedang ATP ekstrasellular terikat pada reseptor purinergik P2X3. Aktivasi reseptor-
reseptor ini meningkatkan eksitabilitas nosiseptor, diantaranya fosforilasi saluran natrium (Na+ Channel) 1.8
dan/atau 1.9 dan menurunkan ambang yang dibutuhkan untuk eksitasi nosiseptor. 4

Sebagai tambahan terhadap saluran-saluran dan reseptor yang mendeteksi trauma jaringan, neuron sensorik bersifat sangat
“plastic”, yaitu mereka dapat mengubah fenotip mereka sebagai respon terhadap trauma perifer. Setelah trauma jaringan,
banyak nosiseptor yang mengubah pola pengiriman sinyal peptide dan ekspresi growth-factor mereka. Perubahan fenotip
neuron sensorik ini mendasari, sebagian, sensitisasi perifer, dimana tingkat ambang aktivasi menurun, sehingga stimulus
noksius yang normalnya ringan dianggap sebagai stimulus noksius tinggi (hyperalgesia), atau stimulus non-noksius
dipersepsikan sebagai stimulus noksius (allodynia) Kerusakan jaringan perifer juga mengaktifkan nosiseptor yang
sebelumnya “silent” atau “sleeping”, sehingga menjadi sangat responsif terhadap stimulus non-noksius atau noksius
ringan.4
Hiperalgesia primer terjadi akibat sensitisasi nosiseptor pada jaringan yang trauma. Hiperalgesia sekunder terjadi akibat
perubahan sistem saraf sentral oleh aktivasi nosiseptor dan mungkin oleh meluasnya daerah hiperalgeia kutaneus disekitar
daerah trauma. Sekali teraktivasi, nyeri ditransmisikan melalui serabut saraf A delta dan C dan memasuki medulla spinalis
secara lateral, bersinaps pada kornu dorsalis superfisial untuk mengaktivasi sistem nosiseptif asceding. 4,6

SENSITISASI SENTRAL6,7

Gambar 2. Sensitisasi sistem saraf pusat terjadi oleh aktivasi cascade neuroimun dalam jaringan, sistem saraf
perifer, atau sistem saraf pusat. 7

Transmisi sensorik dimediasi melalui neuropeptida, substansi P, calcitonin-related-gene


peptide, serta asam amino eksitatorik (EAA) glutamate dan aspartat. Sensitisasi sentral terjadi
akibat terikatnya EAA dengan reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA). Saat berikatan, influx
kalsium intrasellular dihasilkan dari aktivasi second messenger dan pembentukan nitric
oxide, bersama dengan senyawa lain. Aktivasi reseptor NMDA dan reseptor asam alpha-
amino-3-hidroxy-5 methyl-4-isoxazolepropionic (AMPA) berkontribusi pada terjadinya
senstisasi sentral dan windup neuronal yang mendasari hiperalgesia sekunder dan status
nyeri persisten. Terdapat dua jalur ascend fisiologik yang berbeda pada kuadran anterolateral
medulla spinalis.

Jalur neospinothalamik diproyeksikan pada kompleks thalamik ventrobasilar, dari sana,


akson memproyeksi terhadap korteks somatosensorik pada lobus parietal. Jalur ini memediasi
aspek diskriminatif sensorik akan persepsi nyeri (lokalisasi stimulus dan intensitas nyeri).
Traktus paleospinothalamikus ascend, berproyeksi terhadap formasi retikula, nukleus
thalamik posterior, dan kompleks nukleus thalamik intralaminar. Dari daerah ini, akson
terproyeksi secara difus ke korteks dan secara spesifik ke korteks frontal orbita. Jalur ini
memediasi komponen afektif/penderitaan, emosional, dan kesadaran akan nyeri. Telah
diketahui bahwa terdapat nukleus spesifik pada thalamus posterior yang bertanggung jawab
terhadap sensasi nyeri dan temperatur.
Terdapat jalur supresi nyeri endogen yang bermula pada periaqueductal gray (PAG) dari otak
tengah dan turun ke the nukleus raphe magnus (NRM) di medulla. Dari NRM, terdapat
proyeksi ke kornu dorsalis medulla spinalis melalui fasikulus longitudinal dorsalis. Jalur ini
memodulasi impuls nosiseptif aferen. Stimulasi elektrik dari PAG, NRM, atau kornu dorsalis
atau injeksi mikro morfin pada daerah ini akan menghasilkan analgesia tanpa blokade
motorik, sensorik atau otonom. Serotonin dan norepinephrine adalah neurotransmitter yang
diduga berada di daerah ini. Senyawa opioid endogen juga terlibat sebagai modulator pada
sistem supresi nyeri. Enkephalin, β-endorphin, dan dynorphin adalah inhibitor aktivitas
nosiseptif yang paling kuat. Ketiga peptide ini adalah turunan dari molekul prekursor : (a)
pro-opiomelanocortin adalah prekursor utama untuk β-endorphin, (b) pro-enkephalin A
adalah prekursor utama untuk met-enkephalin dan leu-enkephalin, dan (c) pro-enkephalin B
adalah prekursor utama dynorphin. Enkephalin terdistribusi pada nucleus spesifik di batang
otak dan medulla spinalis. β-endorphin terdapat pada nukleus arkuata di hipothalamus dan
pituitary. Peptida opioid endogenous ini menyebabkan analgesia melalui perlekatannya
dengan reseptor spesifik yang ditemukan dengan konsentrasi yang tinggi pada korteks,
batang otak dan medulla spinalis. β-endorphin melekat pada reseptor mu, enkephalin pada
reseptor delta , dan dynorphin pada reseptor kappa. Morfin dan opioid yang umum digunakan
menyerupai kerja peptide opioid endogenous ini.

Nyeri Kanker Somatik 6,7,8


Nyeri kanker somatik dapat disebabkan oleh invasi neoplastik pada tulang, sendi, otot dan
jaringan penyambung. Massa tumor menghasilkan dan menstimulasi mediator inflamatorik
lokal, yang menyebabkan stimulasi nosiseptor perifer yang terus berlangsung. Sumber nyeri
kanker somatic yang lain yaitu fraktur tulang, spasme otot sekitar area tumor, nyeri insisi
setelah pembedahan, dan sindrom nyeri akibat radio/kemoterapi. Sindroma nyeri somatik
yang paling banyak adalah akibat invasi sel tumor pada tulang. Nyeri tulang bisa bersifat
akut, kronik atau insidentil. Sifatnya terlokalisasi dengan jelas, intermitten atau konstan dan
dideskripsikan sebagai nyeri berdenyut-denyut, tercabik, seperti digerogoti, menyebabkan
reaksi lokal, dan diperberat oleh gerakan atau beban.

Mekanisme Nyeri Tulang 4,6,7,8


Invasi tumor secara langsung pada tulang atau berkembangnya metastese osseus
menyebabkan nyeri persisten. Tidak semua metastase tulang bersifat nyeri, dan nyerinya
kadang tidak sebanding dengan gambaran radiologik. Aferen nosiseptif paling banyak
terkonsentrasi di periosteum, sedangkan sumsum tulang dan korteks kurang sensitif terhadap
nyeri. Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri tulang neoplastik antara lain
teregangnya periosteum akibat ekspansi tumor, mikrofraktur lokal yang menyebabkan
kerusakan tulang, kompresi saraf akibat kolapsnya vertebra atau kerusakan langsung oleh
tumor, serta pelepasan substansi algesik lokal dari sumsum tulang. Nyeri tulang berhubungan
dengan aktivitas osteoklast. Pada tulang yang normal, aktivitas keseluruhan sel-sel tulang
yang teresorbsi (osteoklast) sebanding dengan aktivitas keseluruhan sel-sel yang terbentuk
(osteoblast). Pada penyakit metastatik, terdapat bukti peningkatan aktivitas osteoklast. Baik
faktor tumor maupun humoral, termasuk prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan lokal,
dan hormone paratiroid, meningkatkan aktivitas osteoklastik dan secara lokal menstimulasi
nosiseptor. Meski terjadi peningkatan aktivitas osteoklastik, pembentukan tulang juga
meningkat. Dengan peningkatan turnover tulang, proporsi tulang imatur dan kurang
termineralisasi meningkat sehingga kejadian fraktur meningkat. Prostaglandins mensensitasi
nosiseptor dan menyebabkan hiperalgesia dan nyeri dengan terjadinya osteolisis dan formasi
osteoklast. Obat-obat yang menghambat sintesis prostaglandin dan formasi osteoklast dapat
menghambat nyeri dengan menghambat sensitisasi dan petumbuhan tumor. Biphosphonat,
analog pyrophosphat, diketahui menginduksi apoptosis osteoklast, dengan mengganggu
sintesis ATP atau kolesterol, yang penting untuk kelangsungan hidup sel. Biphosphonat
memiliki afinitas yang tinggi terhadap ion kalsium, sebagai mineral target dari matriks
tulang. Osteoklast yang telah diterapi dengan biphosphonat mengalami perubahan
morfologik, yaitu selnya mengecil, kromatinnya menyusut, fragmentasi nukleus, dan kerutan
tepi selnya menghilang, semuanya merupakan tanda apoptosis. Efek anti resorbsi
biphosphonat mengakibatkan meluasnya penggunaan bisphosphonat sehingga meningkatkan
analgesia dan penurunan signifikan komplikasi tulang pada pasien dengan nyeri tulang
maligna.

Stimulasi Nosiseptor oleh Massa Tumor (4,6)


Tumor terdiri dari beberapa tipe sel selain sel kanker, termasuk sel sistem imun seperti
makrofag, netrofil dan sel T. Sel-sel ini mensekresi berbagai faktor yang mensensitasi atau
secara langsung merangsang neuron aferen primer, dan termasuk prostaglandin, tumour
necrosis factor-α (TNF-α), endothelin, interleukin 1 dan 6, epidermal growth factor,
transforming growth factor-β, dan platelet-derived growth factor. Reseptor untuk banyak
faktor ini diekspresikan oleh neuron aferen primer. Meskipun seluruh faktor ini penting
dalam terjadinya nyeri kanker, obat-obat dengan target pada prostaglandin dan endotelin
adalah yang tersedia saat ini untuk mengontrol nyeri kanker.
Gambar 3. Hubungan antar sel tumor dan nosisepsi. Selain sel-sel kanker, tumor terdiri dari sel-sel inflamasi
dan pembuluh darah, serta kadang berbatasan dengan nosiseptor aferen primer. Sel-sel kanker dan sel
inflamatorik melepaskan berbagai produk seperti ATP, bradykinin, H+, nerve growth factor, prostaglandin dan
vascular endothelial growth factor (VEGF), yang mengeksitasi atau mensensitasi nosiseptor. Stimuli nyeri
dideteksi oleh nosiseptor , dimana badan selnya terdapat pada dorsal root ganglion (DRG), dan ditransmisikan
ke neuron-neuron pada medulla spinalis. Sinyal selanjutnya ditransmisikan ke pusat yang lebih tinggi di otak.
Sinyal nyeri akibat kanker tampaknya naik sampai ke otak setidaknya melalui dua jalur medulla spinalis –
traktus spinothalamikus dan kolumna dorsalis. Aktivasi nosiseptor menghasilkan pelepasan neurotransmitter
seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP), endothelin, histamin, glutamat dan substansi P. Aktivasi
nosiseptor juga menyebabkan pelepasan prostaglandin dari ujung perifer serabut saraf sensorik, yang
menginduksi ekstravasasi plasma, rekruitmen dan aktivasi sel-sel imun, serta vasodilatasi. (4)

Asidosis yang Diinduksi oleh Massa Tumor. (4)


Baik pH intrasellular maupun ekstrasellular tumor padat lebih rendah dari jaringan normal
sekitarnya. Asidosis lokal-yang ditandai oleh akumulasi metabolit asam-adalah ciri trauma
jaringan. Ditemukan bahwa neuron sensorik dapat secara langsung terangsang oleh proton
atau asam. Penelitian memperlihatkan bahwa neuron sensorik mengekspresikan saluran ion
berbeda-beda yang mendeteksi asam. Kelompok utama acid-sensing ion channel ini
diekspresikan oleh nosiseptor VR1 dan the acid-sensing ion channel-3 (ASIC3). Kedua
saluran ini disensitasi dan dirangsang oleh penurunan pH. Lebih spesifik lagi, VR1
teraktivasi ketika pH turun dibawah 6.0, dan pH yang mengaktivasi ASIC3 sangat
bergantung pada ekspresi saluran ASIC pada reseptor yang sama.
Terdapat beberapa mekanisme tumor menyebabkan penurunan pH. Bersamaan invasi sel-sel
inflamasi ke jaringan neoplastik, mereka melepaskan proton yang menimbulkan asidosis
lokal. Besarnya jumlah apoptosis yang terjadi disekitar tumor juga memperbesar asidosis,
karena sel-sel apoptosis melepaskan ion-ion intrasellular yang menyebabkan suasana asam.
Penurunan pH ini mengaktivasi pengiriman sinyal oleh acid-sensing channel yang
diekspresikan oleh nosiseptor.

