Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Skenario 1 blok 12 yang berjudul
“MINUM OBAT DENGAN SUSU”.
Laporan skenario ini kami susun demi memenuhi sebagian tugas yang telah
diberikan kepada kami. Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Laporan Skenario ini, terutama kepada
drg. Lisa Oktaviana Mayasari selaku tutor tutor blok 12 pada SGD 3 yang senantiasa
membantu dan membimbing kami, sehingga Laporan Skenario ini dapat kami selesaikan
dengan baik.
Laporan ini kami susun untuk memperluas dan menambah wawasan kami dan
para pembaca khususnya mahasiswa. Untuk menunjang pemahaman dan melatih
keterampilan mahasiswa, kami lampirkan beberapa jurnal dan buku.
Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan skenario ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan
laporan selanjutnya.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima
kasih.

Semarang, 08 Juni 2017

Penyusun

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 1


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5

1.3 Tujuan ........................................................................................................... 5

1.4 Manfaat ......................................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mapping ........................................................................................................ 7

2.2Dasar Teori..................................................................................................... 8

2.2.1Sejarah Radiologi …………………………………………………….9

2.2.2Kegunaan……………………………………………………………..9

2.2.3 Efek…………………………………………………………………..10

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................. 11

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 30

4.2 Dalil............................................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 33

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 2


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Farmakologi klinik sebagai salah satu disiplin ilmu kedokteran


berkembang karena latar belakang adanya kebutuhan akan ilmu atau keahlian
(expertise) dalam disiplin tersebutKarena kemajuan dalam bidang-bidang ilmu
kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, banyak jenis obat baru yang
dikembangkan dan dipakai dalam bidang kedokteran diperlukan evaluasi secara
ilmiah pada manusia agar obat-obat yang dipakai adalah obat-obat yang memberi
manfaat maksimal dan risiko minimal terhadap pasien. Kekeliruan dalam proses
evaluasi dan pemakaian suatu obat akan menimbulkan dampak negatif (de Vries
TPGM ,1995).
Menurut WHO (1970), kebutuhan akan bidang ilmu farmakologi klinik
karena tiga hal, yaitu:
1. Jenis obat yang semakin banyak
2. Pemilihan obat yang aman dan efektif akan sangat tergantung pada pengetahuan
yang baik tentang obat yang didapatkan dari penelitian ilmiah yang benar,
3. Terjadinya bencana-bencana pengobatan (World Health Organization, 1993).
perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang kedokteran dan pengobatan,
Untuk masing-masing kondisi penyakit tersedia berbagai alternatif obat yang dapat
diberikan. Banyaknya jenis obat yang tersedia cenderung mendorong pemakaian
obat yang tidak tepat/tidak rasional, sehingga diperlukan pemahaman prinsip-
prinsip pemilihan dan pemakaian obat dalam klinik secara benar (Ingenito AJ,
1989).
Dalam pembahasan ini, akan dibahas mengenai salah satu topik yang
tercakup dalam farmakologi klinik..

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 3


1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme obat dalam tubuh?
2. Golongan apakah asam traneksamat, kegunaan dan efek sampingnya?
3. Apa definisi pendarahan dan bagaimana mekanismenya?
4. Apa hubungan alergi dengan minum obat menggunakan susu?
5. Jelaskan definisi hemostasis dan mekanismenya?
6. Jelaskan macam dan cara kerja obat hemostasis
7. Jelaskan drug relation problem (adverse drug reaction, interaksi dan efek
samping)

1.3Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan tentang mekanisme obat dalam tubuh.
2. Untuk menjelaskan tentang golongan asam traneksamat, kegunaan dan efek
samping.
3. Untuk menjelaskan tentang definisi pendarahan dan mekanismenya.
4. Untuk menjelaskan tentang hubungan alergi dengan minum obat menggunakan
susu.
5. Untuk menjelaskan tentang definisi hemostasis dan mekanismenya.
6. Untuk menjelaskan tentang macam dan cara kerja obat hemostasis.
7. Untuk menjelaskan tentang drug relation problem (adverse drg rwaction, interaksi
dan efek samping).

1.4 Manfaat
Manfaat penulisan laporan ini adalah:
1. Manfaat akademis laporan adalah diharapkan mahasiswa dapat memahami
Untuk menjelaskan tentang mekanisme obat dalam tubuh.
2. Memahami tentang golongan asam traneksamat, kegunaan dan efek samping.
3. Memahami tentang definisi pendarahan dan mekanismenya.

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 4


4. Memahami tentang hubungan alergi dengan minum obat menggunakan susu.
5. Memahami tentang definisi hemostasis dan mekanismenya.
6. Memahami tentang macam dan cara kerja obat hemostasis.
7. Memahami tentang drug relation problem (adverse drg rwaction, interaksi dan
efek samping).

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mapping

Cabut Gigi

Bleeding

Definisi Mekanisme Penatalaksanaan

Obat

Definisi mekanisme efek Jenis Obat Asam Traneksamat

farmakodinamika
dan Positif Negatif kegunaan golongan efek samping
farmakokinetik

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 6


2.2 Dasar Teori

2.2.1 Definisi
Pengertian farmakologi klinik oleh WHO (1970) didefinisikan sebagai
"penelitian secara ilmiah obat pada manusia" (scientific study of drugs in man).
Definisi ini tidak lepas dari konteks waktu pada saat awal perkembangan
farmakologi klinik dimana penelitian secara ilmiah obat pada manusia
merupakan prioritas kegiatan atau kebutuhan dalam bidang kedokteran.
Dengan berkembangnya disiplin ini maka kemudian ruang lingkupnya juga
bergeser ke arah pelayanan kepada pasien.
Kelompok kerja Farmakologi Klinik WHO-Eropa (1988) kemudian
mendefinisikan farmakologi klinik lebih luas lagi yakni: "Disiplin dalam
bidang kedokteran yang berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah menyatukan
keahlian farmakologi dan keahlian klinik dengan tujuan akhir untuk
meningkatkan manfaat dan keamanan pemakaian klinik obat". Dengan
demikian sebenarnya tujuan akhir dari disiplin farmakologi klinik adalah
"pemakaian klinik obat yang efektif, aman dan rasional pada pasien".
Secara ringkas dalam hal terapi obat, farmakologi klinik mempelajari dan
mengembangkan cara-cara evaluasi untuk memilih obat yang memberikan efek
pengobatan paling efektif dengan efek samping yang minimal pada pasien.
Terapi obat (farmakoterapi) adalah intervensi pengobatan dengan memakai
obat, dan merupakan intervensi penanganan penderita yang penting pada
berbagai jenis kondisi penyakit. Peran sentral dari terapi obat (farmakoterapi)
pada berbagai keahlian di klinik merupakan salah satu alasan mengapa
farmakologi klinik dikembangkan sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Terdapat perbedaan antara farmakologi dan farmakologi klinik.
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara obat dengan sistem
biologik, yakni mencakup farmakodinamika dan farmakokinetika. Secara
ringkas farmakologi mempelajari sifat-sifat obat, efek obat, mekanisme
terjadinya efek dan nasib obat dalam tubuh. Sedangkan farmakologi klinik

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 7


adalah penerapan ilmu farmakologi dalam klinik yakni bagaimana mempelajari
efek obat dan nasib obat pada sistem biologik manusia dan bagaimana
memakai obat-obat tersebut dengan prinsip-prinsip ilmiah dalam klinik untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit (WHO, 1989)

2.2.2 Lingkup fungsi dan Kegiatan


2.2.2.1 Lingkup Farmakologi Klinik
Lingkup dari disiplin farmakologi klinik seperti halnya lingkup dari
disiplin farmakologi, tetapi khusus pada kaitan pemakaian obat pada
manusia,terbagi menjadi (WHO, 1970):
a. Farmakokinetika yakni mempelajari proses-proses biologik yang
dialami oleh obat (nasib obat) pada manusia. Juga mempelajari faktor-
faktor yang mempengaruhi proses-proses biologik ini, baik faktor
internal maupun faktor eksternal dari tubuh manusia.
b. Farmakodinamika yakni mempelajari efek yang terjadi pada manusia
atau respons yang terjadi terhadap pemberian obat. Disini juga
mencakup keanekaragaman respons obat dan faktor-faktor yang
mempengaruhi respons obat.
c. Terapetika yakni penerapan pengetahuan mengenai sifat-sifat obat dan
patologi penyakit dalam proses pengobatan penyakit dengan obat
(farmakoterapi). Secara ringkas terapetika mencakup prinsip-prinsip
pemilihan dan pemakaian obat secara benar dalam pengobatan
penyakit. Juga masuk dalam lingkup terapetika adalah evaluasi dari
manfaat klinik dan efek samping obat pada pengobatan penyakit-
penyakit tertentu. Instrumen atau metodologi yang penting dalam
terapetika adalah "uji klinik" (clinical trial).
d. Farmakoepidemiologi, mencakup studi mengenai dampak atau aspek
epidemiologik dari pemakaian obat dalam populasi. Studi
farmakoepidemiologi terbagi menjadi dua hal yang saling berkaitan,

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 8


a. Epidemiologi pemakaian obat (drug utilization), yakni studi
mengenai dampak epidemiologik pemakaian obat pada populasi.
"drug utilization" didefinisikan sebagai "Studi mengenai
pemasaran, distribusi dan pemakaian obat pada masyarakat
dengan perhatian khusus pada dampak medik, sosial dan
ekonomiknya”.
b. Epidemiologi efek samping obat, yakni studi atau monitoring
terhadap timbulnya efek samping obat dalam populasi dan
kaitannya dengan pemakaian obat.
2.2.2.2 Fungsi Farmakologi Klinik
Berdasarkan lingkup farmakalogi klinik yang telah diuraikan di
atas, maka fungsi dari disiplin farmakologi klinik mencakup (WHO,
1989):
1. Meningkatkan mutu pelayanan penderita dengan jalan
menggalakkan (mempromosikan) pemakaian obat yang lebih
efektif dan lebih aman,
2. Meningkatkan pengetahuan mengenai obat dengan melakukan
penelitian.
3. Menyebar-luaskan dan meneruskan pengetahuan melalui kegiatan
pendidikan,
4. Menyediakan kegiatan-kegiatan pelayanan seperti monitoring
terapi obat (pemantauan kadar obat),
5. informasi dan konsultasi obat, konsultasi penelitian-penelitian
klinik tentang obat.

2.2.3 Keterkaitan dengan disiplin lain


Dengan melihat lingkup, fungsi dan kegiatan disiplin farmakologi
klinik, maka akan jelas keterkaitan disiplin ini dengan disiplin ilmu-ilmu lain
dalam kedokteran yaitu (WHO, 1970):

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 9


- Farmakologi: Farmakologi klinik merupakan penerapan ilmu farmakologi yakni
pengetahuan sifat-sifat obat (dinamika dan kinetika) dalam klinik pada
pengobatan penderita (terapetika).
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh disiplin farmakologi klinik
tercermin dari lingkup kegiatan yang diaplikasi dalam penelitian dan pelayanan,
misalnya,
- pengembangan, evaluasi dan uji klinik obat,
- farmakokinetika klinik, individualisasi dosis dan pemantauan kadar obat,
- terapetika,
- farmakoepidemiologi obat,
- dan lain-lain.

2.2.4 Farmakokinetika klinik


2.2.4.1 Definisi
Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien
sebenarnya merupakan hasil dari daya farmakologi obat tersebut, di mana hal
yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar yang bisa dicapai pada
tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada reseptor
hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan
kadar obat yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan
perubahan pada reseptor, dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah
akan bisa diperhitungkan atau diramalkan tingkat aktifitas farmakologik yang
tercapai.
Penerapan prinsip-prinsip farmakokinetika yang meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat dalam penanganan penderita secara
langsung atau tidak dikenal sebagai farmakokinetika klinik (Santoso B, 1985).

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 10


2.2.4.2 Manfaat
Studi farmakokinetika klinik digunakan untuk memeriksa absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat yang masih dalam tahap
investigasi pada subyek yang sehat ataupun pada pasien. Data yang diperoleh
pada studi ini sangat berguna untuk desain uji klinis. Data yang diperoleh dari
studi farmakokinetika klinik ini pun dapat berguna untuk evaluasi keamanan
obat dari obat-obat baru. Saat ini, studi farmakokinetika banyak dilakukan
untuk pengembangan obat-obat baru.

2.2.4.3 Parameter dalam farmakokinetika klinik


Dalam membahas mengenai sudi farmakokinetika klinik, terdapat empat
hal yang penting yaitu meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
1. Absorpsi
yaitu suatu proses dimana suatu obat masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Di dalam studi farmakokinetika klinik yang menilai mengenai
absorpsi, informasi mengenai kadar suatu obat dalam darah menjadi
penting, karena hal itu akan berkaitan dengan cara pemberian obat. Kadar
obat di dalam darah tentu akan berbeda jika obat diberikan secara oral
dibandingkan dengan pemberian obat secara intravena. Untuk menilai
keefektifan obat memasuki sirkulasi sistemik, tentu saja terdapat beberapa
parameter yang harus dinilai meliputi bioavailabilitas yaitu fraksi obat
dalam bentuk yang tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik setelah
pemberian melalui jalur apa saja, laju absorpsi dan banyaknya absorpsi.
Untuk dosis obat intravena, bioavailabilitas diasumsikan sama dengan satu.
Pada perbandingan cara pemberian oral dan intravena, perhitungan
bioavailabilitas dan rasio absorpsi menjadi penting untuk mengklarifikasi
pengaruh eliminasi lintas pertama (first-pass effect) yang terjadi pada
pemberian oral. Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 11


mungkin kurang dari 100% berdasarkan dua alasan utama: banyaknya obat
yang diabsorpsi tidak sempurna dan adanya eliminasi lintas pertama.
2. Distribusi
Satu parameter yang penting adalah mengenai volume distribusi
(Vd). Volume distribusi adalah suatu volume yang mengandung sejumlah
obat pada cairan-cairan tertentu di dalam tubuh (volume hipotesis
penyebaran obat dalam cairan tubuh). Volume distribusi menghubungkan
jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau
plasma.
Jumlah obat di dalam tubuh
Vd =
𝐶
Obat–obat yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi
mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular
daripada obat-obat yang berada dalam bagian vaskular yang terpisah,
yakni obat-obat tersebut tidak didistribusikan secara homogen. Sebaliknya,
obat-obat yang dapat bertahan secara keseluruhan di dalam bagian
vaskular yang terpisah, pada dasarnya mempunyai kemungkinan minimum
Vd yang sama dengan komponen darah di mana komponen-komponen
tersebut didistribusi.
3. Metabolisme
Proses alternatif yang memiliki kemungkinan menuju pada
penghentian atau perubahan aktivitas biologis adalah metabolisme. Peran
metabolisme dalam inaktivasi obat-obat larut lemak cukup luar biasa.
Sebagai contoh, barbiturate lipofilik seperti thiopental dan pentobarbital
mempunyai waktu paruh yang sangat panjang kalau bahan tersebut tidak
dimetabolisme menjadi senyawa larut air. Dalam hal tertentu, sebagian
besar biotransformasi metabolik terjadi pada suatu tahap diantara
penyerapan obat ke dalam sirkulasi umum dan eliminasi melalui ginjalnya.
Beberapa transformasi terjadi di dalam lumen usus atau dinding usus.
Secara umum, semua reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari dua

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 12


kategori utama yang disebut reaksi-reaksi fase I dan fase II. Metabolisme
yang terjadi di usus halus harus diperhitungkan pada saat pemberian obat
secara oral oleh karena isoform enzim sitokrom P450 ( CYP3A4) banyak
dijumpai dalam usus halus. Dapat dikatakan bahwa metabolime
merupakan proses awal dari ekskresi.
4. Ekskresi
Parameter yang penting adalah klirens (clearance), yaitu suatu
faktor yang memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan
konsentrasi obat.
Laju eliminasi
𝐶𝐿 = C

Penting untuk memperhatikan sifat aditif dari klirens. Eliminasi


obat dari tubuh meliputi proses-proses yang terjadi di dalam ginjal, paru,
hati dan organ lainnya. Dengan membagi laju eliminasi pada setiap organ
dengan konsentrasi obat yang menuju pada organ menghasilkan klirens
pada masing-masing organ tersebut. Kalau digabungkan, klirens-klirens
yang terpisah ini sama dengan klirens sistemik total. Dua lokasi utama
eliminasi obat adalah kedua ginjal dan hati. Klirens dari obat yang tidak
berubah di dalam urine menunjukkan klirens ginjal. Di dalam hati,
eliminasi obat terjadi melalui biotransformasi obat induk pada satu
metabolit atau lebih, atau ekskresi obat yang tidak berubah ke dalam
empedu atau kedua-duanya (Katzung BG. 2006).

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 13


BAB III

PEMBAHASAN

1. Bagaimana mekanisme obat dalam tubuh?

FASE/NASIB OBAT DALAM TUBUH :


1.FASE ABSORBSI
2.FASE DISTRIBUSI
3.FASE PENGIKATAN OBAT (EFEK
FARMAKOLOGIS/FARMAKODINAMIK)
4.FASE ELIMINASI OBAT: METABOLISME/
BIOTRANFORMASI DAN FASE EKSKRESI
 Absorpsi
Absorpsi adalah proses masuknya obat dari tempat obat kedalam sirkulasi
sistemik (pembuluh darah). Kecepatan absorbsi obat tergantung pada :
1. Kelarutan, Obat harus dapat melarut atau obat sudah dalam bentuk terlarut.
Sehingga dari kecepatan melarut mempengaruhi kecepatan absorbsi.

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 14


2. pH, obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel
pada suasana asam. Jika pH obat berubah (ditambah buffer) maka absorbsi
akan melambat.
3. Sirkulasi darah, Pemberian obat melalui sublingual akan lebih cepat
diabsorbsi dibanding subkutan, karena umumnya sirkulasi darah di subkutan
lebih sedikit (jelek) dibandingkan di sublingual.
4. Tempat absorbsi, Obat dapat diabsorbsi misalnya dikulit, membran mukosa,
dan usus halus. Obat yang oral, absorbsi terjadi di usus halus karena luas
permukaannya. Jika obat inhalasi, diabsorbsi sangat cepat karena epitelium
paru-paru juga sangat luas. (Farmakologi Pendidikan Proses Keperawatan:
ebook)
Absorbsi melalui saluran cerna, pemberian peroral merupakan cara yang
paling lazim karena merupakan cara yang paling mudah, ekonomis dan
aman. Namun memiliki kerugian yaitu obat dapat merangsang mukosa
lambung dan menimbulkan emasis, misalnya aminoilin. Selain itu, Obat
akan membentuk kompleks dengan makanan sehinga sukar untuk
diabsorpsi dan akan mengalami biotranspormasi sebelum memasuki ke
berbagai organ. Umumnya obat dalam bentuk non polar yang larut daalm
lemak cepat diabsorpsi, sedangkan obat yang bersifat polar tidak larut
dalam lemak seperti zat alumunium kuaterner, lambat diabsorbsi. Obat
yang tidak larut dalam air tidak diabsorpsi melalui saluran cerna.
Pemberian obat secara sublingual, dapat diberikan untuk menghindari
pengrusakan oleh enzim lambung dan usus, dan menghindari
biotraspormasi di hepar . Pemberian obat secara rektal diberikan pada
pasien yang muntah ? muntah untuk menghindari pengrusakan oleh enzim
pencernaan dan biotransformasi di hepar. Pemberian obat suntikan (
parenteral ) yang efeknya timbul cepat, dan teratur karena obat tidak
melewati hepar sebelum mencapai sirkulasi dan dapat diberikan pada
pasien yang tidak sadar dan keadaan darurat. Kelemahannya adalah

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 15


dibutuhkan cara absesis tidak dapat dilakukan sendiri, tidak ekonomis, dan
lebih membahayakan dar i pemberian oral. Misanya bahaya infeksi serum
hepatitis. Cara pemberian parenteral yaitu intramuskuler, Intravena, dan
subkutan. Pemberan obat melalui endotel paru-paru. Cara ini hanya
dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah
menguap. Keuntungannya absorpsi terjadi secara cepat, misalnya pada
penyakit paru-paru. Kerugiannya metodenya sulit dilakukan karena
membutuhkan alat khusus, dosis sulit diatur, dan obat bersifat iritatif.
Pemberian topikal pada kulit. Pemberian obat digunakan untuk penyakit
kulit, contoh obatnya berupa salep yaitu antibiotika, kortikoseroid,
antihistamin dan antifungus. (Farmakologi dan terapi edisi 4 : 1981)
 Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase
berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi
segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua
jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ
di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru
mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang
interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah
larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam
otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus
membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat
bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat
dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 16


obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan
berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
 Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim khususnya
CYT 45. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya
lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih
mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi
inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja
obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak
toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam
retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme
ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain
misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
 Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau
metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali
pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni
filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif
di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada
gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal
pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 17


menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi
melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah
yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat
tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik,
misalnya arsen, pada kedokteran forensik. ( farmakologi pendekatan proses
Keperawatan: 1996)
2. Golongan apakah asam traneksamat, kegunaan dan efek
sampingnya?

Asam traneksamat adalah obat golongan antifi brinolitik yang bekerja


mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi
plasmin pada pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin,
maka asam traneksamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 18


pada meingkatnya aktivitas pembekuan darah (Tranexamic acid injection offi
cial FDA informations, 2013).
Asam traneksamat adalah obat antifibrinolitik yang menghambat
pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis dan
pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolysis yang berlebihan dan
angiodema hereditas.
Untuk digunakan pada pasien dengan hemofilia untuk penggunaan
jangka pendek (2-8 hari) untuk mengurangi atau mencegah perdarahan dan
mengurangi kebutuhan untuk terapi penggantian selama dan setelah pencabutan
gigi. Hal ini juga dapat digunakan untuk perdarahan yang berlebihan dalam
kasus menstruasi, operasi, atau trauma.
ADMINISTRASI
Administrasi secara oral, injeksi IV atau IV infusion.

DOSIS
Dosis oral : 1-1.5 gram (atau 15-25 mg/kg) 2 sampai 4 kali sehari.

Dosis injeksi intravena perlahan : 0.5 -1 g (atau 10 mg/kg) 3 kali sehari.

Dosis infus kontinyu : 25-50 mg/kg setiap hari.

Dosis anak : 25 kg/mg melalui oral atau 10 mg/kg melalui intra vena setiap 2
atau 3 kali sehari.

Bentuk Sediaan:
Ampul
Farmakologi:
Aktivitas antiplasminik: menghambat aktivitas dari activator plasminogen dan
plasmin. Aktivitas hemostatis: mencegah degradasi fibrin, pemecahan
trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi.
Indikasi:

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 19


Fibrinolisis lokal seperti : epistaksis, prostatektomi, konisasi serviks. Edema
angioneurotik herediter. Perdarahan abnormal sesudah operasi. Perdarahan
sesudah operasi gigi pada penderita hemofilia.
Dosis:
500-1000 mg (IV) dengan injeksi lambat (1mL/menit) 3 x sehari
Perdarahan abdominal setelah operasi : 1 gram 3 x sehari pada 3 hari pertama,
kemudian dilanjutkan oral 1 gram 3-4 x sehari. Untuk mencegah perdarahan
ulang dapat diberikan per oral 1 gram 3-4 kali sehari selama 7 hari. Khusus
untuk perdarahan setelah operasi gigi pada penderita hemofilia ; Segera
sebelum operasi : 10 mg/kg BB (IV), Setelah operasi : 25 mg/kg BB (oral) 3-4
x sehari selama 6-8 hari.
Kontraindikasi:
Penderita perdarahan subaraknoid dan penderita dengan riwayat
tromboembolik. Penderita dengan kelainan pada penglihatan warna. Penderita
yang hipersensitif terhadap asam traneksamat.
Peringatan dan Perhatian:
Bila diberikan secara intravena, dianjurkan untuk menyuntikkannya perlahan-
lahan. Hati-hati digunakan pada penderita insufisiensi ginjal karena risiko
akumulasi. Tidak diindikasikan pada hematuria yang disebabkan oleh
parenkim renal, pada kondisi ini sering terjadi presipitasi fibrin dan mungkin
memperburuk penyakit. Digunakan pada wanita hamil hanya jika secara jelas
diperlukan. Hati-hati diberikan pada ibu menyusui untuk menghindari risiko
pada bayi.
Efek Samping:
Gangguan-gangguan gastrointestinal : mual, muntah-muntah, anorexia,
eksantema dan sakit kepala dapat timbul pada pemberian secara oral. Dengan
injeksi intravena yang cepat dapat menyebabkan pusing dan hipotensi. Untuk
menghindari hal tersebut maka pemberian dapat dilakukan dengan kecepatan
tidak lebih dari 1 mL/menit.

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 20


Posted in: Cardiovascular & Hematopoietic Systems

3. Apa definisi pendarahan dan bagaimana mekanismenya?


Pendarahan atau hemorage (bahasa Inggris : hemorrhage
exsanguination ; bahasa Latin: exsanguinātus, tanpa darah)
Perdarahan adalah hilangnya darah dari sistem sirkulasi / sistem vaskular.
Perdarahan dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Perdarahan internal
terjadi ketika darah keluar dari pembuluh darah namun masih berada di dalam
tubuh. Perdarahan eksternal terjadi ketika darah keluar dari pembuluh darah dan
menembus kulit maupun mukosa. Perdarahan dapat disebabkan oleh faktor
lokal dan sistemik.
Tubuh manusia seringkali mengalami robekan kapiler halus dan
kadangkadang pemutusan pembuluh darah yang lebih besar. Tubuh harus
mampu menghentkan atau mengontrol perdarahan yang timbul. Kontrol
perdarahan oleh pembentukan bekuan darah disebut hemostasis (Corwin, 2001).
Perdarahan yang tidak terkontrol merupakan komplikasi yang jarang terjadi
menyertai perawatan dental. Perdarahan dapat terjadi dan dapat dihubungkan
dengan luka pembedahan, akibat medikasi, atau adanya masalah sistemik.
Perdarahan dapat ringan atau berat dan pada kasus yang paling buruk dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas yang merupakan keadaan emergency akut
(Bennet dan Rosenberg, 2002).
4. Apa hubungan alergi dengan minum obat menggunakan susu?
INTERAKSI ANTARA TETRASIKLIN DENGAN SUSU
Cara pemberian obat yang berbeda akan mempengaruhi cepat lambatnya obat
terabsorpsi, dengan kata lain juga akan mempengaruhi cepat lambatnya obat
berefek. Begitu pun makanan dan minuman, sangat mempengaruhi proses
absorpsi obat. Tergantung di mana obat diabsorpsi/tempat absorpsi obat, maka
dengan menganalisis makanan/minuman yang masuk bersama obat, maka kita

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 21


akan mudah memprediksi pengaruh keduanya kepada cepat lambatnya atau
malah tidak terabsorpsinya obat.
Pemberian tetrasiklin bersamaan dengan susu menyebabkan interaksi sebagai
berikut:
Susu (kalsium, magnesium, besi dan alumunium).
Antibiotic (tetrasiklin) + Ca/ Mg/ Fe/ Al => Khelat inaktif (tetrasiklin+logam)

Susu yang mengandung kalsium, magnesium, besi, dan aluminium bila


dikonsumsi bersamaan dengan tetrasiklin akan membentuk khelat inaktif
(tetrasiklin + logam) yaitu kompleks yang tidak larut. Susu juga mengandung
protein dan lemak sehingga tetrasiklin tidak boleh diminum bersamaan dengan
susu karena dapat menurunkan absorpsi dari tetrasiklin oleh lambung. Sehingga
dapat menimbulkan kegagalan terapi pengobatan.

6. Jelaskan definisi hemostasis dan mekanismenya?


Definisi
Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan
karena trauma dan mencegah perdarahan spontan. Hemostasis juga menjaga
darah tetap cair.
Hemostasis adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh yang amat penting
dalam menghentikan perdarahan pada pembuluh darah yang luka. Mekanisme
hemostasis mempunyai dua fungsi primer yaitu untuk menjamin bahwa
sirkulasi darah tetap cair ketika di dalam pembuluh darah, dan untuk
menghentikan perdarahan pada pembuluh darah yang luka. Hemostasis normal
tergantung pada keseimbangan yang baik dan interaksi yang kompleks, paling
sedikit antara lima komponen-komponen berikut (

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 22


A.J. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. 2005.):
1. Pembuluh darah
2. Trombosit
3. Faktor-faktor koagulasi
4 .Inhibitor
5.Sistem fibrinolisis

Mekanisme hemostasis
Jika ada luka yang mengenai pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan,
maka pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Dengan adanya
perlukaan pembuluh darah, endotel terlepas maka jaringan subendotel terbuka
sehingga trombosit melekat ke kolagen di jaringan subendotel. Perlekatan
trombosit ke jaringan subendotel disebut adhesi trombosit. Pada adhesi
trombosit factor von Willebrand berperan sebagai jembatan antara trombosit
dengan kolagen di jaringan subendotel. Trombosit yang melekat ke subendotel
akan mengeluarkan isi granula seperti adenosine diphosphate (ADP) dan
serotonin yang akan merangsang trombosit lain untuk saling melekat atau
beragregasi membentuk gumpalan yang akan menyumbat luka pada dinding
vaskuler. Trombosit yang beragregasi juga mengeluarkan isi granula seperti
ADP dan serotonin. Pengeluaran isi granula disebut reaksi pelepasan (release
reaction). Sumbat trombosit tersebut bersifat semi permeable, jadi tidak dapat
dilewati eritrosit tetapi dapat dilewati cairan.
Perlukaan vaskuler juga menyebabkan sistem koagulasi diaktifkan sehingga
akhirnya terbentuk fibrin. Fibrin akan mengubah sumbat trombosit yang semi
permeable menjadi non permeable sehingga cairan juga tidak dapat melewati.
Dengan demikian yang berperan dalam hemostasis adalah vaskuler (dinding
pembuluh darah), trombosit dan sistem koagulasi.
7. Jelaskan macam dan cara kerja obat hemostasis

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 23


Hemostatik adalah zat atau obat yangdibunakan untuk menghentikan
perdarahan. Agen hemostatik dapat dibedakan menjadi :
1. Hemostatik local
Berdasarkan mekanisme hemostasisnya dapat dibagi menjdai beberapa
kelompok, yaitu :
a. Hemostatik serap
Hemostatik jenis ini menghentikan perdarahan dengan
pembentukan suatu bekuan buatan atau menerikan jala serat-serat yang
mempermudah pembekuan bila diletakkan langsung pada permukaan
yang berdarah. Dengan berkontak pada permukaan asing, trombosit
akan pecah dan membebaskan faktor yang memulai proses pembekuan
darah. Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan
kecil saja misalnya kapiler. Termasuk dalam golongan ini anatara lain
§ Spons gelatin Spons gelatin dan oksisel dapat digunakan
untukmenutup luka dan akan diabsorbsi. Absorbsi sempurna
memerlukan waktu 6 jam.
§ Oksisel (selulosa oksida) Selulosa oksida dapat mempengaruhi
regenerasi tulang. Selain itu dapat menghambat epitelisasi.
§ Busa fibrin insani (human fibrin foam)
b. Astringen Zat ini bekerja dengan mengendapkan protein darah
sehingga perdarahan dapat dihentikan. Kelompok ini digunakan untuk
menghentikan perdarahan kapiler. Termasuk dalam golongan ini yaitu :
§ Feri klorida § Nitras argenti § Asam tanat
c. Koagulan Penggunaan obat ini secara 8acto menimbulkan
hemostatis dengan dua cara yaitu dengan mempercepat perubahan
protrombin menjadi trombin dan secara langsung menggumpalkan
fibribogen.
d. Vasokonstriktor Efinefrin dan norefinefrin mempunyai efek
vasokonstriksi yang dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 24


kapiler suatu permukaaan. Cara penggunaannya dengan menoleskan
kapas yang telah dibasahi dengan larutan 1 :1000 tersebut pada
permukaan yang berdarah.
2. Hemostatik sistemik
a. Faktor antihemofilik (factor VIII) dan cryoprecipitated
antihemophilic factor) Kedua zat ini bermafaat untuk mencegah atau
mengatasi perdarahan pada penderita hemofilia A. Selain untuk pasien
hemofilia A, cryoprecipitated antihemophilic factorjuga untuk pasien
von Willebrand, penyakit herediter yang selain terdapat defisiensi
8actor VIII juga terdapat gangguan suatu 8actor plasma yaitu kofaktor
ristosetin yang penting untuk adhesi trombosit dan stabilitas kapiler.
b. Kompleks factor IX Sediaan ini mengandung factor II, VII, IX,
dan X, serta sejumlah kecil protein plasma lain dan digunakan untuk
pengibatan hemofilia B.
c. Desmopresin Obat ini diindikasikan untuk hemosatatik jangka
pendek pada pasien dengan defisiensi faktor VIII yang ringan sampai
sedang dan pada pasien penyakit von Willebrand tipe 1.
d. Fibrinogen Insani e. Vitamin K Sebagai hemostatik, vitamin K
memerlukan waktu untuk dapat menimbulkan efek sebab vitamin K
harus merangsang pembentukan 9actor-faktor pembekuan darah lebih
dahulu.
f. Asam aminokaproat Asam aminokaproat bekerja dengan
menghambat mekanisme fibrinolitik. Hanya digunakan untuk
mengatasi perdarahan fibrinolisis berlebihan yang bukan disertai DIC.
g. Asam Traneksamat Mekanisme kerja asam traneksamat dengan
menghambat proses fibrinolitik. (Ganiswarna, 1995)
8. Jelaskan drug relation problem (adverse drug reaction,
interaksi dan efek samping)
 Adverse drug reaction

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 25


Menurut World Health Organization (WHO) Adverse Drug Reactions
adalah setiap efek yang tidak diinginkan dari suatu obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis
maupun terapi (WHO, 1972).
Menurut Food and DrugAdministration, ADRs adalah efek yang tidak
diinginkan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul sebagai
bagan dari aksi farmakologis dari obat yang kejadiannya mungkin tidak
dapat diperkirakan (FDA, 1995). Menurut Syamsudin, Adverse Drug
Reactions dibagi menjadi dua kelas besar yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi
tipe A adalah efek farmakologis yang dapat diprediksi dan tergantung dosis
sedangkan reaksi tipe B adalah reaksi hipersensitivitas yang tidak terduga
dan tidak bergantung dosis (Syamsudin, 2011 ).
Berkembangnya pengetahuan dan ditemukannya obat-obat baru untuk
pengobatan, pencegahan dan diagnosis menuntut kita untuk mengetahui
lebih banyak tentang farmakodinamik dan farmakokinetik dari suatu obat.
Setiap memberikan obat kepada pasien efek yang diharapkan adalah efek
terapi obat, tapi ada juga reaksi yang tidak diharapkan atau dikenal dengan
Adverse Drug Reactions (Harbanu &Ketut, 2008). Obat tidak selalu
memiliki efikasi yang sesuai, tidak jarang pula beberapa obat dapat
menimbulkan reaksi yang merugikan (Syamsudin, 2011).
Adverse Drug Reactions (ADRs) dapat dibagi menjadi :
a. Tipe A (Augmented)
Reaksi Adverse Drug Reactions tipe A tergantung dengan dosis,
terkait dengan aksi farmakologis obat, reaksi yang umum terjadi,
angka morbititas yang tinggi dan angka kematiannya rendah.
b. Tipe B (Bizarre)
Reaksi tipe B mempunyai sifat tidak tergantung dengan dosis, angka
kematian dan angka morbiditas yang tinggi, tidak terkait dengan aksi
farmakologis obat.

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 26


c. Tipe C (Chronic)
Tipe C angka kejadian luar biasa, terkait dengan dosis kumulatif,
membutuhkan waktu jangka panjang.
d. Tipe D ( Delayed)
Dapat diketahui dengan melihat angka kejadian yang luar biasa,
berhubungan dengan dosis dan dapat dilihat dari kontak pasien
dengan obat yang lama atau paparan pada saat kritis.
e. Tipe E (End of use)
Reaksi obat tipe E dapat dikenali mempunyai angka kejadian yang
luar biasa, reaksi terjadi segera setelah penarikan obat.
f. Tipe F (Failure of therapy)
Reaksi obat tipe F mempunyai ciri-ciri angka kejadian umum,
mungkin berhubungan dengan dosis dan sering disebabkan oleh
interaksi obat. (Farcas & Bojita, 2009)
 Interaksi
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik
mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam
sintesis obat baru.
1) Mekanisme Kerja Obat Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat
dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya
ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan
respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen
makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama,
bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa
obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum
konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 27


fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor
obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon,
neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen
disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas
intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat
ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2) Reseptor Obat Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya
terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam
molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan
perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai
hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat
baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang
selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul
reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk
sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3) Transmisi Sinyal Biologis Penghantaran sinyal biologis ialah proses
yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical
messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik.
Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di
membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan
messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang
terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk
reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal),
tiroksin, vit. D.
4) Interaksi Obat-Reseptor Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan
substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion,
hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.
5) Antagonisme Farmakodinamika Secara farmakodinamika dapat
dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 28


antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat
bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa
pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini
termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut
antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut
agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut
obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat
presipitan.
6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor Dalam menimbulkan efek,
obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin
mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil,
atau masuk ke komponen sel.
7) Efek Obat Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur
(organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.
 Efek samping
Untuk memantau efek samping suatu obat, WHO membuat form kartu
kuning yang didalamnya mencakup informasi tentang pasien, efek samping
yang dialami, obat yang dicurigai dapat menimbulkan efek samping.
Penilaian efek samping obat yang merugikan atau tidak, dapat dilihat dari
hubungan sebab akibat antara obat dengan efek terapi yang diinginkan.
Untuk itu dalam penilaian Adverse Drug Reactions (ADRs) dibagi menjadi
3 fase. Fase 1 ADRs didefinisikan sebagai reaksi obat yang berbahaya, yang
tidak diinginkan setelah dosis yang diberikan pada manusia, baik untuk
terapi, profilaksis, maupun diagnosis. Penggunaan definisi ini tidak
termasuk dalam kegagalan terapi, keracunan yang disengaja maupun yang
tidak disengaja, dan penyalahgunaan obat. Fase 2 meliputi pengamatan pada
data yang diperoleh dan menganalisisnya menggunakan skala probabilitas
ADRs. Fase 3 untuk menentukan apakah ada perbaikan dalam kehandalan
dalam fase 2 (Naranjo et al., 1981).

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 29


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip-prinsip farmakokinetik


yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dalam penanganan penderita
baik secara langsung ataupun tidak. Farmakokinetika klinik sangat berguna terutama
untuk tuntunan penentuan aturan dosis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya
dosis dan interval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik
yang sempit seperti teofilina, digoksin, fenitoina, fenobarbital, lidokain, prokainamida
dan lain-lain. Terdapat beberapa parameter yang sering diukur di dalam studi
farmakokinetika klinik untuk menilai tentang bagaimana kinetika obat di dalam tubuh
yaitu bioavailabilitas, volume distribusi, klirens, waktu paruh dll. Studi farmakokinetika
klinik menjadi suatu keharusan di dalam pengembangan obat-obat baru terlebih setelah
diketahui adanya keanekaragaman antar etnik dan antar individu yang dikenal sebagai
polimorfisme genetik dan adanya faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi proses kinetika obat (terutama metabolisme).

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 30


4.2 Dalil

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya, dari shahabat Abu Hurairah
bahwasanya Nabi bersabda,

َ ُ‫َما أَ ْنزَ َل هللاُ دَا ًء ِإ اَّل أ َ ْنزَ َل لَه‬


‫شفَا ًء‬

“Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”

Dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah dia berkata bahwa Nabi
bersabda,

َ ِ‫ َب َرأَ ِبإِذْ ِن هللا‬،‫اب الد َاوا ُء الداا َء‬


‫ع از َو َج ال‬ َ ‫ص‬َ َ‫ فَإِذَا أ‬،‫ِل ُك ِِّل دَاءٍ دَ َوا ٌء‬

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya
maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan pula dari musnad Imam Ahmad dari shahabat Usamah bin Suraik ,
bahwasanya Nabi bersabda,

،ِ‫ نَعَ ْم يَا ِعبَادَ هللا‬:َ‫ أَنَتَدَ َاوى؟ فَقَال‬،ِ‫س ْو َل هللا‬


ُ ‫ يَا َر‬:َ‫ فَقَال‬، ُ‫ت اْألَع َْراب‬ ِ ‫ َو َجا َء‬،‫سلا َم‬َ ‫صلاى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ي‬ ِِّ ِ‫ُك ْنتُ ِع ْندَ الناب‬
‫ ْال َه َر ُم‬:‫ َما ه َُو؟ قَا َل‬:‫ قَالُوا‬.ٍ‫احد‬
ِ ‫ض َع َلهُ ِشفَا ًء َغي َْر دَاءٍ َو‬َ ‫ض ْع دَا ًء إَِّلا َو‬
َ َ‫ فَإ ِ ان هللاَ َع از َو َج ال لَ ْم ي‬،‫تَدَ َاو ْوا‬

“Aku pernah berada di samping Rasulullah b. Lalu datanglah serombongan Arab


dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau
menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah I tidaklah
meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu
penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit
tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 31


bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih
mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)

Dari Ibnu Mas’ud , bahwa Rasulullah bersabda:

ُ‫ َع ِل َمهُ َم ْن َع ِل َمهُ َو َج ِهلَهُ َم ْن َج ِهلَه‬،‫ِإ ان هللاَ لَ ْم َي ْن ِز ْل دَا ًء ِإَّلا أ َ ْنزَ َل لَهُ ِشفَا ًء‬

“Sesungguhnya Allah I tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan


menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya
dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth
atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)
.

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 32


DAFTAR PUSTAKA

A.J. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. 2005. Kapita Selekta : Hematologi. Edisi 4.
Jakarta : EGC. Hlm 221-229
Bennet, J.D., dan Rosenberg, M.B., 2002, Medical Emergencies in Dentistry, Saunders,
Corwin, E.J., 2001, Buku Saku Patofisiologi, EGC : Jakarta
de Vries TPGM , Henning RH, Hogerzeil HV, Bapna JS, Bero L, et al Impact of short
course in pharmacotherapy for undergraduate medical students: an
international randomised controlled study.1995. The Lancet 346 (2):1454-
1457
Farcas, A., & Bojita, M. 2009, Adverse Drug Reactions in Clinical Practice: A
Causality Assessment of A Case of Drug-Induced Pancreatitis,Journal of
gastrointestinal and liver diseases: JGLD, 18(3), 353–8, Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19795031
Ganiswarna, S. G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Gaya Baru : Jakarta
Ingenito AJ, Lathers JM, Burford HJ. Instruction of Clinical Pharmacology: Changes in
the wind. The Journal of Clinical Pharmacology.1989; 29(1) : 17-17
Katzung BG. 2006. Basic principle. 10th ed. Basic and Clinical Pharmacology. McGraw
Hill : San Fransisco.
Kee, J.L. dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, hal
140-145, 435-443, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
McGraw-Hill, 2008. Clinical pharmacokinetic equation and calculation. Available at:
HTTP/URL/HYPERLINK: www. mhprofessional.com
Naranjo, CA, Busto U., Sellers, E.M., Sandor, P., Ruiz, I., Robert, E.A., et al., 1981, A
Method For Estimating the Probability od Adverse Drug Reactions, Clinical
Pharmacology and therapeutics. 30:2:239-45.
Tranexamic acid injection offi cial FDA informations, side eff ects and uses [Internet].
2013 [cited 2013 May 31]. Available from:
http://www.drugs.com/pro/tranexamic-acid-injection.html
Santoso B. Farmakokinetika klinik. Cermin Dunia Kedokteran No 37. 1985
SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 33
Syamsudin. 2011. Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular Dan Renal. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika pp 31
Wray, D., Stenhouse, D., Lee, D., dan Clarck, A.J., 2003, Textbook of General and Oral
Surgery, Churchill Livingstone, London
World Health Organization. 1993.The Use of Essential Drugs, WHO Technical Report
Series No. 850. World Health Organization, Geneva.
WHO Working Group on Clinical Pharmacology in Europe. Clinical pharmacology in
Europe: Anindispensible part of the health service. European Journal of
Clinical Pharmacology. . 1988;33(1):535-539.
World Health Organization. 1970.Clinical Pharmacology Scope, Organization,
Training, WHO TecReport Series No. 446, World Health Organization,
Geneva.

HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya.
Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)
HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-
Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil
bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-
Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486
HR. Muslim

SGD 3 | SKENARIO 1 BLOK 12 | MINUM OBAT DENGAN SUSU 34

Anda mungkin juga menyukai