Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan didunia dan


dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini
karena selain prevalensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema
pasca akut. Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan
20 % penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan
mengalami cirroshis hepatis dan karsinoma hepatoselluler (hepatoma).
Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia balita
dimana respon imun belum berkembang secara sempurna.
Kebanyakan dewasa-dewasa (lebih besar dari 95%) dengan hepatitis B akut
akan sembuh sepenuhnya. Sebagai akibatnya, mereka akan menjadi imun
(terlindung dari) terhadap suatu infeksi virus hepatitis B masa depan. Berlawanan
dengannya, kebanyakan bayi-bayi dan anak-anak yang terinfeksi dengan virus
hepatitis B akut akan menjadi terinfeksi kronis dengan virus.
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah/darah
produk yang terkontaminasi HBV (Hepatitis B Virus). Di Indonesia kejadian
hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang berlanjut menjadi hepatitis kronik,
chirosis hepatis dan hepatoma. Satu atau dua kasus meninggal akibat hepatoma.
Mengingat jumlah kasus dan akibat hepatitis B, maka diperlukan pencegahan
sedini mungkin. Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan
menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif
mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

1
Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut karena suatu infeksi
atau keracunan. Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia
dan dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan.
Hal ini karena selain prevelensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan
problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirrhosis hepatitis dan carcinoma
hepatocelluler primer8.
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula
menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian. Hepatitis B akut
adalah inflamasi akibat infeksi virus hepatitis B yang berlangsung selama < 6
bulan10.

II.2 EPIDEMIOLOGI

Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia, tetapi distribusi


carier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Di
area dengan prevalensi tinggi seperti Asia Tenggara, Cina, dan Afrika, lebih dari
setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus hepatitis B pada satu saat dalam
kehidupan mereka, dan lebih dari 8% populasi merupakan pengidap kronik virus
ini. Keadaan ini merupakan akibat infeksi VHB yang terjadi pada usia dini.
Infeksi VHB yang terjadi pada masa bayi dan anak umumnya tidak
memberikan gejala klinis (asimtomatik), sehingga sering kali tidak diketahui.
Dengan demikian dapat dimengerti bila angka laporan mengenai jumlah pengidap
jauh di bawah angka yang sebenarnya.
Pada bayi dan anak terdapat masalah hepatitis B yang serius karena risiko
untuk terjadinya infeksi hepatitis B kronis berbanding terbalik dengan usia saat
terjadinya infeksi. Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi VHB
sebelum usia 1 tahun mempunyai resiko kronisitas sampai 90%, sedangkan bila
infeksi VHB terjadi pada usia antara 2- 5 tahun risikonya menurun menjadi 50%,
bahkan bila terjadi infeksi pada anak berusia di atas 5 tahun hanya berisiko 5-10%
untuk terjadinya kronisitas.

2
Prevalens HBsAg di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 3-20%,
dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Pada umumnya di luar Jawa angka ini
lebih tinggi. Di Jakarta prevalens HBsAg pada suatu populasi umum adalah 4,1%.
Angka-angka ini sangat tinggi sehingga diperlukan suatu cara untuk
menurunkannya. Pengobatan untuk menghilangkan virus hepatitis B sampai saat
ini belum memuaskan dan hanya dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
criteria yang sangat selektif serta menelan biaya yang cukup tinggi. Cara lain
yang dapat digunakan adalah dengan imunisasi hepatitis B secara universal.
Berdasarkan data di atas, menurut klasifikasi WHO, Indonesia tergolong dalam
Negara dengan prevalens infeksi VHB sedang sampai tinggi, sehingga strategi
yang dianjurkan adalah dengan pemberian vaksin pada bayi sedini mungkin.
Tingginya angka prevalens hepatitis B di Indonesia terkait dengan terjadinya
infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar pengidap VHB ini diduga
mendapatka infeksi HBV melalui transmisi vertical, sedangkan sebagian lainnya
mendapatkan melalui transmisi horizontal karena kontak erat pada usia dini.
Tingginya angka transmisi vertical dapat diperkirakan dari tingginya angka
pengidap VHB pada ibu hamil pada beberapa rumah sakit di Indonesia. Oleh
sebab itu perlu dilakukan usaha untuk memutuskan rantai penularan sedini
mungkin, dengan cara vaksinasi bahkan bila memungkinkan diberikan juga
imunisasi pasif (HBIg)2,5.

