Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN ELIMINASI

I. Konsep Kebutuhan Eliminasi


1.1 Definisi/deskripsi kebutuhan Eliminasi
merupakan salah satu dari proses metabolic tubuh. Produk sampah
dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan. Paru-paru
secara primer mengeluarkan karbondioksida, sebuah bentuk gas yang
dibentuk selama metabolisme pada jaringan. Hampir semua
karbondioksida dibawa keparu-paru oleh system vena dan
diekskresikan melalui pernapasan. Kulit mengeluarkan air dan natrium
/ keringat.
Ginjal merupakan bagian tubuh primer yang utama untuk
mengekskresikan kelebihan cairan tubuh, elektrolit, ion-ion hydrogen,
dan asam. Eliminasi urin secara normal bergantung pada pemasukan
cairan dan sirkulasi volume darah ; jika salah satunya menurun,
pengeluaran urin akan menurun. Pengeluaran urin juga berubah pada
seseorang dengan penyakit ginjal, yang mempengaruhi kuantitas, urin
dan kandungan produk sampah didalam urin.
Usus mengeluarkan produk sampah yang padat dan beberapa cairan
dari tubuh. Pengeluaran sampah yang padat melalui evakuasi usus
besar biasanya menjadi sebuah pola pada usia 30 sampai 36 bulan.

1.2 Fisiologi sistem/Fungsi normal sistem Eliminasi


a. Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis,
berwarna coklat agak kemerahan, yang terdapat di kedua sisi
kolumna vertebra posterior terhadap peritoneum dan terletak pada
otot punggung bagian dalam. Ginjal terbentang dari vertebra
torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Dalam kondisi
normal, ginjal kiri lebih tinggi 1,5 – 2 cm dari ginjal kanan karena
posisi anatomi hati. Setiap ginjal secara khas berukuran 12 cm x 7
cm dan memiliki berat 120-150gram. Sebuah kelenjar adrenal
terletak dikutub superior setiap ginjal, tetapi tidak berhubungan
langsung dengan proses eliminasi urine. Setiap ginjal di lapisi oleh
sebuah kapsul yang kokoh dan di kelilingi oleh lapisan lemak.
b. Ureter
Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis renalis sebagai rute
keluar pertama pembuangan urine. Ureter merupakan struktur
tubulan yang memiliki panjang 25-30 cm dan berdiameter 1,25 cm
pada orang dewasa. Ureter membentang pada posisi
retroperitonium untuk memasuki kandung kemih didalam rongga
panggul (pelvis) pada sambungan ureter ureterovesikalis. Urin yang
keluar dari ureter kekandung kemih umumnya steril.
c. Kandung kemih
Kandung kemih adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri
dari dua bagian besar : Badan (corpus), merupakan bagian utama
kandung kemih dimana urin berkumpul dan, leher (kollum),
merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan
secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan
berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher
kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya
dengan uretra.

Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya


meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan
tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg.
Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting
untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot
detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik
berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh
karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor,
dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi
seluruh kandung kemih dengan segera.

Pada dinding posterior kandung kemih, tepat diatas bagian leher


dari kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil yang disebut
Trigonum. Bagian terendah dari apeks trigonum adalah bagaian
kandung kemih yang membuka menuju leher masuk kedalam uretra
posterior, dan kedua ureter memasuki kandung kemih pada sudut
tertinggi trigonum. Trigonum dapat dikenali dengan melihat
mukosa kandung kemih bagian lainnya, yang berlipat-lipat
membentuk rugae. Masing-masing ureter, pada saat memasuki
kandung kemih, berjalan secara oblique melalui otot detrusor dan
kemudian melewati 1 sampai 2 cm lagi dibawah mukosa kandung
kemih sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung kemih.

Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 – 3 cm, dan


dindingnya terdiri dari otot detrusor yang bersilangan dengan
sejumlah besar jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut sfinter
internal. Sifat tonusnya secara normal mempertahankan leher
kandung kemih dan uretra posterior agar kosong dari urin dan oleh
karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih sampai tekanan
pada daerah utama kandung kemih meningkat di atas ambang kritis.

Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma


urogenital, yang mengandung lapisan otot yang disebut sfingter
eksterna kandung kemih. Otot ini merupakan otot lurik yang
berbeda otot pada badan dan leher kandung kemih, yang hanya
terdiri dari otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja di bawah
kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar
untuk menahan miksi bahkan bila kendali involunter berusaha
untuk mengosongkan kandung kemih.
d. Uretra
Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari
tubuh melalui meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urin
yang mengalami turbulansi membuat urin bebas dari bakteri.
Membrane mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi
lendir kedalam saluran uretra. Lendir dianggap bersifat
bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk mencegah
masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi
uretra.
e. Persarafan Kandung Kemih
Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang
berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis,
terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan S-3.
Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan
serat saraf motorik. Serat sensorik mendeteksi derajat regangan
pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra
posterior bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab
untuk mencetuskan refleks yang menyebabkan pengosongan
kandung kemih.

Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat


parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel ganglion yang terletak pada
dinding kandung kemih. Saraf psot ganglion pendek kemudian
mempersarafi otot detrusor.

Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang


penting untuk fungsi kandung kemih. Yang terpenting adalah serat
otot lurik yang berjalan melalui nervus pudendal menuju sfingter
eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang
mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfingter. Juga,
kandung kemih menerima saraf simpatis dari rangkaian simpatis
melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan
segmen L-2 medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama
merangsang pembuluh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi
kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui
saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi
rasa penuh dan pada beberapa keadaan, rasa nyeri.

Transpor urin dari ginjal melalui ureter dan masuk ke dalam


kandung kemih. Urin yang keluar dari kandung kemih mempunyai
komposisi utama yang sama dengan cairan yang keluar dari duktus
koligentes, tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin
tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai
kandung kemih.

Urin mengalir dari duktus koligentes masuk ke kaliks renalis,


meregangkan kaliks renalis dan meningkatkan pacemakernya, yang
kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke
pelvis renalis dan kemudian turun sepanjang ureter, dengan
demikian mendorong urin dari pelvis renalis ke arah kandung
kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersarafi oleh
saraf simpatis dan parasimpatis seperi juga neuron-neuron pada
pleksus intramural dan serat saraf yang meluas diseluruh panjang
ureter.

Seperti halnya otot polos pada organ viscera yang lain, kontraksi
peristaltik pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis
dan dihambat oleh perangsangan simpatis.
Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah
trigonum kandung kemih. Normalnya, ureter berjalan secara
oblique sepanjang beberapa cm menembus dinding kandung kemih.
Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung kemih
cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik
urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung kemih
meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi kandung
kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi di sepanjang ureter
akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang
menembus dinding kandung kemih membuka dan memberi
kesempatan urin mengalir ke dalam kandung kemih.

Pada beberapa orang, panjang ureter yang menembus dinding


kandung kemih kurang dari normal, sehingga kontraksi kandung
kemih selama berkemih tidak selalu menimbulkan penutupan ureter
secara sempurna. Akibatnya, sejumlah urin dalam kandung kemih
terdorong kembali kedalam ureter, keadaan ini disebut refluks
vesikoureteral. Refluks semacam ini dapat menyebabkan
pembesaran ureter dan, jika parah, dapat meningkatkan tekanan di
kaliks renalis dan struktur-struktur di medula renalis,
mengakibatkan kerusakan daerah ini.
f. Sensasi rasa nyeri pada Ureter dan Refleks Ureterorenal

Ureter dipersarafi secara sempurna oleh serat saraf nyeri. Bila ureter
tersumbat (contoh : oleh batu ureter), timbul refleks konstriksi yang
kuat sehubungan dengan rasa nyeri yang hebat. Impuls rasa nyeri
juga menyebabkan refleks simpatis kembali ke ginjal untuk
mengkontriksikan arteriol-arteriol ginjal, dengan demikian
menurunkan pengeluaran urin dari ginjal. Efek ini disebut refleks
ureterorenal dan bersifat penting untuk mencegah aliran cairan yang
berlebihan kedalam pelvis ginjal yang ureternya tersumbat.

Anatomi Fisiologi Saluran Pencernaan

Secara normal, makanan & cairan masuk kedalam mulut, dikunyah


(jika padat) didorong ke faring oleh lidah dan ditelan dengan
adanya refleks otomatis, dari esofagus kedalam lambung.
Pencernaan berawal dimulut dan berakhir diusus kecil walaupun
cairan akan melanjutkannya sampai direabsorpsi di kolon.

