Anda di halaman 1dari 8

Reumatoid Artritis

A. Definisi
Reumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan
degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami
kerusakan pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada RA, inflamasi
tidak berkurang dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya, termasuk kartilago artikular
dan kapsul sendi fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon mengalami inflamasi. Inflamasi
ditandai oleh akumulasi sel darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan
pembentukan jaringan parut. Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami
hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi
nekrosis sel dan respons inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi ditutup oleh jaringan
granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga
menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut lebih lanjut. Proses ini secara
lambat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas (Corwin, 2009).
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit multisistem kronik yang penyebabnya belum
diketahui. Walaupun manifestasi sistemiknya bervariasi, gambaran khas AR adalah
peradangan sinovia (sinovitis) yang menetap, biasanya mengenai sendi perifer dengan
distribusi simetrik. Potensi peradangan sinovium untuk menyebabkan destruksi tulang
rawan dan erosi tulang dan selanjutnya deformitas sendi merupakan tanda utama penyakit
ini. Sekalipun memiliki potensi destruktif, perjalanan penyakit AR dapat cukup bervariasi.
Sebagian pasien mungkin hanya mengalami penyakit yang mengenai sebagian kecil sendi
(oligoartikuler) ringan dalam waktu singkat dengan kerusakan sendi minimal, sementara
yang lain akan menderitapoliartritis yang terus menerus progresif disertai deformitas sendi
yang mencolok. Sebagian besar pasien akan mengalami penyakit dengan tingkat
keparahan yang sedang (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).

B. Etiologi
Reumatoid artitis adalah penyakit otoimun yang terjadi pada individu rentan setelah
respons imun terhadap agen pemicu yang tidak diketahui. Agen pemicunya adalah bakteri,
mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik.
Biasanya respons antibodi awal terhapad mikroorganisme deperantarai oleh IgG.
Walaupun respons ini berhasil menghancurkan mikroorganisme, individu yang mengalami
RA mulai membentuk antibodi lain, biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi IgG awal.
Antibodi yang ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor reumatoid
(rheumatoid factor, RF). RF menetap pada kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi
kronis dan kerusakan jaringan. RA diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik
terhadap penyakit otoimun. Wanita lebih sering terkena daripada pria. Ada bukti kuat
menunukkan bahwa berbagai sitokin, terutama nekrosis tumor alfa (tumor necrosis factor
alpha, TNF-α), menyebabkan siklus inflamasi dan kerusakan sendi (Corwin, 2009).
Penyebab AR masih belum diketahui, kemungkinan AR merupakan manifestasi respons
terhadap suatu agen infeksiosa pada pejamu yang secara genetis rentan telah diperkirakan.
Karena distribusi AR yang mendunia, organisme infeksiosa tersangka dihipotesiskan
terdapat dimana-mana. Sejumlah agen penyebab telah diperkirakan yaitu Mycoplasma,
virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubela tetapi bukti yang
meyakinkan apakah agen tersebut atau agen infeksiosa lain menyebabkan AR belum ada.
(Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
Proses bagaimana suatu agen infeksiosa menimbulkan peradangan kronik artritis juga
masih dipertentangkan. Salah satu kemungkinan adalah terdapatnya infeksi menetap dii
struktur sendi atau retensi produk mikroba di dalam jaringan inovium yang mencetuskan
respons peradangan kronik. Kemungkinan lain, mikroorganisme atau respons terhadap
mikroorganisme mencetuskan suatu respon imun terhadap komponen sendi dengan
mengubah integritasnya serta menyebabkan peptida antigen terpapar. Dalam hal ini, telah
dibuktikan adanya reaktivitas terhadap kolagen tipe II dan protein tidak tahan panas.
(Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
Kemungkinan lainnya adalah mikroorganisme penginfeksi menyebabkan pejamu peka
terhadap determinan reaksi silang yang diekspresikan oleh struktur sendi akibat adanya
mimikri molekuler. Akhirnya, produk mikroorganisme penyebab infeksi mungkin dapat
mencetuskan penyakit. Penelitian terakhir mencoba menfokuskan peran superantigen yang
dihasilkan oleh sejumlah mikroorganisme, termasuk stafilokokus, streptokokus dan
Mycoplasma arthtritidis. Superantigen adalah protein yang memiliki kapasitas berikatan
dengan molekul HLA-DR dan segmen Vβ tertentu dari reseptor sel T heterodimer dan
merangsang sel T spesifik yang mengekspresikan produk vena Vβ. Peran superantigen
dalam etiologi AR masih spekulatif. (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
Mekanisme penyebab lain yang potensial pada AR adalah terganggunya toleransi diri
normal yang menimbulkan reaktivitas terhadap antigen diri di dalam sendi, misalnya
kolagen tipe II, atau hilangnya mekanisme kontrol imunoregulatorik yang menyebabkan
pengaktifan sel T poliklonal (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).

C. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh
antigen presenting cell (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sinoviosit A, sel
dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresikan determinan HLA-DR pada
membran selnya. Antigen yang telah akan dikenali dan diikat oleh sel CD4 + bersama
dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekuler. Kompleks trimolekuler inii dengan bantuan
interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+ (Daud & Adnan, 1999).
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekuler tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-1) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan
menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2,
CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain (Daud & Adnan,
1999).
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk komopleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang membebaskan
komponen komplemen C5a. Komponen komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang
selain meningkatkan permeabilitas juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear
(PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial
menunjukkan bahwa lesi yang paling dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial (Daud & Adnan, 1999).
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral yang
akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga menyebabkan terjadinya
penuruan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen
dan proteoglikan rawan sendi (Daud & Adnan, 1999).
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pad AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akn
berlangsung terus. Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
destruktif dalam patogenesisi AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari
sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang (Daud &
Adnan, 1999).

D. Patofisiologi
Antigen mengaktivasi CD4+ sel T yang menstimulasi monosit, makrofag dan syinovial
fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-α untuk mensekresikan
matrik metaloproteinase melalui hubungan antar sel dengan bantuan CD69 dan CD11
melalui pelepasan mediator-mediator pelarut seperti interferon-γ dan interleukin-17.
Interleukin-1, interlukin-6 dan TNF-α merupakan kunci terjadinya inflamasi pada
rheumatoid arthritis (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
Arktifasi CD4+ sel T juga menstimulasi sel B melalui kontak sel secara langsung dan
ikatan dengan α1β2 integrin, CD40 ligan dan CD28 untuk memproduksi immunoglobulin
meliputi rheumatoid faktor. Sebenarnya fungsi dari rhumetoid faktor ini dalam proses
patogenesis reumatoid artritis tidaklah diketahui secara pasti, tapi kemungkinan besar
reumatoid faktor mengaktiflkan berbagai komplemen melalui pembentukan immun
kompleks.aktifasi CD4+ sel T juga mengekspresikan osteoclastogenesis yang secara
keseluruhan ini menyebabkan gangguan sendi. Aktifasi makrofag, limfosit dan fibroblas
juga menstimulasi angiogenesis sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang
ditemukan pada synovial penderita reumatoid artritis (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).