II.3 ETIOLOGI

Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg tahun 1965 dan dikenal dengan nama antigen Australia
yang termasuk DNA virus. Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran
42 nm yang disebut dengan “Partikel Dane” (Gambar). Lapisan luar terdiri atas
antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada partikel inti terdapat
hepatitis B core antigen (HBcAg) dan hepatitis B antigen (HBeAg). Antigen
permukaan (HBsAg) terdiri atas lipoprotein dan menurut sifat imunologiknya
protein virus hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan ayr.

3
Subtype ini secara epidemiologis penting karena menyebabkan perbedaan
geografik dan rasial dalam penyebaranya8.

Gambar : Virus Hepatitis B (Sumber: www.retroscope.eu.com, 2010)

II.4 PATOFISIOLOGI

Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus
Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan
mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya
nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada
DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA
VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus

4
Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang
kronis disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi6.
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel,
terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan
hati ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting
terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon
imun, makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon
imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama
HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA)
class I-restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami
proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major
Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran
sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+3.

Gambar : Patogenesis imun pada virus hepatitis B (Sumber: Ganem et al, 2004).

II.5 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan.
Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya

5
riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya
menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat4.

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:


1. Fase Inkubasi

Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase
inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan ratarata 60-90 hari.

2. Fase prodromal (pra ikterik)

Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus.


Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia,
mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat
terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolestitis.

3. Fase ikterus

Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul
ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.

4. Fase konvalesen (penyembuhan)

Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin
lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant11.

Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap


individudengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme,
untukmenghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB.
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B

6
kronik.Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang
mantap.

II.6 DIAGNOSIS

a. Anamnesis
Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan
demam. Dalam beberapa hari-minggu timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang
berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat
kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat
hepatotoksik.

b. Pemeriksaan fisik
Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali, perhatikan
tepi, permukaan, dan konsistensinya.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi : dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia :
infestasi cacing, leukositosis : infeksi bakteri.
2. Urin : bilirubin urin
3. Biokimia :
a. Serum bilirubin direk dan indirek
b. ALT (SGPT) dan AST (SGOT)
c. Albumin, globulin
d. Koagulasi : faal hemostasis terutama waktu protrombin
4. Petanda serologis :
Hepatitis B didiagnosis dari hasil-hasil tes-tes darah spesifik virus
hepatitis B (serologi) yang mencerminkan beragam komponen-
komponen virus hepatitis B.

4.1. HBsAg dan anti-HBs


Diagnosis infeksi hepatitis B dibuat terutama dengan
mendeteksi hepatitis B surface antigen (HBsAg) dalam darah.
Kehadiran HBsAg berarti bahwa ada infeksi virus hepatitis B aktif dan
ketidakhadiran HBsAg berarti tidak ada infekis virus hepatitis B aktif.

7
Menyusul suatu paparan pada virus hepatitis B, HBsAg menjadi
terdeteksi dalam darah dalam waktu empat minggu. Pada inidividu-
individu yang sembuh dari infeksi virus hepatitis B akut, eliminasi atau
pembersihan dari HBsAg terjadi dalam waktu empat bulan setelah
timbulnya gejala-gejala. Infeksi virus hepatitis B kronis didefinisikan
sebagai HBsAg yang menetap lebih dari enam bulan.
Setelah HBsAg dieliminasi dari tubuh, antibodi-antibodi
terhadap HBsAg (anti-HBs) biasanya timbul. Anti-HBs ini
menyediakan kekebalan pada infeksi virus hepatitis B yang berikutnya.
Sama juga, individu-individu yang telah berhasil divaksinasi terhadap
virus hepatitis B mempunyai anti-HBs yang dapat diukur dalam darah.

