Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Kegawatan nafas pada neonatus merupakan masalah yang serius karena

dapat menyebabkan henti nafas bahkan kematian, sehingga meningkatkan

morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Kegawatan nafas yang terjadi

pada bayi dapat menimbulkan dampak yang cukup berat berupa kerusakan otak

atau bahkan kematian. Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada sistem

pernafasan sehingga terjadi kekurangan oksigen (hipoksia) pada jaringan tubuh.

Awalnya, bayi akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan

mengaktifkan metabolisme anaerob. Namun apabila keadaan hipoksia semakin

berat dan lama metabolisme anaerob akan menghasikan asam laktat dan

memperburuk keadaan asidosis dan menurunkan aliran darah ke otak sehingga

terjadi kerusakan otak akibat hipoksia dan iskemik dan akhirnya menyebabkan

kematian.1

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), setiap tahunnya

3,6 juta bayi (3%) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir satu

juta bayi ini meninggal. Survei WHO tahun 2002 dan 2004 mendapakan

kematian bayi baru lahir yang disebabkan oleh asfiksia sebesar (27%).2

Penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat menemukan bahwa

insidensi gagal napas di Amerika sekitar 18 per 1000 kelahiran hidup. Insidensi

tertinggi terdapat pada ras kulit hitam dan sangat berhubungan dengan

kemiskinan. Angka Kematian Perinatal tertinggi dunia terdapat di Afrika yakni

1
56 per 1000 kelahiran hidup disusul Asia di urutan kedua sebesar 47 per 1000

kelahiran hidup. Kematian perinatal di dunia sekitar 98 % terjadi di negara-

negara berpendapatan rendah hingga sedang.3

Angka kematian bayi baru lahir di Indonesia menurut Survei Departemen

Kesehatan Indonesia tahun 2002 dan tahun 2003 adalah 20/1.000 kelahiran

hidup, salah satu penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah asfiksia.

Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi. Angka Kematian Bayi

di Indonesia tahun 2011 yakni sebesar 24,8 kematian per 1000 kelahiran hidup,

sedangkan tahun 2012 meningkat sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. 4

Pada survei Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2007 sebanyak

40/1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008-2012 32/1.000 kelahiran hidup angka

ini telah turun dari survei Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2007, namun

penurunan ini masih jauh dari target Millenium Development Goals tahun 2015

yaitu angka kematian bayi diharapkan turun menjadi 23/1.000 kelahiran hidup.

Dari seluruh kematian bayi, sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal dan

setiap 5 menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Penyebab kematian

neonatal di Indonesia pertama ialah berat badan lahir rendah 29% dan penyebab

kematian kedua ialah asfiksia sebanyak 27%.5

Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan

angka kematian bayi pada tahun 2012 berjumlah 816 bayi dan pada tahun 2013

berjumlah 727 bayi dengan penyebab terbanyak ialah berat badan lahir rendah

258 bayi, asfiksia 178 bayi, tetanus 13 bayi dan penyebab lain berjumlah 185

bayi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun

2
2011 jumlah kelahiran yaitu 156.348 orang dengan jumlah kematian bayi karena

asfiksia yaitu 66 bayi (23,91%) dan pada tahun 2012 jumlah kelahiran 142.285

orang dengan jumlah kematian bayi karena asfiksia yaitu 66 bayi (25,58%). Data

di atas menunjukkan bahwa masih tingginya mortalitas bayi dengan asfiksia saat

lahir. 5

Angka Kematian Bayi di Kota Makassar tahun 2011 sebesar 6,9 per 1000

kelahiran hidup. Sedangkan kejadian kematian perinatal berdasarkan data Dinas

Kesehatan Kota Makassar tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat 65 kasus

lahir mati dan 44 kasus kematian neonatal dini (usia 0-7 hari), sehingga jumlah

kejadian kematian perinatal di Kota Makassar tahun 2012 sebesar 109 kasus.

