Tugas Makalah Pak Azwir
Tugas Makalah Pak Azwir
NIM :2022016015
Kenduri Laot
Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di
Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya
berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima Laot di
Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana
mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek
moyang).
Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut
sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa
karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman
dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke
pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah
Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai
sekarang.
Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan
berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan
wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat
nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan
dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan
setempat.
Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai
kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya
sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga
menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.
Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini
dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga
warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk
sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut
sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.
Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap
berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki
perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual
didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah
sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus
membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai
dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh
teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari)
kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan
shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.
Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama tujuh hari setiap
sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya kerbau menyusuri bibir pantai
wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak mengherankan selama tujuh hari sebelum acara
kenduri laot dilaksanakan, pantai selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.
Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging
kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima
laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan
ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak
dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula.
Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji
berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam
perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan. Setelah kira-kira sampai
ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji
yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat
Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.
Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan, anak-anak yatim
serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi petunjuk-petunjuk berkenaan dengan
pantangan-pantangan melaut. Pantangan turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan
sebagai suatu hukum adat yang mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti
dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak
dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat
Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul
08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama
tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan
yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai
penguburan.
Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua atau ulama dan
pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya adalah petuah-petuah menyangkut
kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah
panglima laot dan juga pejabat-pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya
selesai pula acara kenduri laot.
Pada masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat telah memberikan tempat yang
istimewa dalam perilaku sosial dan agama. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan “Hukom ngon
Adat Hanjeut cre Lagee zat Ngon Sifeut”. artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat
dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat dengan sifatnya. Diumpamakan seperti kuku dengan
daging, sehingga kaidah Islam sudah merupakan bagian daripada adat.
Akan tetapi adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam sebelumnya banyak terdapat pengaruh
Hindu. Hal ini terlukiskan pada zaman dahulu tatkala Aceh sebagai tempat persinggahan lalu
lintas pelayaran internasional, dalam rangka hubungan perdagangan bahkan ada yang sampai
menetap di Aceh.
Masuknya pengaruh Hindu ke dalam kebudayaan dan adat istadat Aceh, disebabkan karena
pernah terjadi suatu hubungan yang luas antara Aceh dan India pada masa lampau. Sehingga ada
beberapa kepercayaan dari masyarakat Aceh seperti peusijuek (tepung tawari), upacara boh gaca,
(memberi inai), kanduri blang, (syukuran ke sawah), upacara peutron aneuk (turun anak) dan
lain-lain dianggap bagian dari unsur budaya Hindu yang tidak pernah luntur dalam kehidupan
masyarakat Aceh saat ini. Namun sejak masuknya Islam ke bumi Serambi Mekkah, upacara /
kepercayaan tersebut telah disesuaikan dengan nuansa keIslaman. Segala sesuatu pekerjaan
dimulai dengan bismillah dan doa selamat serta shalawat Nabi.
Upacara Peusijuek disebut juga tepung tawari. Pada masyarakat Aceh upacara ini dianggap
upacara tradisional simbolik dari permohonan keselamatan, ketentraman, kebahagiaan, perestuan
dan saling memaafkan. Hampir sebahagian adat Aceh adanya prosesi upacara peusijuek. Seperti
upacara perkawinan, sunat rasul, peusijuek meulangga (perselisihan), peusijuek pada bijeh
(tanam padi), peusijuek tempat tinggai (rumah baru), peusijuek peudong rumoh (membangun
rumah), peusijuek keurubeuen (hari raya kurban), aqiqah anak, peusijuek kenderaan (roda dua
dan empat), peusijuek jak haji (naik haji), peusijuek puduk batee jeurat (pemasangan batu nisan
bagi yang telah meninggal). Peusijuek Juga di lakukan tatkala adanya pergantian seorang
pemimpin dari perangkat desa sampai gubernur bahkan setiap ada tamu kebesaran daerah juga
adanya prosesi upacara peusijuek.
Biasanya dalam pelaksanaan upacara peusijuek dihadirkan seorang Tengku (ulama) atau atau
orang yang dituakan (Majelis adat) sebagai pemimpin upacara. Hal ini dilakukan karena
dianggap peusijuek yang dilakukan salah satu unsur tersebut memperoleh keberkatan dan setelah
selesai upacara peusijuek adakalanya diiringi dengan doa bersama yang dipimpin oleh Tengku
untuk mendapat berkah dan rahmat dari Allah SWT.