Anatomi fisiologi saluran pencernaan terdiri dari :

a. Mulut
Gigi berfungsi untuk menghancurkan makanan pada awal proses
pencernaan. Mengunyah dengan baik dapat mencegah terjadinya
luka parut pada permukaan saluran pencernaan. Setelah dikunyah
lidah mendorong gumpalan makanan ke dalam faring, dimana
makanan bergerak ke esofagus bagian atas dan kemudian kebawah
ke dalam lambung.
b. Esofagus
Esofagus adalah sebuah tube yang panjang. Sepertiga bagian atas
adalah terdiri dari otot yang bertulang dan sisanya adalah otot yang
licin. Permukaannya diliputi selaput mukosa yang mengeluarkan
sekret mukoid yang berguna untuk perlindungan.
c. Lambung
Gumpalan makanan memasuki lambung, dengan bagian porsi
terbesar dari saluran pencernaan. Pergerakan makanan melalui
lambung dan usus dimungkinkan dengan adanya peristaltik, yaitu
gerakan konstraksi dan relaksasi secara bergantian dari otot yang
mendorong substansi makanan dalam gerakan menyerupai
gelombang. Pada saat makanan bergerak ke arah spingter pylorus
pada ujung distla lambung, gelombang peristaltik meningkat. Kini
gumpalan lembek makanan telah menjadi substansi yang disebut
chyme. Chyme ini dipompa melalui spingter pylorus kedalam
duodenum. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengosongkan
kembali lambung setelah makan adalah 2 sampai 6 jam.
d. Usus kecil
Usus kecil (halus) mempunyai tiga bagian :
1) Duodenum, yang berhubungan langsung dengan lambung
2) Jejenum atau bagian tengah dan
3) Ileum
e. Usus besar (kolon)
Kolon orang dewasa, panjangnya ± 125 – 150 cm atau 50–60 inch,
terdir dari :
1) Sekum, yang berhubungan langsung dengan usus kecil
2) Kolon, terdiri dari kolon asenden, transversum, desenden dan
sigmoid.
3) Rektum, 10 – 15 cm / 4 – 6 inch.
Fisiologi usus besar yaitu bahwa usus besar tidak ikut serta dalam
pencernaan/absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai
sekum, maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan sampai
isinya cair (disebut chyme). Selama perjalanan didalam kolon (16
– 20 jam) isinya menjadi makin padat karena air diabsorpsi dan
sampai di rektum feses bersifat padat – lunak.
Fungsi utama usus besar (kolon) adalah :
1) Menerima chyme dari lambung dan mengantarkannya ke arah
bagian selanjutnya untuk mengadakan absorpsi / penyerapan baik
air, nutrien, elektrolit dan garam empedu.
2) Mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai protektif sehingga
akan melindungi dinding usus dari aktifitas bakteri dan trauma
asam yang dihasilkan feses.
3) Sebagai tempat penyimpanan sebelum feses dibuang.
f. Anus / anal / orifisium eksternal
Panjangnya ± 2,5 – 5 cm atau 1 – 2 inch, mempunyai dua spinkter
yaitu internal (involunter) dan eksternal (volunter)
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap
orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3
kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang.
Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan
individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :


1) Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding
rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini
menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik
mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
2) Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan
ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon
desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal
parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks
defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan
oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus.
Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang
meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum.
Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat
secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter
eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang
dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung
kumpulan feses.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem eliminasi


a. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, control
b. Diet
c. Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari
d. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik
usus meningkat.
e. Faktor psikologik
f. Kebiasaan
g. Posisi
h. Nyeri
i. Kehamilan : menekan rectum
j. Operasi & anestesi
k. Obat-obatan
l. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
m.Kondisi patologis
n. Iritan

1.4 Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada sistem eliminasi


Beberapa masalah eliminasi urine yang sering muncul, antara lain :
Retensi
Retensi Urine ialah penumpukan urine acuan kandung kemih dan
ketidaksanggupan kandung kemih untuk mengosongkan sendiri.
Kemungkinan penyebabnya :
a. Operasi pada daerah abdomen bawah.
b. Kerusakan ateren
c. Penyumbatan spinkter.
d. Tanda-tanda retensi urine :
e. Ketidak nyamanan daerah pubis.
f. Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
g. Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
h. Meningkatnya keinginan berkemih.
i. Enuresis

Tinusis
Ialah keluarnya kencing yang sering terjadi pada anak-anak
umumnya malam hari. Kemungkinan peyebabnya :
a. Kapasitas kandung kemih lebih kecil dari normal.
b. Kandung kemih yang irritable
c. Suasana emosiaonal yang tidak menyenangkan
d. ISK atau perubahan fisik atau revolusi.