Nyeri Kanker Viseral (5,6,8)


Beberapa karakteristik klinik khas untuk nyeri viseral. Beberapa organ dalam kurang sensitif
terhadap nyeri. Organ padat seperti paru, hati, dan parenkim ginjal tidak sensitif, meski
terjadi destruksi besar-besaran oleh proses keganasan dan nyeri terasa hanya jika kapsular
atau struktur dekat kapsul terlibat. Organ berlubang dengan mukosa serosa seperti kolon
sangat sensitif dengan distensi lumen dan inflamasi namun tidak terhadap pembakaran atau
pemotongan. Nyeri akibat distensi kolon lebih bergantung pada tekanan daripada volume.
Diketahui bahawa tekanan intralumen dalam kolon yang dibutuhkan untuk menimbulkan
sensasi nyeri adalah 40-50 mm Hg. Sehingga tumor dapat terus berkembang tanpa terdeteksi
dan menyebabkan nyeri hanya pada stadium terjadinya obstruksi komplit dan terjadi
peningkatan tekanan intrakolonik.
Nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, dan kadang dialihkan oleh nyeri struktur
nonviseral yang lain, sehingga sumber nyeri sebenarnya sulit dijelaskan. Nyeri viseral kadang
disalah artikan sebagai nyeri kutaneus. Nyeri bahu, dihasilkan oleh iritasi diafragma akibat
penyakit pada pleura, adalah contoh nyeri alih kutaneus dari nyeri viseral. Nyeri viseral
kadang disertai refleks otonom seperti mual.
Nyeri viseral dimediasi oleh nosiseptor tersendiri pada sistem kardiovaskular, respirasi,
gastrointestinal, dan urogenitalia, yang dideskripsikan sebagai nyeri yang dalam, menekan,
kolik, dan diteruskan ke daerah kutaneus yang nyeri. Nyeri alih ini dianggap sehubungan
dengan fakta bahwa struktur somatik dan viseral memiliki innervasi ganda dengan serabut
saraf yang umum. Serabut saraf ini bertemu pada kornu dorsalis medulla spinalis.

Mekanisme Nyeri Viseral 6,8


Reseptor-reseptor — Penelitian terkini menunjukkan terdapat dua kelas reseptor nosiseptor
sensorik dalam visera. Kelas pertama terdiri dari reseptor “high-threshold” yang berespon
terhadap stimuli noksius mekanik. Reseptor ini diidentifikasi terdapat pada jantung, paru,
saluran cerna, ureter dan kandung kemih. Kelas kedua terdiri dari reseptor “low threshold”
terhadap stimuli alami dan menyandikan intensitas stimulus sesuai yang dilepaskan, sehingga
disebut reseptor “intensity-encoding”.
Kedua tipe reseptor sensitif terhadap stimuli mekanik seperti regangan. Data eksperimen
menunjukkan bahwa organ visera memiliki afferent nosiseptif yang normalnya dianggap
“diam”. Dengan adanya inflamasi lokal atau trauma jaringan, aferen ini menjadi tersensitasi
dan berespon terhadap stimuli alami inokous sebelumnya. Mekanisme sensitivitas yang
diinduksi inflamasi ini masih belum diketahui. Aferen high-threshold menyampaikan nyeri
akut visceral. Iskemik lokal, hipoksia, dan inflamasi menyebabkan nyeri oleh sensitisasi
reseptor high-threshold dan sebelumnya reseptor ini “diam” atau reseptor tak berespon.
Mediator inflamasi yang terlepas menurunkan firing threshold-nya dan dengan sensitisasi
perifer, menambah dan membiarkan terus-menerus stimuli noksius.
Jalur — Informasi sensorik visceral diteruskan dari perifer oleh serabut saraf aferen simpatis
dan parasimpatis. Aferen nosiseptif dari toraks dan visera abdomen berjalan melalui serabut
saraf eferen simpatis visceral. Aferen nosiseptif toraks berjalan menuju splanknik thorasik
sebelum menyatu bersama trunkus simpatis paravertebralis dan memasuki kornu dorsalis.
Aferen nosiseptif abdominal berjalan ke pleksus celiac dan splanknik thorasik sebelum
memasuki trunkus simpatis dan kornu dorsalis.
Sebaliknya, aferen nosiseptor viseral pelvik menyatu pada saraf splanknik pelvik, yang
primernya adalah serabut eferen parasimpatis. Saat memasuki kornu dorsalis, aferen viseral
berakhir pada medulla spinalis lamina I dan V. Aferen viseral menyusun 10% dari seluruh
aferen yang masuk ke medulla spinalis. Jumlah ini tergolong sedikit mengingat luasnya
permukaan area beberapa organ. Meski demikian, jumlah neuron kornu dorsalis yang
berespon terhadap stimuli visceral diperkirakan sekitar 56% hingga 75%, menandakan
perbedaan fungsional neuron-neuron ini. Tidak ada neuron yang berespon hanya terhadap
aferen viseral. Penelitian anatomik dan elektrofisiologik memperlihatkan viserosomatik
bertemu pada kornu dorsalis dan pusat supraspinal. Juga terdapat bukti viseroviseral bertemu
pada neuron ordo kedua ini. Contoh, yaitu pertemuan input viseral pelvik seperti
kolon/rectum, kandung kemih, serviks, dan vagina. Lokalisasi nyeri viseral yang kurang
mungkin dapat dijelaskan oleh kepadatan nosiseptor viseral yang rendah, perbedaan
fungsional input visceral dengan sistem saraf pusat, dan pertemuan viseroviseral pada
medulla spinalis.
Sebagai tambahan traktus spinothalamik dan spinoretikular, telah diidentifikasi tiga jalur
nyeri yang baru lain pada medulla spinalis, yaitu jalur kolumna dorsalis, jalur
spinoparabrachioamygdaloid, dan jalur spinohypothalamik. Jalur kolumna dorsalis berbeda
dengan neuron spinothalamik, dimana jalur ini naik ipsilateral di dekat midline sebelum
berakhir pada nucleus gracilis. Dari sana, serabut arkuata internal menghantarkan input
nosiseptif ke nucleus ventroposterolateral (VPL) di thalamus.
Nyeri Alih — Nyeri alih pada bahu, abdomen, dan tulang belakang sering didapatkan pada
pasien karsinoma pankreas. Pertemuan viserosomatik menjelaskan mengenai nyeri alih ini.
Teori convergence-projection mengemukakan bahwa aktivitas jalur spinal ascending salah
menanggapinya sebagai nyeri struktur somatik karena pengalaman nyeri somatik
sebelumnya. Ketika struktur somatik terlibat pada keganasan viseral, lokalisasi nyeri yang
lebih lanjut kemudian terjadi. Hiperalgesia lokal bisa terjadi pada daerah alih. Ini akibat
kombinasi sensitisasi sentral oleh input noksius viseral kontinyu dan mekanisme algogenik
perifer.
Nyeri Kanker Neuropatik (6,8,9)
Nyeri neuropatik dihasilkan oleh kerusakan atau inflamasi sistem saraf, baik perifer maupun
sentral. Nyeri neuropatik dicirikan oleh nyeri seperti terbakar dengan rasa tertusuk-tusuk
yang intermitten, hiperalgesia dan allodinia. Hubungan antara mekanisme dan gejala klinis
agak kompleks. Mekanisme yang mendasari mungkin berbeda untuk beberapa simptom,
sementara beberapa mekanisme bisa memperlihatkan gejala klinis yang berbeda.

Peregangan Serabut Saraf Sensorik yang Diinduksi oleh Tumor (4,6,7,8)


Tumor tidak banyak diinervasi oleh neuron sensorik. Pertumbuhan tumor yang sangat cepat
sering menjepit dan menyebabkan trauma saraf, menimbulkan trauma mekanik, kompresi,
iskemik atau proteolisis. Enzim proteolitik yang diproduksi oleh sel tumor juga bisa
mengenai serabut saraf sensorik dan simpatis, menyebabkan nyeri neuropatik. Meski
mekanisme nyeri neuropatik belum dipahami jelas, namun beberapa terapi berhasil
mengontrol nyeri neuropatik non-kanker. Contohnya, gabapentin, yang mungkin bermanfaat
pula dalam menangani nyeri kanker neuropatik.

Mekanisme Nyeri Neuropatik (6,8)


Firing spontan nosiseptor serabut saraf C dan penurunan ambang mekanoreseptor serabut
saraf Aβ terjadi setelah trauma saraf. Setelah trauma saraf, saluran Natrium terakumulasi baik
pada daerah yang trauma maupun sepanjang akson. Saluran natrium ini membentuk fokus
hipereksitabilitas yang menghasilkan pelepasan aksi potensial ektopik pada akson dan badan
saraf dari serabut saraf. Aktivitas simpatis juga berperan dalam mekanisme nyeri spontan.
Ekspresi a-adrenoreseptor pada akson yang trauma maupun tidak trauma dapat terjadi setelah
trauma saraf, menyebabkan reseptor ini sensitif terhadap katekolamin. Trauma saraf dapat
menginduksi pertumbuhan akson simpatis disekitar neuron sensorik pada dorsal root
ganglion. Neuron kornu dorsalis berperan sebagai “gate-keepers” terhadap transmisi
nosiseptif, menerima baik input eksitatorik dari neuron sensorik maupun input inhibisi dari
medulla spinalis dan di atasnya. Trauma saraf perifer dapat mengurangi kontrol inhibisi
terhadap neuron kornu dorsalis melalui berbagai mekanisme. Ini bisa terjadi oleh firing
spontan dari neuron kornu dorsalis atau respon yang berlebihan terhadap stimuli noksius.
Sensitisasi sentral adalah mekanisme penting hiperalgesi dan allodinia. Ada dua mekanisme
tambahan untuk allodinia. Trauma saraf perifer menginduksi sprouting ujung sentral serabut
saraf Aβ ke lamina II, yang normalnya hanya menerima informasi nosiseptif dari serabut
saraf C. Akibatnya, informasi low-threshold dari serabut saraf besar aferen Aβ yang
normalnya dipersepsikan sebagai sentuhan kemudian mengalami salah interpretasi oleh
sistem saraf sebagai nyeri. Trauma saraf perifer juga bisa menyebabkan ekspresi
neuropeptida yang biasanya terlibat pada nosisepsi seperti substansi P dan calcitonin-gene-
related peptida pada serabut saraf Aβ, fenomena yang disebut phenotypic switch.
Selanjutnya, serabut saraf Aβ, saat stimulasi dengan stimuli low-threshold, akan melepaskan
substansi P di kornu dorsalis sehingga menimbulkan keadaan hipereksitabilitas sentral yang
normalnya dihasilkan hanya oleh input nosiseptif.