Angka Kematian Perinatal di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar

menurut data tahun 2011 sebesar 1,5 persen yaitu 69 kasus dari 4763 total

persalinan sepanjang tahun 2011, sedangkan pada tahun 2012 terdapat 1,8

persen kematian perinatal atau sebanyak 74 kasus kematian perinatal dari 4160

total persalinan. Melihat kejadian kematian perinatal di RSIA Siti Fatimah, maka

dapat dikatakan bahwa kejadian kematian perinatal mengalami peningkatan dari

tahun sebelumnya. Penyebab kematian neonatus salah satunya adalah asfiksia.3

Asfiksia lahir juga merupakan penyebab kematian perinatal. Hasil

penelitian di Kabupaten Batang oleh Mahmudah, Cahyati, & Wahyuningsih

(2011) menemukan bahwa adanya asfiksia lahir pada bayi memberi risiko 2,270

kali terhadap kematian perinatal. Hasil tersebut di perkuat dengan temuan Aji

(2011) bahwa asfiksia berisiko 5,3 kali menyebabkan kematian perinatal.3

3
Faktor resiko yang berperan penting untuk terjadinya asfiksia pada bayi

yaitu faktor ibu, plasenta, fetus, neonatus, persalinan dan umbilikal. Oleh karena

itu, untuk mencegah terjadinya asfiksia pada bayi yang berujung pada kematian

maka dapat dilakukan Penanganan awal pada neonatus yang mengalami gawat

napas (asfiksia) yaitu tindakan resusitasi. Jika setelah melakukan resusitasi tetapi

tidak berhasil, maka dapat dilakukan ventilasi.1

Penatalaksanaan utama gagal nafas pada neonatus adalah terapi suportif

dengan ventilasi mekanis dan oksigenasi konsentrasi tinggi. Terapi lainnya

meliputi high-frequency ventilator, terapi surfaktan, inhalasi nitrat oksida, dan

extracorporealmembrane oxygenation (ECMO).1

Penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dokter muda tentang

gawat nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan

penting dilakukan untuk menurunkan prevalensi kematian neonatus yang

diakibatkan oleh gawat napas yang dialami oleh bayi baru lahir. Penelitian ini

belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian ini pada koass Fakulltas Kedokteran Universitas Pattimura yang

sedang bertugas di RSUD. Dr. M. Haulussy Ambon.

I.2 Rumusan masalah

Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dokter muda tentang gawat

nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan nafas di

RSUD. dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2016 ?

4
I.3 Tujuan penelitian

I.3.1 Tujuan umum :

Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dokter muda tentang

gawat nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami

kegawatan nafas di RSUD. dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus :

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah

1. Mengetahui prevalensi asfiksia di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

2. Mengetahui sejauh mana pengetahuan dokter muda tentang tindakan

resusitasi pada bayi yang mengalami gawat napas di RSUD dr. M.

Haulussy Ambon.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat

kepada berbagai pihak diantaranya :

I.4.1 Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Rumah

Sakit untuk lebih meningkatkan mutu sumber daya manusia dari segi

pengetahuannya dan ketrampilannya. Selain itu, penelitian ini juga bisa

menjadi bahan kajian bagi pihak menajemen rumah sakit dalam

menetapkan sistem yang lebih baik untuk meningkatkan mutu pelayanan

yang memuaskan dan berkualitas.

5
I.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sarana meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam

penerapan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan maupun di praktek

nanti.

I.4.3 Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan

tingkat pengetahuan dokter muda tentang kegawatan nafas dan tindakan

resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan pernapasan, serta

sebagai media penerapan ilmu selama studi dan sebagai bekal di masa

depan.

I.4.4 Bagi Peneliti lain

Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang

akan melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan tindakan

resusitasi pada neonatus.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kegawatan nafas

II. 1.1 Kegawatan nafas pada neonatus

Kegawatan nafas atau yang disebut asfiksia neonatarum ialah suatu

keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur

segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan

berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia

ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi

baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin.6,7

Haupt memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan pada

bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan

kardiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia

merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan

ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-

hari pertama kehidupan setelah bayi lahir. Penyebab asfiksia secara umum

yaitu adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke

janin pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.7

Neonatus adalah Bayi baru lahir sampai berumur 4 minggu.

periode neonatal terbagi menjadi dua yaitu periode neonatal dini yang

meliputi jangka waktu 0 sampai 7 hari setelah lahir dan periode neonatal

lanjut yang meliputi jangka waktu 8 sampai dengan 28 hari setelah lahir. 7,
19,20

