Anda di halaman 1dari 12

Halaman 1 dari 12

PEMAHAMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

HERU PURNOMO, SH
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta

I. LATAR BELAKANG

Peraturan Daerah adalah instrumen aturan yang secara sah diberikan


kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di
daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa
undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan
daerah dengan menetapkan Peraturan Daerah sebagai salah satu instrumen
yuridisnya.
Kedudukan dan fungsi Peraturan Daerah berbeda antara yang satu
dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam
Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Perbedaan tersebut juga terjadi pada perumusan materi muatan
yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah
daerah.
Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan
terhadap pembentukan dan pelaksanaan Peraturan Daerah juga mengalami
perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.
Dalam pembentukan Peraturan Daerah, lembaga yang memiliki
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah DPRD yang dilakukan oleh alat
kelengkapan DPRD dan/atau Gubernur yang dilakukan oleh Satuan kerja
Perangkat Daerah (SKPD) penting mengikutsertakan Pejabat Perancang
Peraturan Perundang-undangan. Karena dalam merancang sebuah Peraturan
Daerah terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum
positif, yakni antara lain meliputi Peraturan Perundang-undangan dibidang
Pemerintahan Daerah, Pembentukan Perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang Peraturan Daerah.
Halaman 2 dari 12

Untuk merancang sebuah Peraturan Daerah, pada dasarnya harus


memahami secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut:
1. analisa data tentang persoalan sosial yang akan diatur;
2. kemampuan teknis Peraturan Perundang-undangan;
3. pengetahuan teoritis tentang pembentukan Peraturan Daerah; dan
4. Peraturan Perundang-undangan baik secara umum maupun khusus yang
terkait dengan pembentukan dan materi muatan Peraturan Daerah.

II. PEMBAHASAN

A. Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah

1. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah, yakni meliputi:


a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Pembentukan
Daerah yang bersangkutan;
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
d. Peraturan Perundang-undangan:
1) yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah; atau
2) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan
materi muatan Peraturan Daerah sebagai penjabaran urusan
pemerintahan yang dimiliki oleh Daerah yang bersangkutan, misal
urusan pemerintah dibidang irigasi yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
dan
b) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi,
dijadikan dasar hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah
tentang irigasi.
2. Formalitas dan teknik pembentukan Peraturan Daerah, yakni meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
Halaman 3 dari 12

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Produk Hukum Daerah; dan
c. Peraturan DPRD tentang Tata Tertib.

B. Perumusan Permasalahan

Penyusunan Peraturan Daerah dimulai dengan merumuskan masalah yang


akan diatur, untuk itu harus menjawab pertanyaan “masalah sosial apa yang akan
diselesaikan”? Masalah sosial yang akan diselesaikan pada dasarnya akan
terbagi dalam dua jenis.
Pertama, masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku atau
kelakuan dalam masyarakat yang bermasalah, misalnya: (i)
banyak masyarakat membuang sampah sembarangan sehingga
menyebabkan lingkungan menjadi kumuh, maka diperlukan
Peraturan Daerah kebersihan; dan (ii) banyak orang mabuk
karena mengkonsumsi minuman dengan kadar alkohol yang
tinggi, maka diperlukan pengaturan tentang peredaran minuman
beralkohol, dan lain-lain.
Kedua, masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang ada
tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakatnya, misalnya,
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah, sudah tidak sesuai
dengan Undang-Undang tentang Pajak Daerah, maka perda
tersebut harus diganti dengan yang baru.

Untuk merancang Peraturan Daerah harus mendiskripsikan masalah sosial


tersebut. Salah satu cara untuk menggali permasalah tersebut dengan cara
melakukan penelitian. Observasi pada obyek persoalan harus dilakukan, misalnya
untuk pengaturan Cagar Budaya, yaitu: (i) mengumpulkan data tentang bangunan
kuno yang ada di daerah yang bersangkutan; (ii) mendiskripsikan siapa
pemiliknya; (iii) bagaimana keadaan masing-masing bangunan itu selama ini; dan
(iv) berapa bangunan yang sudah berubah bentuk ataupun berubah fungsi.
Dalam perumusan masalah yang dituangkan dalam Naskah Akademis
memuat 7 (tujuh) indikator dan/atau faktor yang harus ada dengan menggunakan
Halaman 4 dari 12

