Anda di halaman 1dari 4

Meningkatkan Penerimaan Negara melalui Pelegalan Judi

Oleh: Ahmad Irfan


Staff DPP HIMIESPA

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah hal yang penting bagi
suatu pemerintahan. Tanpa APBN, pemerintah tidak memiliki pedoman penerimaan dan
pengeluaran negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan untuk meningkatkan produksi,
memberi kesempatan kerja, dan menumbuhkan perekonomian, untuk mencapai
kemakmuran masyarakat. Dalam penyusunan anggaran, terdapat tiga jenis kebijakan yaitu
kebijakan anggaran surplus, berimbang, dan defisit. Pemerintah Indonesia menerapkan
kebijakan anggaran defisit, artinya pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaan pemerintah. Grafik 1 dibawah menunjukkan besarnya defisit APBN Indonesia
Tahun 2010-2016 yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Grafik 1

Defisit APBN Indonesia 2010-2016


300 273.2 4
248.9
237.4
Defisit (Ribu Triliun Rupiah)

250 222.5
3

% Terhadap PDB
200 175.2
2.33
150 130.9 2.15 2
1.86 1.91 1.9
91.6
100
1.14 1
50 0.73

0 0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun

Defisit APBN Persentase terhadap PDB

Sumber: Infografis APBN 2016, Kemenkeu 2016

Penurunan sempat terjadi pada tahun 2015, yaitu sebesar Rp222,5 Ribu Triliun
dengan persentase terhadap PDB sebesar 1,9%. Lalu kembali naik pada tahun 2016
sebesar Rp273,2 Ribu Triliun dengan persentase terhadap PDB sebesar 2,15%. Untuk
menutupi defisit ini, terdapat satu komponen lain dalam APBN selain penerimaan dan
pengeluaran, yaitu pembiayaan anggaran. Pembiayaan anggaran dapat bersumber dari
pinjaman baik ke dalam maupun luar negeri, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN),
mencetak uang, dll. Pemerintah Indonesia beberapa tahun terakhir menutupi defisit dengan
sumber pembiayaan dalam negeri terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga
Negara (SBN). Sedangkan pembiayaan luar negeri diperoleh dari pinjaman bilateral dan
multilateral yang tidak mengikat. Sebenarnya, besarnya angkat defisit anggaran dapat
dikurangi pemerintah melalu berbagai cara. Pertama, efisiensi anggaran dengan cara
mamangkas pengeluaran pemerintah yang tidak terlalu penting. Kedua, meningkatkan
penerimaan pemerintah dengan cara pengoptimalan penerimaan pajak serta Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
Untuk meningkatkan penerimaan negara baik dari pajak maupun bukan pajak,
Indonesia sebenarnya memiliki suatu bidang yang sangat potensial, yaitu judi melalui
pelegalan judi. Pelegalan judi memang masih menjadi perdebatan oleh berbagai pihak.
Sejak di sahkannya UU No 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian serta dijelaskan
dalam PP No 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan UU No 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, seluruh jenis perjudian dianggap illegal dan kriminal serta tergolong
dalam illegal economy karena bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu,
praktik perjudian termasuk Shadow Economy karena aktivitasnya tidak dicatat, tidak
dilaporkan, tidak legal, informal, serta nilainya tidak termasuk dalam penghitungan PDB.
Sebelum penerapan regulasi yang melarang praktik perjudian, judi pernah menjadi
salah satu sumber pendapatan beberapa daerah. Misalnya, DKI Jakarta kepemimpinan Ali
Sadikin atau Bang Ali, pada tahun 1966-1977. Sejak Bang Ali meresmikan kasino dan lotre,
dana pembangunan yang semula hanya Rp66 juta, melonjak menjadi Rp89 miliar dalam 10
tahun. Dana ini digunakan Bang Ali untuk membangun fasiltas umum seperti sekolah,
puskesmas, dan pasar.
Pada masa Orde Baru, Pemda Surabaya menerbitkan Lotto atau Lotres Totalisator
yang digunakan untuk menghimpun dana penyelenggaraan PON VII di Surabaya pada
1969. Kemudian muncul Toto KONI yang kemudian dihapus tahun 1974. Akhir 1985,
beredar KBPSB (Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola) yang lahir berdasarkan UU No 22
Tahun 1954 tentang Undian dengan tujuan untuk menghimpun dana olahraga Indonesia.
Akhir 1987 hingga 1989, Porkas berubah menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah
(KSOB). Pada 1986, muncul Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Pajak yang
diterima pemerintah melalui SDSB pada tahun 1986 adalah Rp 2 miliar, tahun 1987 sebesar
Rp 3 miliar, tahun 1988 sebesar Rp 4 miliar, tahun-tahun berikutnya Rp 8 miliar (hingga