7
2.2 Klasifikasi Kegawatan nafas

Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity,

Respiration) asfiksia diklasifikasikan menjadi 4, yang ditunjukan pada

tabel 2.1 Skor Apgar7

Aspek pengamatan bayi Skor


baru lahir 0 1 2
Apperance/ warna kulit Seluruh tubuh Warna kulit tubuh Warna kulit seluruh
bayi berwarna normal, tetapi tubuh normal
biru atau pucat tangan dan kaki
berwarna kebiruan
Pulse / nadi Denyut jantung Denyut jantung < Denyut jantung >
tidak ada 100 kali/menit 100 kali/menit
Grimace / respon refleks Tidak ada Wajah meringis Meringis, menarik,
respon terhadap saat distimulasi batuk, atau bersin
stimulasi saat stimulasi
Activity / tonus otot Lemah, tidak Lengan dan kaki Bergerak aktif dan
ada gerakan dalam posisi fleksi spontan
sedikit gerakan
Respiratory / pernapasan Tidak bernapas, Menangis lemah, Menangis kuat,
pernapasan terdengar seperti pernapasan baik
lambat dan tidak merintih dan teratur
teratur

Penilaian Apgar berhubungan erat dengan perubahan

keseimbangan asam- basa dan dapat memberikan gambaran beratnya

perubahan kardiovaskular. Penilaian meliputi nilai 0- 1- 2 untuk penilaian

fungsi alat vital yaitu warna kulit, pernafasan, denyut jantung dan

penilaian oksigenasi susunan saraf pusat yaitu tonus otot, reflek

rangsangan. Penilaian Apgar dilakukan setelah bayi lahir lengkap dan

jalan nafas telah bersih. Angka yang ditetapkan pada menit pertama

setelah bayi lahir berhubungan erat dengan pH arteri yang merupakan

indeks penentu adanya asfiksia atau tidak, sedangkan angka yang didapat

pada menit ke lima setelah bayi lahir merupakan indeks yang menetapkan

adanya kemungkinan kematian bayi akibat sekuele neurologic. 7

8
Klasifikasi asfiksia 7 :

1. Vigorus baby yaitu skor apgar 7- 10 : Bayi segera menangis dalam

beberapa detik setelah lahir.

2. Mild moderate asphicsia (asfiksia sedang), skor apgar 4-6: Bayi

sianosis, sirkulasi tidak lancar, tonus otot kurang baik.

3. Asfiksia berat skor apgar 0- 3: Tidak ada pernafasan, bayi lemas,

tonus otot buruk, sianosis berat, pucat, reflek tidak ada.

II.3 Etiologi Kegawatan nafas

Pengembangan paru bayi baru lahir dapat terjadi pada menit-menit

pertama kelahiran kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Jika didapati

gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan

berakibat asfiksia janin. Gangguan tersebut dapat terjadi akibat darah ibu

yang tidak mencukupi karena hipoventilasi selama anestesi, penyakit

jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida,

sehingga berakibat pada hipoksia janin, dapat juga akibat dari tekanan darah

ibu yang rendah akibat komplikasi anestesi spinal atau kompresi vena kava

dan aorta pada uterus gravida. 7

Selain itu, pemberian oksitosin yang berlebihan dapat menyebabkan

penurunan relaksasi uterus sehingga pengisian darah ke plasenta tidak

cukup. Pemisahan plasenta prematur menyebabkan belum matangnya organ

pada bayi, seperti organ respirasi. Terhalangnya sirkulasi darah melalui tali

pusat oleh karena adanya kompresi atau pembentukan simpul pada tali pusat

sehingga sirkulasi darah ke janin tidak adekuat dan menyebabkan hipoksia

9
janin. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir merupakan lanjutan

asfiksia janin, oleh karena itu penilaian janin selama masa kehamilan dan

persalinan memegang peranan penting untuk keselamatan. 7

Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas

akibat ukuran jalan nafas yang kecil dan resistensi yang besar terhadap

aliran udara, compliance paru yang lebih besar, otot pernafasan dan

diafragma cenderung yang lebih mudah lelah serta predisposisi terjadinya

apnea yang lebih besar. Gagal nafas pada neonatus dapat disebabkan oleh

hipoplasia paru (disertai hernia diafragma kongenital), infeksi, aspirasi

mekoneum, dan persistent pulmonary hypertension. 7

Tabel 2.2 Etiologi gagal nafas pada neonatus7

Paru-paru Aspirasi, pneumonia,transient tachypnea of newborn, persistent


pulmonary hypertension, pneumotoraks, perdarahan paru, edema
paru, displasia bronkopulmonal, hernia diagfragma, tuor, efusi
pleura, emfisema lobaris kongenital
Jalan nafas Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis choana, Pierre
Robin Syndrome, tumor dan kista
Otot-otot respirasi Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis, miasthenia gravis
Sistem saraf pusat Apnea of prematurity. Obat : sedatif, analgesik, magnesium : kejang
asfiksia, hipoksik ensefalopati, perdarahan SSP
Lain-lain Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung kongestif,
anemia/polisitemia, tetanus neonatorum, immaturitas, syok, sepsis