metode ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest,


Procces dan Ideology) yang diungkap oleh Seidman.1 Untuk memudahkan tingkat
implementasinya metode ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
Pertama, Indikator dan/atau faktor subjektif adalah kepentingan (interest)
dan nilai dan sikap (ideology).
Kepentingan (interest) mengacu pada pandangan pelaku peran
(pembuat peraturan maupun, lembaga pelaksana peraturan dan
yang terkena atau masyarakat yang diaturnya) terkait akibat dan
manfaat untuk mereka sendiri yang berkenaan dengan
Kepentingan (interest) yang bersifat materiil dan insentif non-
materil seperti penghargaan dan acuan kelompok berkuasa.
Sedangkan nilai dan sikap (ideology) terkait dengan masalah
yang lebih luas cakupannya yakni nilai, sikap, selera, bahkan
mitos-mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama,
kepercayaan, politik, sosial, ekonomi.
Kedua, Yang termasuk indikator dan/atau faktor objektif adalah
Peraturan (Rule), Kesempatan (Opportunity), Kemampuan
(Capacity), Komunikasi (Comunication), dan Proses (Process).
a. Peraturan (Rule)
Peraturan Daerah adalah produk hukum administrasi yang
tunduk pada asas keabasahan tindakan pemerintahan yang
meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: kewenangan, prosedur dan
substansi.
Ketiga aspek tersebut tunduk pada asas legalitas yang
menjadi landasan pembentukan dan pengujian Peraturan
Daerah.
Materi muatan Peraturan Daerah merupakan implementasi
ketentuan peraturan perundangan.
Substansi pengaturan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kewenangan dan kewajiban Pemerintah

1
Aan Seidmann, Bob Seidmann, Nalin A (alih bahasa Johannes Usfunan, dkk). Penyusunan Rancangan Undang-
Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis. Elips: Jakarta. hal. 117-118.
Halaman 5 dari 12

Daerah serta hak dan kewajiban masyarakat adalah batasan


materi muatan Peraturan Daerah.
b. Kesempatan (Opportunity)
Peraturan Daerah merupakan instrumen penataan peluang
ekonomi dan peluang sosial bagi masyarakat untuk akses
sumberdaya yang didistribusikan oleh Pemerintah Daerah.
Penataan dilakukan atas dasar kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat serta komitmen politik Pemerintah Daerah.
Dalam konteks penanggulangan kemiskinan materi muatan
Peraturan Daerah harus memperhatikan keterbatasan
masyarakat miskin yaitu ketidakberdayaan, keterkucilan,
kerentanan, keamanan, serta keberlanjutan kehidupan
mereka.
c. Kemampuan (Capacity)
Materi muatan Peraturan Daerah harus mempertimbangkan
kemampuan para pelaku peran untuk melaksanakannya.
Oleh karena itu harus dipertimbangkan kapasitas daerah
sesuai dengan kondisi lokalitas daerah yang berkaitan
dengan aspek sosial, ekonomi dan politik.
Namun demikian harus juga diperhatikan bahwa kewajiban
negara atau pemerintah dalam pemenuhan hak atas
pendidikan dan kesehatan, untuk mengambil langkah-langkah
kebijakan dan memaksimalkan sumberdaya serta berupaya
secara cepat mewujudkan hak-hak ekonomi masyarakat.
d. Komunikasi (Comunication)
Ketidaktahuan seorang pelaku peran terutama masyarakat
tentang Peraturan Daerah merupakan persoalan tersendiri,
terutama bagi masyarakat miskin yang menghadapi berbagai
keterbatasan.
Berkenaan dengan hal tersebut Pemerintah Daerah
selayaknya mengambil langkah-langkah yang memadai untuk
mengkomunikasikan Peraturan Daerah-Peraturan Daerah
yang ada kepada para pihak yang dituju.
Halaman 6 dari 12

Dibutuhkan keterbukaan Pemerintah Daerah yang


berhubungan dengan kewajiban informasi baik secara aktif
maupun pasif.
e. Proses (Process)
Pembentukan Peraturan Daerah dilakukan dengan membuka
ruang peran serta masyarakat melalui proses hearing
maupun sosialisasi rancangan Peraturan Daerah.
Peran serta dilakukan dengan melibatkan pelaku peran dan
kelompok kepentingan untuk menyampaikan aspirasinya.
Peran serta masyarakat dan aspirasi yang disampaikan wajib
untuk didengarkan dan mempengaruhi keputusan.
Demikian juga terhadap permasalahan sosial akibat penerapan Peraturan
Daerah, secara khusus ditawarkan metode RIA (Regulatory Impact Analysis).
Metode ini meliputi analisa cost and benefit system. Artinya Pelaksanaan
Peraturan Daerah dievaluasi sedemikian rupa, khususnya terhadap dampak yang
ditimbulkan terhadap modal sosial yang ada. Hasil analisa akan menjelaskan
siginifikansi keberhasilan atau kegagalan penerapan Peraturan Daerah dalam
masyarakat. Selanjutnya akan diikuti dengan usulan perbaikan yang lebih rasional
dan aplikatif.
Perumusan masalah sosial tersebut misal meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Apa masalah sosial yang ada?
2. Siapa masyarakat yang perilakunya bermasalah?
3. Siapa aparat pelaksana yang perilakunya bermasalah?
4. Analisa keuntungan dan kerugian atas penerapan Peraturan Daerah?
5. Tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah sosial?