ditutup pada tahun 1993). Munculnya berbagai jenis lotre dan undian pasca dikeluarkannya
UU No 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan PP No 9 Tahun 1981 Tentang
Pelaksanaan UU No 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, menunjukkan bahwa
penerapan UU di Indonesia belum berjalan secara maksimal.
Beberapa contoh pendapatan dari pelegalan judi pada era 1960 hingga awal 1990
memang sangat menggiurkan, terlebih angka tersebut masih berdasarkan harga berlaku,
sehingga jika dihitung nilai kini-nya pasti sangat besar. Gagasan pelegalan judi juga sudah
sering disampaikan oleh beberapa tokoh masyarakat, politikus, dan pejabat pemerintah,
bahkan pemuka agama. Misalnya, pada 2010 Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas’udi yang juga didukung oleh Anggota Komisi VIII DPR RI
Periode 2009-2014 Bidang Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, Ali Maschan
Moesa yang menyatakan bahwa pelegalan dan lokalisasi judi diperlukan di Indonesia.
Pengacara Farhat Abbas pada tahun 2010 pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi terkait usulan pelegalan judi. Selain itu, Direktur Aliansi Masyarakat Independen
Pemantau Kinerja Aparat Negara (AMIPKA) David Ridwan Betz yang menanggapi Studi
Banding Perjudian DPR RI ke Mesir pada tahun 2005 juga berpendapat bahwa pelegalan
judi haruslah disertai dengan penerapan regulasi atau peraturan lain yang mendukung
seperti lokalisasi.
Pelegalan judi memang bukanlah perkara yang mudah, tetapi penulis berpendapat
bahwa pelegalan judi mungkin saja diterapkan di Indonesia karena beberapa faktor
pendukung seperti peningkatan penerimaan negara, serta faktor pendukung lain yang tidak
kalah penting yaitu masalah perjudian yang menjamur di berbagai usia dan tidak terkendali.
Menurut penulis, pelegalan judi harus disertai dengan lokaisasi tempat judi di beberapa
pulau atau kota. Bukan tidak mungkin Indonesia dapat memilki Las Vegas dan Macau versi
Indonesia sehingga dapat menarik wisatawan asing. Lokalisasi judi juga harus dipastikan
jauh dari pemukiman penduduk, wilayah pendidikan dan budaya, serta sentral keagamaan.
Selain itu, regulasi lain yang bisa diterapkan adalah verifikasi identitqas menggunakan E-
KTP atau paspor bagi WNA untuk mengontrol usia pemain judi serta untuk mengantisipasi
apabila ada pemain yang berbuat curang. Verifikasi identitas ini juga bisa diterapkan untuk
pelegalan judi online, sehingga usia pemain judi dapat terkendali yaitu diatas 25 tahun.
Beberapa regulasi tambahan untuk mendukung pelegalan judi yaitu dengan menindak tegas
para pemiain judi ilegal, yaitu yang bermain judi tidak pada tempat yang ditentukan. Upaya
ini bertujuan untuk mengurangi angka pemain judi yang masih berstatus mahasiswa dan
pelajar (dibawah umur) sehingga praktik perjudian dapat terkontrol.
Indonesia memiliki ribuan pulau, banyangkan jika 3 atau 4 pulau kita jadikan
lokalisasi judi. Akan banyak kesempatan kerja yang tercipta sehingga dapat mengurangi
pengangguran. Dalam pelaksanaannya, pemerintah dapat melakukan kegiatan operasional
judi melalui BUMN yang berkaitan dengan pariwisata serta bekerjasama dengan Swasta
sehingga pemasukan pemerintah dapat bersumber dari pajak dan PNBP. Selain itu,
pelegalan judi juga dapat mengurangi kelompok mafia judi.
Akan tetapi, banyak pula pihak yang dengan keras menolak ide pelegalan dan
lokaliasi judi. Hal ini tidak mengherankan mengingat Indonesia merupakan negara yang
tergolong religius serta mengedepankan nilai moral. Mereka berpendapat bahwa judi
merusak mental dan moral bangsa serta hanya membuat masyarakat menjadi pengkhayal,
yang hanya mengandalkan keberuntungan untuk mendapat uang berkali-kali lipat. Judi juga
jelas bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan sehingga dianggap sangat tidak tepat
untuk dilakukan di Indonesia. Lalu, bagaimana pendapat Anda? Perlukah mengorbankan
moral untuk menyejahterakan masyarakat?

Daftar Pustaka
Amarullah, A., 2010. Viva - Pro-Kontra DPR soal Lokalisasi Judi. [Online]
Available at: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/162370-pro-kontra-dpr-soal-lokalisasi-judi
[Accessed 20 Oktober 2016].
Kalsum, U., 2010. Viva - Sejarah Judi Legal di Indonesia. [Online]
Available at: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/146129-sejarah-judi-legal-di-indonesia
[Accessed 20 Oktober 2016].

Anda mungkin juga menyukai