II. 4 Patofisiologi

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat

sementara, proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang

kemoreseptor pusat pernafasan sehingga terjadi “primary gaping” yang

10
akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Kegagalan pernafasan

mengakibatkan berkurangnya oksigen dan meningkatnya karbon dioksida,

diikuti dengan respiratorik asidosis. Apabila proses berlanjut maka

metabolism sel berlangsung dalam suasana anaerobik yang berupa

glikolisis glikogen, sehingga sumber glikogen terutama pada jantung dan

hati berkurang dan asam organik yang terjadi menyebabkan metabolik

asidosis. 7

Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler

yang disebabkan beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber

glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung, terjadinya

asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot

jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung, pengisian udara

alveolus kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh

darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru, sistem sirkulasi tubuh lain
7,15
mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang

terjadi berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak terjadi

setelah asfiksia berlangsung selama 8- 15 menit.15

II.5 Faktor resiko

2.5.1 Faktor ibu

Faktor-faktor risiko tinggi pada ibu yang dapat menyebabkan

asfiksia neonatorum antara lain 7,16:

11
a. Primi tua

Primi tua adalah kehamilan pertama pada wanita dengan usia >

30 tahun. Pada wanita tua ada kecenderungan besar untuk terjadi pre-

eklamsia dan hipertensi yang dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan dan persalinan terlalu dini.

b. Riwayat obstetrik jelek

Wanita dengan riwayat obstetric jelek adalah wanita yang pada

kehamilan sebelumnya berdampak jelek seperti aborsi, lahir mati,

kematian neonatal dini, dan bayi abnormal. Perlu diketahui informasi

tentang kehamilan sebelumnya dan penyebab kematian bayi. Faktor-

factor penyebab misalnya pre-eklamsi, hipertensi, panggul sempit,

diabetes mellitus.

c. Grande Multi Para

Grande multi para yaitu para wanita yang telah melahirkan

lebih 5 kali. Grande multi para mempunyai kemungkinan yang lebih

besar untuk terjadi kehamilan ganda, Plasenta previa, dan perdarahan

antepartum. Mudah terjadi malpresentasi dan malposisi oleh karena

kelemahan otot- otot dinding perut. Komplikasi persalinan ialah

meningkatnya risiko terjadinya lahir mati dan kematian neonatal dini.

d. Masa Gestasi

Persalinan Preterm yaitu persalinan dengan masa gestasi

kurang 259 hari atau kurang 37 minggu lengkap. Kesulitan utama

12
pada persalinan prematur adalah perawatan bayinya, semakin muda

usia kehamilan semakin besar morbiditas dan mortalitasnya.

e. Serotinus

Yaitu persalinan dengan masa kehamilan melewati 294 hari

atau lebih 42 minggu lengkap (kehamilan lewat waktu) masalah

perinatal pada persalinan serotinus terutama berkaitan dengan fungsi

plasenta yang mulai menurun setelah 42 minggu berakibat

peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali.

f. Anemia dan penyakit ibu

Seseorang dinyatakan menderita anemia bila kadar Hb dalam

darah kurang 12 g%. Wanita hamil dianggap menderita anemia

patologik jika kadar Hb kurang 10g%. Wanita hamil dengan kadar Hb

10-12 g% disebut mengalami anemia fisiologik atau pseudoanemia.

Anemia memberi pengaruh kurang baik bagi ibu baik dalam

kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masalahnya. Berbagai

penyulit yang dapat timbul akibat anemia seperti abortus, partus

prematurus, partus lama oleh karena inersia uteri, perdarahan post

partum oleh karena atonia uteri, syok, infeksi intra partum maupun

post partum. Penyakit ibu sebelum atau semasa hamil yang dapat

berakibat asfiksia antara lain hipertensi, asma, diabetes mellitus,

perdarahan/syok, hipotensi, penyakit jantung.