ROCCIPI dan RIA merupakan model yang umum digunakan dan seringkali
ditawarkan dalam perumusan legislasi di Indonesia. Banyak buku-buku panduan
perumusan Peraturan Daerah yang menggunakan kedua model ini.
ROCCIPI dan RIA dalam tataran penyusunan Naskah Akademik masuk ke
dalam bahasan implikasi pengaturan Peraturan Daerah berdasarkan lampiran
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Halaman 7 dari 12

C. Perumusan Rancangan Peraturan Daerah

Rancangan Peraturan Daerah pada dasarnya adalah kerangka awal yang


dipersiapkan untuk mengatasi masalah sosial yang hendak diselesaikan. Apapun
jenis Peraturan Daerah yang akan dibentuk, maka rancangan Peraturan Daerah
tersebut harus secara jelas mendiskripsikan mengenai pelaksanaan kewenangan
(regulation of authority) bagi pemerintah daerah sebagai lembaga pelaksana (law
implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct/rule of behavior)
bagi masyarakat harus mematuhinya (rule occupant).
Secara sederhana harus dapat dijelaskan:
1. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mana sebagai lembaga pelaksana
Peraturan Daerah?.
2. Kewenangan apa yang diberikan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)?.
3. Perlu tidaknya dipisahkan antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
pelaksana Peraturan Daerah pelaksana peraturan dengan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) atau instansi yang menetapkan sanksi atas ketidak
patuhan atas ketentuan dalam Peraturan Daerah (=pelanggaran Peraturan
Daerah)?.
4. Persyaratan apa yang mengikat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
pelaksana Peraturan Daerah?.
5. Apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) pelaksana Peraturan Daerah jika menyalahgunakan
wewenang?.
6. Rumusan permasalahan pada masyarakat, yakni berkisar pada:
a. siapa yang berperilaku bermasalah, misal orang perorangan dan/atau
badan hukum?
b. jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku
bermasalah tersebut?
c. jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan.

Kerangka berfikir di atas, akan menghasilkan sebuah rancangan Peraturan


Daerah mengenai penataan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pelaksana
Halaman 8 dari 12

Peraturan Daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penataan


wewenang juga akan menghasilkan hierarki kewenangan dan lingkup
tanggungjawab Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pelaksana Peraturan
Daerah, misalnya wewenang menandatangani izin ada pada Kepala Daerah,
tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang
mengeluarkan izin atas nama Bupati. Sedangkan penataan jenis perilaku atau
kelakuan yang ada dalam Peraturan Daerah, misalnya norma larangan, norma
izin dan norma mengenai kewajiban melakukan hal tertentu atau dispensasi.
Pilihan atas norma-norma perilaku yang dirumuskan, dijelaskan pula mengenai
tujuan apa yang hendak dicapai dari pengaturan tersebut.
Norma larangan akan menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang
perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan ada perkecualian, maka dirumuskan
pula norma izin. Konsekuensinya adalah juga merumuskan sistim dan syarat
perizinannya dengan kreteria izin perorangan atau izin kebendaan, syarat-syarat
permohonan izin yang secara proporsional dapat dipenuhi oleh oleh pemohon.
Jika norma perilaku atau kelakuan dirumuskan dengan norma perintah,
maka eksepsinya adalah dengan merumuskan norma pengecualian
(=dispensasi). Penetapan sanksi dalam Peraturan Daerah akan berkombinasi
antara sanksi pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, sanksi pidana
kurungan dan/atau sanksi administrasi. 2
Ketentuan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi rujukan hukum pengaturan sanksi pembebanan
biaya paksaan penegakan hukum dan sanksi administrasi, yang tujuan utamanya
untuk menyelesaikan pelanggaran (reparatory). Sanksi pembebanan biaya
paksaan penegakan hukum dan sanksi administrasi dapat diterapkan langsung
oleh pemerintah daerah. Oleh sebab itu, Peraturan Daerah harus merumuskan
secara lengkap landasan hukum, jenis sanksi, prosedur dan pejabat yang
berwenang menerapkan sanksi administrasi. Sedangkan untuk sanksi pidana,
dirumuskan dalam Peraturan Daerah, yang penerapan sanksinya dilakukan
melalui prosedur KUHAP.