4.2. Anti-HBc
Hepatitis B core antigen hanya dapat ditemukan dalam hati dan
tidak dapat terdeteksi dalam darah. Kehadiran dari jumlah-jumlah yang
besar dari hepatitis B core antigen dalam hati mengindikasikan suatu
reproduksi virus yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa virusnya
aktif. Antibodi terhadap hepatitis B core antigen, dikenal sebagai
antibodi hepatitis B core (anti-HBc), bagaimanapun, terdeteksi dalam
darah. Sebagai suatu kenyataan, dua tipe dari antibodi-antibodi anti-
HBc (IgM dan IgG) dihasilkan.
IgM anti-HBc adalah suatu penanda/indikator
(marker/indicator) untuk infeksi hepatitis B akut. IgM anti-HBc
ditemukan dalam darah selama infeksi akut dan berlangsung sampai
enam bulan setelah timbulanya gejala-gejala. IgG anti-HBc
berkembang selama perjalanan infeksi virus hepatitis B akut dan
menetap seumur hidup, tidak perduli apakah individunya sembuh atau
mengembangkan infeksi kronis. Sesuai dengan itu, hanya tipe IgM dari
anti-HBc dapat digunakan secara spesifik untuk mendiagnosis suatu
infeksi virus hepatitis B akut. Selain itu, menentukan hanya total anti-
HBc (tanpa memisahkan kedua komponennya) adalah sangat tidak
bermanfaat.

8
4.3. HBeAg, anti-HBe, dan mutasi-mutasi pre-core
Hepatitis B e antigen (HBeAg) dan antibodi-antibodinya, anti
HBe, adalah penanda-penanda (markers) yang bermanfaat untuk
menentukan kemungkinan penularan virus oleh seseorang yang
menderita infeksi virus hepatitis B kronis. Mendeteksi keduanya
HBeAg dan anti-HBe dalam darah biasanya adalah eksklusif satu sama
lain. Sesuai dengan itu, kehadiran HBeAg berarti aktivitas virus yang
sedang berlangsung dan kemampuan menularkan pada yang lainnya,
sedangkan kehadiran anti-HBe menandakan suatu keadaan yang lebih
tidak aktif dari virus dan risiko penularan yang lebih kecil.
Pada beberapa individu-individu yang terinfeksi dengan virus
hepatitis B, material genetik untuk virus telah menjalankan suatu
perubahan struktur yang tertentu, disebut suatu mutasi pre-core. Mutasi
ini berakibat pada suatu ketidakmampuan virus hepatitis B untuk
menghasilkan HBeAg, meskipun virusnya reproduksi/replikasi secara
aktif. Ini berarti bahwa meskipun tidak ada HBeAg yang terdeteksi
dalam darah dari orang-orang dengan mutasi, virus hepatitis B masih
tetap aktif pada orang-orang ini dan mereka dapat menularkan pada
yang lain-lainnya.

4.4. Hepatitis B virus DNA


Penanda yang paling spesifik dari reproduksi/replikasi virus
hepatitis B adalah pengukuran dari hepatitis B virus DNA dalam darah.
Anda ingat bahwa DNA adalah material genetik dari virus hepatitis B.
Tingkat-tingkat yang tinggi dari hepatitis B virus DNA
mengindikasikan suatu reproduksi/replikasi virus dan aktivitas virus
yang sedang berlangsung. Tingkat-tingkat hepatitis B virus DNA yang
rendah atau tidak terdeteksi dikaitkan dengan fase/tahap infeksi virus
hepatitis B yang tidak aktif. Beberapa tes-tes laboratorium yang
berbeda (assays) tersedia untuk mengukur hepatitis B virus DNA.