Sindroma Nyeri Neuropatik yang Umum Pada Pasien Kanker


Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri neuropatik akibat kemoterapi
khususnya sangat mengganggu kualitas hidup penderita, dan penggunaan obat sitostatika
semakin dikenal menyebabkan neuropati perifer. Mekanisme agen kemoterapi (seperti
paclitaxel dan vinkristin) menyebabkan neuropati perifer diantaranya karena kemampuan
mereka merusak fungsi tubulin. Polimerisasi tubulin penting untuk transport aksonal dari
faktor tropik, dan obat-obat yang terkait proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron
sensorik serta pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamatorik yang secara langsung mensensitasi
nosiseptor aferen primer. Palitaxel yang diberikan pada tikus menyebabkan neuropati perifer
yang mirip pada manusia, termasuk hiperalgesia dan allodinia. Meski tidak ada degenerasi
yang terlihat pada dorsal root ganglia atau kornu dorsalis, edema endoneural juga terlihat
pada pemeriksaan dengan mikroskopik elektron pada nervus schiatic. Pada penelitian
neuropati perifer yang diinduksi oleh vinkristin pada tikus, didapatkan hiperalgesia dan
perlambatan penghantaran serabut saraf sensorik. Pada penelitian lain dengan vinkristin,
neuron sensorik berdiameter besar menjadi bengkak, dan neurofilamen pada badan sel saraf
dan akson meningkat jumlahnya, menandakan kerusakan transport aksonal anterograde.(4,10)
Cisplatin (Platinol), ifosfamide (Ifex), paclitaxel, and vinkristin telah diketahui menyebabkan
neuropati perifer. Tambahan, oxaliplatin (Eloxatin) yang diberikan secara parenteral
menyebabkan allodinia dingin yang akut saat pertama kali diinfus. Pasien merasakan
nyeri dan kram ketika mengangkat minuman dingin. Ini mungkin diikuti dengan neuropati
persisten, mirip dengan yang diinduksi oleh agen kemoterapi yang lain. Kebanyakan
neuropati yang diinduksi kemoterapi bergantung pada dosis. Pasien kanker dengan neuropati
perifer sebelumnya akibat kondisi lain, yaitu diabetes, penyakit pembuluh darah iskemik,
atau defisiensi nutrisi, beresiko besar menderita neuropati perifer setelah kemoterapi.
Pengobatan dengan ciprofloksasin, ethambutol, gentamisin, isoniazid, metronidazol, fenitoin,
dan statin juga meningkatkan resiko neuropati perifer. (4,6,10)
Sindroma nyeri neurologis yang berhubungan dengan tumor antara lain :
1. Nyeri akibat infiltrasi tumor pada tulang. Metastase pada basis tengkorak
sering didapatkan pada pasien tumor nasofaring. Nyeri adalah keluhan awal dan
tanda-tanda neurologis dapat muncul dalam beberapa minggu atau bulan. Sindroma
foramen jugular berhubungan dengan nyeri occipital yang diteruskan ke verteks
kepala dan bahu ipsilaterl serta lengan dan diperberat oleh gerakan kepala. Gejala
klinis bervariasi sesuai saraf kranialis yang terlibat antara lain suara serak, disartria,
disfagia, kelemahan leher dan bahu, serta ptosis. Metastse pada klivus ditandai
dengan nyeri kepala verteks yang diperberat fleksi leher. Metastase sinus sphenoid
dicirikan oleh nyeri kepala bifrontal dan nyeri retro-orbital intermitten. Fraktur
prosessus odontoid dengan kanker biasanya ditemukan akibat destruksi atlas.
Biasanya, pasien mengeluh nyeri leher berat dan kekakuan tanpa tanda-tanda
kompresi epidural. Nyeri biasanya merambat melalui aspek posterior tengkorak ke
verteks dan diperberat dengan gerakan leher, khususnya fleksi leher. Jika tidak
terdiagnosa lebih awal, kerusakan saraf irreversibel dapat terjadi dan pasien bisa
mengalami paraplegia dan quadriplegia.10
2. Nyeri akibat infiltrasi tumor pada saraf. Nyeri akibat infiltrasi tumor ke saraf,
pleksus dan meanings bisa disebabkan oleh infiltrasi langsung pada saraf, kompresi
atau fraktur metastatik struktur tulang ke saraf atau akar saraf. Saraf perifer sering
diinfiltrasi oleh tumor yang mengenai interkostal, paravertebral, atau rongga
retroperitoneal. Didapatkan nyeri terbakar dengan dysthesia pada daerah yang hilang
sensoriknya. Nyeri bersifat radikular dan cenderung unilateral. Sindroma pancoast
merupakan contoh infiltrasi tumor pada pleksus brachial dan sering didapatkan pada
pasien kanker payudara, limfoma, dan kanker paru. Nyeri dirasakan di daerah bahu
dan daerah paraspinal. Lima puluh persen pasien dengan sindroma Pancoast
mengalami kompresi epidural dalam perkembangan penyakitnya. Pleksopati
lumbosakral akibat tumor pelvik menyebabkan kelemahan tungkai dan penurunan
mobilitas.10
Tabel 1. Penyebab umum nyeri pada pasien dengan kanker (6,10)
PENILAIAN DAN PEMERIKSAAN NYERI KANKER (5,6,7,9,11)
Dalam menangani pasien nyeri dengan kanker, perlu diidentifikasi sifat nyeri (somatik,
viseral, neuropatik). Telah diketahui bahwa pendekatan farmakologik merupakan terapi
utama, namun harus diketahui pula pentingnya pendekatan psikologik, tingkah laku,
anestetik, dan pembedahan pada pasien kanker.
Prinsip strategi terapi pada pasien kanker harus meliputi : (a) pemeriksaan yang detail
mengenai nyeri pasien, (b) pendekatan terapi sesuai individu, (c) jaminan mengenai
tersedianya tenaga ahli yang mendukung terapi pasien, (d) penilaian kontinyu derajat
perbaikan nyeri dan efeknya terhadap mood, status fungsional, penerimaan pasien dan
keluarga, serta kualitas hidup keseluruhan pasien, (e) memilih pendekatan terapi yang paling
mudah sebelum terapi yang lebih kompleks dan teknik yang lebih lanjut, (f) komunikasi
antara dokter dan pasien dalam menentukan pilihan terapi serta mempertimbangkan manfaat
dan kerugian terapi, (g) menentukan tujuan penatalaksanaan nyeri pada pasien paliatif.
A. Penilaian intensitas dan sifat nyeri
1. Onset
 Kapan nyeri bermula?
 Seberapa sering terjadinya? Apakah intensitasnya berubah?
2. Lokasi
 Dimana lokasi nyeri?
 Apakah lebih dari satu tempat?
3. Deskripsi
 Bagaimana rasa nyerinya?
 Kata-kata apa yang anda gunakan untk menggambarkan nyerinya?
4. Intensitas
 Pada skala 0-10, dimana 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah paling nyeri, anda berada
pada skala berapa sekarang? Bagaimana skala nyerinya pada saat anda rasakan paling berat?
Bagaimana skala nyerinya saat anda merasa paling baik?
5. Faktor yang mengganggu dan membuat nyaman
 Apa yang membuat nyeri anda makin berkurang?
 Apa yang membuat nyeri anda makin bertambah?
6. Terapi sebelumnya
 Apa terapi yang sebelumnya anda dapatkan untuk menyembuhkan nyeri ini?
 Apakah usaha tersebut efektif?
7. Efek
 Bagaimana nyeri ini mempengaruhi fungsi fisik dan sosial anda?

Gambar 4. Skala Intensitas Nyeri (11)


B. Penilaian Psikososial 11
1. Efek dan pemahaman mengenai diagnosis kanker dan terapi kepada pasien.
2. Arti nyeri bagi pasien dan keluarga.
3. Cara pasien berespon terhadap stress atau nyeri.
4. Pemahaman, keingintahuan, pilihan dan harapan pasien mengenai metode
terapi nyeri kankernya.
5. Perhatian pasien mengenai obat-obat yang dibawah pengawasan seperti
opioid, anti anxietas, atau stimulant.
6. Efek ekonomi nyeri dan terapinya.
7. Perubahan mood yang terjadi akibat nyeri. (seperti depresi, kecemasan)
C. Pemeriksaan fisik dan neurologik 11
1. Memeriksa daerah yang nyeri dan mengevaluasi bentuk nyeri alih yang
umum.
2. Melakukan evaluasi neurologik yang umum.
 Nyeri kepala dan leher – evaluasi nervus kranialis dan fundoskopi.
 Nyeri belakang dan leher –fungsi motorik dan sensorik ekstremitas; fungsi spinkter
rektum dan saluran urogenitalis.
D. Evaluasi diagnostik 11
 Evaluasi rekurensi atau progresi penyakit atau trauma jaringan akibat terapi kanker.
 Petanda tumor dan tes darah yang lain.
 Pemeriksaan radiologis.
 Pemeriksaan neurofisiologik (seperti, electromyografi).
 Melakukan pemeriksaan radiologik yang sesuai dan melihat korelasi normal atau
tidak normal dari temuan pemeriksaan fisik dan neurologik. Mengetahui keterbatasan
pemeriksaan diagnostik.
 Bone scan – negatif palsu pada myeloma, lymphoma, daerah yang telah
mendapat radioterapi sebelumnya.
 CT scan – gambaran yang jelas pada tulang dan jaringan lunak namun sulit
untuk menggambarkan keseluruhan tulang belakang.
 MRI scan – gambaran tulang tidak sebaik CT; namun untuk tulang belakang
dan otak lebih bagus.
Strategi terapi yang baik membangun kepercayaan antara pasien dan dokter. Pada
pemeriksaan awal, status psikologik pasien harus dievaluasi, antara lain sejarah psikiatrik
pasien, tingkat kecemasan atau depresi saat ini, adanya ide bunuh diri, atau derajat kapasitas
fungsional. Gejala psikiatrik merupakan tanda nyeri tak terkontrol. Nyeri tak terkontrol
adalah faktor utama pasien kanker ingin bunuh diri. 6
Penggunaan beberapa skala seperti Brief Pain Inventory, McGill Pain Questionnaire,
Memorial Pain Assessment Card (MPAC), dan Memorial Symptom Assessment Scale
(MSAS) memungkinkan penilaian nyeri dan mood yang berulang dan valid serta
memberikan fasilitas kepada tenaga kesehatan dalam menilai derajat nyeri psikis tekanan
emosional pada pasien. 6
Mengendalikan nyeri kanker penting karena nyeri yang tak teratasi menyebabkan penderitaan
karena nyeri membatasi aktivitas, selera makan, dan tidur, selanjutnya membuat pasien lemah
dan tidak berdaya. Efek psikologisnya sangat menghancurkan karena menghilangkan
semangat dan harapan hidup pasien. Kerugian biaya nyeri kanker sangat tinggi akibat
penderitaan pasien, keterbatasan aktivitas dan penurunan kualitas hidup. Penatalaksanaan
nyeri kanker merekomendasikan pendekatan farmakologik dan nonfarmakologik secara
agresif pada pasien ini.6,9

PENATALAKSANAAN NYERI KANKER (11)


Manfaat dan kerugian berbagai modalitas terapi nyeri

Terapi Farmakologik (12,13,14,15)


Pada tahun 1986, Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model konseptual 3-
langkah untuk memandu penatalaksanaan nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang
telah teruji dan sederhana untuk seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik.
Saat ini, terdapat konsensus yang menyeluruh mengenai penggunaan terapi medis dengan
model ini untuk seluruh nyeri.
Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri. Untuk
nyeri ringan (sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri
sedang (4-6/10), dimulai pada langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi
konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh
aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10), dimulai pada langkah ke-3. Tidak
perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan nyeri berat mungkin bisa
langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin.
Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai farmakologi,
akibat yang mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan dengan
analgesik yang diberikan, dan bagaimana efek ini berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Lima konsep penting dari pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien nyeri kanker :
 By the mouth.
 By the clock.
 By the ladder.
 For the individual.
 With attention to detail.

