Anda di halaman 1dari 42

TUGAS ASPEK HUKUM

DI SUSUN OLEH :

1. ABDUL HAMID (41115010012)


2. T
3. T
4. T
5. T
6. T
7. T

UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

T.A 2017/2018
KLAIM KONSTRUKSI

DAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI

1. Pendahuluan.

Di negara-negara Barat dimana Industri Jasa konstruksi sudah berkembang dengan pesat dan
menggunakan teknologi yang serba canggih, masalah klaim sudah lama dikenal dan sudah
merupakan suatu masalah biasa yang terjadi antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Para
Penyedia Jasa di negara-negara tersebut bersaing sangat ketat satu sama lain dalam usaha
memenangkan tender untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Hampir semua Penyedia Jasa
menguasai teknologi dan seluk beluk Jasa Konstruksi sehingga perbedaan harga penawaran
pada waktu tender tidak lagi karena perbedaan harga suatu pekerjaan tetapi karena persaingan
dalam efisiensi mengerjakan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, perusahaan jasa konstruksi
yang paling efisienlah yang dapat menekan harga suatu pekerjaan sehingga menjadi murah
yang memungkinkannya memenangkan tender, bukan karena perbedaan mutu pekerjaan itu
sendiri. Akhir-akhir ini persaingan harga karena efisiensi inipun sudah semakin ketat sehingga
harga penawaran yang masuk hampir-hampir sama nilainya. Oleh karena itu beberapa
perusahaan Jasa Konstruksi mencari keuntungan bukan dari efisiensi tapi dari kejeliannya
melihat peluang klaim yang besar pada waktu tender. Setelah dia yakin bahwa peluang klaim
tersebut cukup besar memberikan keuntungan maka harga penawarannya pada waktu tender
ditekan sehingga jauh dibawah penawaran lain, sehingga dia menang. Setelah menang tender
dia menyusun struktur klaim yang memang sudah direncanakan.

Bagaimana masalah klaim di Indonesia ?

Kita di Indonesia terlanjur banyak yang mengartikan klaim sebagai suatu tuntutan. Oleh karena
itu klaim menjadi sesuatu yang “tabu”. Banyak Pengguna Jasa (Pemerintah) yang kurang
senang apabila Penyedia Jasa mengajukan klaim. Tidak jarang terjadi Penyedia Jasa tersebut
pada kesempatan berikut tidak disertakan lagi dalam tender karena sering mengajukan klaim.
Inilah sebabnya di Indonesia sampai ditahun-tahun delapan puluhan sampai awal tahun
sembilan puluhan Penyedia Jasa “takut” mengajukan klaim. Padahal sebagaimana akan kita
lihat dalam uraian selanjutnya arti sesungguhnya dari klaim tak lebih dari suatu permintaan.
Dalam uraian selanjutnya akan kita bahas pertama-tama mengenai perkembangan klaim di
tanah air kita, kemudian dilanjutkan dengan cara pengelolaan klaim, pengertian klaim, kategori
klaim dan sebab-sebab timbulnya klaim. Juga akan diuraikan cara-cara menyelesaikan
sengketa konstruksi melalui arbitrase.

2. Perkembangan Klaim di Indonesia.

Berbicara mengenai perkembangan klaim di Indonesia, kita perlu menengok secara singkat
perkembangan Industri Jasa Konstruksi itu sendiri . Sejak kita merdeka, perkembangan Jasa
Konstruksi dapat kita bagi dalam 5 periode, yaitu :

2.1 Periode 1945 - 1950

2.2 Periode 1951 - 1959

2.3 Periode 1960 - 1966

2.4 Periode 1967 - 1996

2.5 Periode 1997 - 2002

2.1 Periode 1945 - 1950

Dalam periode ini yang merupakan periode awal kemerdekaan, Industri Jasa Konstruksi
belum lahir. Kita di sibukkan dengan pergolakan fisik melawan Belanda yang ingin kembali
menjajah kita. Pelbagai hasil perundingan yang dicapai seperti Linggarjati, Renville, Rum-
Royen tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Barulah setelah Konferensi Meja Bundar
(KMB) kita bebas dari gangguan pihak Belanda. Praktis pada periode ini kita belum dapat
membangun.

2.2 Periode 1951 - 1959

Dalam periode inipun kita praktis belum mulai membangun karena sistim
ketatanegaraan yang kita pakai menyebabkan pemerintahan tidak pernah stabil (Kabinet
berganti-ganti dalam hitungan bulan) disamping adanya gangguan dari golongan separatis
seperti DI, TII, PRRI, Permesta. Pemerintah belum mempunyai rencana pembangunan yang
definitif.
2.3 Periode 1960 - 1966

Dalam periode ini sistim ketatanegaraan kita melaui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 kembali ke UUD 1945. Presiden Soekarno mulai melakukan pembangunan yang
dikomandoi sendiri. Kita catat beberapa pembangunan Hotel megah (Indonesia, Samudera
Beach, Ambarukmo, Bali Beach), Jembatan Semanggi, Wisma Nusantara, Gelora Bung
Karno, Proyek Ganefo (sekarang Komplek MPR/DPR). Sayangnya proyek-proyek tersebut
tidak banyak bermanfaat untuk rakyat banyak kecuali Bendungan Jatiluhur, Karangkates,
Asahan. Industri Jasa Konstruksi mulai bangkit namun terbatas pada perusahaan-perusahaan
Belanda yang di nasionalisasikan. Persaingan belum ada karena Proyek langsung ditunjuk
Presiden. Klaim konstruksi tidak pernah ada. Sektor swasta baru mulai satu dua perusahaan.

2.4 Periode 1967 - 1996

Dalam periode ini kita untuk pertama kali mempunyai program pembangunan yang
terarah dan berkesinambungan yang dikenal dengan istilah Repelita (Rencana Pembangunan
Lima Tahun) dimulai tahun 1969.

REPELITA I : 1969 - 1974

REPELITA II : 1974 - 1979

REPELITA IIII : 1979 - 1984

REPELITA IV : 1984 - 1989

REPELITA V : 1989 - 1994

Dapat dikatakan dalam periode inilah mulai tumbuh industri


jasa konstruksi secara definitif. Perusahan-perusahan Belanda
yang diambil alih pada tahun 1959 dan berstatus Perusahaan
Negara (PN) diubah statusnya menjadi Persero.
Pekerjaan tidak lagi dibagi tapi ditenderkan. Mulailah persaingan antar BUMN. Kemudian
swastapun mulai bangkit, termasuk swasta asing. Proyek-proyek banyak yang menggunakan
dana dari luar negeri. Teknologi sudah semakin maju. Jenis kontrak beragam namun klaim
konstruksi masih jarang terjadi, baru dari pihak swasta asing.

2.5 Periode 1997 – 2002.

Dalam periode ini Industri Jasa Konstruksi benar-benar lumpuh. Akibat krisis
moneter pertengahan 1997 banyak proyek terbengkalai. Pengguna Jasa tak mampu
membayar Penyedia Jasa. Klaim-klaim konstruksi mendadak banyak bermunculan
terutama karena Penyedia Jasa tidak dibayar. Industri Jasa Konstruksi yang telah
tumbuh dan berkembang demikian pesatnya selama kurun waktu 32 tahun berhenti
secara mendadak. Banyak Penyedia Jasa yang ambruk/bangkrut. PHK terjadi dimana-
mana. Ditengah-tengah kelumpuhan Industri Jasa Konstruksi, Pemerintah membuat
Undang-Undang No. 18/1999 tentang jasa konstruksi beserta 3 peraturan
pelaksanaannya ; PP No. 28/ 2000, PP No. 29/ 2000 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Ini suatu ironi. Dahulu selama 32 tahun Industri Jasa
Konstruksi berkembang tanpa ada peraturan-peraturan yang baku. Sekarang pada saat
Industri Jasa Konstruksi berhenti justru dibuat peraturan perundangan sebagai
rujukan.

Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa walaupun Industri Jasa
Konstruksi di negeri kita telah berkembang selama + 32 tahun klaim konstruksi baru
mulai muncul beberapa tahun terakhir (awal tahun 1997).

3. Pembahasan Klaim Konstruksi.

3.1 Umum.

3.1.1 Klaim konstruksi dapat terjadi antar para pihak yang berkontrak. Tegasnya klaim
mungkin saja datang dari pihak Penyedia Jasa kepada Pengguna Jasa atau sebaliknya. Jadi
tidak benar bila klaim hanya datang dari pihak Pengguna Jasa atau sebaliknya hanya
Pengguna Jasa yang boleh mengajukan klaim.

3.1.2 Disamping itu klaim dapat juga terjadi dari pihak lain diluar kontrak seperti Konsultan
Pengawas/Perencana, para Sub Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa.
3.1.3 Arti klaim sesungguhnya adalah permintaan/permohonan mengenai biaya, waktu dan
atau kompensasi pelaksanaan diluar ketentuan tercantum dalam kontrak konstruksi. Jadi
adalah suatu kekeliruan/salah pengertian yang menganggap klaim adalah suatu tuntutan.
Memang benar klaim adakalanya berakhir dengan suatu tuntutan baik melalui suatu Badan
Peradilan atau Lembaga Arbitrase apabila permintaan tersebut tidak dikabulkan.

3.1.4 Pengajuan klaim dapat dengan berbagai cara dan yang paling sederhana berupa
permintaan lisan sampai dengan permintaan yang disusun secara tertulis lengkap dengan data
pendukungnya.

3.1.5 Para pihak didalam suatu kontrak konstruksi lebih menyukai pemecahan secara damai
tanpa melalui Badan Peradilan. Mereka menginginkan terdapat keputusan yang cepat, karena
penyelesaian melalui Pengadilan disamping memakan waktu dan biaya, permasalahannya
semakin terbuka untuk umum. Penyelesaian melalui Arbitrase lebih disukai karena disamping
waktu lebih pendek, para arbiter dapat dipilih yang profesional dan keputusannya adalah final
dan mengikat para pihak. Upaya hukum dalam bentuk apapun bila telah keluar keputusan
arbitrase tidak diperkenankan (berbeda dengan Pengadilan yang memungkinkan banding,
kasasi atau Peninjauan Kembali).

3.1.6 Mengenai klaim ini Robert D. Gilbreath dalam bukunya yang berjudul MANAGING
CONSTRUCTION CONTRACTS pada halaman 203 - 204 menulis sebagai berikut :

“KLAIM-KLAIM

Dalam konteks suatu kontrak konstruksi, kedua belah pihak dapat mengajukan klaim satu
sama lain.

1. Penyedia Jasa boleh mengajukan tambahan waktu pelaksanaan atau


tambahan kompensasi dari Pengguna Jasa, atau beberapa konsesi
seperti pengurangan dari persyaratan teknis atau spesifikasi bahan.