1. Peusijuk Meulangga
Apabila terjadi perselisihan di antara penduduk, misalnya antara A dan B ataupun antara
penduduk gampong (desa) A dengan penduduk gampong B serta perselisihan ini mengakibatkan
keluar darah, maka setelah diadakan perdamaian dilakukan pula peusijuek. Peusijuek ini sering
disebut dengan peusijuek meulangga. Pada upacara itu juga sering diberikan uang, yang disebut
sayam (uang damai) yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perselisihan terjadi seperti
tersebut di atas, tetapi tidak mengeluarkan darah, misalnya perkelahian, perdamaian dan upacara
peusijuek dilakukan juga, tetapi tidak diberikan uang.
Pada peusijuek Meulangga alat-alat yang dibutuhkan seperti dalong, bu leukat, teumpo / u mirah,
breueh pade, on sisijeuk, on manoe, naleueng sambo (ketiga-tiga diikat menjadi satu), teupong
taweue, glok / cuerana, sangee dan ija puteh. (jika mengeluarkan darah). Biasanya apabila
mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak, ikatan keluarga yang terjadi perselisihan
akan menjadi kuat bahkan telah dianggap sebagai sanak saudara.
Acara peusijuek pade bijeh ini dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan benih
(bibit) sebelum penyemaian di sawah. Tujuan daripada peusijuek ini mengandung harapan agar
bibit yang akan ditanam mendapat rakhmat Allah SWT, subur dan berbuah banyak.
Perangkat alat dan bahan yang digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah : on gaca, bak
pineung, on kunyet, on nilam, on birah, naleueng sambo, sira, saka, boh kuyuen dan minyeuk
ata. Peranannya adalah sebagai berikut :
a. On gaca (daun pacar), sifatnya tahan panas dan tahan dari segala penyakit, sedangkan
maknanya adalah agar benih padi yang akan ditanami kuat dan tahan dari segala gangguan hama,
seperti halnya daun pacara tersebut.
b. Bak pineueng (phon pinang), sifat asalnya tumbuh tegak dan kuat. Maknanya ialah agar benih
padi tersebut akan tumbuh tegak dan kuat seperti halnya pohon pinang.
c. On kunyet (daun kunyit), sifat asalnya tahan dari penyakit. Warnanya kuning dan buahnya
bersih, maknanya ialah agar benih padi tersebut tahan dari segala serangan penyakit dan tumbuh
subur seperti kunyit.
d. On nilam (daun nilam), sifat asalnya apabila dibuat minyaknya harum sehingga orang banyak
yang senang. Maknanya ialah agar padi tersebut memiliki bentuk daun nilam, buah padinya
tumbuh subur.
e. On birah (daun keladi), daunnya yang berwarna hijau dan tahan hujan, maknanya agar benih
padi yang akan ditanam menjadi seperti daun keladi tersebut dan tahan dari gangguan hama.
f. On naleueng sambo (daun rumput panjang), sifatnya kokoh dan teguh, akarnya kuat, sehingga
tahan dari segala penyakit. Maknanya agar benih padi tersebut memiliki daya tahan dari
gangguan serangan penyakit.
g. Sira (garam). Sifat sira adalah asin dan dapat menghancurkan bibit penyakit. Maknanya adalah
agar benih padi yang disemai memiliki sifat seperti garam, yaitu dapat menghancurkan penyakit
yang hinggap pada padi, sehingga tumbuh dengan subur.
h. Saka (gula). Sifat saka adalah manis. Maknanya adalah agar padi yang akan disemai dapat
memberikan manfaat bagi orang yang menyemainya.
i. Boh kuyuen (jeruk nipis) ; minyeuk ata (minyak wangi) dicampurkan dengan air putih
sehingga menjadi harum. Maknanya ialah benih padi itu diibaratkan sebagai bayi yang baru
lahir, memerlukan wangi-wangian. Orang-orang yang menciumnya akan merasa senang dan
segar. Demikian juga halnya dengan benih padi yang diperlakukan seperti bayi, supaya tumbuh
subur dan banyak orang yang senang melihatnya.
j. Asap keumeunyan (kemenyan), dibakar ketika padi menjelang direndam. Maknanya adalah
agar padi dapat hidup dengan leluasa dan sempurna serta cepat berbuah.
Setiap orang yang mendiami rumah baru, kebiasaannya dilakukan upacara peusijuek.