Gambar 5. Three-Step Analgesic Ladder oleh World Health Organization.(12)


Analgesik Langkah ke-1
Analgesik pada langkah ke 1 memiliki “ceiling effect” terhadap efek analgesia mereka (dosis
maksimum yang terlampaui menyebabkan hilangnya efek analgesia yang diharapkan).
Asetaminofen. Asetaminofen adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Asetaminofen juga
analgesik tambahan yang sangat berguna pada berbagai keadaan, termasuk sakit kepala.
Asetaminofen merupakan analgesik dan antipiretik poten namun tidak memiliki sifat anti
inflamasi yang signifikan. Tempat dan mekanisme kerjanya masih belum jelas namun
dianggap memiliki efek sentral. Dosis kronik > 4.0 g/24 jam atau dosis akut 6.0 g/24 jam
tidak direkomendasikan sebab bersifat hepatotoksik. Penyakit hepar atau pengguna alkohol
berat meningkatkan resiko lebih lanjut. 12
Flower dan Vane pertama mempostulasikan bahwa parasetamol memiliki mekanisme kerja
sentral. Besarnya sensitivitas sel-sel yang mengandung COX-3 terhadap parasetamol
dianggap sebagai indikasi bahwa target kerja parasetamol adalah pada COX-3. COX-3 pada
manusia terdiri dari 633 asam amino. Cyclooxygenase-3 (COX-3) adalah varian COX-1 .
Ekspresi mRNA COX-3 didapatkan terutama pada hypothalamus, pituitary, dan pleksus
koroid, tempat yang merupakan target kerja parasetamol. Parasetamol memiliki efek dominan
pada sistem saraf pusat karena kadar peroksida dan asam arakhidonik pada otak lebih rendah
dibanding pada daerah perifer yang mengalami inflamasi.14

Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid. Obat-obat anti-inflamasi non steroid (AINS, termasuk


aspirin) adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Obat-obat AINS bekerja, pada suatu
bagian menghambat siklo-oksigenase, enzim yang mengubah asam arakhidonik menjadi
prostaglandin. Prostaglandin adalah lipid pro-inflamatorik yang terbentuk dari asam
arakhidonik oleh kerja enzim cyclooxygenase (COX) dan produk sintetase akhir lain.
Prostaglandin terlibat pada sensitisasi dan/atau eksitasi langsung nosiseptor dengan melekat
pada beberapa reseptor prostanoid yang diekspresikan oleh nosiseptor. Dua bentuk COX
terlibat pada sintesis prostaglandin,yaitu COX 1 yang diekspresikan oleh kebanyakan
jaringan, dan COX 2 yang diekspresikan hanya pada kondisi inflamasi. Sel-sel kanker dan
makrofage akibat tumor memperlihatkan level COX 2 yang tinggi, menyebabkan produksi
prostaglandin yang tinggi pula.4,
Masalah pada penggunaan inhibitor COX 1 dan COX 2 pada terapi nyeri kanker yaitu bahwa
COX 1 menjaga mukosa normal gaster dan dengan menginhibisinya (misal: aspirin dan
ibuprofen yang menginhibisi keduanya) menyebabkan perdarahan dan ulkus. Inhibitor
selektif COX 2 sebaliknya, tidak menyebabkan komplikasi GI. COX 2 berkaitan dengan
angiogenesis dan pertumbuhan tumor, sehingga penggunaan inhibitor COX 2 dalam nyeri
kanker bisa memperlambat progresi kanker. Sifat antagonis COX 2 tampaknya menjanjikan
dalam mengurangi nyeri kanker, meski penelitian lebih lanjut dibutuhkan dalam melihat kerja
COX 2 pada berbagai macam kanker. Namun, penelitian terkini mengatakan bahwa efek
protrombotik yang dimiliki inhibitor COX2 bisa meningkatkan resiko MI, stroke, dan
klaudikasio pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Tampaknya efek ini berhubungan
dengan lama penggunaan dan dosis yang diberikan. 4,9,12,13
Dengan inhibisi cyclooxigenase, gastropati, gagal ginjal, dan penghambatan agregasi platelet
dapat terjadi, tidak tergantung rute pemberiannya, dengan medikasi nonselektif
apapun. Meski demikian, beberapa obat seperti ibuprofen, nabometon, dan yang lain-lain
tampaknya relatif lebih aman. Obat sitoproteksi gaster seperti misoprostol atau PPI mungkin
perlu pada pasien dengan faktor resiko riwayat perdarahan atau ulkus pada gaster,
mual/muntah, habisnya protein tubuh, kaheksia, dan untuk pasien usia tua. Untuk
meminimalkan resiko gagal ginjal, termasuk nekrosis papiler, pastikan hidrasi yang adekuat
dan produksi urine yang cukup pada pasien dengan obat AINS. Medikasi nonselektif adalah
kontraindikasi relatif pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Jika ada masalah perdarahan,
atau fungsi koagulasi atau platelet terganggu maka obat AINS menjadi kontraindikasi.
Inhibitor selektif COX-2 yang baru mengurangi toksisitas ini dan mungkin diindikasikan
pada pasien dengan resiko tinggi. 12,15,16

Analgesik Langkah ke-2 dan ke-3.