2. Pengguna Jasa boleh klaim pembebasan dalam pengertian pengurangan


nilai kontrak dan atau percepatan atau penundaan dari pelaksanaan
Penyedia Jasa.
Tentu saja, banyak pihak lain baik secara terikat kontrak atau lainnya boleh mengajukan
klaim satu sama lain baik kepada Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa, termasuk para Sub-
Penyedia Jasa Konstruksi Perencana atau konsultan hukum. Pembicaraan kita dititik
beratkan pada klaim-klaim yang paling biasa selama masa pelaksanaan - dari Penyedia Jasa
kepada Pengguna Jasa atau sebaliknya. Prinsip-prinsip yang sama dari pembelaan atau
pengajuan klaim yang disajikan disini juga digunakan pada mayoritas dari keadaan klaim-
klaim lainnya. Klaim tidak lebih dari suatu permintaan atau pemohonan mengenai biaya,
waktu atau kompensasi pelaksanaan atas sesuatu yang telah diberikan atau dimaksud dari
salah satu pihak dalam kontrak kepada pihak lain. Klaim-klaim dapat disajikan dalam setiap
macam bentuk, mulai dari yang tidak resmi atau bahkan permintaan lisan sampai kepada
paket dokumen klaim yang disusun secara rapi. Kesalahan konsep yang biasa terjadi adalah
klaim itu secara alamiah adalah berupa tuntutan hukum dengan pengertian salah satu pihak
menggugat pihak lain atas suatu kerusakan dalam rasa hukum. Sebetulnya bukan ini
kasusnya. Walaupun beberapa klaim memburuk sampai suatu titik dimana permintaan
membutuhkan tindakan hukum atau arbitrase, kebanyakan diselesaikan jauh sebelum hal ini
terjadi. Kebanyakan mayoritas klaim yang diprakarsai oleh Pengguna/ Penyedia Jasa
diselesaikan melalui perundingan mematuhi ketentuan-ketentuan atau pendekatan yang
disetujui bersama mengenai waktu dan biaya pelaksanaan antara Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa. Dalam daerah hukum dan ancaman hukum, kebanyakan Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa menyadari penyelesaian tanpa melalui jalur hukum sangat lebih dikehendaki.
Kedua belah pihak biasanya menderita jika klaim berlangsung atau dialihkan kedalam
tuntutan hukum. Tujuan setiap orang yang bersangkutan haruslah mengerti situasi klaim
secepatnya dan menyelesaikannya selekas mungkin. Bagi para Pengguna Jasa tuntutannya
mungkin lebih sederhana :

Apakah anda lebih suka mendapatkan penyelesaian proyek atau memaksakan klaim lewat
pengadilan ?.

Kebanyakan para Pengguna Jasa yang layak akan memilih yang tersebut pertama.
(Terjemahan bebas N. Yasin
3.2. Kategori Klaim.

Sebagaimana telah disinggung dalam butir 3.1, klaim dapat terjadi dari Pengguna Jasa
terhadap Penyedia Jasa atau sebaliknya. Berdasarkan hal ini klaim dapat dikategorikan dalam
2 hal yaitu :

3.2.1 Dari Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa berupa :

a. Pengurangan nilai kontrak

b. Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan

c. Kompensasi atas kelalaian Penyedia Jasa

3.2.2 Dari Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa berupa :

a. Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan

b. Tambahan kompensasi

c. Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.

3.3 Sebab-sebab timbulnya Klaim.

Sesungguhnya dalam Industri Jasa Konstruksi, klaim adalah suatu hal yang sangat wajar
terjadi. Di negara Barat yang Industri Jasa Konstruksinya sudah berkembang dan para pelaku
Industri Jasa Konstruksi menyadari betul arti sebuah klaim, maka hal ini menjadi biasa
Sebagai ilustrasi, sewaktu bertugas di Saudi Arabia terasa asing dikuping sewaktu Pengguna
Jasa menanyakan : “Do you have any claim to us ?”

Di Indonesia hampir tak pernah ada Pengguna Jasa yang bertanya seperti kejadian di Saudi
Arabia tersebut. Hal ini tak lain karena salah pengertian mengenai arti sesungguhnya dari
klaim sehingga dianggap sesuatu yang “tabu”. Jadi sebagaimana dengan perubahan
pekerjaan, klaim dapat berasal dari mana saja. Walaupun ada beberapa sebab timbulnya
klaim, tetapi hampir semuanya memiliki dasar dalam tindakan atau pengurangan dari salah
satu pihak dalam kontrak namun dapat juga yang kurang sering terjadi seperti sebab-sebab
dari pihak ketiga, tindakan/keinginan Tuhan atau hal lain yang menyebabkan pihak yang
mengajukan klaim pihak yang mengajukan klaim menderita rugi. Dalam pelatihan ini kita
batasi sebab-sebab timbulnya klaim antara para pihak dalam suatu kontrak konstruksi yaitu
antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa.

3.3.1 Dari pihak Pengguna Jasa

a. Pekerjaan yang dilaksanakan Penyedia Jasa cacat atau kurang sempurna.

b. Penyedia jasa terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak

c. Pemutusan kontrak

3.3.2 Dari pihak Penyedia Jasa

a. Kelambatan atau cacat informasi yang harus diserahkan Pengguna Jasa seperti
gambar-gambar atau spesifikasi.

b. Kelambatan atau cacat dari bahan atau peralatan yang harus disediakan Pengguna
Jasa.

c. Perubahan ketentuan-ketentuan, gambar-gambar atau spesifikasi teknis.

d. Perubahan atau keadaan lapangan yang tidak diketahui

e. Reaksi dari pengaruh pekerjaan yang berturutan.

f. Larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan dari


pelaksanaan proyek.

g. Kontrak yang kurang jelas/perbedaan penafsiran.

Robert D. Gilbreath dalam bukunya : “MANAGING CONSTRUCTION CONTRACT”


menulis mengenai sebab-sebab klaim dihalaman 204 – 205 sebagai berikut :

“SEBAB-SEBAB TERJADI KLAIM

Sebagaimana halnya dengan perubahan-perubahan pekerjaan, klaim-klaim


berasal dari mana saja. Ada banyak sebab-sebab klaim, tetapi hampir
seluruhnya mempunyai dasar dengan dugaan bahwa tindakan-tindakan,
pengurangan-pengurangan, oleh salah satu pihak dalam kontrak atau – yang
kurang sering terjadi oleh pihak ketiga, tindakan-tindakan Tuhan atau
lainnya – menyebabkan pihak yang mengajukan klaim menderita kerugian.
Dalam suatu lingkungan proyek konstruksi yang sangat kompleks
memberikan tekanan waktu dan biaya pada semua pihak dan menyadari
banyak sekali hubungan, tanggung jawab, kewajiban dan saling
ketergantungan sehingga mudah terlihat mengapa klaim-klaim adalah sama
biasanya dengan menggambarkan suatu pemandangan konstruksi seperti
beton dan penulangannya. Pertama-tama mari kita bahas kasus di mana
Pengguna Jasa melakukan klaim kepada Penyedia Jasa, karena hal ini sangat
kurang biasa dibandingkan situasi klaim yang di bicarakan sebelumnya.
Biasanya Pengguna Jasa mengajukan klaim-klaim terhadap para Penyedia
Jasanya (dan dalam hal tersebut biro teknik atau konsultan lain) salah satu
atau lebih sebab-sebab berikut :

1. Pekerjaan yang cacat.

Para Pengguna Jasa yang tidak puas dengan apa yang dihasilkan Penyedia
Jasa dapat mengajukan klaim atas kerugian termasuk biaya perubahan,
penggantian atau pembongkaran pekerjaan yang cacat. Dalam banyak
kejadian pekerjaan tidak sesuai spesifikasi tersebut dalam kontrak atau
hal lain yang tidak cocok dengan maksud yang di tetapkan. Kadang-
kadang barang-barang atau jasa yang diminta tidak sesuai
garansi/jaminan dari Penyedia Jasa atau pemasoknya.

2. Kelambatan yang disebabkan Penyedia Jasa.

Jika Penyedia Jasa telah berjanji untuk m%laksanakan pekerjaan


tersebut dalam kontrak secara keselurqhan atau sebagian, dalam waktu
yang telah di tetapk!n, Pengguna Jasa dapat mengajukan klaim atas
kerugian bila kelambatan tersebut di sebabkan Penyedia Jasa atau dalam
kejadia. lain, bahkan jika kelambatan tersebut di luar kendAli dari
Penyedia Jasa. Jenis-jenis klaim kerugian dalam hal ini adalah
kehilangan penggunaan dari fasilitas tersebut, pengaruh reaksi pada
Penyedia Jasa lain dan kenaikan biaya dari pekerjaan lain yang
terlambat.

3. Sebagai pembelaan klaim.

Para Pengguna Jasa yang menghadapi klaim-klaim para Penyedia Jasa


dapat membalas dengan klaim tandingan. Klaim tandingan ini biasanya
menyerang atau berusaha memojokkan/mendiskreditkan unsur-unsur asli
dari klaim Penyedia Jasa – dengan membuka hal-hal yang tumpang tindih
atau perangkapan kerugian biaya, atau menyebutkan perubahan-
perubahan atau pasal-pasal klaim dalam kontrak yang melarang atau
modifikasi dari tindakan-tindakan Penyedia Jasa dalam hal terjadi
sengketa umpamanya. Klaim jenis lain, walaupun jarang terjadi, timbul
karena pemutusan kontrak. Hal ini biasanya terjadi bila Penyedia Jasa
gagal menyelesaikan pekerjaan atau karena suatu sebab meninggalkan
lapangan pekerjaan. Dalam hal ini biasanya Pengguna Jasa meminta
konpensasi untuk kenaikan biaya di luar yang telah di bayarkan kepada
Penyedia Jasa untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cara lain. Para
Penyedia Jasa juga mengajukan klaim kerugian bila merasa mereka
secara tidak sah di keluarkan dari proyek atau hal lain yang menghalangi
mereka untuk menyelesaikan pekerjaan. Kedua situasi ini muncul bila
kontrak secara nyata telah di putuskan salah satu pihak. Titik berat
pembicaraan kita tidak akan sampai pada contoh yang ekstrim ini karena
kita memusatkan perhatian pada situasi-situasi klaim yang lebih biasa
terjadi – yaitu yang muncul selama masa pelaksanaan pekerjaan dan bila
kelanjutan pelaksanaan kewajiban-kewajiban kontrak oleh kedua belah
pihak di pikirkan. Dalam hal ini, kebanyakan klaim yang di temukan
dalam proyek konstruksi datang dari Penyedia Jasa terhadap Pengguna
Jasa karena satu dan lain sebab – Kasus-kasusnya serupa bila tidak sama,
seperti perubahan-perubahan tidak resmi yang dapat di ringkas sebagai
berikut :

1. Kelambatan atau cacat informasi dari Pengguna Jasa, biasanya dalam


bentuk gambar-gambar atau spesifikasi teknis.
2. Kelambatan atau cacat dari bahan-bahan atau peralatan yang di
serahkan Pengguna Jasa

3. Perubahan-perubahan permintaan, gambar-gambar atau spesifikasi.

4. Perubahan kondisi lapangan atau kondisi lapangan yang tidak di


ketahui

5. Pengaruh reaksi dari pekerjaan yang bersamaan

6. Larangan-larangan metoda kerja tertentu termasuk kelambatan atau


percepatan pelaksanaan pekerjaan Penyedia Jasa.