9
PCR (polymerase chain reaction) adalah metode (assay) yang
paling sensitif untuk menentukan tingkat hepatitis B virus DNA. Ini
berarti bahwa PCR adalah metode yang terbaik untuk mendeteksi
jumlah-jumlah yang sangat kecil dari penanda virus hepatitis B.
Metode ini bekerja dengan memperbesar material yang sedang diukur
sampai semilyar kali untuk mendeteksinya. Metode PCR, oleh
karenanya, dapat mengukur sekecil 50 sampai 100 kopi (partikel-
partikel) dari virus hepatitis B per mililiter darah. Tes ini,
bagaimanapun, sebenarnya terlalu sensitif untuk penggunaan diagnosis
yang praktis.
Tujuan mengukur hepatitis B virus DNA biasanya adalah untuk
menentukan apakah infeksi virus hepatitis B aktif atau tidak aktif
(diam). Perbedaan ini dapat dibuat berdasarkan jumlah hepatitis B
virus DNA dalam darah. Tingkat-tngkat yang tinggi dari DNA
mengindikasikan suatu infeksi yang aktif, dimana tingkat-tingkat yang
rendah mengindikasikan suatu infeksi yang tidak aktif (tidur). Jadi,
pasien-pasien denga penyakit yang tidur (tidak aktif) mempunyai kira-
kira satu juta partikel-partikel virus per mililiter darah, sedangkan
pasien-pasien dengan penyakit yang aktif mempunyai beberapa milyar
partikel-partikel per mililiter. Oleh karenanya, siapa saja yang HBsAg
positif, bahkan jika infeksi virus hepatitis B tidak aktif, akan
mempunyai tingkat-tingkat hepatitis B virus DNA yang dapat
terdeteksi dengan metode PCR karena ia begitu sensitif.
Untuk tujuan-tujuan praktis, hepatitis B virus DNA dapat
diukur menggunakan suatu metode yang disebut metode
hybridization, yang adalah suatu tes yang lebih kuang sensitif
daripada PCR. Tidak seperti metode PCR, metode hybridization
mengukur material virus tanpa pembesaran. Sesuai dengan itu, tes ini
dapat mendeteksi hepatitis B virus DNA hany ketika banyak partikel-
partikel virus hadir dalam darah, berarti bahwa infeksinya aktif.
Dengan kata lain, dari sudut pandang yang praktis, jika hepatitis B

10
virus DNA terdeteksi dengan suatu metode hybridization, ini berarti
bahwa infeksi virus hepatitis B adalah aktif.
Beberapa tes serologi untuk HBV seperti di atas dapat
diinterpretasikan seperti pada tabel 1.

Tabel 1: Interpretasi tes-tes darah (serologi) virus hepatitis B


(Sumber: www.totalkesehatananda.com, 2008)

Anti- Anti-
Anti- Anti- HBV
HBsAg Hbc HBc HBeAg Interpretasi
HBs HBe DNA
(total) IgM
Tahap awal infeksi
+ - + + + + +
akut
Tahap Kemudian
+ - + + - + -
infeksi akut
Tahap kemudian
- - + + - + -
infeksi akut
Kesembuhan dengan
- + + - - - -
kekebalan
- + - - - - - Vaksinasi yang sukses
Infeksi kronis dengan
+ - + - + - +
reproduksi aktif
Infeksi kronis dalam
+ - + - - + -
tahap tidak aktif
Infeksi kronis dengan
+ - + - - + +
reproduksi aktif
- - + - - + atau - Kesembuhan, Hasil
- positif palsu, atau

11
infeksi kronis

5. USG hati dan saluran empedu : Apakah terdapat kista duktus


koledokus, batu saluran empedu, kolesistitis ; parenkim hati, besar
limpa1.

II.7 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi α1-


antitrypsin, tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau
gangguan metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak. Penyebab
lain dari hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilson’s, hepatitis
autoimun, dan pengobatan yang hepatotoksik2,5.

II.8 KOMPLIKASI

Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut.


Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut. Kebanyakan
penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut yang
jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang paling ditakuti karena sebagian
besar berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus fulminan adalah
dari tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada
koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80%
tetapi penderita hepatitis fulminan yang berhasil hidup biasanya mengalami
kesembuhan biokimiawi atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan
adalah transplantasi hati9.
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh
jaringan parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan
mengubah struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati
akan mengalami kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan
bahkan kehilangan fungsinya6.

12
II.9 PENATALAKSANAAN

Infeksi yang sembuh spontan


1. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan
menyebabkan dehidrasi.
2. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat
 Tidak ada rekomendasi diet khusus
 Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan
yang paling baik ditoleransi
 Menghindari konsumsi alkohol selama fase akut
3. Aktifitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari.
4. Pembatasan aktivitas sehari – hari tergantung dari derjat kelelahan dan
malaise
5. Peran lamivudine atau adenovir pada hepatitis B akut masih belum jelas.
Kortikosteroid tidak bermanfaat.
6. Obat – obat yang tidak perlu harus dihentikan.

Gagal hati akut


1. Perawatan di rumah sakit
 Segera setelah diagnosis ditegakan
 Penanganan terbaik dapat dilakukan pada rumah sakit yang
menyediakan program transplantasi hati.
2. Belum ada terapi yan terbukti efektif
3. Tujuan
 Sementara menunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan
fungsi hati dilakukan monitoring kontinu dan terapi suportif
 Pengenalan dirir dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam
nyawa
 Mempertahankan fungsi vital
 Persiapan transplantasi bila tidak terdapat perbaikan
4. Angka survival mencapai 65 – 75 % bila dilakukan transplantasi dini.

13
Hepatitis Kolestastasis
1. Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan pemberian jangka pendek
prednison atau asam ursodioksikolat. Hasil penelitian masih belum
tersedia.
2. Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin.

Heptitis Relaps
Penanganan serupa dengan hepatitis sembuh spontan11.

II.10 PENCEGAHAN

Upaya pencegahan merupakan hal terpenting karena merupakan upaya yang


paling cost – effective. Secara garis besar, upaya preventif dibagi dua yaitu upaya
yang bersifat umum dan upaya yang lebih spesifik (imunisasi VHB7.

Kebijakan preventif umum


1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
2. Sterilisasi instrumen secara adekuat – akurat. Alat dialisis digunakan
secara individual. Untuk pasien dengan VHB disediakan mesin tersendiri.
Jarum disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak tembus jarum.
3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
4. Perilaku seksual yang aman.
5. Penyuluhan agar para penyalah-gunaan obat tidak memakai jarum secara
bergantian.
6. Mencegah kontak mikrolesi, menghindar dari pemakaian alat yang dapat
menularkan VHB (sikat gigi, sisir), berhati – hati dalam menangani luka
terbuka.
7. Skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ke – 3 kehamilan,
terutama ibu yang berisiko terinfeksi VHB. Ibu hamil dengan VHB (+)
ditangani terpadu. Segera setelah lahir bayi diimunisasi aktif dan pasif
terhadap VHB.
8. Skrining populasi resiko tinggi tertular VHB (lahir di daerah
hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks berganti – ganti,

14
tenaga medis, pasien dialisis, keluarga dari penderita VHB kronis, kontak
seksual dengan penderita VHB)