Analgesik langkah ke-2 dan ke-3 melibatkan penggunaan opioid.
 Farmakologi Opioid. Opioid, kodein, hidrokodon, hidromorfon, morfin, oksikodon,
dll, semuanya memiliki farmakologi dan farmakologi yang nyaris sama. Obat-obat ini
mencapai konsentrasi puncak dalam plasma kurang lebih 60-90 menit setelah pemberian
oral (termasuk personde) atau rektal, dan 30 menit setelah pemberian subkutan atau injeksi
intramuskular. Injeksi intravena mencapai Cmax segera namun efek puncaknya agak lambat
dan bervariasi berdasarkan opioidnya, butuh waktu 10-20 menit dengan morfin. Telah
diketahui secara umum bahwa efek analgesik dan sedasi adalah konstan pada waktu yang
sama. Mereka tereliminasi dari tubuh secara langsung dan jalurnya telah diketahui, sesuai
dengan dosinya. Hepar yang pertama mengkonyugasikan mereka. Kemudian ginjal
mengekskresikan 90%-955 metabolit mereka. Jalur metabolit mereka tidak mengalami
saturasi. Setiap metabolit opioid memiliki waktu paruh (t1/2) yang bergantung pada bersihan
ginjal. Jika bersihan ginjal normal, maka kodein, hidrokodon, hodromorfon, morfin,
oksikodon dan metabolit mereka memiliki waktu paruh efektif sekitar 3-4 jam. Jika dosis
diulangi, konsentrasi plasma mereka mendekati “steady state” setelah 4 hingga 5 jam. Oleh
karena itu, konsentrasi plasma “steady state” biasanya dicapai dalam sehari. 12,16,17
 Dosis oral rutin-sediaan opioid lepas-segera. Jika opioid oral lepas-segera dipilih
dan nyeri masih terus berlangsung, atau hampir tiap saat, beri sediaan obat q 4 h. Kontrol
nyeri terbaik mungkin tercapai dengan tercapainya dosis yang memadai dalam sehari (dengan
tercapainya “steady state”). Memberikan sediaan pada pasien dengan dosis-dosis
terbagi yang sama dapat digunakan ketika terjadi “breakthrough pain” (rescue dose). Jika
nyeri masih tidak dapat terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan dosis mulai 25% hingga
50% untuk nyeri ringan hingga sedang, mulai 50% hingga 100% untuk nyeri berat sampai
nyeri tak terkontrol, atau sejumlah dengan dosis total “rescue medication” yang digunakan
dalam 24 jam sebelumnya. Jangan menunggu lama. Penundaan justru memperlama derita
nyeri pasien. Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis (seperti pada
“crescendo pain”), tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga nyeri menjadi
lebih terkontrol. 12,17,18
 Dosis inisial untuk nyeri konstan : Morfin
1. Untuk pasien yang relatif pertama dengan opioid dan nyeri signifikan,
mulailah dosis 10 hingga 30 mg dengan tablet atau cairan konsentrasi morfin oral
lepas-segera q 4 h, atau
2. Untuk pasien dengan pemaparan opioid yang signifikan sebelumnya,
hitunglah dosis awal untuk opioid lepas-segera dengan tabel analgesik lain yang
sepadan (untuk memulai opioid baru , kita harus megulang kembali dosis ini
seperlunya) dengan dosis q 4 h, atau
3. Untuk pasien dengan nyeri yang stabil dan tidak berat, mulailah dengan
morfin oral “extended release” pada dosis 15 atau 30 mg dua kali sehari atau 30 hingga
60 mg sekali dalam sehari (berdasarkan formulasi). Selanjutnya, jelaskan mengenai
“breakthrough” atau “rescue dose” yaitu 10% (5-15%) dari dosis total tiap 24 jam dan
dapat digunakan q 1 h po prn. Pada pasien rawat jalan, mintalah pada pasien dan
keluarganya untuk mencatat obat-obatan yang mereka dapatkan dalam sebuah catatan
harian. 12,16
 Dosis oral rutin : Sediaan opioid “extended-release” dan sediaan dengan waktu-
paruh yang panjang. Sebagian kecil pemberian dosis formulasi opioid “extended” atau
“sustained-release” dengan waktu paruh yang panjang (seperti ms contin, t1/2 >>12-24 jam,
kadang lebih lama) tampaknya meningkatkan keinginan dan ketergantungan pasien. Tablet
opioid “extended” atau “sustained-release” diformulasikan khusus dengan kontrol waktu per
8, 12, atau 24 jam (berdasarkan produk). Mereka harus diminum seluruhnya, tidak
dihancurkan atau dikunyah. Kapsul “extended-release” mengandung butir-butir yang
dilepaskan sesuai waktu dan ditelan seluruhnya, atau butiran tersebut dapat dicampur dengan
air atau dimasukkan dalam sonde selang lain menuju traktus GI. Kontrol nyeri yang paling
baik jika dosis telah tercapai dalam 2 hingga 4 hari (ketika “steady state” telah tercapai).
Dosis “extended-release” sebaiknya tidak diubah lebih dari sekali dalam 2-4 hari. (6,12,16)
Metadon memiliki waktu-paruh yang panjang dan bervariasi. Meski waktu paruhnya biasa
mendekati sehari atau lebih lama, interval dosis yang efektif untuk analgesia
biasanya dengan frekuensi q 8 h; kadang q 6 h, bahkan sampai q 4 h. Keanekaragaman
waktu-paruh dan potensi yang tidak diharapkan kadang didapatkan dengan obat ini, maka
perlu untuk meningkatkan dosis hanya tiap 4 hingga 7 hari atau sedikit lebih sering.12,18
 Mengubah menjadi sediaan “extended-release” : Morfin. Untuk mengubah menjadi
sediaan “extended-release”, hitung dosis morfin total yang dibutuhkan untuk mencapai
kenyamanan pasien dalam periode 24 jam. Juga dapat dibagi 2 untuk mendapat morfin
“extended release” dosis per 12 jam secara rutin, atau memberi dosis total satu kali dalam
sehari (tergantung produknya). Selalu berikan berikan “breakthrough dose” lepas-segera
dalam bentuk tablet atau cairan terkonsentrasi. Berikan 10 % (5-15 %) dari dosis 24 jam q 1 h
po prn. Monitor dengan ketat dan titrasi sesuai kebutuhan.12,13,17
 “Breakthrough pain”. Bahkan ketika nyeri kronik terkontrol baik dengan opioid
kerja panjang, breakthrough pain dapat terjadi, dnegan episode yang cepat, dalam 3-5 menit,
atau lebih lama. Ketidaknyamanan bisa berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam.
Umumnya pasien menggambarkan breakthrough pain dalam skala intensitas 4/10 atau lebih.
Nyeri tipe ini bisa terjadi beberapa kali sehari. Tipenya antara lain:
1. Nyeri insiden, disebabkan oleh aktivitas. Misal pada fokus di panggul, pasien nyaman saat duduk namun
nyeri saat bangkit dari duduk.
2. Nyeri spontan, terjadi tanpa alasan jelas. Nyeri singkat ini terjadi tiba-tiba, bahkan saat pasien tidak
melakukan apapun.
3. End-of-dose failure, terjadi ketika efek obat kerja lama habis sebelum dosis selanjutnya. Contoh, pasien
mendapat sediaan per-12 jam, mulai jam 8 pagi, namun mulai jam 4 sore pasien merasa nyeri. Artinya, obat yang
diberikan seharusnya sediaan per-8 jam atau dosis rescue diantaranya.12,13,15
 “Breakthrough doses”. Nyeri berat yang muncul sesaat, disebut “breakthrough pain”
dapat terjadi baik pada saat istirahat dan bergerak. Ketika nyeri tersebut berlangsung lebih
dari beberapa menit, dibutuhkan analgesik ekstra, yaitu “breakthrough” atau “rescue doses”,
yang akan memberi tambahan terapi. Untuk lebih efektifnya dan meminimalkan efek yang
tidak diinginkan, gunakan sediaan opioid lepas-segera yang sama dan digunakan dengan
dosis rutin. Ketika metadon atau fentanil transdermal dipakai, sebaiknya digunakan pilihan
opioid kerja singkat, seperti morfin atau hidromorfon sebagai “rescue dose”. Untuk setiap
“breakthrough dose”, berikan 10 % (5-15 %) dari dosis 24 jam. Ketika efek
analgesik puncak berkorelasi dengan konsentrasi plasma puncak (Cmax), “breakthrough
doses” dapat diberikan saat Cmax telah tercapai. Sebagai catatan, kodein, hidrokodon,
morfin, oksikodon, dan hidromorfin memiliki kemiripan. Ekstra “breakthrough dose” dapat
diberikan satu kali tiap 1 jam dengan pemberian oral, sedikit dikurangi pada pasien lemah
atau orang tua (setiap 2 jam), setiap 30 menit jika diberikan subkutan atau intramuscular, dan
setiap 10-15 menit jika diberikan melalui intravena. Interval yang lama antara “breakthrough
doses” hanya memperlama derita nyeri pasien. (12,15,16,17)
 Meningkatkan dosis morfin (12,15)
1. Jika pasien membutuhkan lebih dari 2 hingga 4 “breakthrough doses” dalam
waktu 24 jam dari pemberian rutin, pertimbangkan untuk meningkatkan dosis sediaan
“extended release”.
2. Tentukan jumlah total morfin yang digunakan (rutin + breakthrough) dan
berikan dari total jumlah dalam dosis terbagi q 12 h atau q 24 h (berdasarkan
produknya).
3. Hitung ulang “breakthrough dose” sehingga dosis tersebut selalu 10 % dari
dosis total dan berikan q 1 h po.
Pada pasien dengan kanker, alasan paling utama untuk meningkatkan dosis adalah patologi
yang makin memburuk, bukan karena toleransi farmakologik.
 Perhatian terhadap klirens. Opioid dan metabolitnya diekskresi secara primer
melalui ginjal (90 %- 95 %). Morfin memiliki 2 metabolit utama : morfin-3-glukoronide dan
morfin-6-glukoronide. Sebagai akibatnya, ketika dehidrasi atau gagal ginjal akut dan kronik
merusak klirens ginjal, interval dosis untuk morfin harus ditingkatkan, atau jumlah dosis
dikurangi, untuk mencegah akumulasi berlebihan dari obat yang aktif. Jika produksi urine
minimal (oligouria) atau tidak ada (anuria), hentikan dosis rutin dan berikan morfin hanya
sesuai kebutuhan. Hal ini paling sangat penting ketika pasien sekarat. Hal ini tidak menjadi
sepenting pada pemberian opioid lain seperti hidromorfon atau fentanil. Metabolisme opioid
tidak terlalu sensitive terhadap hepar. Namun demikian, jika fungsi hepar memburuk,
tingkatkan interval dosis atau turunkan dosis.6,15,16,18
 Tidak direkomendasikan. Tidak semua analgesik yang ada sekarang
direkomendasikan untuk dosis akut atau kronik. Meperidin sangat sedikit diabsorbsi melalui
oral dan memiliki waktu paruh sekitar 3 jam. Metabolit utamanya, normoperidin, tidak
memiliki sifat analgetik, dengan waktu paruh sekitar 6 jam, diekskresi di renal, dan memberi
efek yang tidak diinginkan jika terakumulasi (rasa bergetar, disforia, mioklonus, dan kejang).
Dosis rutin meperidin q 3 h untuk analgesia mengakibatkan akumulasi tak dapat dicegah dan
memberi resiko munculnya efek yang tidak diinginkan pada pasien, khususnya jika klirens
ginjal terganggu. Oleh karena itu, meperidin tidak direkomendasikan untuk dosis rutin.
Propoxyphene khususnya diberikan pada dosis tertentu untuk menghasilkan sedikit analgesia.
Peningkatan dosis dapat menyebabkan akumulasi metabolit toksik. Campuran agonis dan
antagonis opioid, seperti pentazocine, butorphanol, nalbuphine, dezocine, sebaiknya tidak
digunakan pada pasien yang baru saja mendapat agonis opioid murni (kodein, hidrokodon,
hidromotfon, metadon, morfin, oksikodon). Jika digunakan bersama-sama, kompetisi pada
reseptor opioid dapat menyebabkan reaksi withdrawal. Lebih jauh lagi, agonist-antagonist
tidak direkomendasikan sebagai analgesik rutin, karena dosis mereka dibatasi oleh ceiling
effect. Penggunaan pentazocine dan butorphanol berhubungan dengan resiko tinggi relatif
psikotomimetik. 12,13,15,18
Persepsi bahwa pemberian analgesik opioid untuk penanganan nyeri menyebabkan adiksi
adalah sebuah mitos tidak sesuai yang menghambat kontrol nyeri yang adekuat. Kebingungan
mengenai perbedaan antara adiksi, toleransi dan ketergantungan fisik adalah adalah hal yang
bertanggung jawab terhadap persepsi ini. 19,20
 Adiksi , adalah istilah yang saat ini digunakan, merupakan fenomena yang kompleks.
Ini ditandai oleh ketergantungan psikologik terhadap obat-obat dan kumpulan tingkah laku
yang diakibatkan Penggunaan obat berulang dan terus-menerus, meski diketahui
menimbulkan bahaya. Perhatian harus diberikan untuk membedakan adiksi yang sebenarnya
(gangguan penggunaan obat-obatan) dari pemakaian obat dengan tujuan kriminal, disfungsi
psikologik/keluarga/tingkah laku, dan pseudoadiksi.19,20
 Pseudoadiksi, adalah tingkah laku pasien serupa dengan tingkah laku adiktif
(mengumpulkan obat-obat, mencari resep-resep dari berbagai dokter, selalu meminta
pengobatan yang berulang-ulang) namun akibat penanganan nyeri yang kurang memadai.
Tingkah laku ini hilang dengan penanganan yang sesuai. 12,19,20
 Toleransi farmakologik, adalah berkurangnya keefektifan dosis obat yang diberikan
dari waktu ke waktu. Toleransi terhadap efek samping diobservasi lebih sering dan lebih
disukai. Toleransi terhadap analgesia agak jarang secara klinis ketika opioid digunakan
secara rutin. Dosis-dosis mungkin stabil untuk waktu yang lama jika stimulus nyeri tidak
berubah. Jika dibutuhkan peningkatan dosis, lebih dicurigai terjadinya perburukan pennyakit
dibanding toleransi farmakologik.12,19,20
 Ketergantungan fisik, adalah akibat dari perubahan neurofisiologik yang terjadi
oleh adanya opioid eksogen. Outcome yang hampir sama terjadi akibat adanya
hormone eksogen dan obat-obat lain (beta-bloker, agonist α-2,dll). Withdrawal opioid yang
sangat cepat dapat terjadi dengan munculnya kumpulan gejala berupa takikardi, hipertensi,
diaphoresis, piloereksi, mual dan muntah, diare, sakit-sakit badan, nyeri perut, psikosis,
dan/atau halusinasi. Ketergantungan fisik tidak sama dengan adiksi. Ketergantungan fisik
bukan bagian dari adiksi. Terjadinya hal ini bukan berarti opioid tidak dapat dihentikan. Jika
stimulus nyeri menurun atau berhenti, dosis opioid biasanya dapat diturunkan sebanyak 50 %
atau lebih dalam 2 hingga 3 hari, dan akhirnya dihentikan. Jika dosis diturunkan terlalu cepat
dan kumpulan gejala pantangan muncul, perlu diberikan opioid untuk sementara, penanganan
dengan klonidin, atau dosis kecil benzodiazepine (seperti lorazepam) untuk meredakan
gejala. (12,19,20) Untuk menangani nyeri lebih efektif, dokter perlu memberi penjelasan pada
pasien, keluarga, dan pihak lain mengenai tidak perlu takut akan adiksi. Opioid sendiri tidak
menyebabkan ketergantungan psikologik. Adiksi adalah akibat yang sangat jarang dari
penanganan nyeri jika tidak ada riwayat penyalahgunaan obat. Karena pasien dengan riwayat
penyalahgunaan obat juga dapat mengalami nyeri, mereka berhak mendapatkan terapi nyeri
yang sesuai ketika terjadi nyeri. Kebanyakan pasien memerlukan pengawasan ketat terhadap
protokol dosis dan persetujuan sangatlah penting. Dokter yang tidak terbiasa dengan situasi
ini mungkin membutuhkan pertolongan dari dokter ahli penanganan nyeri dan/atau
penanganan adiksi.(12,19,20,21)
 Nyeri kurang responsif terhadap opioid. Jika pemberian dosis secara bertahap
memberikan efek yang tidak diinginkan, pertimbangkan salah satu dari pilihan berikut ini.
Efek samping dari suatu terapi, seperti psikostimulan, dapat membantu sedasi. Rute
pemberian yang lain atau opioid golongan lain mungkin efektif, tanpa beberapa efek
samping. Analgesik adjuvant dapat membantu meringankan kebutuhan opioid. Selalu
pertimbangkan pendekatan nonfarmakologik.12,13
 Pemeriksaan yang sedang berlangsung. Jika kontrol nyeri tidak adekuat, dosis
analgesik sebaiknya ditingkatkan hingga tercapai pemulihan nyeri. Sebaliknya dengan
asetaminofen dan obat AINS, tidak ada dosis maksimum untuk agonis opioid murni. Jika
efek yang tidak diinginkan tak dapat ditoleransi, analgesik alternatif atau rute pemberian
mungkin lebih efektif dalam mengontrol nyeri tanpa menghasilkan efek kebalikan yang
sama. Beberapa pasien juga akan mengalami nyeri spontan yang kurang atau perubahan pada
penyakit yang mendasarinya. Jika pasien mendapatkan kontrol nyeri yang baik pada dosis
opioid yang stabil, dan tidak mengalami efek samping yang tidak diinginkan (khususnya
mengantuk), maka pasien aman untuk mengendarai mobil. 12,13,21
Pada umumnya, rute melalui mulut paling kurang invasif dan paling nyaman dalam
pemberian opioid rutin. Meski demikian, beberapa pasien tertentu mendapatkan keuntungan
dari rute lain jika pemberian melalui oral tidak memungkinkan (akibat muntah, disfagia,
obstruksi esofagus) atau akibat efek samping yang tidak diinginkan (mual, pusing, dan
bingung). 6,12,16,21

Rute Lain dalam Pemberian Opioid (12,13,15,16,21)