7. Kontrak yang memiliki arti mendua atau perbedaan penafsiran.

Dalam setiap situasi ini, Penyedia Jasa akan klaim bahwa sesuatu telah
terjadi (atau gagal terjadi), yang menyebabkan tambahan biaya atau
penambahan waktu di luar yang tersebut dalam kontrak, atau yang dapat
secara wajar di harapkan pada waktu penawaran atau penanda tanganan
kontrak (Terjemahan bebas N. Yasin):

3.4. Unsur-Unsur Klaim Konstruksi.

Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah mengenai waktu
dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan di ubah ketakanlah volume
pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya berubah maka tidak terlalu sulit untuk menghitung
berapa tambahan biaya yang di minta Penyedia Jasa beserta tambahan waktu. Namun terkadang
Penyedia Jasa, di samping klaim yang di sebutkan tadi juga klaim sebagai dampak terhadap
pekerjaan yang tidak berubah. Menghitung klaim biaya untuk hal ini tidaklah mudah. Hal ini
dapat di terangkan sebagai berikut : suatu pekerjaan yang tidak di rubah terpaksa (karena alasan
teknis pelaksanaannya) di tunda pelaksanaannya karena ada pekerjaan lain yang berubah.
Pekerjaan yang tidak berubah tadi seharusnya di kerjakan pada musim kemarau. Oleh karena
terjadi penundaan maka pekerjaan ini terpaksa di laksanakan dalam musin hujan yang
mengakibatkan menurunnya produktivitas dan perlu tambahan biaya untuk melindungi
pekerjaan tersebut dari pengaruh cuaca (hujan). Belum lagi kemungkinan terjadi kenaikan upah
buruh karena musim hujan tambahan tenaga pengamanan, biaya administrasi dan overhead.
Masalah ini di kupas oleh Robert D. Gilbreath dalam bukunya “MANAGING
CONSTRUCTION CONTRACTS” 205-207 sebagai berikut :
“UNSUR-UNSUR KLAIM KONSTRUKSI.

Jika suatu keadaan rangsangan klaim yang telah di terangkan sebelumnya terjadi, Penyedia
Jasa segera memberitahukan Pengguna Jasa mengenai hal itu dan pengaruh dari masing-
masing. Bila pemberitahuan ini di lakukan dengan menekankan klaim, kebanyakan para
Penyedia Jasa meminta tambahan waktu dan/atau konpensasi untuk (1) kenaikan biaya untuk
melaksanakan perubahan pekerjaan dan (2) “dampak biaya” pada pekerjaan yang tidak
berubah. Dalam banyak kasus di mana situasi klaim yang bonafide telah terjadi, Penyedia
Jasa telah menderita beberapa kenaikan biaya-biaya (dalam arti waktu, biaya atau keduanya
dalam masing-masing kategori). Pengguna Jasa boleh menerima atau menolak biaya-biaya
langsung untuk melaksanakan pekerjaan yang di rubah. Akan tetapi, dampak biaya – biaya
pada pekerjaan yang tidak di rubah – tidak mudah untuk di tentukan atau di hitung biayanya.
Mari kita bicarakan dulu biaya-biaya untuk melaksanakan perubahan pekerjaan. Beberapa
biaya yang paling biasa terjadi adalah :

- kenaikan upah tenaga kerja/tambahan atau upah lebih tinggi

- tambahan material dan peralatan yang di perlukan

- tambahan pengawasan, administrasi dan overhead

- kenaikan waktu yang perlu untuk pelaksanaan

- membuka/mengerjakan kembali pekerjaan

- penurunan produktivitas atau efisiensi

- pengaruh cuaca

- catatan mengenai hambatan-hambatan dan kelambatan-kelambatan

- demobilisasi dan remobilisasi

- penanganan material yang berlebihan

- biaya-biaya lembur dan waktu kerja

- lembur yang berlebihan, yang mengarah pada penurunan produktivitas

- salah penempatan peralatan

- kehilangan nilai ekonomi dari material


- penumpukan pada tempat kerja

- de-efisiensi dari jenis pekerjaan.

Untuk dampak biaya-biaya, seluruh hal tersebut di atas dapat diklaim. Bedanya adalah lebih
sulit menetapkan dasar dari dampak dan menghitung kenaikan biaya. Pertanyaan mengenai
apakah dampak biaya dapat dikurangi dengan mudah dapat dikatakan, tapi sulit dijawab:
Berapa kenaikan biaya untuk melaksanakan pekerjaan B dan C setelah pekerjaan A dirubah.
Untuk menjawab pertanyaan ini baik Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa harus
menetapkan apa yang seharusnya menjadi biaya untuk pekerjaan B dan C dan A tidak
berubah. Hal ini membutuhkan analisis kualitatif yang lebih dan seringkali merupakan
masalah yang paling sulit sehubungan dengan dampak biaya. Cara terbaik untuk melukiskan
dampak biaya adalah melalui sebuah contoh. Misalkan Pengguna Jasa karena satu dan lain
hal memperlambat pekerjaan Penyedia Jasa dan menyebabkan penundaan pekerjaan
tersebut yang telah direncanakan untuk dilaksanakan dalam musim panas menjadi musim
dingin. Pekerjaan itu sendiri adalah sama, tetap, toh Penyedia Jasa harus menanggung
biaya sehubungan dengan pekerjaan musim dingin yang seharusnya dilakukan pada musim
panas.

Dampak-dampak biaya dapat termasuk hal-hal berikut:

- Biaya untuk melindungi pekerjaan terhadap cuaca dingin.

- Inefisiensi dalam produksi disebabkan karena para pekerja bekerja dalam


cuaca dingin, dengan perlindungan peralatan yang tidak praktis,
dipermukaan yang licin, dan selama waktu siang yang lebih pendek.

- Biaya-biaya alat pemanas dan bahan bakar untuk melindungi orang dan
untuk pelaksanaan pekerjaan seperti pemanasan untuk beton.

- Kenaikan biaya perawatan peralatan.

- Kerusakan material dan peralatan karena cuaca.

- Ketidakmampuan untuk menjaga angkatan kerja.

- Kehilangan waktu karena suhu yang ekstrim atau kondisi iklim.

- Kenaikan biaya pemondokan dan transpor.

- Kelambatan karena libur Natal.

- Perpanjangan premi asuransi atau pembayaran garansi.


- Kenaikan upah buruh, harga material, peralatan dan biaya overhead karena
inflasi dan eskalasi harga.

(Terjemahan bebas N. Yasin)

3.5. Bentuk/Format Pengajuan Klaim.

Klaim konstruksi dapat beragam dalam bentuk dan isinya.Walaupun klaim dan perubahan
pekerjaan sasarannya sama yaitu meminta kompensasi atas biaya dan waktu namun
sesungguhnya berbeda sifatnya. Kompensasi atas perubahan pekerjaan diajukan sebelum
pekerjaan tersebut dilaksanakan. Bila tidak/belum disetujui pekerjaan tersebut belum
dilaksanakan. Sedangkan klaim, diajukan pada saat pekerjaan sudah atau sedang dikerjakan.
Biasanya cara pengajuan klaim dimulai dengan penyampaian fakta mengenai suatu pekerjaan
yang ditanyakan, diantaranya mengenai lokasi pekerjaan, dan analisis biaya. Kemudian
dilengkapi dengan keterangan yang mendukung klaim tersebut dan disusun berurutan biasanya
berdasarkan surat-menyurat antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa.Mengenai cara pengajuan
klaim ini Robert D. Gilbreath dalam bukunya: MANAGING CONSTRUCTION
CONTRACTS pada halaman 207 menulis sebagai berikut:

“STRUKTUR KLAIM PENYEDIA JASA”.

Sebagaimana telah disebut sebelumnya, klaim-klaim Penyedia Jasa dapat bervariasi dalam
bentuk dan isinya. Akan tetapi jenis klaim biasanya mengikuti struktur sebagai berikut :

1. Keterangan mengenai ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat kontrak seperti


lingkup pekerjaan, struktur pembiayaan yang meliputi bagian pekerjaan
yang ditanyakan.

2. Keterangan mengenai fakta peristiwa yang telah terjadi (atau tidak terjadi)
biasanya disajikan secara kronologis dan merupakan surat-menyurat,
perintah-perintah perubahan, rapat-rapat, dan sebagainya.

3. Akibat dari keadaan rangsangan klaim, biasanya disajikan sebagai cerita


mengenai kenaikan/tambahan usaha yang diperlukan Penyedia Jasa.

4. Analisa biaya, yang mungkin termasuk rincian daftar kenaikan biaya yang
disebabkan perubahan atau suatu perbandingan antara biaya
sesungguhnya dan biaya yang diperkirakan – perbedaan antara keduanya
menunjukkan jumlah klaim.

Perlu diingat bahwa klaim berbeda dengan perhitungan Penyedia Jasa akibat pemberitahuan
perubahan pekerjaan. Dalam arti yang sangat kaku mungkin sama, dengan pertimbangan
bahwa dalam kedua hal tersebut Penyedia Jasa menyajikan informasi mengenai tambahan
biaya kepada Pengguna Jasa. Akan tetapi, pengajuan biaya terjadi sebelum pekerjaan
dilaksanakan, dan sebuah klaim biasanya diajukan setelah atau selama pelaksanaan
pekerjaan bersangkutan. Begitu kenaikan kompensasi atau tambahan waktu disetujui maka
klaim harus berubah menjadi perubahan pekerjaan.