Kebijakan Preventif Khusus


Imunisasi Pasif
Hepatitis B immune globuline (HBIg) dibuat dari plasmaa yang
mengandung anti HBs titer tinggi (> 100.000 IU/ml) sehingga dapat memberikan
proteksi secara tepat meskipun hanya utnuk jangka waktu yang terbatas (3 – 6
bulan). Pada orang dewasa, HBIg diberikan dalam waktu 48 jam pasca paparan
VHB. Pada bayi dari ibu pengidap VHB, HBIg diberikan bersamaan dengan
vaksin VHB di sisi tubuh berbeda dalam waktu 12 jam setelah lahir. Kebijakan ini
terbukti efektif (85 – 95%) dalam mencegah infeksi VHB dan mencegah
kronisitas (19 – 20 %) sedangkan dengan vaksin VHB saja memiliki tingkat
efektivitas 75 %. Bila HbsAg ibu baru diketahui beberapa hari kemudian, HBIg
dapat diberikan bila usia bayi ≤ 7 hari.
HBIg tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai upaya pencegahan pra –
paparan. HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (profilaksis pasca
paparan) pada mereka yang terpapar VHB melalui jarum/ penyuntikan, tertelan
atau terciprat darah ke mukosa atau ke mata, atau kontak dengan penderita VHB
kronis. Namun demikian, efektivitasnya akan menurun bila diberikan 3 hari
setelah paparan. Umumnya, HBIg diberikan bersama vaksin HBV sehingga selain
memberikan proteksi secara cepat, kombinasi ini juga memberikan proteksi
jangka panjang7.

Imunisasi Aktif
Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program imunisasi bayi
baru lahir dan kelompok tinggi resiko tertular VHB. Tujuan akhirnya adalah:
1. Menyelamatkan nyawa pasien.
2. Menurunkan resiko karsinoma hepatoseluler akibat VHB.
3. Eradikasi virus.

Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang
lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah

15
immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin
hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan
perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut:
Dewasa:Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis awal,
kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
Anak :Diberikan dengan dosis 10 μg IM sebagai dosis awal , kemudian diulangi
setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan8.

II. 11 PROGNOSIS

Sembilan puluh persen dari kasus-kasus hepatitis akut B menyelesaikan


dalam waktu 6 bulan, 0,1% adalah fatal karena nekrosis hati akut, dan sampai
10% berkembang pada hepatitis kronis. Dari jumlah tersebut, ≥ 10% akan
mengembangkan sirosis, kanker hati, atau keduanya12.

BAB III
KESIMPULAN

Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula
menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian. Hepatitis B akut
adalah inflamasi akibat infeksi virus hepatitis B yang berlangsung selama < 6
bulan.

16
Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut karena suatu infeksi
atau keracunan. Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia
dan dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan.
Hal ini karena selain prevelensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan
problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirrhosis hepatitis dan carcinoma
hepatocelluler primer.
Infeksi hepatitis B akut biasanya tidak memerlukan pengobatan karena
kebanyakan orang dewasa membersihkan infeksi secara spontan . Pengobatan
antivirus dini mungkin hanya diperlukan dalam kurang dari 1 % dari pasien , yang
infeksi mengambil kursus sangat agresif ( hepatitis fulminan ) atau yang
immunocompromised . Di sisi lain , pengobatan infeksi kronis mungkin
diperlukan untuk mengurangi risiko sirosis dan kanker hati .

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Hepatitis B. 2008. Avaliable from:


http://www.totalkesehatananda.com/hepatitisb1.html
2. Dienstag, Jules L.2005. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In
Harrison’s : Principles of Internal Medicine : McGraw-Hill, Medical
Publishing Division.
3. Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil
laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra.
4. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. 2012.
Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
5. Lina Herlina Soemara. 2000. Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif
Hepatitis Virus pada Anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
6. Mustofa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran serna :
Panduan bagi dokter umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing.

17
7. Poernomo Budi Setiawan. 2006. Panduan Tatalaksana Infeksi Hepatitis B
Kronik. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
8. Ramza Shiddiq. Hepatitis B. 2011. Avaliable from:
http://ramzashiddiq.blogspot.com/2011/02/hepatitis-b.html
9. Soewignjo S, Gunawan S. 2008. Hepatitis virus B, edisi ke-2. Jakarta: EGC.
10. Sudigdo Sastroasmoro. 2007. Panduan Pelayanan Medis Departemen
Penyakit Dalam. Jakarta: RSCM.
11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata S, Setiati S. 2010. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid 3, edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
12. Wilson, Walter R. And Merle A. Sande. 2001. Current Diagnosis & Tratment
in Infectious Disease. The mcGraw-hill Companies, United States of
America.

18

Anda mungkin juga menyukai