E. Manifestasi Klinis
1. Awitan
Umumnya AR merupakan poliartritis kronik. Pada sekitar 2/3 pasien, penyakit ini
muncul secara perlahan dengan rasa lela, anoreksia, kelemahan umum, dan gejala
muskuloskeletal samar sampai sinovitis muncul secara nyata. Prodroma ini mungkin
menetap selama beberapa minggu atau bulan dan sulit di diagnosis. Gejala spesifik
biasanya muncul secara bertahap sewaktu beberapa sendi, terutama yang berada
ditangan, pergelangan tangan, lutut dan kaki terkena secara simetrik. Pada sekitar 10%
individu awitan lebih akut yang disertai poliartritis yang timbul cepat, sering disertai
gejala konstiitusi termasuk demam, limfadenopati dan splenomegali. Pada sekitar 1/3
pasien, gejala mula-mula terbatas pada satu atau beberapa sendi. Walaupun keterlibatan
sendi tetap asimetrik pada beberapa pasien, umumnya penyakit memperlihatkan pola
simetrik (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
2. Tanda dan gejala penyakit sendi
Nyeri, pembengkakan, dan nyeri tekan mula-mula mungkin terasa disekitar sendi
dengan lokasi tidak jelas. Nyeri di sendi yang terkena yang diperparah oleh gerakan,
merupakan manifestasi tersering AR. Nyeri ini sesuai dengan pola keterlibatan sendi
tetapi tidak selalu berkolerasi dengan tingkat peradangan yang tampak. Kekakuan
umum sering terjadi dan biasanya paling terasa setelah periode inaktivitas. Kekakuan
pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam merupakan gambaran yang hampir
selalu ada pada arthritis meradang dan membedakannya dari berbagai gangguan sendi
popinflamasi lain. Lama dan intensitas kekakuan dapat digunakan untuk menilai secara
kasar aktivitas penyakit. Sebagian besar pasien akan mengalami gejala konstitusi
misalnya rasa lemah, mudah lelah, anoreksia dan penurunan berat. Walaupun demam
sampai 40oC kadang-kadang terjadi, peningkatan suhu yang melebihi 38oC jarang
terjadi dan mengisyaratkan adanya masalah lain misalnya infeksi (Isselbacher, Kurt J.,
dkk., 2000).
Artritis erosif merupakan merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan pengikisan ditepi tulang .
Deformitas adalah kerusakan dari struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Pergeseran ulnar atau deviasi jari, pergeseran sendi pada tulang telapak tangan dan jari,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering
dijumpai pada penderita. . Pada kaki terdapat tonjolan kaput metatarsal yang timbul
sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan
ekstensi (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
3. Manifestasi Ekstrasendi
AR adalah penyakit sistemik dengan berbagai manifestasi di luar sendi. Walaupun
hal tersebut sering terjadi, tidak semua memiliki kemaknaan klinis. Namun, kadang-
kadang manifestasi tersebut merupakan bukti utama aktivitas penyakit dan memerlukan
manajemen tersendiri. Umumnya, manifestasi ini terjadi pada individu dengan titer
autoantibodi yang tinggi terhadap komponen Fc imunoglobulin G (faktor reumatoid)
(Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
Nodus Reumatoid timbul pada 20 sampai 30 % individu yang menderita AR. Nodus
ini umumnya ditemukan pada struktur di sekitar sendi, permukaan ekstensor atau
bagian lain yang terkena tekanan mekanis, tatapi nodus tersebut dapat timbul dimana
saja termasuk pleura dan meningen. Tempat predileksi adalah bursa olekranon, ulna
proksimal, tendo achilles, dan oksiput. Nodus hampir selalu dijumpai pada individu
yang memiliki faktor reumatoid dalam darahnya. Vaskulitis Rematoid yang dapat
mengenai hampir semua sistem organ, dijumpai pada pasien dengan AR berat dan titer
faktor rematoid dalam darah yang tinggi (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).

F. Penegakkan Diagnosis
Walaupun kriteria diagnostik AR yang dibentuk oleh the American Rheumatism
Association (ARA) pada tahun 1958 telah di gunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi
dengan berkembangnya pengetahuan dalam bidang AR, ternyata diketahui bahwa dengan
menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnostik. Banyak kasus AR
yang luput dari diagnosis atau sebaliknya banyak jenis artritis lain yang didiagnosis
sebagai AR (Daud & Adnan, 1999).
Pembagian AR sebgai classic, definite, problable dna possible seperti yang dianjurkan
pada kriteria tahun 1958, secara klinis saat ini juga dianggap tidak relevan lagi. Dalam
praktek sehari-hari, tidak lagi diperlukan pembedaan dalam penatalaksanaan AR classic
dari AR definite. Selain itu seringkali pasien yang didiagnosis sebagai menderita AR
probable ternyata menderita jenis artritis yang lain (Daud & Adnan, 1999).
Untuk itu pada tahun 1987 ARA telah mempublikasikan susunan kriteria klasifikasi
reumatoid artitis dalam format tradisional baru (Daud & Adnan, 1999).
Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi Tahun 1987
No. Kriteria Definis
1. Kaku pagi hari Kekakuan pada oagi hari pada persendian dan di
sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum
perbaikan maksimal
2. Artritis pada 3 daerah Pembengkakan jaringan lunak pada sekurang-
kurangnya 3 sendi secara bersaan yang diobservasi
oelh seorang dokter

3. Artritis pada persendian Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu


tangan persendian tangan seperti yang tertera diatas.
4. Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama.
5. Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta-artrikular
yang diobservasi oleh seorang dokter.
6. Faktor reumatoid serum Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum
yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil
positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang
diperiksa
7. Perubahan gambaran Perubahan gambaran radiologis yang khas bagi
artritis reumatoid pada pemeriksaan sinar X
pergelangan tangan yang menunjukan adanya erosi .
Untuk keperluan klasifikais, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika ia
sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1-4 harus terdapat
minimal selama 6 minggu.