Pelaksanaannya oleh beberapa orang terdiri dari tiga, lima orang dan seterusnya dalam jumlah
ganjil. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil berkah agar yang tinggal di tempat ini
mendapat ridha Allah mudah rezeki dan selalu dalam keadaan sehat wal'afiat. Pada upacara ini
alat-alat yang digunakan adalah ; dalong, bu leukat, tumpo / u mirah, breueh pade, on sisijuek, on
manek manoe, naleueng sambo (ketiga yang terakhir di ikat menjadi satu), glok dan sangee.
Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, kegiatan membangun
rumah selalu dipilih pada hari baik. Demikian juga dalam memilih bahan-bahan rumah yang
dianggap baik. Selanjutnya, membangun rumah atau sering disebut peudong rumoh diawali
dengan upacara peusijuek. Yang di peusijuek biasanya adalah tameh (tiang) raja, dan tameh
putroe serta tukang yang mengerjakannya (utoh) agar ia diberkati oleh Allah SWT. Adapun
bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara peusijuek ini adalah : dalong, bu leukat, breueh
pade, teupong taweue, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, ija puteh dan ija mirah,
glok dan sangge.
5. Peusijuk Keurubeuen
Bagi orang Islam yang mampu, sering memberikan kurban pada hari raya sesuai dengan hukum
agama. Seekor hewan kecil (kambing atau domba) cukup untuk korban bagi seorang, sedangkan
tujuh orang secara bersama-sama memberi korban seekor hewan besar (sapi). Perangkat yang
digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah sebagai berikut : dalong, boh manok meuntah,
teupong taweue, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, minyeuk ata,
suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu (lipstik), boh kayee (buah-buahan), tirai
peunahan matahari, dan ija puteh (kain putih). Semua bahan, termasuk alat-alat adalah untuk
merapikan tubuh domba oleh penyembelih (jagal) dipakai menurut kegunaannya masing-masing.
Menurut keyakinan masyarakat Aceh, bahan-bahan tambahan yang dipersiapkan untuk peusijuek
tersebut seperti minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu, boh kayee,
tirai peunahan matahari, dan ija puteh. Mempunyai makna dan fungsi di hari akhirat kelak. Di
mana hewan yang diperuntukkan untuk korban tadi nantinya akan menjadi kenderaan di hari
akhirat kelak dan fungsi dari bahan-bahan tersebut sebagai hiasan kenderaan.
6. Peusijuk Kendaraan
Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan
peusijuek. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan.
Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang.
1. Dalong
Pada masyarakat Aceh, dalong mengandung makna bahwa mempelai yang dilepaskan akan tetap
masih bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkannya. Karena dalong merupakan satu
wadah yang diisi dengan bermacam-macam alat peusijuek sehingga dianggap memiliki
kebersamaan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan.
2. Bu Leukat
Warnanya kuning ataupun putih. Makna dari ketan ini adalah mengandung zat perekat, sehingga
jiwa raga yang di peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok
masyarakatnya. Warna kuning dari ketan merupakan lambang kejayaan dan kemakmuran,
sedangkan warna putih melambangkan suci dan bersih. Maksudnya supaya yang di peusijuek
dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain dan yang di peusijuek dalam ketentraman
menuju jalan yang benar.
3. U mirah
Makna dari U mirah adalah sebagai pelengkap dalam kehidupan dan memberikan perpaduan
yang manis.
4. Breueh pade
Maknanya adalah sifat padi itu semakin berisi makin merunduk, maka diharapkan bagi yang di
peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan dan peranan beras ialah sebagai
makanan pokok masyarakat.
Ketiga jenis perangkat ini di ikat dengan kokoh menjadi satu, yang peranannya sebagai alat
untuk memercikkan air tepung tawar. Makna tali pengikat dari semua perangkat tersebut untuk
mempersatukan yang di peusijuek sehingga dapat bersahabat dengan siapapun dan selalu terjalin
hubungan yang harmonis dan terbina. Sedangkan dari masing-masing perangkat dedaunan
merupakan obat penawar dalam menjalankan bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan
dengan bermusyawarah dan berkepala dingin, bertanggung jawab dengan sepenuhnya dan dapat
menjalin hubungan yang erat dengan siapapun.
7. Glok
Peranannya sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang sudah dicampur dengan air dan yang
satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi beras dan padi. Maknanya adalah jika yang di
peusijuek tersebut melakukan aktivitas sebaiknya hasil yang didapatkan disimpan dengan sebaik-
baiknya.
8. Sangee
Berperan untuk menutup perlengkapan alat-alat tepung tawar. Maknanya untuk mengharap
perlindungan supaya yang di peusijuek mendapat lindungan dari Allah SWT
.
D. Peusijuek Saat Ini
Pasca gempa dan tsunami banyak adat Aceh yang terlupakan, budaya luar begitu cepat merambat
ke pelosok desa. Hal ini terlihat jelas dari pergaulan kehidupan sehari-hari masyarakat. Belum
lagi dengan kehidupan kota yang memang sudah memudar akan pelaksanan adat. Namun pada
saat ini di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat dalam bentuk upacara Peusijuek tetap masih
terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Meskipun ada beberapa pelaksanaan
peusijuek yang sudah tidak dipakai lagi khususnya pada masyarakat perkotaan. Seperti di kota
peusijuek meulangga (perselisihan) sudah tidak ada lagi karena semua urusan perselisihan akan
diselesaikan oleh aparatur hukum lain dengan peusijuek pade bijeh (tanam padi) di mana kota
sudah tidak ada lagi lahan untuk menanam padi. Lain lagi dengan peusijuek peudong rumoh
(membangun rumah) salah satu yang terlupakan, mengingat Aceh dilanda gempa dan tsunami
sehingga setiap pembangunan rumah bantuan tidak ada lagi prosesi upacara peusijuek.
Dan yang terakhir peusijuek keurubeuen di mana adanya penerapan sistem kurban yang
pelaksanaan, penyembelihan dan pembagian daging diserahkan pada panitia dan kadang-kadang
pemilih tidak hadir pada saat itu sehingga adat upacara peusijuek ditinggalkan.
Selama 44 hari sejak lahir, ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan. Ia harus tetap
berada di kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum yang
banyak, nasi yang dimakan juga tanpa gulai dan lauk pauk. Begitu juga dengan makanan yang
peda-pedas sangat dilarang. Selama pantangan tersebut ibu bayi selalu dihangatkan dengan bara
api yang terus menerus di samping atau dibawah ranjang tidurnya. Masa pantangan inu disebut
madeung.
Untuk menjaga badan dan perut si ibu yang baru melahirkan tidak melar dan agar tetap langsing,
dilakukan cara tradisonal yakni dengan toet bateei (memanasi batu). Batu dibakar lalu di balut
dengan kain dan diletakkan di perut wanita yang baru melahirkan. Rasa hangat atau panas dari
batu tersebut akan membakar lemak sehingga tubuh wanita yang baru melahirkan tersebut
setelah menjalani masa pantangan akan tetap langsing.
Setelah masa madeung selesai, ibu bayi akan dimandikan oleh bidan yang merawatnya dengan
air yang dicampur irisan boh kruet (limau perut). Acara mandi ini disebut manoe peut ploh peut,
yang bermakna mandi setelah 44 hari menjalani masa madeueng. Pada hari ini mertuanya akan
datang membawakan nasi pulut kuning, ayam panggang, dan bahan-bahan untuk peusijuek ro
darah (keluar darah) menantunya pada saat melahirkan.
Setelah upacara itu selesai, kepada bidan yang merawat ibu hamil tersebut diberikan hadiah
berupa: pakaian satu salin, uang ala kadar, uang penebus cincin suasa, beras dua bambu, padi dua
bambu, pulut kuning, ayam panggang, dan seekor ayam hidup. Setelah itu selesaikan kewajiban
bidan dan tanggung jawab terhadap ibu hamil tersebut.
Setelah masa 44 hari ibunya menjalani madeueng, bayi akan diturunkan untuk menginjang tanah
pertama kalinya. Prosesi adat ini disebut peutron bak tanoh. Ada juga yang melakukannya
dengan mengadakan pesta besar-besaran untuk, apalagi pada kelahiran anak pertama.
Pada upacara adat ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai maupun
budi pekertinya. Orang yang mengendongnya memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu bayi
diturunkan dari tangga dipayungi dengan selembar kain yang dipegang oleh empat orang pada
setiap sisi kain. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi menjadi pemberani. Suara saat
batok kelapa dibelah ditamsilkan sebagai suara petir, si bayi nantinya tidak takut terhadap petir
dan berbagai tantangan hidup lainnya. Ia akan menjadi seorang anak yang ceubeh dan beuhe
(gagah berani).
Belahan kelapada tadi sebelah akan dilemparkan ke arah para wali si bayi, sebelah lagi kepada
karong. Wali merupakan saudara dari pihak ayah si bayi, sedangkan karong saudara dari pihak
ibu. Setelah itu salah seorang anggota keluarga bergegas menyapu halaman dan yang lain
menampi beras bila bayi yang diturunkan ke tanah perempuan.
Sedangkan bila bayi laki-laki, keluarga tadi akan mencangkul tanah, mencencang batang pisang
atau batang tebu. Perlakuan ini sebagai maksud agar si bayi kelak menjadi anak yang rajin dan
giat berusaha. Setelah itu bayi akan di jejakkan ke tanah, kakinya menyentuh tanah untuk
pertama kali, lalu digendong dibawa berkeliling rumah atau mesjid. Setelah itu baru dibawa
pulang kembali ke rumah.
Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang
harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu
dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang. Tulisan ini
memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang.
Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di Kampong
Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah
satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.
Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi
ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan
dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri oleh
kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan
pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus atau bu
kulah.
Usai pembacaan yaasin dan doa bersama, dilakukan tepung tawar pada bibit dan alat-alat tani.
Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan sebagai
peusijuek antara lain (1) berteh (padi yang digongseng hingga mengembang) digunakan supaya
ringan padi keluar, (2) sebutir telur ayam kampong, ini dipercaya sebagai kepala obat, (3) seikat
daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.
Jika padi sudah tumbuh dara, petani berkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini
dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun,
sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah bunting (mulai
berisi), biasanya juga diadakanlah kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan
doa.
Menurut kisah orang-orang kampung di sini, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan
masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai
seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam
makanan asam-asam. Maka rujak jadi pilihan.
Jika dilihat sekarang, hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan
hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani
menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan
daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu ditancapkan di tengah-tengan sawah. Hal ini
dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan lain sebagainya. Menurut
kepercayaan masyarakat, bau daun-daun tersebut menyengat sehingga ulat, tikus, dan hama
lainnya tidak berani mendekat.
Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat,
hari Rabu Terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Selain itu, di sawah juga
dilarang berbicara takabur.
Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain: pertama, mengetahui berapa
banyak kelompok penanam padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua,
mengadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga mengadakan peraturan pantangan-
pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani tetap menjaga pantangan-pantangan
secara kebersamaan. Keempat, mengadakan peraturan pananaman, hal ini dilakukan untuk
menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menanam padinya. Apabila ada salah satu
petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan
ketinggalan panen, yang mengakibatkan padinya akan terserang hama lebih mudah.
Tata cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani adalah jika telah sampai waktu panen,
pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik.
Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang
ke rumah untuk diselipkan di atas atap. Setelah itu, baru padi dipanen semua. Jika hasil mencapai
100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan sebanyak 10 kaleng. Zakat itu dibagikan kepada fakir
miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tempat tinggal si petani.
Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee
Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan
dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal
persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.
Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing
pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke
parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.
Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam
nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang
ada. Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh
pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya,
semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-
masing.
Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk
pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di
dalam tanah. Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki
fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan
sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering
menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya
dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.
Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu
menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi. Para petani sering dikarakteristikkan
sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam.
Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama
menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka.
Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika
batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi
ritual yang harus dijalankan. Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama.
Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk
melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi
mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim
untuk sekali waktu.
Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan
upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi
terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.
Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti
yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para
petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada
beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh
lahan si empunya hajatan.
Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai
memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat
para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan
bermanfaat.
Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan
rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas
membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan
keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.
Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro.
Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para
petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut
dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh
berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus
mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dapat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah
SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar dan
membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.
Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak
yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai
suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini. Berbagi, kata ini
mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya
mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya
selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar
dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka
kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir
pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.
Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak
mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu,
petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan
Keuchik untuk menentukan waktunya.
Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat
saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan
berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang
datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu
makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.
Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat.
Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu
penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang
bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk
satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani
menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.
Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang
tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan
kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan
persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat
hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-
sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu
mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh
seperti tiang dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya
tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut. Dalam rangka
pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat.
Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong dengan mengundang sanak famili beserta
masyarakat. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti
sapi, kerbau, kambing dan sekurqang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada
pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan
yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut. Di
samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak lain adalah untuk lebih semaraknya
acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.
Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang berada
di darat maupun yang berada di laut terdapat semacam makhluk halus (roh-roh) yang menjaga
atau menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada di hutan. Untuk memasuki hutan dan
mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus
yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara untuk memperoleh
keizinan penguasa hutan tersebut adalah dengan cara menyembelih hewan korban.
Pertama kali kayu yang akan diangkut disatukan terlebih dulu kemudian diikat dengan rotan
guna ditarik beramai-ramai. Untuk mempermudah penarikannya diberi landasan berupa kayu
bulat sebanyak 2, 3 atau lebih. Setiap kayu landasan dipegang oleh seorang, apabila kayu yang
pertama telah lewat ditarik, maka kayu yang tertinggal tadi diambil dan diletakkan kembali di
depan kayu yang sedang ditarik itu. Apabila salah satu kayu landasan itu sangkut, maka
pemukulan canang yang dilakukan oleh wanita-wanita tadi harus diperkuat dan dipercepat serta
sorakan anak-anak menjadi lebih bergemuruh. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar
makhluk halus yang mungkin telah mencoba menghalangi pengangkutan kayu itu menjadi takut
dan lari. Selain itu, pemukulan canang dan sorakan itu juga bertujuan untuk memberikan
semangat kepada para penarik, dan juga agar mereka merasa malu jika bagian landasan yang
dipegangnya sering tersangkut.
Jumlah rotan (tali pengikat) biasanya bersesuaian dengan jumlah belah 4 (kampung) yang hadir,
sebab setiap belah memegang sebuah rotan pengikat. Jika jumlah belah yang hadir lebih banyak,
maka kayu-kayu tersebut dapat ditarik sampai dua atau tiga kayu sekaligus. Dalam hal ini tidak
dibenarkan menempati tali rotan yang telah dipegang oleh orang lain, karena hal tersebut bisa
menimbulkan bentrokan antar belah (kampung). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang raja
(reje) yang mengepalai belah secara keseluruhan.
Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie,
penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang
pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu
tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan
kayu untuk bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas
perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula
surutnya.
Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pendirian rumoh
Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama
dengan mengundang para ahli famili terdekat, karib kerabat beserta masyarakat sekitarnya.
Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk. Imam
Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada
Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baik dan
diharapkan dapat membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi para penghuninya.
Setelah selesai acara makan bersama dan pembacaan do’a, barulah orang yang hendak
mendirikan rumah tersdebut menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para undangan yang
hadir. Kemudian segala persoalan selanjutnya yang menyangkut tentang hari pelaksanaan
mendirikan rumah itu diserahkan kepada Kepala Desa atau “Keuchik” untuk menentukannya.
Dalam upacara mendirikan rumoh Aceh, ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan.
Pertama upacara “Tanom Kurah” dan yang kedua upacara “Peusijuk”.
Upacara “Tanom Kurah” adalah sejenis upacara yang kalau sekarang disebut upacara “peletakan
batu pertama”. Disebut upacara “Tanom Kurah”, karena dalam upacara ini dilakukan penanaman
kurah persis di tengah-tengah tempat di mana rumah akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan
pada malam hari, tepat pada pukul 24.00 WIB. Hal ini menurut kepercayaan orang Aceh dapat
membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuni rumah itu, terutama sekali menyangkut
tentang kenyamanan tidur pada malam hari.
Sedangkan upacara “Peusijuk” dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah sendiri
atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah
penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga
dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah
dipersiapkan sebelumnya di tempat itu.
Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk)
disebut juga “Daun Sidingin”, yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak
pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung” yang dinamakan
“Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan
sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut
diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yuang diisi air
secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.
Penepung tawaran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian akar dari alat-alat yang telah
diikat menjadi satu tadi ke dalam air itu, kemudian memercikkannya ke sekeliling tempat lokasi
di mana rumah itu akan dibangun. Penyiraman dilakukan mulai dari “Pancang Kurah” tadi terus
berputar ke kanan sampai seluruh lokasi itu terkena siraman (percikan) air. Setelah selesai
penepung tawaran, maka “On Sineujuk” (daun sidingin), “Naleung Sambo” beserta anak pohon
pisang tadi ditanam sekalian di bagian paling pinggir sebelah utara dari rumah itu.
Tujuan upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu sejuk dan nyaman. Upacara
ini biasanya dilaksankan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tinggi. Ini melambangkan suatu
kepercayaan bahwa waktu pagi itu sangat baik untuk mendatangkan rezeki bagi penghuni rumah
tersebut.
Selanjutnya, pada tiang Putri atau “Tameh Putro” ditanam sebuah periuk tanah (Kanot Tanoh).
Periuk tanah ini di beberapa daerah di Aceh pada zaman dahulu sering diisi dengan emas seberat
½ sampai 1 mayam beserta perak, ini terutama sekali berlaku di daerah Linge atau (Lingga),
yaitu suatu daerah yang terletak di perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Tengah. Akan
tetapi belakangan ini hal tersebut sudah jarang bahkan tidak ada lagi dilakukan oleh masyarakat
Aceh. Sekarang yang masih banyak dilakukan hanya penanaman “Kanot Tanoh” itu saja dan
diisi dengan kunyit dan padi atau beras secukupnya. Penanaman “kanot tanoh” ini bertujuan agar
kehidupan penghuni rumah tersebut selallu berada dalam berkecukupan, terutama dalam hal
terpenuhinya kebutuhan pokok (primer).
Setelah semua upacara “Peusijuk” itu selesai, barulah dimulai mendirikan tiang-tiang yang
sebelumnya telah dirangkai sesuai menurut posisi dan letaknya masing-masing. Untuk
mempermudah mendirikan tiang-tiang tersebut dipancangkan kayu sejajar dengan tiang yang
akan dinaikkan itu. Pada bagian atas pancang itu diikatkan sepotong kayu bulat dengan posisi
membujur (horizontal) gunak meletakkan tali (rotan) penarik tiang. Jadi fungsi kayu yang
dipancang dan kayu bulat yang membujur di atasnya adalah sebagai alat penggerak guna
mempermudah mendirikan tiang-tiang rumah itu.
“Raja” tetap berada di atas untuk memimpin dan mengarahkan anggota penarik selama tiang-
tiang yang lain belum selesai semuanya dinaikkan. Setelah berhasil tiang dinaikkan barulah
dipasang “pasak” atau (baji) atau “Ruk”, “Lheu”, “Gase”. Kemudian barulah “Raja” turun ke
bawah. Dengan turunnya “Raja” berarti upacara pendirian rumah itu dianggap telah selesai.
Untuk pembangunan selanjutnya diserahkan kepada tukang atau kepada keluarga yang akan
menduduki rumah tersebut.
Setelah bangunan rumah selesai, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksankan oleh
pemilik rumah, yaitu: “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri E’ Rumoh Baro”
atau (upacara menempati rumah baru).
Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan
oleh si pemilik rumah. Upacara ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan
terimakasih si pemilik rumah kepada tukang yang telah mengerjakan rumahnya dengan baik
hingga siap untuk ditempati. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan secara simbolis dalam
bentuk penyerahan seperangkat pakaian seperti baju, celana, kain sarung dan kopiah beserta
hidangan makanan ala kadarnya kepadanya.
Dalam upacara ini biasanya diselesaikan juga segala hal ihwal yang menyangkut tentang
perongkosan dalam pembuatan rumah tersebut. Zaman dulu ongkos membuat rumah biasanya
dibayar dalam bentuk padi, namun sekarang sistem pembayaran ini umumnya telah memakai
uang. Jadi upacara ini selain mengandung arti ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada
“Utoh”, juga merupakan semacam acara serah terima perongkosan, baik serah terima
perongkosan dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, maupun serah terima bangunan dari tukang
atau “Utoh” kepada si pemilik rumah.
Sedangkan “Upacara Kenduri E’Rumah Baro” adalah semacam upacara syukuran yang
diselenggarakan si pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya
dilaksanakan setelah selesai shalat magrib di rumah baru yang hendak ditempati itu. Dalam
upacara kenduri ini diundang semua pihak yang dianggap telah ikut berjasa dalam membuat
rumah tersebut, seperti “Utoh” (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa), Teungku Imam baik
Imam Meunasah maupun Imam Mesjid beserta seluruh kerabat, ahli famili beserta seluruh
masyarakat. Tata cara yang dilaksanakan dalam upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya,
yaitu didahului dengan acara makan bersama, kemudian baru dilakukan dengan ucapan
terimakasih dari si pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan
rumah tersebut. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh
Teungku Imam.