Inkontinensia
Inkontinesia Urine ialah BAK yang tidak terkontrol.
Jenis inkotinensis :

a. Inkontinensia Fungsional/urge
Inkotinensis Fungsional ialah keadaan dimana individu
mengalami inkontine karena kesulitan dalam mencapai atau
ketidak mampuan untuk mencapai toilet sebelum berkemih.
Faktor Penyebab: 1) Kerusakan untuk mengenali isyarat kandung
kemih. 2) Penurunan tonur kandung kemih 3) Kerusakan
moviliasi, depresi, anietas 4) Lingkungan 5) Lanjut usia.
b. Inkontinensia Stress
Inkotinensia stress ialah keadaan dimana individu mengalami
pengeluaran urine segera pada peningkatan dalam tekanan intra
abdomen. Faktor Penyebab : 1) Inkomplet outlet kandung kemih
2) Tingginya tekanan infra abdomen 3) Kelemahan atas peluis
dan struktur pengangga 4) Lanjut usia.
c. Inkontinensia Total
Inkotinensia total ialah keadaan dimana individu mengalami
kehilangan urine terus menerus yang tidak dapat diperkirakan.
Faktor Penyebab : 1) Penurunan Kapasitas kandung kemih. 2)
Penurunan isyarat kandung kemih 3) Efek pembedahan spinkter
kandung kemih 4) Penurunan tonus kandung kemih 5)
Kelemahan otot dasar panggul. 6) Penurunan perhatian pada
isyarat kandung kemih
d. Inkontenensia Dorongan
Adalah keadaan dimana seseorang mengalami pengeluarana urin
tanpa sadar, terjadi setelah merasa dorongan yang kuat untuk
berkemih Penyebab : 1). Penurunan kapasitas kandung kemih 2).
Infeksi saluran kemih 3). Minum alcohol atau kafein 4).
Penigkatan cairan 5). Peningkatan konsentrasi urine 6). Distensi
kandung kemih yang berlebihan. 7).
e. Inkontenensia reflex
Adalah keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dpat
di[perkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Penyebab : Kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis)
Tanda-tandanya : 1) Tidak ada dorongan utnuk berkemih 2)
Merassa bahwa kandung kemih penuh 3) Kontraksi atau spasme
kandung kemih tidak dihambat pada intervalteratur.

Enuresis
Adalah ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan ketidakmampuan untuk mengendalikan spinter
eksterna. Enuresis terjadi pada anak-anak atau orang ngompol.
Penyebab enuresis :
a. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari kondisi normal.
b. Anak-anak yang tidunya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi
keinginan berkemih tidak diketahui, yang mengakibatkan
terlambatnya bangun tidur untuk ke kamar mandi.
c. Vesika urinaria peka rangsang dan seterusnya tidak dapat
menampung urin dalam jumlah besar.
d. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah
(misalnya persaingan dengan saudara kandung atau cekcok dengan
orant tua).
e. Orang tua yang mempunya pendapat bahwa anaknya akan
mengatasi kebiasaanya tanpa dibantu untuk mendidiknya.
f. Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik neurologis system
perkemihan
g. Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral, atau
makanan pemedas.
h. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi

Perubahan Pola Berkemih


1. Frekuensi yaitu meningkatnya frekuensi berkemih karena
meningkatnya cairan. Biasanya terjadi pada cystitis, stress, dan
wanita hamil.
2. Urgency yaitu perasaan ingin berkemih dan biasanya terjadi
pada anak-anak karena kemampuan spinkter untuk mengontrol
berkurang.
3. Disuria yaitu adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih,
misalnya pada ISK, trauma, dan striktur uretra.
4. Poliuria yaitu produksi urin melebihi batas normal, tanpa
meningkatnya intake cairan misalnya pada pasien DM.
5. Urinari Suppresion yaitu keadaan yang mendesak dimana
produksi urine sangat kurang. Keadaan dimana ginjal tidak
dapat memproduksi urine secara tiba-tiba. Anuria = Urin < 100
ml/24 jam Oliguria = Urin 100 – 1500 ml/24 jam.

Gangguan Eliminasi Fecal


Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu
menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses
yang sulit, keras, dan mengejang. BAB yang keras dapat
menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses
berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Penyebabnya :
a. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah
tempat, dan lain-lain
b. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur),
tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang
c. Meningkatnya stress psikologik. Kurang olahraga / aktifitas :
berbaring lama.
d. Obat-obatan : kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi.
Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot
intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang.
e. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut
menurun sehingga menimbulkan konstipasi.
f. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus,
kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
g. Impaction : merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur,
sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa
dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada
kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah,
bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan
yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB,
anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum.

Diare
Diare merupakan buang air besar (BAB) sering dengan cairan
dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus
halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan
faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi
mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak
dapat mengontrol dan menahan buang air besar (BAB).
Inkontinensia fecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara
dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya
disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal
eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar
pasien tergantung pada perawat.

Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus
meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus
(flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus
adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan
gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.

Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa
internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang
keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh
darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka
pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan
oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya
pasien mengalami konstipasi.

II. Rencana asuhan klien dengan gangguan kebutuhan eliminasi


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Keluhan utama yang biasanya muncul adalah BAB lebih dari 3 x,
konstipasi, impaksi, diare dan sebagainya.
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras,
dan mengejang. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri
rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih
lama, sehingga banyak air diserap.

Penyebabnya :
a. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah
tempat, dan lain-lain
b. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur),
tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang
c. Meningkatnya stress psikologik. Kurang olahraga / aktifitas :
berbaring lama.
d. Obat-obatan : kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi.
Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot
intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang.
e. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut
menurun sehingga menimbulkan konstipasi.
f. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan
pada spinal cord dan tumor.

Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur,


sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa
dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon
sigmoid.
Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar,
konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan
konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan
nyeri rektum.

Riwayat penyakit sekarang


Perlu dikasi warna BAB (kuning, kuning kehijauan, hijau),
bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Tentukan
konsistensinya (encer,padat), tentukan frekuensinya (> 3 kali
sehari). Perlu dikaji waktu pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), > 7
hari ( diare berkepanjangan), > 14 hari (diare kronis).

 Waktu terjadinya sakit kapan mulai terjadi konstipasi/diare


dan seberapa sering atau frekuensinya yang dirasakan,
 Proses terjadinya sakit
 Perlu dikaji bagaiamana proses dapat terjadinya
konstipasi/diare, dan kapan mulai terjadinya.
 Upaya yang telah dilakukan selama sakit
 Hasil pemeriksaan sementara / sekarang

Riwayat penyakit dahulu


Perlu dikaji apakah pasien pernah mengalami diare sebelumnya,
pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka panjang (perubahan
candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi makanan,
ISPA, ISK, OMA campak.

Riwayat kesehatan keluarga


Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mengalami sakit
seperti pasien sebelumnya, apakah sebelumnya pasien pernah
mengalami penyakit seperti saat ini.

Riwayat kesehatan lingkungan klien


Perlu dikaji penyimpanan makanan, apakah pada suhu kamar,
kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.

2.1.1 Pemeriksaan Fisik: data fokus


a. Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar
lengan mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar.
b. Keadaan umum : Klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran
menurun. Tekanan darah mmHg, suhu tubuh …◦C, pernapasan
..x/menit, nadi ..x/menit (regular), GCS :E=.. M=… Vapasia.
BB ( sakit ) : tidak diketahui, BB ( Sebelum Sakit ) ; tidak
diketahui, hasil pengukuran LL 25 cm.(BB=2xLL; 50 kg).
c. Kepala : Ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup
pada anak umur 1 tahun lebih.
d. Mata : Cekung, kering, sangat cekung
e. Sistem pencernaan : Mukosa mulut kering, distensi abdomen,
peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual
muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan
kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum
f. Sistem Pernafasan : Dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt
karena asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g. Sistem kardiovaskuler : Nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah,
tensi menurun pada diare sedang.
h. Sistem integumen : Warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt,
suhu meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada
syok), capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada
daerah perianal.
i. Sistem perkemihan : Urin produksi oliguria sampai anuria
(200-400 ml/ 24 jam), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
Perlu dikaji :
 Pola berkemih : Pada orang-orang untuk berkemih
sangat individual.
 Frekuensi : Frekuensi untuk berkemih tergantung
kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang-orang
berkemih kira-kira 70 % dari urine setiap hari pada
waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk
berkemih pada malam hari. Orang-orang biasanya
berkemih : pertama kali pada waktu bangun tidur,
sebelum tidur dan berkisar waktu makan.
 Volume : Volume urine yang dikeluarkan sangat
bervariasi. Usia Jumlah / hari :
Hari pertama & kedua dari kehidupan 15–60 ml
Hari ketiga–kesepuluh dari kehidupan 100–300 ml
Hari kesepuluh – 2 bulan kehidupan 250–400 ml
Dua bulan–1 tahun kehidupan 400–500 ml
1–3 tahun 500–600 ml
3–5 tahun 600–700 ml
5–8 tahun 700–1000 ml
8–14 tahun 800–1400 ml
14 tahun-dewasa 1500 ml
Dewasa tua 1500 ml / kurang