(Terjemahan bebas N. Yasin): Selain itu Mc. Neil Stokes dalam bukunya: “CONSTRUCTION
LAW IN CONTRACTOR’S LANGUAGE” menulis mengenai prosedur klaim pada halaman
140-142 sebagai berikut :

“Prosedur Klaim”

Penyedia Jasa harus menyiapkan klaimnya secara tertulis untuk kompensasi tambahan bagi
perubahan yang harganya tidak ditetapkan dalam rincian yang mencukupi untuk mengajukan
secara jelas fakta-fakta yang diperlukan untuk menunjukkan biaya dan posisinya dimana dia
berhak mendapatkan kenaikan harga kontrak karena perubahan pekerjaan. Tak ada format
tertentu yang diperlukan untuk pengajuan klaim. Akan tetapi klaim tersebut haruslah
ditata/diatur secara logis dan berisi fakta pernyataan klaim dalam sebanyak mungkin rincian
yang diperlukan untuk menyajikan pandangan Penyedia Jasa, juga harus berisi atau merujuk
pada dokumen-dokumen pokok dan pasal-pasal kontrak, laporan-laporan dari saksi ahli dan
foto-foto dan juga harus berisi dasar hukum dan kontrak dari klaim tersebut untuk
menunjukkan bahwa Penyedia Jasa berhak mendapatkan kenaikan nilai kontrak. Banyak
Penyedia Jasa dan Sub-Penyedia Jasa mengatakan keprihatinannya pada pemberitahuan
tentang klaim mengakibatkan hubungan jelek dengan Pengguna Jasa. Sesungguhnya klaim tak
perlu menyebabkan perselisihan jika ditangani dengan benar dan taktis dan jika pihak lain
dapat dibuat mengerti bahwa pemberitahuan tersebut diperlukan sesuai kontrak. Sebagai
tambahan untuk memperkuat klaim mengenai kompensasi tambahan Penyedia Jasa atau Sub
Penyedia Jasa harus mengajukan klaim tambahan waktu yang diperlukan untuk perubahan
pekerjaan dalam batas penyelesaian tersebut dalam kontrak. Jika Penyedia Jasa atau Sub-
Penyedia Jasa melampaui batas ini, kemungkinan dia akan dikenakan ganti rugi kelambatan.
Penyedia Jasa atau Sub Penyedia Jasa mudah dikenakan ganti rugi kelambatan karena
uangnya dapat dipotong dari pembayaran termijn atau uang retensi. Kebanyakan Penyedia
Jasa dan Sub-Penyedia Jasa diminta berdasarkan kontrak untuk mengajukan klaim
perpanjangan waktu jika proyek terlambat karena suatu sebab untuk menghindari ganti rugi
kelambatan. Sebagai contoh, jika Pengguna Jasa secara lisan memberitahukan kerja tambah
kepada Penyedia Jasa yang akan menyebabkan penyelesaian pekerjaan terlambat, Penyedia
Jasa harus mengajukan klaim perpanjangan waktu dalam batas waktu tertentu setelah
menerima perintah. Penyedia Jasa dapat melindungi dirinya mengenai hal ini dengan
mengirim satu surat kepada Pengguna Jasa yang berisi dua pernyataan :

1. Penyedia Jasa telah diperintahkan untuk melaksanakan pekerjaan tambah


(jelaskan disini pekerjaan apa) yang menyebabkan dia menanggung biaya
tambahan. Klaim untuk tambahan biaya akan diajukan kemudian (atau
diajukan sekarang bila dketahui).

2. Pekerjaan tambah tersebut akan memperlambat penyelesaian pekerjaan, dan


Penyedia Jasa mengajukan klaim perpanjangan waktu untuk melaksanakna
pekerjaan tambah.

Jadi, bila proyek terlambat, diperlukan 2 macam klaim - perpanjangan waktu dan tambahan
biaya. Kesalahan yang biasa terjadi dari Penyedia Jasa yang melaksanakan pekerjaan tambah
hanya mengajukan klaim tambahan biaya dan melalaikan klaim perpanjangan waktu. Jika
perubahan pekerjaan menyebabkan Penyedia Jasa terlambat dan dia lupa minta perpanjangan
waktu maka dia terpaksa mempercepat pekerjaan dengan biayanya sendiri untuk menghindari
ganti rugi atas keterlambatan. Para Penyedia Jasa Pemerintah harus mematuhi dengan
sejujur-jujurnya ketentuan-ketentuan perundingan yang diatur dalam Armed Services
Procurement Act bila mereka mengajukan klaim-klaim. Menurut peraturan ini, Penyedia Jasa
harus mengajukan biaya atau data harga, menyatakan bahwa data tersebut akurat/benar,
lengkap dan up to date (mutakhir) dan setuju untuk penyesuaian bila data yang disampaikan
tidak akurat. Beberapa instansi Pemerintah memiliki format rinci untuk menghimpun
keterangan-keterangan klaim yang diperlukan dalam perudingan. Pengajuan perubahan-
perubahan sesuai waktu dapat mencegah kelebihan biaya, kelambatan dan sakit hati pada
proyek. Untuk menghindari perubahan-perubahan yang terlambat dalam perencanaan
konstruksi, para Pengguna Jasa dapat tertolong dengan secara terus menerus meninjau
kembali perencanaan dan spesifikasi. Perencana dan Penyedia Jasa dapat juga secara terus
menerus meninjau pekerjaan sebelum dilaksanakan untuk mengurangi sengketa dan
perubahan-perubahan pada saat-saat terakhir. Makin cepat perubahan dilakukan, makin
berkurang biaya.

(Terjemahan bebas N. Yasin):

Sebagai suatu ilustrasi, dalam Pelatihan ini disajikan cara perusahaan Perancis yang
memenangkan tender proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang telah disinggung
sebelumnya. Salah satu klaim perusahaan tersebut, menyangkut pekerjaan pemboran untuk
membuat terowongan pengelak yang panjangnya beberapa ribu meter. Pada waktu tender,
rupanya perusahaan ini telah mengetahui jenis batuan di lokasi yang akan dibuat terowongan
tersebut jauh lebih keras dari yang tersebut dalam dokumen tender. Hal ini tidak ditanyakan
dalam rapat sebelum pemasukan penawaran (prebid meeting) karena perusahaan tersebut
melihat hal ini suatu peluang besar untuk mengajukan klaim. Oleh karena itu dia mengajukan
penawaran yang harganya di bawah penawaran lain sehingga dia memenangkan tender
tersebut. Pada waktu melaksanakan pekerjaan terowongan tersebut terbukti dugaan perusahaan
tersebut tidak salah. Mata bor yang dipakai ternyata tidak mampu menembus batu-batuan dan
patah. Pekerjaan segera dihentikan, mata bor yang patah dan contoh batu-batuan setelah difoto,
dikirim kelaboratorium independen di Perancis. Hasil Laboratorium menyebutkan dengan pasti
kekerasan batuan tersebut menurut Skala Mohr yang ternyata lebih keras dari kekerasan batu
yang tercantum dalam dokumen tender. Hal inilah yang ditunggu perusahaan tersebut. Selain
itu laporan laboratorium juga merekomendasikan agar dipakai mesin bor khusus dengan
menggunakan mata bor dengan memakai intan. Hasil penelitian sebab-sebab mata bor itu patah
juga membuktikan bahwa jenis mata bor tersebut patah karena dipakai untuk jenis batuan yang
lebih keras. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perusahaan itu menyusun klaim tambahan
waktu dan tambahan biaya sebagai berikut :

1. Klaim perpanjangan waktu

a) Waktu demobilisasi mesin bor yang lama

b) Waktu mobilisasi mesin bor yang baru (didatangkan dari Brasilia)

c) Tambahan waktu untuk pekerjaan lain akibat tertundanya pekerjaan


terowongan.
2. Klaim Biaya

a) Biaya mobilisasi mesin bor yang baru

b) Tambahan biaya untuk pengeboran batuan yang lebih keras

c) Biaya tambahan untuk ahli mesin bor yang baru

d) Tambahan biaya overhead karena waktu pelaksanaan bertambah

e) Sewa tambahan untuk sewa peralatan yang idle karena menunggu mesin
bor yang baru

Oleh karena klaim-klaim tersebut didukung data yang akurat, hampir seluruhnya diterima dan
dibayar oleh Pengguna Jasa. Ditambah dengan klaim-klaim lain maka seluruh klaim (menurut
keterangan) sudah hampir sama dengan nilai kontrak asli Dari uraian tersebut di atas terlihat
bahwa klaim yang berdasarkan data yang akurat (bukan karangan atau mengada-ada)
seharusnya diterima. Terlihat pula disini bahwa sesungguhnya Pengguna Jasa ikut memberikan
sumbangan pada klaim ini yaitu kekurang telitian menyampaikan data lapangan sewaktu tender
dan ini memang hal yang sering terjadi. Berdasarkan hal tersebut diatas perusahaan tersebut
dijuluki “Claim Artist”.

3.6. Analisis Klaim.

Bila suatu klaim muncul, misalkan dari Penyedia jasa kepada Pengguna Jasa (ini yang sering
terjadi) maka klaim tersebut harus dianalisis dengan cermat. Pertama-tama Pengguna Jasa
harus meneliti apakah klaim tersebut berdasarkan fakta yang dapat dibuktikan. Kemudian
dianalisis dasar hukumnya seperti kesesuaian dengan kontrak atau peraturan perundang-
undangan dan akhirnya tentu saja meng-analisis biaya yang diminta. Membuktikan apakah
klaim tersebut berdasarkan fakta serta sesuai kontrak tidaklah terlalu sukar karena rujukannya
jelas. Akan tetapi analisis biaya tidaklah mudah dan dapat bervariasi sesuai kecerdikan
Penyedia Jasa seperti memasukkan tambahan biaya untuk pekerjaan yang sesungguhnya tidak
berubah tapi terpengaruh pelaksanaannya karena ada pekerjaan yang berubah. Kemudian
Penyedia Jasa juga klaim biaya sewa alat yang menganggur/idle, biaya overhead, tambahan
biaya uang karena ada perpanjangan waktu dlsb. Robert D. Gilbreath dalam bukunya
“MANAGING CONSTRUCTION CONTRACTS” halaman 208 mengupas analisis klaim ini
sebagai berikut:

“Analisis Klaim-Klaim.

Untuk mempertimbangkan manfaat-manfaat dari klaim dan menentukan tambahan


kompensasi apa yang diizinkan (bilamana ada), Pengguna Jasa harus menganalisis secara
seksama klaim tersebut dalam 3 tahapan yaitu:

(1) analisis secara faktual (apa sesungguhnya yang terjadi)

(2) analisis secara hukum atau berdasarkan kontrak (apakah benar Penyedia
Jasa berhak mengajukan klaim)

(3) analisis biaya (berupa biaya tambahan uang atau waktu harus diberikan
kepada Penyedia Jasa).

Analisis klaim secara faktual dan hukum lebih mudah jika anda mempunyai bentuk
pengawasan yang cocok, rincian data, pengawasan perubahan yang tersusun, penetapan
kemajuan pekerjaan dan pembayaran yang obyektif dan sebagainya. Akan tetapi, sungguh
mengejutkan berapa luas analisa biaya dapat bervariasi dari keadaan fakta dan hukum yang
sama. Inilah daerah pembelaan klaim – analisa biaya – yang mengandung resiko tertinggi dan
menuntut perhatian terbesar dari Pengguna Jasa.