G. Penatalaksanaan
1 Terapi Medikamentosa
Penatalaksaan medis AR menurut terdiri dari 3 pendekatan umum, yaitu :
a. Pengunan aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) lain, analgesik sederhana
dan bila perlu glukokortikoid dosis rendah untuk mengontrol gejala dan tanda proses
peradangan lokal. Obat antiinflamasi nonsteroid lain adalah eodolak, fenoprfen,
ibuprofen, indometasin, ketoprofen, nabumeton, naproksen, dll.
b. Penggunaan obat yang digolongkan sebagai obat antirematik yang dapat
memodifikasi penyakit untuk bekerja lambat. Selain obat antirematik ada juga obat
imunosupresif dan sitotoksik yang telah terbukti menghilangkan proses penyakit
pada sebagian pasien.
c. Pendekatan ketiga mencakup penggunaan sejumlah modalitas eksperimental, seperti
iradiasi limfosit total, limfoplasmaferesis, pemberian obat pemberian obat
imunosupresif dan siklosporin dan pemberian antibodi monoklononal terhadap sel T
dan subset sel T.
2 Terapi Non-Medikamentosa
Terapi Non-medikamentosa yang dapat dilakukan untuk penatalakasanaan penyakit
Reumatoid Arthtritis menurut Corwin, Elizabeth J (2009) adalah sebagai berikut :
a. Sendi yang mengalami inflamasi diistirahatkan selama eksaserbasi
b. Periode istirahat setiap hari
c. Kompres panas dan dingin bergantian
d. Pembedahan untuk mengangkat membran sinovial atau untuk memperbaiki
deformitas
e. Pengobatan herba dengan khasiat anti-inflamasi telah digunakan pada beberapa
generasi untuk mengurangi gejala artritis reumatoid.

H. Prognosis
Beberapa gambaran pada pasien AR tampaknya memiliki makna prognostik. Remisi
aktivitas penyakit umumnya terjadi selama tahun pertama. Pasien perempuan berkulit
putih cenderung mengalami sinovitis persisten dan penyakit erosif yang lebih progresif
daripada laki-laki. Pasien dengan titer tinggi faktor reumatoid, protein C-reaktif, dan
haptoglobin juga memiliki prognosis yang lebih buruk, demikian juga individu dengan
nodus subkutis atau bukti radiografik adanya erosi pada permulaan pemeriksaan.
Walaupun aktivitas penyakit yang menetap lebih dari satu tahun menyiratkan prognosis
yang buruk, kecepatan kerusakan sendi tidaklah konstan; pemburukan tertinggi terjadi
selama 6 tahun pertama dan kemudian jauh melambat. Dalam 3 tahun penyakit, hampir
70% pasien akan memperlihatkan bukti radiografik adanya kerusakan sendi. Sendi-sendi
kaki lebih sering terkena dibandingkan sendi tangan. Walaupun terjadi penurunan
kecepatan kerusakan sendi seiring dengan waktu, fungsionalnya terus memburuk dengan
kecepatan yang konstan (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).
Usia harapan hidup pada pasien AR berkurang sebanyak 3-7 tahun. Dari 2,5 kali
peningkatan angka mortalitas, AR itu sendiri merupakan penyebab pada 15-30%.
Penigkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada yang mengalami penyait sendi berat
yang mungkin mengalami infeksi dan perdarahan saluran cerna. Faktor yang berkaitan
dengan kematian dini adalah hendaya, lama dan keparahan penyakit, penggunaan
kortikosteroid, usia dan jenis kelamin laki-laki (Isselbacher, Kurt J., dkk., 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Daud, Rizasyah & Adnan, H.,M. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Isselbacher, Kurt J., dkk. 2000. Harison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol. 4 Ed. 13.
(Alih Bahasa: Prof. Dr. Ahmad H. Asdie, Sp. PD-KE). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai