Anda di halaman 1dari 5

Ketahanan Pangan Vs Konversi Lahan Pertanian

Sejak bulan Oktober 2014 kita telah memiliki presiden dan wakil presiden baru yaitu bapak Jokowi
dan Jusuf Kalla, yang Insya Allah akan memimpin pemerintahan Negara Republik Indonesia tercinta
ini mulai dari saat ini sampai dengan 5 tahun kedepan. Setiap era pemerintahan baru selalu
mempunyai visi-misi dan program-program prioritas yang akan dilaksanakan dan diwujudkannya,
sebagaimana yang telah dijanjikannya kepada rakyat, dan salah satu yang menjadi program prioritas
dari pemerintahan baru ini adalah mewujudkan swasembada beras dan ketahanan pangan nasional.
Konsepsi ketahanan pangan didefenisikan sebagai ketersediaan pangan dan kemampuan setiap orang
untuk dapat mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dapat dikatakan memiliki ketahanan pangan jika
para penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan
(Wikipedia.org). Ketersediaan pangan merupakan persoalan krusial bagi setiap Negara dan tidak
dapat disubsitusi oleh kebutuhan lain karena merupakan kebutuhan primer bagi setiap orang. Disisi
lain sesungguhnya ketahanan pangan tidak hanya mencakup swasembada beras tanpa disertai dengan
pemenuhan ragam pangan lainnya. Hingga Januari 2014 yang lalu, setidaknya terdapat 29 bahan
pangan yang masih kita impor dari luar negeri, seperti antara lain kedelai, jagung, gula, gandum,
tepung terigu, bahkan daging sapi dan daging ayam.

Dengan demikian, sesungguhnya keberhasilan swasembada beras hanya menyumbang sebagian kecil
dari konsep keseluruhan ketahanan pangan Indonesia. Namun demikian, dengan keterbatasan yang
ada maka pada kesempatan ini kita mencoba fokus untuk membahas program swasembada beras
dengan tantangan permasalahan konversi lahan pertanian yang semakin massif. Berbicara tentang
pangan maka sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis dalam menunjang
pembangunan nasional, apalagi secara filosofis sektor pertanian ini memiliki peran dan fungsi sentral
bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Bagi masyarakat Indonesia, lahan pertanian selain
memiliki nilai ekonomis, juga memiliki nilai sosial ,dan bahkan juga nilai religious. Akan tetapi,
lahan pertanian saat ini menghadapi permasalahan konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan
yang kian hari semakin massif dan memiriskan ! Sementara itu keberlanjutan lahan subur yang ada
tidak terjamin dengan baik, disisi lain pencetakan lahan sawah baru pun relatif kecil jumlahnya.
Padahal ketersediaan lahan dalam usaha pertanian merupakan condition sine-quanon (merupakan
syarat mutlak) untuk mewujudkan sektor pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture),
terutama lagi jika dikaitkan dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional yang
berkelanjutan. Menurut menteri pertanian di era kabinet SBY yang lalu, Suswono, saat ini Indonesia
dengan penduduk 253 juta jiwa hanya memiliki luas lahan pertanian 8,1 juta hektar dengan luas
panen padi mencapai 14 juta hektar. Bandingkan dengan Thailand yang jumlah penduduknya hanya
seperempat dari Indonesia, tetapi memiliki luas lahan sawah hingga 9 juta hektar. Petani Indonesia
pun masih belum dapat hidup sejahtera karena penguasaan lahan pertanian untuk setiap rumah tangga
hanya berkisar 0,3 hektar. Seyogyanya Negara harus mampu memberikan akses memanfaatkan lahan
kepada petani setidaknya 2 hektar per orang, demikian kata Suswono. Menurut ketua umum Kontak
Tani Nelayan Andalan Indonesia, Winarno Tohir, jika lahan pertanian terus menerus berkurang akibat
alih fungsi, sebenarnya pemerintah dapat memakai lahan-lahan marjinal seperti lahan yang berada
ditepi pantai atau rawa untuk digarap oleh petani. Saat ini setidaknya terdapat sekitar 27 juta hektar

1
lahan-lahan marjinal yang berada di tiga pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pertanyaan
selanjutnya , apakah sudah cukup dengan itu saja ?!

Alih Fungsi Lahan Pertanian Tanaman Pangan (Sawah)

Sebagaimana yang sering diberitakan didalam media, alih fungsi lahan pertanian sudah semakin sulit
dibendung, setiap tahun tidak kurang dari 110.000 hektar sawah di Indonesia yang beralih fungsi
menjadi kawasan perumahan dan kawasan industri, sementara kemampuan pemerintah mencetak
lahan pertanian produktif hanya sekitar 50.000 ha per tahun (Kompas, 15/9/14). Kementerian
Pertanian memprediksi tahun 2015 mendatang Indonesia bakal mengalami defisit lahan pertanian
(padi) hingga mencapai 730.000 ha.Defisit lahan tersebut didasarkan atas perhitungan jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2015 berkisar 225 juta jiwa, komsumsi beras Nasional 38,49 juta ton
dengan asumsi komsumsi per kapita 135 kg per orang per tahun. Untuk menghasilkan 38,49 juta ton
beras diperlukan lahan pertanaman 13,38 juta ha. Adapun lahan pertanian yang tersedia hanya 13,20
juta ha, itupun masih dikurangi alih fungsi lahan sekitar 550.000 ha. Jika tidak segera ditangani
dengan baik, tahun 2020 defisit lahan pangan akan mencapai 2,21 juta ha, tahun 2025 mencapai 3,75
juta ha dan pada tahun 2030 akan mencapai 5,38 juta ha. Dengan asumsi produktivitas tanaman padi
rata-rata nasional 5,12 ton per ha gabah kering giling, defisit lahan 5,38 juta ha setara dengan
produksi beras 15,49 juta ton, atau hampir separuh dari produksi beras saat ini. Jika dicermati lebih
lanjut ,ada beberapa permasalahan yang menjadi penyebabnya, antara lain pertambahan jumlah
penduduk Indonesia yang rata-rata sebesar 1,3 sampai dengan 1,5 % per tahun. Dengan laju
pertumbuhan yang tinggi ini, diperkirakan pada tahun 2035 mendatang penduduk Indonesia akan
mencapai 440 juta jiwa. Ini berarti kebutuhan lahan untuk perumahan dan permukiman pun akan
semakin bertambah, disisi lain nilai jual lahan untuk permukiman terutama diwilayah urban pun
semakin mahal harganya. Masalah lainnya adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor
yang diatur didalam RTRW kabupaten/Kota yang semakin ketat. Berdasarkan pengamatan terhadap
RTRW kab/kota yang ada, ada seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah yang diubah menjadi
lahan permukiman, industri, dan lain-lain. Menurut data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004 yang
lalu, menunjukkan besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar
187.720 ha per tahun dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun, dan
alih fungsi kesektor pertanian lainnya (misalnya perkebunan) sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun
alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun.

Strategi Penyediaan Ketersediaan Lahan

Secara garis besarnya, ada tiga strategi yang dapat diterapkan untuk menambah ketersediaan lahan
pertanian . Yang pertama Ekstensifikasi, bisa dilakukan dengan cara ; 1) pembukaan lahan baru untuk
tanaman pangan secara permanen, 2) pemanfaatan lahan HGU yang belum diusahakan untuk
perkebunan komoditas pangan, 3) pemanfaatan lahan terlantar untuk cadangan pangan (sesuai amanat
PP No 11 tahun 2010, tentang pendayagunaan dan penertiban tanah terlantar), 4) pemanfaatan
kawasan hutan yang dapat dikonversi untuk tanaman pangan (dengan memperhatikan konservasi
tanah dan air), dan 5) rehabilitasi dan konservasi lahan kritis untuk peruntukan tanaman pangan.
Strategi yang kedua adalah Intensifikasi lahan dengan meningkatkan produktivitas tanah melalui ; 1)

2
Optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian pangan, 2) pengembangan pertanian pangan metode SRI
dan 3) peningkatan kesuburan tanah melalui fasilitasi penyediaan pupuk organik. Dan yang terakhir
adalah dengan menerbitkan kebijakan pengendalian lahan yaitu berupa Penetapan Kawasan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (KP2B) yang terdiri dari ; 1) penetapan KP2B Nasional yang diatur dalam PP
tentang RTRWN, 2) penetapan KP2B Propinsi yang diatur dalam Perda RTRWP dan 3) penetapan
KP2B Kabupaten/Kota yang diatur dalam Perda RTRW Kab/Kota, dimana substansi penetapan
Lahan Pertanian Pangan Besrkelanjutan (LP2B) tersebut dikoordinasikan melalui forum persetujuan
substansi pada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional dan/atau Propinsi (BKPRN dan/atau
BKPRD).

Peran Tata Ruang dalam Lahan Pertanian

Berdasarkan kebijakan penataan ruang nasional, kawasan pertanian termasuk kedalam kawasan
budidaya , yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Menurut
pasal 66 Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang RTRWN, kawasan peruntukan pertanian
ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian. Kawasan ini ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi untuk mendukung ketahanan
pangan nasional, dan bahkan dapat dikembangkan sesuai dengan daya dukung lahan dan tingkat
ketersediaan air yang ada. Kawasan pertanian termasuk salah satu bentuk pengembangan kawasan
perdesaan yang berada didalam wilayah Kabupaten/Kota, sesuai dengan UU No 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa penataan ruang kawasan perdesaan
diselenggarakan diwilayah Kabupaten, dapat berbentuk kawasan agropolitan, dan diarahkan salah
satunya untuk pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan.
Perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana yang diatur dalam UU No
41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bentuk perhatian yang
sangat serius dari pemerintah terhadap sektor pertanian (utamanya masalah alih fungsi lahan),yang
telah menjadi bagian komplementer dari setiap produk hukum dibidang penataan ruang (baik itu
RTRWN dan utamanya untuk RTRWP dan RTRW Kab/Kota) dan telah mempunyai kekuatan hukum
yang pasti, oleh karenanya itu wajib untuk dipedomani dan dipatuhi bagi semua pihak. Untuk lebih
memperkuat dan mendukung UU PLPPB ini, kemudian diterbitkan Permentan N0 41 tahun 2009
tentang kriteria teknis Kawasan Peruntukan Pertanian yang mengatur kawasan peruntukan pertanian
atas amanat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menjadi empat klasifikasi peruntukan,
yakni ; Kawasan Budidaya Tanaman Pangan, Perkebunan, Hortikultura dan Peternakan.
Nomenklatur ini seharusnya ditaati dengan benar oleh pemerintah daerah didalam penyusunan legal
drafting Raperda RTRW Propinsi maupun RTRW Kab/Kota. Selain itu perhitungan kebutuhan lahan
pertanian minimal ditingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota sesungguhnya dapat dihitung
dengan memprediksi kebutuhan pangan untuk komsumsi rumah tangga yang selanjutnya
dikonversikan kepada kebutuhan luas lahan.

Besaran kebutuhan lahan ini akan berbeda-beda tergantung kepada pertumbuhan penduduk dan
tingkat komsumsi pangan di masing-masing propinsi dan kabupaten/kota. Menurut ketua Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO), Anton J. Supit, saat ini masalah Tata Ruang masih menjadi kendala

3
utama investasi disektor pertanian, baik itu investasi di sub sektor tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, maupun untuk komoditas hortikultura lainnya yang memiliki potensi pasar besar.
Ketidak jelasan tata ruang kerap kali memicu sengketa didaerah, membuat para calon investor yang
tergabung didalam APINDO menjadi gamang. Di sub sektor tanaman pangan misalnya, sekalipun
banyak investor yang tertarik untuk mengembangkan komoditas beras dan jagung, namun mereka
mengalami kesulitan untuk mendapatkan lahan yang sesuai. Begitu pula mereka yang berinvestasi di
perkebunan, seperti tebu misalnya. Kalaupun ada, masih terjadi tumpang tindih kepemilikan. Padahal
investasi swasta di sektor pertanian memerlukan dana yang besar dan bersifat long term investmen,
sehingga para investor bersikap sangat hati-hati. Disektor peternakan, seperti unggas misalnya,
masalah tataruang juga menjadi kendala utama. Perusahaan pembibitan sering terancam oleh
ekspansi permukiman penduduk dan industri, padahal mereka sudah lebih dahulu mengembangkan
usahanya, dan pada saat itu sebenarnya berada jauh dari area permukiman . Kesemuanya ini
disebabkan oleh rencana tata ruang yang tidak jelas dan tidak konsekwen didalam penerapannya,
apalagi jika tidak ada upaya dari pemerintah daerah untuk mengantisipasi permasalahan ini sesuai
ketentuan penataan ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara adil dan
transparan.

UU No 41/2009 tentang Perlindungan LP2B

Undang-Undang No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


adalah merupakan landasan hukum bagi penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Setiap pemerintah daerah ditingkat Propinsi maupun di tingkat Kab/Kota diwajibkan untuk
menetapkan luasan dan wilayah LP2B nya pada setiap RTRW nya. Penetapan LP2B ini juga
merupakan amanat dari pasal 20 dan 21 dari UU No 41/2009 ttg penetapan Lahan Pertanian dalam
Rencana Rinci Tata Ruang Kab/Kota, pasal 23 UU No 41/2009 ttg penetapan kawasan pertanian
pangan berkelanjutan dalam RTRW, dan pasal 16, 26, 34 PP No 1 tahun 2011 ttg Penetapan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dengan disahkannya PP No 1 tahun 2011 kemudian
terbit PP N0 12 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No 25
tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No 30 tahun
2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dengan serangkaian
paket regulasi ini, suka atau tidak, mau atau tidak, nampaknya petani harus memasukkan lahan
pertaniannya kedalam lahan/kawasan pertanian pangan berkelanjutan (L/KP2B). Memang tidak ada
unsur paksaan, namun pemerintah memiliki kartu truf untuk tidak akan memberikan berbagai fasilitas
dan subsidi kepada petani yang lahannya tidak masuk dalam L/K2PB (subsidi pupuk misalnya).
Pemerintah bisa mengontrol hal ini karena untuk mendapatkan subsidi, petani harus masuk dalam
organisasi kelompok tani dan petani juga harus membuat Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK), termasuk kebutuhan pupuknya. Dengan masuknya ke L/K2PB petani hanya dibolehkan
menanam komoditas tanaman pokok, seperti padi. Tidak ada ruang lagi untuk beralih ke komoditas
hortikultura lainnya, seperti tanaman hias misalnya, sekalipun itu menjanjikan pendapatan yang enam
kali lebih besar. Padahal Undang-Undang No 12 tahun 2002 tentang Sistem Budidaya Tanaman
memperbolehkan petani untuk menanam jenis komoditas tanaman yang dinilai paling
menguntungkannya. Ini berarti dengan memaksakan petani untuk masuk kedalam L/KP2B maka
pemerintah dan pemerintah daerah harus sanggup dan menjamin kesejahteraan para petani yang telah

4
berpartisipasi dengan program pemerintah. Pemerintah harus menyediakan infrastruktur pertanian
yang memadai, bukan hanya jaringan irigasi semata, tetapi juga jalan usaha tani, alat pengering, benih
yang berkualitas dengan produksi yang tinggi, jaminan ketersediaan air dan pupuk, jaminan
pembiayaan dan jaminan harga pasar. Sanggupkah pemerintah dan pemerintah daerah untuk
memenuhi kebutuhan petani sekaligus mensejahterahkannya ? Bagaimana kalau tidak, apakah ada
sangsi bagi pemerintah dan pemerintah ? Mudah-mudahan UU NO 451/2009 berikut regulasi
turunannya sudah memuat dan mengatur kesemuanya itu. Apalagi saat ini masih banyak pemerintah
daerah yang belum mau/rela menetapkan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan didaerahnya
masuk kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena mempertimbangkan rendahnya nilai
ekonomis lahan pertanian pangan ketimbang untuk keperluan industri, properti real estate dan
kegiatan komersil lainnya.

Saran Rekomendasi

Laju pertumbuhan penduduk yang pesat dan akselerasi pembangunan yang tinggi menimbulkan
kompetisi penggunaan lahan yang hebat, namun sayangnya pemenangnya cenderung masih berpihak
kepada pihak korporasi yang mempunyai kekuatan finasial yang lebih kuat dibanding dengan
kamampuan pemerintah, apalagi masyarakat biasa. Olehkarenanya pemerintah/ pemerintah daerah
harus tegas menangani permasalahan ini. Setiap rencana pembangunan yang membutuhkan lahan
harus direncanakan secara akuntabel dan transparan serta dengan hitung-hitungan angka kebutuhan
lahan dan lokasi yang jelas dan termuat didalam dokumen RTRW yang nantinya akan di Perdakan.
Usulan penetapan luasan dari masing-masing Kabupaten/Kota kemudian diverifikasi oleh pemerintah
propinsi yang selanjutnya akan menjadi dasar perencanaan propinsi dalam menetapkan L/KP2B.
Selanjutnya rencana penetapan tingkat propinsi akan menjadi dasar bagi perencanaan ditingkat
kabupaten/kota. Oleh sebab itu seyogyanya propinsi dapat mengintervensi luas L/KP2B yang
diusulkan oleh kabupaten/kota apabila luas, lokasi dan sebaran lahan yang diusulkan tidak sesuai
dengan kesepakatan ataupun kondisi lapangan yang sebenarnya.

http://www.ksn-mamminasata.com/index.php/9-artikel/9-ketahanan-pangan-vs-konversi-lahan-
pertanian.html

Anda mungkin juga menyukai