D. Prosedur Pembahasan

2
Lihat Pasal 143 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Halaman 9 dari 12

Pembahasan rancangan Peraturan Daerah, yaitu pada lingkup tim teknis


eksekutif dan pembahasan bersama dengan DPRD. Pembahasan pada tim
teknis, adalah pembahasan yang lebih merepresentasi pada kepentingan
eksekutif. Selain itu Pemerintah Daerah (eksekutif) wajib memberikan
kesempatan kepada masyarakat berpartisipasi aktif untuk memberikan baik
secara lisan atas rancangan Peraturan Daerah. 3
Pembahasan rancangan Peraturan Daerah di DPRD dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat
II.
Pembicaraan tingkat I meliputi:4
1. Dalam hal rancangan peraturan daerah berasal dari Kepala Daerah dilakukan
dengan kegiatan sebagai berikut:
a. penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripurna mengenai rancangan
Peraturan Daerah;
b. pemandangan umum fraksi terhadap rancangan Peraturan Daerah; dan
c. tanggapan dan/atau jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan
umum fraksi.
2. Dalam hal rancangan Peraturan Daerah berasal dari DPRD dilakukan dengan
kegiatan sebagai berikut:
a. penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan
Legislasi Daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna
mengenai rancangan Peraturan Daerah;
b. pendapat Kepala Daerah terhadap rancangan Peraturan Daerah; dan
c. tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
3. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang
dilakukan bersama dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk
mewakilinya.

Pembicaraan tingkat II meliputi:5


1. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:

3
Lihat Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
4
Lihat Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Halaman 10 dari 12

a. penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan


komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi:
1) proses pembahasan;
2) pendapat fraksi;
3) hasil pembicaraan dalam pembahasan dalam rapat komisi, gabungan
komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya; dan
b. permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat
paripurna.
2. pendapat akhir Kepala Daerah.

E. Pengesahan dan Pengundangan

Perjalanan akhir dari perancangan sebuah rancangan Peraturan Daerah


adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah
oleh pihak pemerintah daerah dengan DPRD. Dalam konsep hukum, rancangan
Peraturan Daerah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil (materiele
rechtskrach) terhadap pihak yang menyetujuinya. Sejak ditandatangani, maka
rumusan hukum yang ada dalam rancangan Peraturan Daerah tersebut sudah
tidak dapat diganti secara sepihak.
Selanjutnya Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama
oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dengan cara Kepala
Daerah membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama oleh
DPRD dan Kepala daerah. Dalam hal rancangan Peraturan Daerah tidak
ditandatangani oleh Kepala Daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, Rancangan
Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan.
Pengundangan dalam Lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui
agar rancangan Peraturan Daerah mempunyai kekuatan hukum mengikat
5
Lihat Pasal 85 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Halaman 11 dari 12

kepada publik. Dalam konsep hukum, maka rancangan Peraturan Daerah sudah
menjadi Peraturan Daerah yang berkekuatan hukum formal (formele-
rechtskrach). Secara teoritik, “semua orang dianggap tahu adanya Peraturan
Daerah” mulai diberlakukan dan seluruh isi atau muatan Peraturan Daerah dapat
diterapkan.
Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar
tahapan penyebarluasan (sosialisasi) Peraturan Daerah harus dilakukan. Hal ini
diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara Peraturan Daerah dengan
masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai
atau norma yang diatur dalam Peraturan Daerah sehingga ada tahap
pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.

III. PENUTUP

Untuk merancang Peraturan Daerah, DPRD dan/atau Pemerintah


Daerah sebagai lembaga pembentukan Peraturan Daerah harus memahami
terhadap:
1. dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah;
2. formalitas dan teknik pembentukan Peraturan Daerah; dan
3. metode-metode yang digunakan dalam perumusan permasalahan yang
dapat diselesaikan oleh Peraturan Daerah.

Oleh karenanya penting keikutsertaan Pejabat Perancang Peraturan


Perundang-undangan karena seorang Pejabat Perancang Peraturan
Perundang-undangan dididik khusus oleh Kementerian Hukum dan HAM RI
secara teknis memiliki kompetensi dalam penyusunan Peraturan Perundang-
undangan.
Sedangkan bagi seorang Pejabat Perancang Peraturan Perundang-
undangan, secara substansial harus menguasai permasalahan sosial di
daerah tersebut dan juga harus mengusai sistem hukum yang berlaku. Hal ini
dimaksudkan agar permasalahan sosial yang akan diselesaikan harus dapat
dirumuskan dengan jelas, pemilihan instrumen hukumnya tepat. dan
Halaman 12 dari 12

Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih


tinggi guna tidak menimbulkan persoalan hukum dalam penerapannya.

Anda mungkin juga menyukai