Ada dua metoda yang nyata untuk menghitung biaya-biaya klaim :

1. metoda biaya total

2. metoda kenaikan biaya.

Dengan metoda biaya total, Penyedia Jasa secara sederhana membandingkan biaya
sebenarnya dari pelaksanaan suatu pekerjaan atau bagian pekerjaan dengan biaya yang
diharapkan (atau biaya pada waktu penawaran atau harga kontrak). Perkiraan atau
asumsinya adalah bahwa semua kenaikan biaya yang diderita Penyedia Jasa merupakan
klaim. Tidak perlu disebut, kebanyakan Pengguna Jasa menanggapi secara negatif pendekatan
metoda biaya total ini. Masalah utama adalah Penyedia Jasa harus membuktikan bahwa
pekerjaan yang di rubah di laksanakan seefisien mungkin. Ini sukar dilaksanakan. Walaupun
pendekatan ini dapat menyakinkan “batas atas” dari biaya klaim yang diperlukan, hal ini
biasanya tidak berdaya guna dalam mencari penyelesaian. Metoda kenaikan biaya lebih
dianjurkan dibandingkan dengan metode biaya total karena beberapa alasan. Pertama-tama,
metode ini mensahkan kenaikan-kenaikan biaya yang timbul dari kondisi-kondisi lain dari
yang terhutang pada fakta-fakta klaim (in-efisiensi Penyedia Jasa, nasib buruh, faktor-faktor
yang tidak berkaitan dengan klaim itu sendiri). Kedua, pendekatan ini memungkinkan biaya-
biaya diperkirakan untuk unsur-unsur pekerjaan yang berlainan dibawah penetapan
parameter biaya yang adil. Seringkali dengan filosofi biaya total, suatu unsur kenaikan biaya
yang tidak pada tempatnya, bila dimasukkan kedalam klaim, mengaburkan atau menodai
unsur-unsur yang bermanfaat, sehingga mengurangi efektifitas klaim. Selain itu metode
kenaikan biaya menitik beratkan pada penyebab dan pengaruh dalam satu nada. Dengan
metode kenaikan biaya, para Penyedia Jasa mengaitkan setiap tambahan biaya dengan setiap
fakta penyebab, misalnya : Pengarahan anda adalah pemadatan tanah dilakukan dengan alat
pemadat tangan yang seharusnya menggunakan mesin giling menyebabkan kami menanggung
kenaikan biaya. Yang paling penting, metode kenaikan biaya memungkinkan peningkatan
pemecahan dengan mudah, unsur-unsur pemecahan dapat dipisahkan dan ditangani dengan
cepat, sementara lebih banyak sengketa tertunda.

(Terjemahan bebas N. Yasin):

3.7. Jenis-Jenis Klaim.

Di antara beberapa jenis klaim, akan ditinjau 2 (dua) jenis klaim yang paling sering terjadi yaitu
klaim yang timbul akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Klaim jenis ini biasanya
mengenai permintaan tambahan biaya dan tambahan waktu. Selain itu terdapat pula jenis klaim
lain sebagai akibat kelambatan tadi yaitu klaim atas biaya tak langsung (overhead). Penyedia
Jasa yang terlambat menyelesaikan suatu pekerjaan karena sebab-sebab dari Pengguna Jasa,
meminta penggantian tambahan biaya overhead dengan alasan biaya ini bertambah karena
pekerjaan belum selesai. Walaupun klaim kelambatan kelihatannya sederhana saja, namun
dalam kenyataannya tidak demikian. Misalnya Penyedia Jasa hanya diberikan tambahan waktu
pelaksanaan tanpa tambahan biaya karena alasan-alasan tertentu. Di lain kejadian Penyedia
Jasa selain mendapat tambahan waktu mendapatkan pula konpensi lain. Kemungkinan lain,
Penyedia Jasa tidak mendapatkan seluruh klaim kelambatan yang diminta karena tidak seluruh
kelambatan tersebut kesalahan Pengguna Jasa. Penyedia Jasa juga mempunyai andil dalam
kelambatan tersebut yang terjadi secara tumpang tindih. Mengenai klaim kelambatan
pelaksanaan ini (delay claims), Robert D. Gilbreath dalam bukunya, “”MANAGING
CONSTRUCTION CONTRACTS” halaman 209 – 210 menulis sebagai berikut :

“Klaim-Klaim Kelambatan.

Salah satu jenis klaim yang paling sering terjadi adalah Pengguna Jasa, Penyedia Jasa lain atas
kondisi-kondisi lapangan menyebabkan Penyedia Jasa terlambat. Dalam banyak kasus klaim
tersebut berupa tambahan waktu dan biaya. Kebanyakan Pengadilan menjumpai tiga macam
klaim yang jelas, dan cara penyelesaian tergantung pada macam yang terkait.

Ketiga macam klaim tersebut adalah :

1. Kelambatan yang dapat diterima (execusable delay).

Untuk hal ini, Penyedia Jasa hanya diberikan perpanjangan waktu, tapi tidak
tambahan biaya atau pembebasan lainnya.

2. Kelambatan-kelambatan dengan konpensasi (ganti kerugian).

Disini Penyedia Jasa tidak saja diberikan perpanjangan waktu (jika hal itu
dapat ditunjukkan bahwa perpanjangan waktu tersebut perlu) tapi juga
tambahan ganti rugi/konpensasi.

3. Kelambatan-kelambatan yang berbenturan.

Disini maksudnya adalah kelambatan tersebut sebagian karena kesalahan


Pengguna Jasa dan sebagian lagi karena kesalahan Penyedia Jasa dan
periode kelambatannya tumpang tindih atau berbenturan. Sebagai contoh :
Pengguna Jasa mungkin terlambat menyerahkan peralatan kepada
Penyedia Jasa untuk dipasang atau terlambat mendapatkan izin bangunan
(IMB) atau otorisasi daerah sehingga Penyedia Jasa tidak dapat mulai
kerja. Misalkan kelambatan ini menunda mulainya pekerjaan dari 1 Januari
sampai 1 Juli (6 bulan keterlambatan Pengguna Jasa). Disamping itu
Penyedia Jasa tidak dapat menyelesaikan gambar-gambar kerja atau
jaminan pelaksanaan (atau beberapa kewajiban lain) dalam periode 1 April
sampai dengan 1 Juli (3 bulan keterlambatan Penyedia Jasa). Dengan kata
lain, Penyedia Jasa terlambat 3 bulan karena masalah mereka sendiri,
terlepas apakah Pengguna Jasa terlambat atau tidak. Masa dari 1 April
sampai 1 Juli adalah masa tumpang tindih – berbenturan. Jika semua dapat
dibuktikan, Penyedia Jasa hanya diberikan perpanjangan waktu selama 3
bulan yaitu periode Januari – April – 3 bulan kelambatan semata-mata
masalah Pengguna Jasa. Bila kedua pihak bersalah, kelambatan
diistilahkan sebagai berbenturan, dan tidak ada satu pihak pun mendapat
pembebasan. Kelambatan-kelambatan yang tumpang tindih ini sungguh
menjadi rumit bila kelambatan dari satu Penyedia Jasa menyebabkan
kelambatan Penyedia Jasa lain, Sub Penyedia Jasa dan seterusnya.
Menguraikannya adalah suatu tantangan besar dan biasanya memerlukan
analisis dari ahli secara sungguh-sungguh seperti menyusun program
jadual CPM dan sebagainya. Klaim-klaim kelambatan hampir selalu
mengarah pada permintaan waktu dan uang. Beberapa unsur biaya yang
biasa yang meningkat sebagai akibat dari waktu (biaya-biaya waktu peka)
adalah:

1. bunga bank (interst)

2. asuransi

3. overhead kantor pusat

4. biaya umum

5. penyewaan

6. pemeliharaan alat

7. pemasokan materal

8. dukungan teknik

9. administrasi kontrak

10. mutu program administrasi


11. pengamanan

12. pengawasan

13. perpanjangan atau kehilangan masa jaminan

14. ganti rugi

15. penyimpanan dan perlindungan material.

Berhutang kepada semua hal tersebut diatas dan lebih lagi mudah dilihat mengapa kelambatan
yang diizinkan sangat jarang – jika waktu diberikan, uang biasanya diberikan juga (klaim
ganti rugi). Penggunaan paling biasa dari keterlambatan yang diizinkan adalah bila diberikan
dimuka – Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa setuju mengenai penundaan untuk kebaikan salah
satu pihak atau keduanya.

(Terjemahan bebas N. Yasin):

Mengenai biaya-biaya umum (overhead) dalam klaim-klaim, Robert D. Gilbreath dalam


bukunya “MANAGING CONSTRUCTION CONTRACT” pada halaman 210 – 211 menulis
sebagai berikut :

“Biaya-Biaya Umum Dalam Klaim.

Dapatkah Penyedia Jasa menagih biaya-biaya umum kepada Pengguna Jasa, hanya karena
kelambatan ?.

Dengan kata lain, jika Pengguna Jasa memperlambat Penyedia Jasa selama dua bulan, dan
disamping biaya-biaya langsung dan terkait seperti tersebut diatas Penyedia Jasa managih
overhead kantor pusat – apakah harus dibayar ?. Kebanyakan orang menolak dugaan ini
segera, tetapi hal ini mempunyai manfaat – dan telah dibenarkan dalam kasus per kasus. Apa
yang menyebabkan biaya overhead naik ?. Sebagai contoh pertimbangkan gaji seorang
Direktur Utama Penyedia Jasa, pengeluaran-pengeluaran perusahaan staf perusahaan,
tagihan-tagihan umum pada kantor pusat, pengeluaran gedung, pajak real estate, biaya iklan
dan seterusnya. Biaya-biaya ini tidak khusus dibebankan pada salah satu kontrak, tapi
diperhitungkan dengan menyebarkannya kepada semua kontrak dan termasuk secara tidak
langsung dalam harga penawaran Penyedia Jasa. Jika kontrak yang terlambat dari satu tahun
menjadi dua tahun pelaksanaan, biaya-biaya ini berjalan terus tidak pandang apakah ia
proporsional terhadap jumlah pekerjaan sesungguhnya ada atau tagihan yang terjadi.

Pengadilan telah mengizinkan biaya overhead dalam situasi kelambatan. Rationya beraneka,
tetapi biasanya berkisar :

1. dokumen kontrak (apa yang disebutkan tentang unsur biaya ini)

2. apakah biaya-biaya klaim ini diizinkan (apakah sudah dimasukkan dalam biaya kontrak
lain)

3. unsur-unsur apa saja yang dimasukkan (keanggotaan golf Direktur Utama).

4. Bagaimana biaya-biaya perusahaan ini dialokasikan keseluruh kontrak.

Isu final ini menjadi prinsip pembukuan yang hanya diketahui beberapa orang saja
sehubungan dengan pengumpulan biaya, metoda pengalokasian beban yang dipakai dan
disebar. Mencukupi untuk menyatakan bahwa biaya-biaya kelambatan sering lebih tinggi dari
yang disadari Pengguna Jasa dan harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati sebelum
kelambatan dibuktikan atau diizinkan terjadi. Sebuah butir penting lain muncul disini. Tidak
ada maaf untuk kekurangan pelatihan atau kesadaran pada isu ini – untuk klaim-klaim yang
tidak peka. Jika anda terlibat dalam konstruksi, dalam hal apa saja, anda harus tahu
bagaimana keputusan anda mengenai kepekaan waktu dan biaya dan harus siap untuk
menikmati atau menanggung konsekwensi sebelum hal tersebut diambil. Hal ini berarti bahwa
semua orang harus mengetahui dasar-dasar pengajuan dan pembelaan klaim, macam-macam
biaya yang dapat terlibat dan pengelolaan kontrak yang kritis. Bahwa sistim biaya dan jadual
adalah penting bukan saja untuk pengawasan kontrak tapi juga untuk perlindungan klaim. Hal
yang sama juga benar untuk dokumentasi, pelaporan kontrak, catatan pembukuan yang sangat
teliti. Klaim yang berkembang menjadi tuntutan hukum sering terjadi beberapa tahun-tahun
sesudah semua orang yang bertanggung jawab telah pindah atau melupakan apa yang terjadi.
Hal itu mengenai seseorang dari mereka untuk membuat anda seorang yang percaya pada
sistim pengelolaan kontrak dan pengawasan kontrak.

(Terjemahan bebas N. Yasin):

4. Perkembangan Kejadian Suatu Klaim.


Dalam paragrap ini akan diuraikan bagaimana proses klaim yang terjadi sebagai akibat
perubahan yang diperintahkan atau diminta. Hal ini dijelaskan oleh Robert D. Gilbreath dalam
bukunya : “MANAGING CONSTRUCTION CONTRACTS” halaman 213 secara grafis
sebagaimana tertera dalam halaman 33.

Penjelasan dari diagram tersebut adalah sebagai berikut :

4.1. Perubahan Pekerjaan.

Klaim berawal dari terjadinya suatu perubahan pekerjaan.

Perubahan pekerjaan ini terdiri dari 2 (dua) kemungkinan :

· Diketahui sebelumnya

· Tidak diketahui sebelumnya.

4.2. Pemberitahuan.

Bila perubahan pekerjaan diketahui sebelumnya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
pemberitahuan kepada Pengguna Jasa.

4.3. Permintaan Perubahan.

Bila perubahan pekerjaan tidak diketahui sebelumnya maka perubahan pekerjaan tersebut
dinamakan perubahan tidak resmi. Untuk ini Penyedia Jasa mengajukan Permintaan Perubahan
kepada Pengguna Jasa.

4.4. Penerbitan Perintah Perubahan.

Apabila Pemberitahuan dan atau Permintaan Perubahan disetujui maka Pengguna Jasa wajib
menerbitkan Perintah Perubahan Pekerjaan.

4.5. Klaim.

Apabila Pemberitahuan dan atau Permintaan Perubahan tidak disetujui Pengguna Jasa maka
Penyedia Jasa mengajukan klaim. Bila klaim disetujui diterbitkan Perintah Perubahan
Pekerjaan.

4.6. Arbitrase/Pengadilan.
Apabila klaim tidak disetujui, Penyedia Jasa dapat mengajukan penyelesaian sengketa lewat
Arbitrase atau Pengadilan (sesuai kesepakatan dalam kontrak).

4.7. Amandemen Kontrak.

Setelah terbit perintah perubahan harus diikuti dengan penerbitan Amandemen Kontrak.

PERKEMBANGAN KEJADIAN SUATU KLAIM.

5. Prosedur Penanganan Klaim.

5.1. Administrasi Kontrak.

Dalam menangani klaim, fungsi Administrasi Kontrak memegang peranan yang sangat
penting, bahkan dapat dikatakan bahwa berhasil tidaknya penyelesaian suatu klaim sangat
tergantung dari kerapihan dan kecermatan memelihara dan mengelola Administrasi kontrak
sejak saat kontrak ditanda tangani. Kelalaian, kecerobohan serta kurang terpeliharanya arsip-
arsip dan data-data kontrak lainnya termasuk surat menyurat antara Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa akan sangat melemahkan perjuangan dalam penanganan masalah klaim. Sebagai
kesimpulan dapat dikatakan bahwa sasaran pertama dari pengelolaan kontrak adalah
menghilangkan atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya suatu klaim.

5.2. Manajer Kontrak/Administrator Kontrak.

Seperti proses dalam perubahan pekerjaan, Manajer Kontrak/Administrator Kontrak biasanya


bertugas menangani klaim, mulai sejak klaim muncul sampai dengan penyelesaiannya. Tentu
saja dengan otoritas dari Pengguna Jasa/Penyedia Jasa jika suatu klaim terjadi, Manajer
Kontrak/Administrator Kontrak melakukan hal-hal berikut :

a. Harus yakin hal tersebut secara manajerial benar

b. Menganalisis klaim dengan teliti

c. Mencatat dan mengarsipkan dengan cermat

d. Menyelesaikannya sesegera mungkin.


Semua diskusi, surat-menyurat dokumen-dokumen pendukung dan sebangsanya yang
berhubungan dengan klaim harus diperoleh dan dihimpun untuk dievaluasi apakah klaim
tersebut dapat diterima atau ditolak.

5.3. Evaluasi.

Manajer Kontrak/Administrator Kontrak kemudian memimpin suatu usaha penelitian secara


mendetail termasuk didalamnya :

a. Mewawancarai orang-orang yang bersangkutan dari pihak Pengguna Jasa.

b. Mempelajari dokumen kontrak, arsip proyek, laporan-laporan yang mungkin


diperlukan untuk menganalisis klaim.

5.4. Bahan-Bahan Evaluasi.

Untuk melaksanakan evaluasi dengan baik diperlukan dokumen-dokumen yang mencakup


hal-hal berikut :

a. Dokumen Kontrak

b. Perubahan-perubahan pekerjaan

c. Ringkasan pekerjaan tambah/kurang yang telah disetujui.

d. Risalah rapat

e. Korespondensi dengan Penyedia Jasa

f. Jadual pelaksanaan

g. Photo-photo dokumentasi proyek

h. Laporan harian dan sebagainya.

5.5. Analisis.
Apabila seluruh arsip-arsip klaim sudah lengkap maka Manajer Kontrak/Administrator
Kontrak meminta bantuan orang-orang proyek lainnya untuk menganalisis dan menyiapkan
tanggapan atas klaim tersebut.

5.6. Perintah Perubahan.

Sekali klaim tersebut telah diselesaikan maka Perintah Perubahan Pekerjaan harus diterbitkan.
Dalam hal ini semua perubahan terhadap kontrak harus diawasi dan didokumentasikan dengan
baik.

5.7. Penyelesaian Klaim.

Apabila cara penanganan klaim seperti diatas tidak mencapai persetujuan, maka dapat
ditempuh melalui pengadilan atau arbitrasi.

Catatan :

Seluruh prosedur tersebut diatas yaitu butir 5.1 hingga butir 5.7 dapat pula dilakukan oleh
Penyedia Jasa apabila inisiatip klaim datang dari pihak Penyedia Jasa. Selanjutnya Robert D.
Gilbreath dalam bukunya “MANAGING CONSTRUCTION CONTRACTS” halaman 212 –
214 menguraikan prosedur penanganan klaim yang dianjurkan sebagai berikut :

Seperti proses perubahan pekerjaan, Manajer Kontrak biasanya bertugas menangani klaim
sejak permohonan sampai penyelesaian. Dan seperti beberapa proses lain yang diuraikan
disini, dia bertindak lebih sebagai koordinator daripada sebagai kuasa Pengguna Jasa.
Sasaran pertama dari pengelolaan kontrak adalah menghilangkan atau mengurangi timbulnya
kondisi rangsangan klaim dan klaim itu sendiri. Akan tetapi bila sebuah klaim disajikan,
Administrator Kontrak harus meyakini bahwa hal tersebut memberikan pandangan
pengelolaan yang tepat, dengan hati-hati dianalisis dan didokumentasikan, dan secara wajar
diperbaiki selekas mungkin. Beberapa hal adalah seperti perusakan moral pegawai Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa sebagai hal yang pahit seperti klaim yang tidak terselesaikan. Semua
percakapan, korespondensi, dokumen pendukung dan sebangsanya, mengenai klaim harus
diperoleh dan dihimpun. Arsip terpisah harus dipelihara untuk setiap klaim dan harus
termasuk rekaman dari bagian kontrak yang menyangkut klaim, hasil dari analisis faktual,
hukum dan biaya dan dokumen-dokumen lain yang mungkin dapat membantu penolakan atau
penyelesaian klaim. Setiap klaim yang diterima Pengguna Jasa harus diteruskan ke Manajer
Kontrak. Dia harus membuat arsip klaim dan mencatat klaim tersebut dalam suatu usulan atau
buku daftar klaim untuk maksud penelusuran. Jika tambahan informasi diperlukan dari
Penyedia Jasa, hal ini harus dicatat dalam buku daftar klaim dan Penyedia Jasa diminta untuk
menyediakannya. Kemudian Manajer Kontrak menyelenggarakan usaha penelitian rinci
termasuk diantara tugas-tugas lain, wawancara dengan personalia Pengguna Jasa yang
terkait, Manajer Kontrak, arsip proyek dan laporan-laporan dan himpunan dokumentasi yang
akan diperlukan untuk menganalisis klaim. Dokumentasi termasuk kontrak itu sendiri,
perubahan-perubahan pekerjaan, ikhtisar pekerjaan tambah dan persetujuan-persetujuan,
risalah-risalah rapat, korespondensi dengan Penyedia Jasa, jadual yang dibuat Penyedia
Jasa, foto-foto proyek, aktivitas harian atau laporan kemajuan pekerjaan, catatan waktu,
perkiraan progres dan penagihan dan catatan telepon. Sekali arsip klaim telah lengkap,
Manajer Kontrak menyusun daftar bantuan dari personal proyek dalam menganalisis klaim
dan menyiapkan tanggapan kepada Penyedia Jasa. Orang-orang yang dilibatkan termasuk
Manajer Konstruksi, insinyur-insinyur perencana, insinyur biaya, pembuat jadual proyek dan
sebagainya. Usaha mereka seharusnya menyusun dan mengkoordinasikan tugas dari analisis
yang objektif dan tanggapan yang wajar. Manajer Kontrak tidak pernah harus menyetujui
kenaikan biaya dengan Penyedia Jasa atau pembebasan lain tanpa otoritas yang tepat dan
dianjurkan bahwa Proyek Manajer atau Kepala Perwakilan Pengguna Jasa memimpin semua
perundingan dengan Penyedia Jasa. Sekali lagi, peranan Manajer Kontrak adalah penasehat
mengenai otoritas kontrak Pengguna Jasa, tidak perlu sebagai penyelenggara kontrak,
walaupun hal ini diizinkan jika Pengguna Jasa menginginkannya. Sekali klaim telah
terselesaikan, perubahan pekerjaan harus diterbitkan untuk mendukung keputusan klaim.
Dalam hal ini semua perubahan kontrak apakah atas inisiatip Pengguna Jasa (pembentukan
dan mengakibatkan perubahan pekerjaan) atas dasar inisiatip Penyedia Jasa (pengajuan
klaim dan berakibat perubahan pekerjaan) diawasi dan didokumentasikan dengan cara yang
sama. Jika keputusan mengenai klaim tidak mungkin tanpa melibatkan manajemen Pengguna
Jasa yang lebih tinggi, Manajer Kontrak menyiapkan dan mengajukan unsur-unsur klaim dan
analisnya dan membantu proses sesuai kebutuhan. Walaupun kecenderungan adalah kuat,
Manajer Kontrak tidak harus secara emosional terlibat dalam sengketa, tetapi ketimbang
menerima tantangan untuk menangani setiap klaim berdasarkan usahanya sendiri lebih lama,
melibatkan dan meng-koordinasikan usahanya dengan personel proyek yang berkaitan,
bertanggung jawab, menyusun dan merekomendasikan proses.

(Terjemahan bebas N. Yasin)


6. Contoh-Contoh Kasus Klaim yang Baik.

Robert D. Gilbreath dalam bukunya “MANAGING CONSTRUCTION CONTRACTS”


halaman 214 – 215 memberikan 3 (tiga) contoh kasus klaim yang baik. Ringkasannya adalah
sebagai berikut :

a. Kasus 1.

Pengguna Jasa dari suatu komplek industri yang sedang dibangun, baru-baru ini
mengirimkan seorang insinyur mesin mengikuti seminar 3 hari mengenai teknik
pemeriksaan pengelasan. Ketika pulang, dengan penuh antusias mengenai inspeksi
radiografi untuk mengetahui cacat pengelasan, dia merubah spesifikasi untuk proses
penanaman pipa uap tepat setelah Penyedia Jasa melaksanakan pekerjaan tersebut.
Karena pemeriksaan dilakukan oleh perusahaan lain yang disewa Pengguna Jasa tidak
ada perubahan pekerjaan. Setelah beberapa bulan bekerja, Penyedia Jasa yang
memasang pipa mengajukan klaim sebesar Rp.2.000.000.000,- sebagai tambahan
kompensasi karena inefisiensi dan campur tangan disebabkan kenaikan proses
pengawasan.

Singkatnya klaim tersebut sebagai berikut :

Spek asli hanya minta pemeriksaan pengelasan secara visual namun inspeksi periodik
dengan X-Ray menyebabkan pengelasan pipa terhenti pada saluran terbuka karena
tukang las takut kena radiasi. Banyak pengelasan ditolak dan harus diulang dan jadual
bertambah hingga musim dingin yang mengakibatkan inefisiensi dalam pengelasan.
Tambahan pengelasan karena ditolak membutuhkan tambahan empat tukang las.
Karena tukang las yang berkualitas sangat sulit di lokasi pekerjaan, perlu biaya
tambahan untuk mendatangkan dari luar, melatih atau mengganti tukang las lainnya.

b. Kasus 2.

Sebuah kontrak unit price dimenangkan oleh Penyedia Jasa listrik untuk pembangunan
pusat listrik. Gambar berubah mengenai saluran kabel bawah tanah dan rute/jalannya
kabel yang ditetapkan secara tiba-tiba ketika tarikan kabel dimulai dalam pabrik.
Perubahan berdampak pada penambahan panjang kabel yang ditanam hanya sebanyak
10% dari perkiraan asli dan Penyedia Jasa dibayar berdasarkan unit price untuk
penambahan ini. Akan tetapi Penyedia Jasa tetap mengajukan klaim sebagai
kompensasi diatas jumlah tersebut diatas untuk memperhitungkan :

- in-efisiensi dalam operasi. Jika kabel diukur, dipotong, ditarik dan kemudian dikeluarkan lagi
dan dibuang karena revisi Gambar perubahan ukuran kabel dan rute.

- In-efisiensi dalam pembelian dan pemotongan kabel, karena Penyedia Jasa tidak dapat
merencanakan penggunaan kabel sampai kepada panjang potongan kabel
maksimum dari standar gulungan kabel yang dibeli.

- Demobilisasi, waktu tunggu, dan remobilisasi dan angkatan kerja dari satu tempat ketempat
lain dari pabrik karena perubahan gambar kenyataan.

c. Kasus 3.

Kontrak lump sum untuk memasang genarator turbin untuk pusat listrik nuklir
diberikan kepada Penyedia Jasa A – Mekanikal. Peralatan akan dipasok oleh kapal
tongkang 2 minggu setelah Penyedia Jasa –A melakukan mobilisasi lapangan. Cuaca
yang membeku menyebabkan es memblokir sungai yang bersebelahan dengan pusat
listrik, dengan keterlambatan 2 bulan dalam penerimaan turbine generator milik
Pengguna Jasa. Untuk mengejar kehilangan waktu, proyek manajer memerintahkan
Penyedia Jasa –B untuk memulai instalasi sirkulasi pipa air dari bangunan turbine ke
menara pendingin. Pada waktu generator turbine akhirnya tiba, Penyedia Jasa-A tidak
dapat memindahkan komponen-komponen berat dari dermaga tongkang ketujuan
penempatannya dibangunan turbin karena lubang galian pipa sedalam 7 meter terisi
sebagian pipa air sirkulasi yang menghalangi jalan masuk.

Penyedia Jasa-A mengajukan klaim sebagai tambahan kompensasi karena :

- Tenaga kerja dan peralatan menunggu 2 bulan karena es dan tambahan 2 bulan untuk
kelambatan lubang pipa.

- Gudang sementara untuk generator turbin di lapangan

- Percepatan kerja segera lubang pipa ditutup untuk mengatasi kehilangan waktu
- Kehilangan keuntungan karena tidak dapat menggunakan tenaga kerja dan peralatan untuk
pekerjaan lain.

7. Penyelesaian Sengketa Konstruksi.

7.1. Pengertian Sengketa Konstruksi

Dari uraian tentang Klaim Konstruksi telah diketahui bahwa pengertian klaim
sesungguhnya adalah sebuah permintaan (claim is a demand) mengenai tambahan
kompensasi waktu, biaya atau bentuk lain antara pihak yang berkontrak. Dalam suatu
Proyek Konstruksi, klaim bukanlah tuntutan atau gugatan yang terlanjur dianggap
benar di negeri kita. Namun tidak selalu klaim tersebut dapat diselesaikan atau
dipenuhi. Dalam hal klaim tersebut tidak terpenuhi atau terselesaikan, maka hal itu
berarti telah terjadi sengketa antara para pihak yang berkontrak. Inilah yang
dimaksudkan dengan sengketa konstruksi yaitu sengketa yang terjadi dalam Industri
Konstruksi. Sengketa ini harus diselesaikan

7.2. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Konstruksi

7.2.1 Penyelesaian sengketa konstruksi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
melalui :

a. Badan Peradilan (Pengadilan)

b. Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc)

c. Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dalam Pelatihan ini titik berat cara penyelesaian sengketa adalah melalui
Arbitrasekarena cara inilah yang lebih banyak dipakai karena hal-hal yang
akan diuraikan nanti

7.2.2 Pilihan penyelesaian sengketa ini harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak
konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan
pidana). Misalkan pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak
adalah arbitrase. Dalam hal ini Pengadilan tidak berwenang untuk mengadili
sengketa tersebut seperti tersebut dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3.

7.2.3 Dalam hal pilihan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan maka prosedur dan
prosesnya mengikuti ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) untuk perkara Perdata.

7.2.4 Dalam hal pilihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase harus dijelaskan
dengan tegas dalam kontrak konstruksi arbitrase apa yang dipilih (Lembaga
atau Ad Hoc) termasuk pula peraturan prosedur yang dipakai untuk
menghindari persepsi yang berbeda antara para pihak.

7.2.5 Oleh karena belakangan ini orang lebih cenderung memakai cara penyelesaian
sengketa melalui arbitrase karena alasan-alasan yang akan diuraikan
kemudian maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase akan diuraikan lebih
luas dalam Pelatihan ini.

7.3 Pengertian-Pengertian Arbitrase dan Arbiter.

Dalam bahasa Indonesia arbitrase berarti perwasitan. Orang yang melaksanakan tugas
arbitrase atau perwasaitan adalah arbiter atau wasit. Bila kita ambil analogi dalam
suatu pertandingan sepak bola, seorang wasit sama sekali tidak boleh berpihak kepada
salah satu kesebelasan. Tugasnya adalah mengawasi jalannya pertandingan sesuai
aturan permainan. Bila salah seorang atau beberapa orang pemain melakukan
pelanggaran maka dia harus menjatuhkan hukuman atau memberikan peringatan tidak
pandang dari kesebelasan mana orang tersebut berasal. Hal ini penting diketahui
karena masih banyak orang menganggap arbiter tersebut adalah pembela mereka
seperti di Pengadilan. Ini keliru besar.

Selanjutnya dikutip beberapa pengertian arbitrase dari berbagai sumber :

7.3.1 Prof. R. Subekti (Arbitrase Perdagangan : 1992) :


Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang arbiter atau para arbiter
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan
yang diberikan oleh arbiter atau para arbiter yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.

7.3.2 Black’s Law Dictionary (1984) :

The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the
dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at
which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
dalay, the expense and vexation of ordinary litigation.

7.3.3 U.U. R.I. No.30/1999 tentang Arbitrsae dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa Pasal 1 ayat 1 :

Cara penyelesaian satu sengketa perdata di luar peradilan umum yang berdasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

7.4 Pilihan Arbitrase versus Pengadilan.

Dalam daftar berikut disajikan beberapa kelebihan dan keuntungan pilihan penyelesaian
sengketa melalui Lembaga Arbitrase dibandingkan dengan Lembaga Pengadilan.