13
g. Ketuban pecah dini

Ketuban pecah dini yaitu Pecahnya ketuban sebelum waktunya

yaitu 18 jam sebelum persalinan disertai tanda inpartu dan setelah satu

jam tidak diikuti dengan proses inpartu. Janin yang dilahirkan akan

mengalami asfiksia dan jika berlanjut akan berakibat

kematian.Komplikasi bagi janin antara lain prematuritas, infeksi.

Kedua jenis komplikasi tersebut diatas dapat berakibat terjadinya

asfiksia. Tempat yang paling sering terinfeksi adalah alat-alat

respirasi. Malpresentasi, prolapsus funikuli terutama pada bayi- bayi

prematur.

h. Partus lama

Adalah persalinan yang berlangsung 12 jam atau lebih bayi

belum lahir. Semakin lama persalinan semakin tinggi morbiditas dan

mortalitas janin dan semakin sering terjadi keadaan asfiksia, cedera,

trauma serebri, pecahnya ketuban lama sebelum kelahiran.

i. Panggul sempit

Persalinan dengan panggul sempit dapat menimbulkan bahaya

bagi ibu dan janin. Panggul sempit dapat mengakibatkan partus lama

dan meningkatkan kejadian asfiksia.

j. Infeksi intrauterine

Infeksi intrauterine dapat menyebar ke janin dan menyebabkan

infeksi, yang dapat meningkatkan terjadinya asfiksia.

14
II.5.2 Faktor janin

a. Fetal Distress(gawat janin)

Fetal distress adalah gangguan fungsi jantung janin yang ditandai

dengan frekuensi detak jantung < 100 atau > 160 per menit, Detak jantung

janin tidak teratur serta keluar meconium pada letak kepala. Fetal distress

merupakan manifestasi asfiksia janin sebagian besar asfiksia janin akan

berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. 7, 17

b. Kehamilan ganda

Kehamilan ganda berisiko mengalami malformasi, sindrom transfuse

bayi kembar, terjadinya preeklamsi dan perdarahan pascapartum. Massa sel

darah merah meningkat, tetapi secara proporsional lebih sedikit pada

kehamilan kembar dibandingkan dengan kehamilan tunggal, hal ini

meningkatkan prevalensi anemia ibu, sebagai akibatnya, terjadi penurunan

transportasi oksigen dari paru ke jaringan perifer. Bila proses fertilisasi

menghasilkan janin lebih dari satu maka kehamilan tersebut disebut dengan

kehamilan ganda, kehamilan ganda termasuk kategori kehamilan risiko

tinggi yang dapat meningkatkan kejadian asfiksia. 7, 18

c. Letak sungsang

Angka kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi

dibandingkan letak kepala. Hipoksia terjadi akibat terjepitnya tali pusat

antara kepala dan panggul pada waktu kepala memasuki rongga panggul

serta akibat retraksi uterus yang dapat menyebabkan lepasnya plasenta

sebelum kepala lahir. Kelahiran kepala janin lebih 8 menit setelah umbilikus

15
lahir akan membahayakan kehidupan janin. Selain itu jika janin bernafas

sebelum hidung dan mulut lahir dapat membahayakan karena mucus yang

terhisap dapat menyumbat jalan nafas. 7, 19

d. Letak lintang

Persalinan dengan letak lintang memberikan prognosis yang jelek baik

terhadap ibu maupun janinnya. Faktor- factor yang mempengaruhi terjadinya

asfiksia pada letak lintang akibat tali pusat menumbung serta trauma akibat

versi ekstraksi untuk melahirkan bayi. 7, 20

e. Berat lahir

Berat lahir berkaitan dengan masa gestasi. Makin rendah masa gestasi

dan makin kecil bayi, makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Prognosis

bayi berat lahir rendah tergantung berat ringannya masalah perinatal. Makin

rendah berat bayi lahir makin tinggi kemungkinan terjadinya asfiksia dan

sindroma gangguan pernafasan. 7, 19

II.5.3 Faktor plasenta

Fungsi plasenta mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu

kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi

plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin seperti

asfiksia dengan risiko 3 kali. Akibat proses penuaan plasenta maka

pemasokan makanan dan oksigen menurun, janin akan mengalami

pertumbuhan terhambat dan penurunan berat disebut dismatur. 7, 21,22

16
II.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Diagnosis gagal nafas dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis

dan dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah. Gambaran

klinis yang dapat terjadi pada neonatus yang harus meningkatkan

kewaspadaan klinisi akan terjadinya gagal nafas antara lain: 7,23

1. Peningkatan respirasi

2. Peningkatan usaha nafas

3. Periodic breathing

4. Apnea

5. Sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen

6. Turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang

diikuti bradikardi

7. Penggunaan 0tot- otot pernafasan tambahan

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor

Silverman- Anderson dan skor Downes. Skor Silverman- Anderson lebih

sesuai digunakan untuk bayi premature yang menderita hyaline membrane

disease (HMD) sedangkan skor downes merupakan sistem skoring yang lebih

komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian

dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk

menilai progresivitasnya. 7, 8

17
Tabel 2.3 Evaluasi gawat nafas dengan skor Downes8

Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi
napas <60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis hilang dengan sianosis menetap
Sianosis Tidak ada o2 walaupun diberikan O2
Udara Penurunan ringan udara
Air entry masuk masuk Tidak ada udara masuk
Tidak Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa alat
Merintih merintih stetoskop bantu
Skor ≥ 6 : Ancaman gagal napas

Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas

untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada

memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan ventilasi mekanis,

pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk menganalisis tekanan gas

darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring dengan pulse

oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2

60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g,

Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.9,10,11

Tabel 2.4 Nilai analisis gas darah11

Nilai
0 1 2 3
PaO2 (mmHg) >60 50-60 <50 <50
pH >7,3 7,2-7,29 7,1-7,19 <7,1
PaCO2 (mmHg) <50 50-60 61-70 >70
Skor >3 : Memerlukan Ventilator

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sebagai pemeriksaan awal

pada pasienyang mengalami distress pernafasan antara lain: rontgen toraks

(dapat dilakukan setelah pemasangan ETT), pemeriksaan darah untuk skrining

18
sepsis, termasuk pemeriksaan darahrutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-

reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan elektrolit.11,12

Tabel 2.5 macam-maca pemeriksaan untuk asfiksia neonatorum12

No Pemeriksaan Kegunaan
1 Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteremia

2 Analisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
menilai keadaan hipoglikemia karena hipoglikemia dapat
3
Rontgen toraks menyebabkan atau emperberat takipnea
Leukositosis menunjukkan adanya infeksi

4 Darah rutin dan Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri


hitung jenis Trombositopenia menunjukkan sepsis

5 Pulse Oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga

penilaian untuk memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk

penatalaksanaan selanjutnya. Pada bayi yang baru lahir dan mengalami distress

nafas, penilaian keadaan antepartum dan peripartum penting untuk dilakukan.

Beberapa pertanyaan yang dapat membantu memperkirakan penyebab distress

nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum atau tanda-tanda

distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini,

adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain.7,13

Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga

dapat membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur dengan

berat badan lahir < 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan menderita

HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekoneum dalam caian ketuban dan

diameter antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko mengalami

MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk kemungkinan

19
menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa

faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami

transient tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya

yang dapat membantu memperikirakan etiologi distress nafas.11

II. 7 Penatalaksanaan

Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan

kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang

mungkin timbul dikemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi

lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Resusitasi bayi baru lahir

merupakan salah satu tindakan gawat darurat pediatriak utama. Cara

resusitasi terbagi atas tindakan umum dan tindakan khusus. Tindakan

umum terdiri atas pengawasan suhu, pembersihan jalan nafas, rangsangan

untuk menimbulkan pernafasan. Tindakan umum ini dilakukan pada setiap

bayi baru lahir, bila tindakan ini tidak memperoleh hasil yang memuaskan

dilakukan tindakan khusus. Cara yang dikerjakan disesuaikan dengan

beratnya asfiksia yang timbul pada bayi yang dimanifestasikan oleh tinggi

rendahnya nilai apgar. Resusitasi aktif harus segera dikerjakan pada kasus

asfiksia berat (nilai apgar 0- 3). Asfiksia sedang (nilai apgar 4-6) dapat

dicoba melakukan stimulasi agar timbul refleks pernafasan. Bila dalam

waktu 30- 60 detik tidak timbul pernafasan spontan, ventilasi aktif harus

segera dimulai.7,14

20
21

Anda mungkin juga menyukai