 Pipa makanan enteral merupakan pilihan lain dalam memotong rute obstruksi
gastroesofageal. Pipa ini menghantarkan obat-obat menuju lambung hingga saluran cerna
bagian atas dimana obat-obatan memiliki farmakologi yang sama jika mereka diminum
melalui mulut.
 Pemberian transmukosal (mukosa buccal) dengan sediaan cairan lepas-segera yang
lebih terkonsentrasi, merupakan alternatif yang hampir sama dengan yang di atas, khususnya
pada pasien yang tidak dapat menelan. Rute ini khususnya efektif pada pasien yang sekarat.
Pemberian sediaan rektal lepas-segera atau lepas-lambat melalui rektal memilki farmakologik
yang mnyerupai sediaan oral.
 Tempelan transdermal merupakan rute alternatif dalam pemberian opioid untuk
pasien yang mendapatkan dosis opioid rutin yang stabil. Saat ini hanya sediaan fentanyl yang
diproduksi, sediaan ini agak berbeda dengan formula lepas-terbatas yang lain. Steady-state
equilibrium tercapai selama medikasi dengan tempelan, mengambil tempat pada subdermal,
dan memasuki sirkulasi pasien. Rata-rata, kontrol nyeri yang terbaik dicapai dalam 1 interval
dosis (misal, 3 hari) dengan efek puncak sekitar 24 jam. Efeknya biasa berlangsung selama
48 hingga 72 jam sebelum tempelan ini perlu diganti. Perhatian harus diberikan untuk
memastikan bahwa tempelan ini melekat dengan kulit pasien (hindari daerah yang berambut)
dan jangan dilepas saat mandi atau berkeringat.
 Pemberian parenteral dengan suntikan atau infus dapat lebih bermanfaat pada pasien
tertentu. Jika fungsi ginjal normal, berikan dosis bolus tiap 3 jam dan sesuaikan dosisnya tiap
12 hingga 24 jam ketika steady state tercapai. Dosis steady state sama efektifnya pada
pemberian subkutaneus, intravena, dan intramuskular. Meski demikian, pada pasien tertentu
yang naif terhadap opioid, pemberian intravena secara bermakna menyebabkan depresi napas
yang berlebihan dibanding pemberian dosis melalui IM atau SK. Hal ini sebagian disebabkan
oleh karena dosis IM/SK memiliki puncak konsentrasi yang lebih rendah dan mencapai
konsentrasi maksimalnya lebih lambat dan memungkinkan terbentuknya karbon dioksida
sebagai umpan balik depresi pernapasan. Jika rute prenteral digunakan untuk beberapa waktu,
pemberian infus kontinyu akan menghasilkan kadar dalam plasma yang lebih konstan,
menurunkan resiko efek samping, lebih dapat ditoleransi oleh pasien, dan membutuhkan
inetrvensi lebih sedikit dari staf profesional. Patient-controlled analgesia (PCA) telah terbukti
efektif dan dapat ditoleransi baik oleh pasien. Sementara infus intravena mungkin lebih
dipilih jika jalur intravena telah terpasang dan digunakan untuk obat yang lain, seluruh opioid
untuk pemberian parenteral dapat diberikan melalui subkutan tanpa menyebabkan
ketidaknyamanan sehubungan dengan pencarian tempat IV atau resiko yang sama akan
infeksi serius. Baik jarum ukuran 25 atau 27 dapat diberikan baik dengan dosis bolus maupun
infus. Jarum dapat tetap ditempat insersinya selama 7 hari atau lebih selama tidak terdapat
tanda infeksi atau iritasi lokal. Anggota keluarga dapat diajarkan cara menggantinya.
 Injeksi intramuskular tidak direkomendasikan. Dosis subkutaneus sedikit lebih
kurang nyeri dan sama efektifnya. Opioid intraspinal, epidural atau intratekal mungkin lebih
bermanfaat pada pasien tertentu yang mengalami nyeri pada bagian bawah tubuh, atau nyeri
yang tidak berespon baik terhadap terapi opioid sistemik rutin.12,18
 Efek pemberian bolus. Ketika dosis total opioid berubah dalam aliran darah,
beberapa pasien mengalami kantuk setengah hingga 1 jam setelah meminum obat dimana
kadar puncak plasma diikuti oleh nyeri hanya sesaat sebelum dosis selanjutnya adalah akibat
kadar plasama yang turun. Sindrom ini dikenal sebagai ”efek bolus”, hanya dapat diatasi
dengan mengganti formula lepas–lambat (oral, rektal atau transdermal) atau infus parenteral
kontinyu untuk menurunkan perubahan yang sangat drastis dalam konsentrasi plasma setelah
tiap dosis. 12
DOSIS EQUIANALGESIK DARI ANALGESIK OPIOID 9,12,16
Tabel 2. Dosis equianalgesik opioid (9,12)
 Mengubah rute pemberian. Ketika mengubah rute pemberian obat, tabel
equianalgesik merupakan pedoman yang bermanfaat dalam menentukan dosis
inisial. Metabolisme tahap pertama membutuhkan dosis oral yang lebih besar atau dosis
rektal untuk menghasilkan analgesia yang setara dengan dosis parenteral akan opioid yang
sama. Rekomendasi dosis equivalen menghadirkan kesepakatan yang didapatkan dari
beberapa kejadian yang terbatas jumlahnya, sehingga tabel-tabel ini hanya merupakan
pedoman, dan tiap pasien mungkin membutuhkan dosis yang perlu disesuaikan.12,13,16
 Toleransi - Silang Opioid. Sementara toleransi farmakologik dapat berkembang
dalam penggunaan opioid, toleransi mungkin tidak ditandai terhadap opioid lain. Toleransi-
silang inkomplit tampaknya berhubungan dengan perbedaan dalam struktur molekular tiap
opiod yang sulit dijelaskan dan cara masing-masing opioid berinteraksi dengan reseptor
opioid pasien. Sebagai akibatnya, ketika mengganti opioid, mungkin terdapat perbedaan
antara dosis equianalgesik yang dipublikasikan dari beragam opioid dan rasio efektif yang
diberikan pada pasien. Mulai dengan 50-75 % dari dosis equianalgesik opioid baru yang
dipublikasikan untuk mengatasi toleransi –silang inkomplit dan variasi individual, khususnya
jika pasien memiliki nyeri yang terkontrol. Jika pasien menderita nyeri sedang hingga berat,
jangan mengurangi dosisnya. Jika pasien mengalami efek samping, kurangi sedikit dosisnya.
Pengecualian yang penting adalah terhadap methadone, yang tampaknya memiliki potensi
yang lebih tinggi dari yang diharapkan pada pemberian yang lama jika dibandingkan dengan
dosis equianalgesik yang dipublikasikan untuk pemberian dosis akut. Mulailah dengan 10-25
% dari dosis equianalgesik yang dipublukasikan dan titrasi sepperlunya untuk mencapai
kontrol nyeri. Ketika mengalihkan pasien dari opioid dosis tinggi ke methadone, carilah saran
dari rekan yang pakar dibidang perawatan paliatif dan nyeri. 12,19,20,21
Analgesik Adjuvant
Analgesik adjuvan (atau koanalgesik) adalah obat-obat yang, ketika ditambahkan ke
analgesik primer, akan jauh lebih meningkatkan kontrol nyeri. Mereka sendiri juga dapat
sebagai analgesik primer (seperti, obat-obat trisiklik antidepresan untuk neuralgia
postherpetik). Obat-obat ini dapat ditambahkan dalam penatalaksanaan nyeri pada setiap
langkah anak tangga terapi nyeri menurut WHO. 6,12,13,17
 Nyeri neuropatik terbakar. Nyeri neuropatik kadang membutuhkan analgesik
adjuvan terhadap opioid agar nyeri tertangani secara adekuat. Untuk pasien-pasien yang
menggambarkan nyeri mereka dengan perasaan terbakar dengan atau tanpa hilang rasa,
pilihan obat ajuvannya termasuk antidepresan trisiklik, gabapentin atau SSRI. (6,12)
Amitriptylin adalah antidepresan trisiklik yang paling banyak dipelajari. Sangat berbeda
dengan efek antidepresannya, dosis rendah dimulai pada 10 hingga 25 mg melalui oral
sebelum tidur mungkin hanya efektif untuk beberapa hari. Dosis mungkin ditingkatkan setiap
4 hingga 7 hari hingga tercapai efek penyembuhan nyeri atau efek samping muncul. Mungkin
dibutuhkan dosis yang tinggi dan beberapa minggu untuk mengontrol nyeri. Kadar obat
dalam plasma dapat dimonitor untuk melihat resiko meningkatnya toksisitas pada dosis yang
lebih dari 100 mg/24 jam. Meskipun obat ini paling sering dipelajari untuk golongannya,
amitriptyline memiliki efek samping yang yang paling banyak karena aktivitas
antikolinergiknya yang prominen dan resiko toksisitas pada jantung. Meskipun efek sedasi
bisa sangat bermanfaat pada pasien yang juga mengalami kesulitan tidur, efek sampingnya ini
menyebabkan dibatasi penggunaannya pada pasien lemah dan usia tua. Sebaliknya,
desipramine trisiklik mempunyai efek antikolinergik atau efek sedasi yang lebih sedikit.
Dosisnya sama dengan amitriptyline. Nortiptyline juga bisa lebih efektif dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit disamping amitriptyline.(6,12,16) Gabapentin juga efektif sebagai
adjuvan untuk segala tipe nyeri neuropatik. Gabapentin merupakan antikonvulsan yang bisa
mensupresi neuronal firing. Kebanyakan ahli memulai pada dosis rendah (100 mg po) dan
dosis ditingkatkan setiap 1 hingga 2 hari dengan 100 mg po qd hingga mencapai efeknya.
Beberapa pasien membutuhkan dosis lebih dari 3600 mg/hari. Efek samping tampaknya lebih
minimal. Sementara beberapa pasien mengalami kantuk dengan penambahan dosis, toleransi
tampaknya berkembang dalam beberapa hari jika dosisnya tetap stabil.(12)
 Nyeri neuropatik seperti tertusuk, seperti ditinju. Untuk nyeri episodik seperti
kesetrum, ditinju, tertusuk, golongan antikonvulsan gabapentin, karbamazepin, dan asam
valproik paling umum digunakan sebagai obat-obat adjuvan. Gabapentin mengalami
peningkatan dosis seperti yang dikemukakan di atas. Karbamazepin dimulai pada dosis 100
mg po bid ti tid dan ditingkatkan per 100 atau 200 mg tiap 5 hingga 7 hari hingga mencapai
efeknya. Asam valprioik dimulai pada dosis 250 mg qhs dan ditingkatkan per 250 mg setiap
7 hari dalam dosis terbagi hingga mencapai efek. Dengan meningkatnya dosis, pengawasan
kadar karbamazepin dan asam valproik dalam plasma dapat membantu untuk
memprediksikan meningkatnya resiko efek samping. (6,12,16)
 Nyeri neuropatik kompleks. Dengan berkembangnya kerusakan saraf, nyeri yang
yang dihasilkan menjadi bercampur aduk dan sangat sulit untuk ditangani. Kerusakan saraf
dan nyeri kronik dapat menyebabkan kematian neuron primer , hilangnya selubung mielin,
sensitisasi sentral, dan perubahan pada neurotransmiter dan neuroreseptor efektif, dan
bahkan kematian neuron sensorik. Dari waktu ke waktu, reseptor opioid bisa mengalami
regulasi yang menurun, menyebabkan opioid kurang efektif, dan reseptor NMDA (N-methyl-
d-aspartat) menjadi lebih berperan karena glutamat menjadi neurotransmiter yang bermakna.
Opioid dapat dihentikan atau dilanjutkan jika masih efektif sebagian. Kombinasi obat-obat
analgesik adjuvan mungkin dibutuhkan, termasuk antiaritmia oral, agonis alpha-2-adrenergik,
antagonis reseptor NMDA, kortokosteroid, dll. Pertimbangkan untuk mengkonsultasikan
kepada pakar yang menangani nyeri sesegera mungkin untuk meminimalkan penderitaan
pasien dan resiko kerusakan yang lebih jauh akibat nyeri itu sendiri.(6,10,12,13,16)
 Nyeri tulang. Nyeri tulang biasanya menyebabkan masalah yang konstan baik pada
saat istirahat dan memberat dengan bergerak. Prostaglandin diproduksi oleh inflamasi yang
sedang berlangsung dan/atau metastase yang dapat meningkatkan keparahan nyeri tulang.
Kompresi tulang belakang sebaiknya selalu dipertimbangkan ketika didapatkan nyeri tulang
belakang yang bermakna pada pasien dengan kanker metastatik. Opioid tetap menjadi terapi
utama penanganan nyeri tulang. AINS, kortikosteroid, biposfonat (seperti alendronate,
pamindronate), kalsitonin, radiofarmasi (seperti strontium, samarium), radiasi cahaya
external dapat memberikan efek tambahan yang bermakna. Ketika intervensi ortopedik
definitif tidak memungkinkan, bantuan mekanik eksternal (splint atau braces, dsb) dapat
membantu penyembuhan akibat nyeri yang sehubungan dengan pergerakan. (4,5,6,12,16)
 Nyeri akibat obstruksi pada usus. Obstruksi usus mekanik, akibat blokade internal
oleh konstipasi atau kompresi eksternal oleh tumor atau luka, dapat mengarah pada nyeri
abdomen yang bermakna akibat dinding abdomen yang meregang atau inflamasi. Nyeri
biasanya digambarkan bersifat konstan, tajam dan kaku. Nyeri biasanya bersamaan dengan
bloating, distensi, gas, atau bahkan mual/muntah. Pemulihan konstipasi atau pembedahan
atau bypass blokade eksternal mungkin bersifat defenitif; pada beberapa pasien, obstruksi
bersifat irreversibel. Meski beberapa orang mendapatkan opioid efektif dalam menangani
nyeri, beberapa orang membutuhkan obat-obat adjuvan untuk memulihkan ketidaknyamanan
mereka secara efektif. Kortikosteroid dan obat AINS mungkin bermanfaat. Obat-obat
antikolinergik (seperti skopolamine) atau oktreotide akan menurunkan volume cairan yang
akan memasuki usus halus, selanjutnya menyembuhkan ketegangan dan nyeri pada dinding
perut. Konsultasi yang lebih dini dengan pakar penanganan nyeri dan perawatan paliatif dapat
menurunkan kegagalan penanganan nyeri disamping menunggu intervensi definitif
selanjutnya. (12,13,15)
 Kortikosteroid. Kortikosteroid seringkali bermanfaat dan umumnya digunakan pada
penyakit-penyakit terminal. Mereka dapat lebih berguna untuk kompresi saraf yang akut,
peningkatan tekanan intrakranial, nyeri tulang, nyeri viseral (obstruksi dan/ atau distensi
kapsular), anoreksia, nausea, dan depresi mood. Dexamethason, dengan waktu paruh yang
panjang ( >36 jam) dan efek mineralokortikoid minimal, merupakan obat yang terpilih.
Kortikosteroid dapat diberikan sekali sehari dengan dosis 2 hingga 20 mg atau lebih. Psikosis
steroid sebaiknya dipertimbangkan jika didapatkan delirium agitasi. Miopati proksimal,
kandidiasis oral, hilangnya tulang, dan toksisitas lain mungkin terjadi dengan penggunaan
jangka lama namun masalahnya kurang pada pasien dengan penyakit terminal. 6,12,16
 Ketamin. Ketamin menunjukkan efek analgesia pada pasien kanker melalui infus
dengan dosis yang lebih rendah disbanding pada dosis anestesi (sekitar 0,1-1,5 mg/kg/jam).
Sebuah uji acak ganda yang mengevaluasi efek ketamin intratekal dengan kombinasi morfin
memperlihatkan bahwa ketamin meningkatkan efek analgesik dan menurunkan jumlah
morfin yang dipakai. Sebagai antagonis nonkompetitif NMDA, ketamin memperlihatkan
efektivitasnya pada nyeri neuropatik. Pemberian oral, subkutan dan intravena telah
dilaporkan pada pasien kanker namun belum ada penelitian mengenai dosis sesuai yang telah
ditentukan. (6)
Efek Samping Opioid (6,12,13,16,18,20)
Opioid memiliki banyak kemungkinan efek samping. Adiksi (ketergantungan psikologik),
toleransi, dan ketergantungan fisik tidak disebutkan diantara semua efek samping.
 Alergi opioid. Mual/muntah yang diinduksi oleh opioid, konstipasi, kantuk, atau
bahkan kebingungan bukan merupakan reaksi alergi, mereka merupakan efek samping. Salah
satu atau lebih efek dapat muncul pada dosis pertama, efek samping dapat ditangani lebih
mudah dan pasien biasanya mengalami toleransi farmakologik untuk semua namun
konstipasi dalam waktu yang relative singkat. Reaksi alergi sebenarnya atau anafilaktik
terhadap opioid jarang didapatkan. Urtikaria dan pruritus bisa merupakan efek langsung
opioid (lihat dibawah). Tidak mampu bernapas secara tiba-tiba, hipotensi atau tanda-tanda
lain anafilaksis sebaiknya dianggap serius, dan opioid penyebabnya diganti dengan opioid
lain dari kelas yang berbeda. Hives tidak dianggap sebagai reaksi alergi.
 Urtikaria, pruritus. Pada beberapa pasien, opioid menyebabkan urtikaria atau
pruritus. Efek ini diakibatkan oleh destabilisasi sel mast oleh opioid dan sebagian oleh
pelepasan histamine. Biasanya kemerahan dan pruritus dapat ditangani dengan pemberian
rutin antihistamin nonsedasi dengan kerja lama, sedangkan dosis opioid tetap dilanjutkan
(contoh; fexofenadine, 60 mg po bid; diphenhidramin, loratadin, doxepine, 10-30 mg po qhs).
 Konstipasi. Konstipasi sekunder akibat pemberian opioid hampir sering ditemukan.
Primernya merupakan efek opioid terhadap sistem saraf pusat, medulla spinalis, dan pleksus
mienterikus dari usus halus, dimana berakibat berkurangnya aktivitas motorik dan
peningkatan waktu transit defekasi. Kolon memiliki lebih banyak waktu dalam mengolah
isinya, menyebabkan terbentuknya defek yang besar dan keras serta sulit untuk dikeluarkan.
Faktor-faktor lain seperti dehidrasi, intake makanan yang buruk, pengobatan yang lain, dsb,
dapat menyebabkan memburuknya masalah. Toleransi terhadap konstipasi dapat berkembang
sangat lambat, jika yang lain telah terjadi. Ini membutuhkan antisipasi dan penatalaksanaan
yang berlanjut. Intervensi diet sendiri (contoh, peningkatan cairan dan serat) kadang tidak
memadai. Bulk-forming agen(contoh: psyllium) membutuhkan asupan cairan substansial dan
tidak direkomendasikan untuk orang-orang dengan penyakit lanjut dan mobilitas yang
terbatas. Untuk menangkis efek lambat dari opioid, mulailah dengan meresepkan laksatif
stimulan dengan rutin (seperti; senna, bisacodyl, glyserine, casanthranol, dsb) dan tingkatkan
dosis hingga mencapai efek. Karena stool softener ( contoh; docusate sodium) biasanya tidak
efektif diberikan sendiri, kombinasi stimulan/softener (seperti senna + docusate sodium atau
kalsium) lebih bermanfaat. Jika konstipasi menetap, beberapa pasien mendapatkan manfaat
dengan penambahan agen osmotik, seperti susu magnesia, laktulosa, atau sorbitol untuk
meningkatkan kandungan lunak dari defek.
 Mual/muntah. Banyak pasien yang pertama mendapat opioid mengalami mual
dengan atau tanpa muntah. Hal ini diterapi dengan antiemetik dan biasanya menghilang
dengan berkembangnya toleransi dalam beberapa hari. Wanita muda tampaknya dengan
resiko yang paling banyak. Obat blokade dopamine (seperti prochlorperazien, 10 mg sebelum
opioid dan tiap 6 jam; haloperidol, 1 mg sebelum opioid dan tiap 6 jam; metoklopramide, 10
mg sebelum opioid dan tiap 6 jam) merupakan terapi yang kadang sangat efektif.
 Sedasi. Pasien kadang mengeluh tentang rasa tersedasi atau secara mental terasa
melayang-layang segera setelah menkonsumsi analgesik opioid. Perhatian mesti ditujukan
untuk membedakan sedasi yang sebenarnya (ketidakmampuan untuk sadar sepenuhnya)
dari kecapaian akibat gangguan tidur sebelumnya oleh nyeri yang tidak tertangani (tidur
sedikit, namun dapat sadar penuh diantara tidur). Sedasi yang diiinduksi oleh opioid biasanya
muncul dalam beberapa hari dengan berkembangnya toleransi. Kebanyakan pasien juga bisa
mendapatkan tidur mereka yang hilang dalam satu atau dua minggu. Untuk pasien dengan
penyakit yang sangat lanjut, mental yang mengambang dan somnolen yang berlebihan
kadang-kadang terjadi, khususnya pada pasien dengan kondisi medis multipel yang
memberatkan, konsumsi obat-obatan, dan penurunan fungsi, bahkan tanpa penggunaan
analgesik opioid. Nyeri bisa, nyatanya, menjadi stimulasi primer yang menyebabkan mereka
tetap sadar. Sekali nyeri telah tertangani, level sedasi alami pasien dapat terlihat. Jika sedasi
terjadi, beri dorongan pada pasien dan keluarganya untuk memahami sejelas-jelasnya
mengenai tujuan dan rencana penanganan nyeri yang dibuat sehingga didapatkan
keseimbangan antara tingkat kesadaran dan kontrol nyeri yang sesuai dengan individu.
Beberapa pasien cenderung memilih tidur dan nyaman daripada sadar dan dalam keadaan
nyeri. Jika sedasi yang tidak diinginkan terjadi, beragam opioid atau berbagai cara pemberian
dapat mendukung kesembuhan. Juga, pertimbangkan penggunaan psikostimulan (seperti :
metilpenidate, 5 mg q am dan q noon serta dititrasi), khususnya jika opioid menghasilkan
analgesia yang efektif.
 Delirium. Terjadinya kebingungan, mimpi buruk, gaduh gelisah, agitasi, gerakan
cepat mioklonik, tingkat kesadaran yang terdepresi secara signifikan, dan kejang-kejang
menandakan delirium akibat kelebihan opioid. Jika pedoman pemberian opioid diikuti secara
seksama, delirium sangat jarang terjadi pada pasien dengan bersihan ginjal yang normal.
Meski demikian, satu atau lebih efek samping ini dapat terjadi secara bertahap (contoh : pada
pasien dengan produksi urin yang tidak cukup dan terjadi akumulasi opioid akibat
menurunnya asupan dan dehidrasi. ) atau secara cepat (contoh : pada pasien yang mengalami
sepsis).
 Depresi napas. Beberapa ahli memiliki pandangan yang luas mengenai resiko depresi
napas dalam penggunaan opioid untuk mengatasi nyeri. Aplikasi yang tidak sesuai pada
model hewan dan manusia dari penelitian mengenai nyeri akut bertanggung jawab terhadap
ketakutan ini. Nyeri merupakan stimulus yang kuat terhadap pernapasan, dan toleransi
farmakoogik terhadap depresi pernapasan berkembang secara cepat. Efek opioid agak
berbeda dengan yang dialami pasien yang tidak nyeri dan mendapatkan dosis yang sama.
Dengan peningkatan dosis, depresi napas tidak terjadi segera tanpa adanya kelebihan dosis.
Somnolen selalu merupakan pertanda depresi napas. Penilaian yang adekuat dan titrasi opioid
yang sesuai berdasarkan prinsip farmakologi akan mencegah kesalahan pemberian.
Pemberian analgesia yang dikontrol oleh pasien dengan interval dosis yang sesuai (10-15
menit jika melalui IV, 30 menit jika melalui SK) dapat digunakan secara aman, karena pasien
yang mendapatkan terlalu banyak opioid dosis ekstra akan tertidur dan berhenti menekan
tombol PCA sebelum depresi napas terjadi. Jika delirium akibat kelebihan opioid terjadi,
namun frekuensi napas masih dalam batas toleransi (>6 kali/menit), opioid rutin dapat
dihentikan dan terapi sepsis serta hidrasi yang sesuai pada pasien hingga efek samping
berkurang. Jika frekuensi napas terganggu (<6 kali/menit), nalokson perlu diberikan jika
tujuan terapi tetap menjaga kesadaran pasien sambil menangani penyebab nyeri. Berikan 0.1-
0.2 mg IV q 1 hingga 2 menit hingga pasien sadar. Karena kadar plasme efektif yang singkat
(10 hingga 15 menit), akibat afinitas nalokson yang tinggi terhadap lemak, maka perlu
dimonitor keadaan pasien tiap menit terhadap terjadinya kantuk kembali. Jika kantuk terjadi,
ulangi pemberian dosis sesuai kebutuhan hingga pasien tidak lagi mengalami depresi napas.
Nalokson drips mungkin lebih bermanfaat.
Terapi Intervensional Pada Nyeri Kanker 22,23
Pada umumnya, 80%-90% nyeri kanker dapat tertangani dengan analgesik konvensional dan
ajuvan berdasarkan prinsip penanganan nyeri WHO analgesik 3-step ladder. Terapi non-
farmakologik nyeri kanker antara lain TENS, fisioterapi, akupuntur, teknik psikologik seperti
relaksasi juga turut berperan. Namun, 10%-20% pasien kanker tetap merasakan nyeri dengan
terapi diatas, sehingga dibutuhkan terapi intervensional untuk nyerinya. Terapi intervensional
dipertimbangkan sebagai langkah ke-4 pada anak tangga analgesik WHO.