LEMBAGA ARBITRASE LEMBAGA PENGADILAN

Bebas dan otonom menentukan rules dan Mutlak terikat pada hukum acara yang
institusi arbitrase; berlaku (HIR, Rv).
Menghindari ketidakpastian (uncertainty) Yang berlaku mutlak adalah sistem hukum
akibat perbedaan sistem hukum dengan dari negara tempat sengketa diperiksa.
negara tempat sengketa diperiksa, maupun
kemungkinan adanya keputusan Hakim
yang unfair dengan maksud apapun,
termasuk melindungi kepentingan domestik
yang terlibat sengketa.
Keleluasaan memilih arbiter professional, Majelis Hakim Pengadilan ditentukan oleh
pakar (expert) dalam bidang yang menjadi Administrasi Pengadilan.
objek sengketa, dan independen dalam
memeriksa sengketa.
Waktu, prosedur, dan biaya arbitrase lebih Putusan pengadilan yang in kracht van
efisien. Putusan bersifat final and binding, gewijsde membutuhkan waktu yang relatf
lama (> 5 thn jika sampai tingkat MARI).
dan tertutup untuk upaya hukum banding
atau kassai;
Persidangan tertutup (non-publicity), dan Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai).
karenanya memberi perlindungan untuk
informasi atau data usaha yang bersifat
rahasia atau tidak boleh diketahui umum.
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan Pola pertimbangan Pengadilan dan putusan
aspek privat dengan pola win-win solution. Hakim adalah win-loose.
Putusan bersifat non-precedence, dan Yurisprudensi merupakan salah satu
karenanya untuk jenis dan sifat sengketa sumber hukum yang dapat diterapkan
yang sama sangat dimungkinkan adanya dalam putusan perkara.
putusan yang berbeda.

7.5 Ketentuan-Ketentuan Mengenai Arbiter :

7.5.1 Komposisi Arbiter :

a. Arbiter Tunggal

b. Majelis Arbiter terdiri dari tiga (tiga) orang Arbiter

7.5.2 Syarat Material Arbiter :

a. Cakap melakukan tindakan hukum;

b. Berumur paling rendah 35 tahun

c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai


dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan


arbitrase; dan

e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling


sedikit 15 tahun.

7.6 Syarat Formal Arbiter :

7.6.1 Wajib memberi persetujuan atau penolakan (tertulis) atas penunjukan dirinya
menjadi Arbiter;
7.6.2 Tidak dapat menarik diri setelah menjadi Arbiter, kecuali atas persetujuan para
pihak yang bersengketa. Dibutuhkan adanya penetapan Pengadilan jika para
pihak tidak memberi persetujuan;

7.6.3 Wajib mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan dalam sengketa jika
memutus sengketa lewat dari 6 (enam) bulan, tanpa alasan yang sah;

7.6.4 Wajib mengundurkan diri jika Hak Ingkar yang diajukan salah satu pihak yang
bersengketa terbukti.

7.7 Kelemahan Pilihan Arbitrase :

ARBITRASE LEMBAGA PENGADILAN


Honorarium arbiter, sekretariat dan Biaya perkara relatif murah dan telah
administrasi, relatif mahal. Tolok-ukur ditentukan oleh MARI.
jumlah umumnya ditentukan oleh nilai
klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau
tidak dibayar oleh salah satu pihak, maka
pihak yang lain wajib membayarnya agar
sengketa diperiksa Arbitrase.
Relatif sulit untuk membentuk Majelis Tidak ada hambatan berarti dalam
Arbitrase apabila Lembaga Arbitrase Ad pembentukan Majelis Hakim yang
Hoc memeriksa perkara.
Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga Memiliki juru sita dan atau sarana
menghambat penerapan prosedur dan pelaksanaan prosedur hukum acara.
mekanisme Arbitrase secara efektif.
Putusan Arbitrase tidak memiliki daya Pelaksanaan Putusan dapat dipaksakan
paksa yang efektif, dan sangat bergantung secara efektif terhadap pihak yang kalah
kepada Pengadilan jika putusan tidak dalam perkara.
dijalankan dengan sukarela.
Eksekusi Putusan Arbitrase cenderung Eksekusi Putusan yang telah memiliki
mudah untuk diintervensi pihak yang kalah kekuatan hukum yang pasti, dapat
melalui lembaga peradilan (bantahan, dilaksanakan meskipun kemudian ada
verzen), sehingga waktu realisasi Bantahan atau Verzet.
pembayaran ganti rugi menjadi relatif
bertambah lama.

7.8 Klausula Arbitrase Dalam Kontrak Konstruksi.

Undang-Undang R.I. No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa – Bab I : KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 3
menyebutkan tentang pengertian perjanjian arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pelaku sebelum timbul sengketa atau suatu
perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Jadi ada 2 kemungkinan terjadi perjanjian arbitrase yaitu sebelum sengketa timbul atau
sesudahnya.

Berikut di sajikan syarat-syarat/kententuan perjanjian arbitrase sebelum dan sengketa timbul :

KLAUSULA PERJANJIAN ARBITRASE

(SEBELUM TERJADI SENGKETA)

PENGERTIAN KONSEKUENSI YURIDIS


Kesepakatan yang tercantum dalam (suatu) 1. Menentukan kompetensi absolut
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak arbitrase, di mana PN tidak
sebelum timbul sengketa. berwenang mengadili sengketa (U.U.
No.30/1999) Pasal 3;
Undang-Undang R.I. No.30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif 2. PN wajib menolak dan tidak akan
Penyelesaian Sengketa – Pasal 1 ayat 1. campuran untuk menyelesaikan
sengketa yang terikat perjanjian
arbitrase (U.U. No.30/1999 Pasal 1).
KLAUSULA STANDAR
1. Kesepakatan (komitmen) para pihak
untuk melaksanakan arbitrase jika
terjadi sengketa dalam pelaksanaan
kontrak.
2. Ruang lingkup (objek) arbitrase.
3. Lembaga arbitrase yang digunakan, dan
tata-cara penunjukan arbiter.
4. Rules dan prosedur yang digunakan.
5. Tempat dan bahasa yang digunakan.
6. Pilihan terhadap hukum substansi yang
berlaku;
KLAUSULA PERJANJIAN ARBITRASE

(SETELAH TERJADI SENGKETA)

SYARAT YANG HARUS DIMUAT KETERANGAN


a. Masalah sengketa 1. Perjanjian ini harus tertulis dan dalam
bentuk Notariil (akta Notaris).
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para
pihak 2. Perjanjian arbitrase yang tidak memuat
semua syarat akan batal demi hukum
c. Nama lengkap arbiter dan tempat tinggal
(U.U. No.30/1999 Pasal 9).
arbiter atau lembaga arbitrase
3. Perjanjian (klausula) Arbitrase tidak
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan
batal disebabkan alasan/peristiwa :
mengambil keputusan.
a. Meninggalnya salah satu pihak;
e. Nama lengkap sekretaris.
b. Bankrutnya salah satu pihak;
f. Kurun waktu penyelesaian sengketa;
c. Novasi (pembaruan hutang);
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter;
d. Insolvensi;
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala e. Pewarisan;
biaya yang diperlukan untuk
f. Berlakunya syarat hapusnya perikatan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
pokok;

g. Pengalihan pelaksanaan perjanjian


pokok oleh pihak ketiga;

h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian


pokok.

(U.U. No.30/1999 Pasal 10)

CONTOH KLAUSULA ARBITRASE

ARBITRASE AD HOC
Setiap perselisihan, sengketa atau tuntutan yang terjadi dalam pelaksanaan atau yang
berkenaan dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada perbuatan
wanprestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian, yang tidak dapat diselesaikan
melalui musyawarah (negosiasi) akan diselesaikan melalui arbitrase yang dilaksanakan di
sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam Undang-UNDANG Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
ARBITRASE AD HOC & PILIHAN RULE
Setiap perselihan, sengketa atau tuntutan apapun yang terjadi dalam pelaksanaan atau yang
berkenaan dengan perjanjian ini, akan diselesaikan melalui arbitrase yang dilaksanakan di
dengan ketentuan dan prosedur BANI.
ARBITRASE LEMBAGA & RULE
Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase
BANI yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai
keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.
ARBITRASE LEMBAGA & RULE (VARIATIF)
Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this contract, or the breach,
termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the
UNCITRAL Arbitration Rules as at the present in force. The appointing authority shall be
the ICC in accordance with the rules adopted by the ICC for this purpose.

7.9 Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa

7.9.1 Pengantar

Sesungguhnya penyelesaian sengketa melalui jalur alternative ini adalah


cara termurah, termudah dan tercepat serta tertutup bila dibandingkan
dengan arbitrase atau pengadilan bila para pihak yang bersengketa benar-
benar beritikat baik. Cara ini juga kemungkinan sengketa ini diketahui
pihak luar.

7.9.2 Ketentuan Hukum

Cara penyelesaian sengketa melalui jalur alternative penyelesaian sengketa


diatur dalam UU. RI. No. 30/1999 – Bab II; : Alternatif Penyelesaian
Sengketa Pasal 6 dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli

7.9.3 Beberapa Pilihan

a. Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui seorang penengah


atau yang biasa disebut mediator, yang ditunjuk oleh para pihak.
Mediator tidak memutuskan sengketa tapi membimbing para pihak
dalam berunding mencari suatu penyelesaian. Tidak ada aturan baku
mengenai hal ini, tidak ada pula peraturan perundang-undangan yang
mengatur tata cara, batas waktu, biaya dan sebagainya. Cara ini
sesungguhnya sangat baik, cepat, mudah tanpa diketahui pihak lain,
asal saja dilandasi itikad baik.

b. Negosiasi

Cara ini sesungguhnya adalah cara yang paling mudah dan sangat
murah dengan pokok pandangan hidup dari tradisi kita yaitu
musyawarah untuk mufakat. Dapat saja para pihak masing-masing
menunjuk “juri runding” yang sering disebut “negosiator”. Hasil
kesepakatan juri runding dituangkan secara tertulis. Sedikit berbeda
dengan mediasi disini para pihak/juri runding berhadapan satu sama
lain, tanpa ada seorang penengah. Cara inipun murah, mudah, dan
biaya kecil.

c. Konsiliasi

Ini adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan


keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu
komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang
bertindak sebagai konsiliator. Dalam cara ini konsiliator tidak harus
melakukan perundingan masing-masing dengan salah satu pihak
secara bergantian. Berbeda dengan cara mediasi disini konsiliator
dapat memaksakan pengusulan/resolusi yang diambil. Jadi pada saat
berakhirnya tugas konsiliator, dia akan menbuat perjanjian tertulis
yang ditanda tangani para pihak atau dapat juga konsiliator membuat
suatu laporan yang memuat hal-hal mengenai kegagalan atau suatu
pernyataan bahwa proses konsiliasi terhenti.

Anda mungkin juga menyukai