Jika volume dibawah 500 ml atau diatas 300 ml dalam


periode 24 jam pada orang dewasa, maka perlu lapor.

2.1.2 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium :
1) feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida
2) Serum elektrolit : Hipo natremi, Hipernatremi, hipokalemi
3) AGD : asidosis metabolic.

2.1.3 Diagnosa yang mungkin muncul

Diagnosa 1: Inkontinensia urine berhubungan dengan gangguan


kognisi

1. Definisi:

Ketidakmampuan individu yang biasanya kontinen untuk


mencapai toilet tepat waktu guna menghindari pengeluaran urine
yang tidak disengaja.

2. Batasan karakteristik:

Mampu mengosongkan kandung kemih secara tuntas


Lama waktu mencapai toilet lebih panjang dari waktu antara
merasakan dorongan ingin berkemih dan berkemih tanpa
kendali
Mengeluarkan urine sebelum mencapai toilet
Kemungkinan hanya inkontinensia di pagi hari
Merasakan dorongan ingin berkemih

3. Faktor berhubungan:
Perubahan faktor lingkungan
Gangguan kognisi
Gangguan penglihatan
Keterbatasan neuromuscular
Faktor psikologis
Kelemahan struktur penyokong panggul

Diagnosa 2: Konstipasi berhubungan dengan eliminasi atau


defekasi yang tidak adekuat

1. Definisi
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai pengeluaran
feses yang sulit atau tidak lampias atau pengeluaran feses yang
sangat keras dan kering

2. Batasan karakteristik
Subyektif
Nyeri abdomen
Nyeri tekan pada abdomen
Anoreksia
Kelelahan umum
Sakit kepala
Peningkatan tekanan abdomen
Mual
Nyeri saat defekasi
Obektif
Perubahan pola defekasi
Penurunan volume feses
Distensi abdomen
Penurunan frekuensi
Feses kering, keras dan padat
Bunyi pekak pada perkusi abdomen
Tidak mampu mengeluarkan feses
Flatus berat
Massa rektal dapat dipalpasi

3. Faktor yang berhubungan


Kelemahan otot abdomen
Kebiasaan mengabaikan desakan untuk defekasi
Eliminasi yang tidak adekuat
Aktivitas fisik tidak memadai
Kebiasaan defekasi tidak teratur
Perubahan lingkungan

Diagnosa 3: Diare berhubungan dengan malabsorpsi


1. Definisi
Pengeluaran feses lunak dan tidak bermasa

2. Batasan karakteristik
Subyektif
Nyeri abdomen
Kram
Urgensi
Obyektif
Sedikitnya sehari mengalami 3 kali defekasi dengan feses cair
Bising usus hiperaktif

3. Faktor yang berhubungan


Psikologis
Tingkat stress dan ansietas yang tinggi
Situasional
Efek samping obat
Penyalahgunaan alkohol
Kontaminan
Penyalahgunaan obat pencahar
Radiasi
Racun
Perjalanan
Pemberian makanan melalui slang
Fisiologis
Proses infeksi
Inflamasi
Iritasi
Malabsorpsi
Parasit

Diagnosa 4: retensi urin berhubungan dengan sumbatan saluran


perkemihan
1. Definisi
Pengosongan kandung kemih tidak tuntas

2. Batasan karakteristik
Berkemih sedikit
Distensi kandung kemih
Disturia
Inkontinensia aliran berlebih
Menetes
Residu urine
Sensasi kandung kemih penuh
Sering berkemih
Tidak ada haluaran urine

3. Faktor yang berhubungan


Inhibilasi arkus reflex
Sfingter kuat
Sumbatan saluran perkemihan
Tekanan ureter tinggi

2.1.4 Perencanaan
Diagnosa 1: Inkontinensia urine berhubungan dengan gangguan
kognisi
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
b. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC

Tujuan &
Intervensi
No Diagnosa kriteria hasil Rasional
(NIC)
(NOC)
a. Manajemen a. Memelihara
1 Inkontinensia Setelah eliminasi pola eliminasi
urine dilakukan urine urine yang
berhubungan asuhan b. Pelatihan optimum
dengan keperawatan kebiasaan b. Mencegah
gangguan selama … x 24 berkemih inkontinensia
kognisi jam diharapkan c. Bantuan dengan
pasien perawatan menetapkan
menunjukkan diri: pola
kontinensia eliminasi pengosongan
urine dengan kandung
kriteria hasil: kemih
c. Kebutuhan
a) Mampu eliminasi
mengidentifi terpenuhi
kasi
keinginan
berkemih
b) Berespon
tepat waktu
terhadap
dorongan
ingin
berkemih
c) Mampu
mencapai
toilet antara
waktu
dorongan
berkemih dan
pengeluaran
urin
a.
Diagnosa 2: Konstipasi berhubungan dengan eliminasi atau
defekasi yang tidak adekuat
c. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
d. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC

Tujuan &
Intervensi
No Diagnosa kriteria hasil Rasional
(NIC)
(NOC)
a. Manajemen a. Mempertahan
1 Konstipasi Setelah defekasi kan pola
berhubungan dilakukan b. Manajemen eliminasi
dengan asuhan cairan/elek- defekasi yang
eliminasi atau keperawatan trolit teratur
defekasi yang selama … x 24 b. Meningkat-
tidak adekuat jam kan keseimba-
diharapkan ngan cairan
konstipasi dan mencegah
menurun komplikasi
dengan kriteria akibat kadar
hasil: cairan yang
tidak normal
a. Pola
eliminasi
dalam
rentang
yang
diharapkan
b. Feses lunak
c. Mengeluar-
kan feses
tanpa
bantuan dan
nyeri
berkurang
d. Memperli-
hatkan
hidrasi
yang
adekuat
b.

Diagnosa 3: Diare berhubungan dengan malabsorpsi


a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
b. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC

Tujuan &
Intervensi
No Diagnosa kriteria hasil Rasional
(NIC)
(NOC)

1 Diare Setelah a. Manajemen a. Membentuk


berhubungan dilakukan defekasi dan
dengan asuhan b. Manajemen mempertahan
malabsorpsi keperawatan diare kan pola
selama … x 24 c. Manajemen eliminasi
jam diharapkan cairan dan defekasi
pasien tidak yang teratur
mengalami diare elektrolit b. Mencegah
dengan kriteria dan
hasil: mengurangi
diare, feses
a. Feses lunak lunak
b. Hidrasi c. Meningkat-
adekuat kan dan
mempertahan
kan
keseimba-
ngan cairan
dan elektrolit
serta
mecegah
komplikasi

Diagnosa 4: retensi urin berhubungan dengan sumbatan saluran


perkemihan
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
b. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC

Tujuan &
Intervensi
No Diagnosa kriteria hasil Rasional
(NIC)
(NOC)

1 Retensi urine Setelah a. Manajemen a. Memelihara


berhubungan dilakukan eliminasi pola
dengan asuhan urine eliminasi
sumbatan keperawatan b. Kateterisasi urine yang
saluran selama … x 24 c. Perawatan optimum
perkemihan jam diharapkan retensi b. Kateterisasi
pasien urine sementara
menunjukkan membantu
kontinensia pengeluaran
urine dengan urine
kriteria hasil: c. Membantu
meredakan
a. Pasien distensi
menunjukkan kandung
pengosongan kemih
kandung
kemih secara
tuntas
b. Melaporkan
penurunan
spasme
kandung
kemih
c. Mempunyai
keseimbanga
n asupan dan
haluaran 24
jam
III. Daftar Pustaka
Perry, Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC
Tjokronegoro, A & Utama, H. (2002). Update In Neuremergencles.
Jakarta : FKUI
Rosernberg, M. C & Smith, K. (2012). NANDA Diagnosa Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi Cetakan Kedua. Yogyakarta : Digna
Pustaka.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta : EGC

Banjarmasin, November 2016

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

Anda mungkin juga menyukai