Gambar 6. Diadaptasi dari World Health Organisation’s Analgesic Ladder.(22)

Respon pasien terhadap opioid sangat bervariasi sehingga dokter harus selalu melihat
keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri kanker yang
terkontrol dengan opioid namun dengan efek samping yang berat, sebaiknya mendapatkan
terapi intervensional lebih dini. Terapi intervensi bervariasi mulai dari blok saraf yang
sederhana hingga teknik invasif seperti blok regional atau neurolitik, atau bahkan prosedur
bedah saraf. Pilihan dalam melakukan prosedur intervensional bersifat individual, berbeda-
beda untuk tiap kasus, berdasarkan resiko dan manfaat untuk tiap-tiap pasien.
Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa hari hingga beberapa minggu. Blok
neurolitik bisa sampai berberapa bulan dan alat implantasi bisa sampai beberapa tahun.
Teknik regional seperti opioid neuroaksial dan anestetik lokal biasanya dipraktikkan lebih
dulu sebelum metode intervensi yang lain.Prosedur ablatif atau destruksi neuron, dengan
rasio resiko-manfaat yang sempit, sebaiknya ditunda selama penyembuhan nyeri masih bisa
dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian, beberapa prosedur, seperti blok
pleksus celiac pada pasien kanker pankreas memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan
lebih dini dengan neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk
menilai efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok ini juga
berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur ablatif. Komplikasi
neurologis akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu hilangnya fungsi motorik permanen,
paresthesia, dan dysthesia. Pemilihan prosedur yang sesuai dapat menurunkan penggunaan
opioid sistemik dan meningkatkan kualitas hidup.

Blok Neuroaksial 6,22


Dengan diketahuinya keberadaan reseptor opioid pada medulla spinalis di tahun 1973,
pemberian obat-obat melalui epidural dan intratekal untuk analgesia mulai digunakan. Opioid
intratekal memperlihatkan efek analgesianya dengan menurunkan pelepasan neurotransmitter
presinaptik dan menghambat transmisi nyeri dengan hiperpolarisasi membran neuron
postsinaptik pada kornu dorsalis. Pemberian obat neuroaksial kontinyu bisa melalui kateter
epidural atau intratekal. Obat dapat diberikan menggunakan external syringe pump atau
sistemly implanted intrathecal drug delivery (ITDD). The European Association of Palliative
Care merekomendasikan indikasi penggunaan ITDD pada pasien kanker jika analgesik
konvensional gagal memberikan efek analgesi yang memuaskan meski dosis opioid kuat
telah ditingkatkan, dan/atau pasien mengalami efek samping yang berat. Obat-obat
diinfuskan dalam beberapa menit dengan jumlah tertentu ke intratekal sehingga mencegah
toksisitas sistemik dan efek samping. Pada sebuah RCT, ITDD dapat meningkatkan kualitas
hidup, menurunkan skala nyeri dan meningkatkan angka kelangsungan hidup 6 bulan. (53 %
pasien ITDD masih hidup dibanding 32% pasien pada terapi konvensional).

Epidural Analgesia 6,22


Pasien kanker kadang dengan profil koagulasi abnormal dan fungsi sistem imun yang
tersupresi, sehingga resiko hematoma dan infeksi merupakan kontraindikasi pemasangan
kateter epidural. Obat utama yang digunakan adalah opioid, namun kombinasi dengan
anestetik lokal meningkatkan efektivitasnya. Ajuvan lain seperti klonidin meningkatkan
efektivitas lebih baik lagi.

Analgesia Intratekal dengan sistem ITDD 22,24


Terdapat beberapa penelitian yang memperlihatkan perbaikan kontrol nyeri dengan sedikit
komplikasi pada pemberian obat intratekal. Obat intratekal bisa diberikan melalui kateter
yang diimplantasi secara eksternal atau internal dari alat pompa obat. Infus intratekal
menggunakan dosis dan volume yang rendah disbanding infuse epidural. Kebanyakan dokter
menggunakan perbandingan dosis morfin 10:1 antara epidural dan intratekal. Memasukkan
benda asing ke dalam tubuh meningkatkan resiko infeksi, khususnya dengan sistem pompa
eksternal, dimana terdapat hubungan antara kulit dan sistem saraf pusat. Secara keseluruhan
sistem ITDD memberikan resiko infeksi yang lebih rendah dan terdapat bukti bahwa kateter
intratekal lebih aman jika digunakan lbih dari 3 minggu dibandingkan dengan epidural.
Obat-obat yang diberikan melalui intratekal :
1. Opioid. Morfin masih merupakan gold standard untuk pemberian intratekal
yang disetujui oleh FDA US dalam menangani nyeri kronik.
2. Anestetik Lokal . Lokal anestetik intratekal bekerja melalui efek blokade
saluran natrium dan menghambat potensi aksi jaringan saraf pada kornu dorsalis,
sehingga menghasilkan efek analgesik. Anestetik lokal juga bekerja pada bagian
intratekal dari akar saraf. Bupivakain intratekal juga dikombinasi dengan morfin
untuk menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik akibat nyeri neuropatik. Terdapat
bukti bahwa bupivakain bekerja sinergis dengan morfin, menurunkan kebutuhan
morfin intratekal.
3. Agonist adrenoreseptor alpha-2. Klonidin adalah agonist adrenoreseptor
alpha-2 yang telah lama digunakan untuk pemberian spinal, namun baru disetujui oleh
FDA US pada tahun 1996 untuk pemberian intratekal. Klonidin intratekal diketahui
bersifat anti nosiseptif non opioid yang bekerja sentral. Klonidin terikat pada reseptor
alpha-2 di membran presinaptik neuron aferen primer medulla spinalis,
menghasilkan hiperpolarisasi dan berkurangnya pelepasan neurotransmitter yang
terlibat dalam penyampaian sinyal nyeri. Klonidin juga mengaktivasi neuron-neuron
kolinergik spinalis, yang memperkuat efek analgesiknya. Klonidin juga efektif pada
terapi kanker, kombinasinya dengan morfin dan/atau bupivakain memperlihatkan efek
sinergis dan memberikan terapi yang lebih adekuat pada nyeri kanker.
Gambar 7. Sistem ITDD 24

Neurolisis Intratekal 6,11,22


Neurolisis intratekal dilakukan dengan pemberian agen neurolitik pada ruang subarachnoid.
Tujuannya yaitu blokade segmental yang murni sensorik, tanpa menyebabkan kelemahan
motorik. Agen kimiawi yang umum digunakan umtuk neurolisis antara lain alcohol
konsentrasi 50% hingga 100% dan fenol 7% hingga 12%. Alkohol bersifat hipobarik
sehingga pasien perlu diposisikan semi-prone. Ini akan memungkinkan alkohol tetap tinggal
didekat dorsal root ganglia dan menghasilkan blokade sensorik ketika diinjeksikan pada
ruang intratekal. Karena fenol bersifat hiperbarik, sehingga pasien diposisikan sebaliknya
(wajah ke atas dan daerah yang akan diinjeksi lebih rendah dengan sudut 45 derajat). Catatan
Gerbershagen yang meninjau 1908 pasien kanker yang menjalani neurolisis intratekal
menunjukkan bahwa 78% hingga 84% pasien dengan nyeri somatik berespon baik terhadap
terapi. Sebaliknya, kontrol nyeri yang baik pada nyeri viseral hanya berkisar 19% hingga
24%.

Blok Simpatis 6,11,22


Terdapat beberapa tempat untuk blok simpatis yang bisa dilakukan untuk terapi nyeri kanker
dari organ viseral. Rantai simpatis pada level yang sesuai bisa diblok untuk nyeri spesifik.
Neurolisis digunakan pada hampir semua blok simpatis karena pemasangan kateter sangat
sulit dan tidak praktis. Pleksus coeliac menjadi target untuk nyeri yang berasal dari kanker
abdomen atas. Blok pleksus hipogastrik posterior dilakukan untuk nyeri kanker dari organ
pelvik seperti ovarium, kandung kemih, dan prostat. Blok ganglion impar efektik untuk nyeri
kanker organ vagina dan anal.

Blok Pleksus Coeliac 6,11,22


Blok pleksus coeliac diletakkan pada retroperitoneal abdomen atas. Levelnya pada T12 dan
L1 badan vertebra, anterior dari krura diafragma. Pleksus coeliac mengelilingi aorta
abdominal dan celiac dan arteri mesenterika superior. Saraf otonom mensuplai hepar,
pancreas, kandung empedu, lambung, lien, ginjal, usus halus, dan kelenjar adrenal berasal
dari pleksus celiac. Efektivitas blok pleksus celiac pada terapi nyeri kanker abdomen telah
banyak dievaluasi. Sebuah meta-analisis oelh Eisenberg dkk menyimpulkan bahwa blok
pleksus coeliac memberikan kesembuhan jangka panjang 70% hingga 90% pasien kanker
pancreas dan abdomen atas. Komplikasi antara lain hipotensi postural, pneumothoraks, diare,
hematoma retroperitoneal, dan paraplegi akibat mielopati iskemik akut (mungkin akibat
terkenanya arteri Adamkievicz). Penyebaran cairan neurolitik ke posterior kadang
mempengaruhi saraf somatik bagian bawah thoraks dan lumbal, sehingga bisa menyebabkan
sindrom nyeri neuropatik.

Blok Pleksus Hipogastrik Superior 6,11,22


Pleksus hipogastrik superior adalah struktur retroperitoneal yang meluas secara bilateral dari
1/3 bawah corpus vertebra L5 hingga 1/3 atas S1. Blok efektif untuk nyeri yang berasal dari
kolon distal dan rektum yang tercermin pada nyeri struktur pelvik. Beberapa penelitian
memperlihatkan efektivitas blok neurolitik pada pleksus hipogastrik superior untuk terapi
nyeri pelvik akibat kanker dengan melihat penggunaan opioid yang berkurang.

Blok Ganglion Impar 6,22


Ganglion impar, juga dikenal sebagai ganglion Walther, adalah struktur retroperitoneal
terpisah yang terletak pada level sacrococcygeal junction dengan posisi bervariasi pada ruang
precoccygeal. Ganglion tak berpasangan ini menandai ujung kedua rantai simpatis. Nyeri
viseral pada daerah perineal oleh proses malignansi efektif ditangani dengan neurolisis
ganglion impar.

Blok Saraf Perifer 6,11,22


Peran blok saraf perifer sebagai modalitas utama penyembuhan nyeri mungkin terbatas pada
pasien kanker, mengingat nyeri kanker biasanya melibatkan banyak tempat, khususnya pada
kanker stadium lanjut. Meski demikian, jika dikombinasi dengan terapi lain kemoterapi atau
radiasi, sangat membantu menurunkan nyeri. Agen neurolitik seperti alkohol atau fenol
digunakan untuk blok saraf perifer. Alkohol bisa menyebabkan disaestesia yang sangat nyeri
jika diinjeksi disekitar saraf bermielin. Fenol kurang nyeri dibanding alkohol dan lebih
terpilih untuk neurolisis saraf perifer. Bentuk lain destruksi daraf yaitu ablasi radiofrekuensi
dan cryoablation. Tahun-tahun terakhir ini, ada teknik baru yaitu penggunaan infus anestetik
lokal untuk blok saraf perifer, dengan teknologi pompa infus dan kateter. Penggunaan nerve
stimulation atau ultrasonografi untuk mengidentifikasi penempatan kateter memudahkan blok
saraf untuk memberikan analgesia yang lebih baik. Ahli nyeri mendapat banyak tantangan
dalam melakukan blok saraf perifer pada pasien kanker. Adanya edema jaringan mempersulit
identifikasi tonjolan tulang atau denyut perifer. Neuroanatomi bisa menyimpang akibat
invasi tumor atau kompresi dan kontraktur atau tertariknya jaringan akibat terapi radiasi.
USG bisa digunakan untuk membantu blok dan penempatan kateter. Blok saraf perifer yang
telah dilaporkan antara lain blok saraf femoral, blok supraskapula, blok kompartemen psoas,
blok pleksus lumbal distal, blok paravertebral dan blok interpleural.

Hambatan dalam Penatalaksanaan Nyeri Kanker 5,6,11


Hambatan dalam penatalaksanaan nyeri kanker bisa berhubungan dengan praktisi kesehatan, pasien dan
keluarga, serta sistem perawatan kesehatan (kebijaksanaan dan regulasi kesehatan setempat).

Tabel 3. Hambatan dalam penanganan nyeri kanker yang adekuat.11

Anda mungkin juga menyukai