Anda di halaman 1dari 33

NAMA : SUDIRMAN

NIM :2022016015

PENGARUH AGAMA HINDU DALAM PEMBENTUKAN ADAT ACEH


Sebagaimana pulau Jawa, Sumatera walaupun sedikit mengalami juga pengaruh Hindu,
akan tetapi pengaruh itu selalu ditekan oleh pengaruh Islam. Arab, Syam (Suriya atau Sureen
kata orang Aceh) yang banyak berdagang di pasar-pasar: mereka dalam kepercayaan syariat Nabi
Ibrahim yang senantiasa bertentangan dengan kepercayaan orang Hindu.
Masa mulainya berlaku pengaruh Hindu itu belum juga dapat dikatakan dengan tepat. Akan
tetapi, dapat diduga sebelum tahun Masehi atau semenjak expansi Raja Iskandar Zulkarnain ke
Asia. Penduduk dari lembah sungai Indus dan Gangga lari ke Sumatera atau Aceh (334-326 SM).
Kemudian setelah zaman Islam orang-orang Arab, Parsi makin rame datang, perhitungan tahun
dimulai dengan tahun Hijrah. Maka barulah orang memperbandingkan (sesuaikan) dengan
perhitungan tahun Masehi. Seperti diketahui umum, bahwa expansi Raja Iskandar Zulkarnain ke
Asia Tengah dan Asia Tenggara dalam akhir abad IV dalam tahun 334-326 sebelum Masehi,
telah terjadi gerakan perpindahan besar-besaran sebagai berikut ini.
Bangsa Phonisia, Surya (Syam), Persia dan lain-lain dari lembah sungai Nil, Furat dan
Indus dari Teluk Persia di Lautan Arab dan lembah-lembah dari sungai Gangga negeri Baktria,
(Kabul = Afganistan sekarang) tahun 327 SM, di Teluk Benggala di Lautan India, maka bangsa-
bangsa penghuni negeri-negeri itu karena ketakutan telah lari menghindarkan dari kesepanjang
pantai atau pulau-pulau di Asia Tenggara dalam lautan Hindia dan Lautan China hingga ke Asia
Timur sampai ke pulau-pulau Panji dan Paas.
Maka imigran itu sebagai bangsa Nomanden. Terlebih dahulu sangkut dipintu gerbang
yang berada dalam selat Banang atau Malaka yaitu pulau-pulau: Sailan (Kendi), Andaman
Nikobar, Sumatera dan Malaka. Bahagian Sumatera Utara terutama Peureulak, Pasai, Pidie
(Poli), dan Lamuri atau Aceh Besar. Sumatera Selatan dan Tengah, sungai Musi, Kampar,
Indragiri, Palembang, Indrapura, dll. Dan yang kebahagian tanah Semenanjung Malaka yaitu
sepanjang pantai-pantai Johor, Perak, Kedah, dan pulau-pulau lain sekitarnya yaitu: Bintan, Riau,
Bengkalis dan lain-lain. Dapat ditambahkan lagi, setelah mangkat Maharaja Iskandar Zurkarnain
yang perkasa itu, maka pengalima-panglimanya bertindak sendiri-sendiri merampas kedudukan
tinggi menjadi Raja, diantaranya: Ptolemaeus dan Soleceus yang menjadi Amir (Gubernur) di
Mesir, Persia, dan India Utara, sehingga kerajaan besar itu menjadi pecah (301 SM). Setelah
mereka itu mendapat kedudukan tinggi, tidak tinggal begitu saja, malainkan satu sama lain
mengadakan serang menyerang untuk meluaskan kekuasaannya, sehingga keadaan rakyat
diseluruh tempat itu tidak tentram.
Maka sebab kekalutan ini, kehidupan penduduk menanggung penderitaan dan sengsara,
karena itu banyak penghuni negeri-negeri itu malarikan diri ketempat lain, baik rakyat jelata
maupun kaum saudagar dan kaum bangsawan yang telah hilang harta dan kekuasaannya pergi
mencari tempat kediaman baru di Asia Tenggara. Peristiwa sedemikian terus-menerus tidak
terhenti sampai kepada pemerintah Dinasti Maharaja Asoka yang amat kejam (272-232 SM).
Sehingga banyak orang kelingga dari Madras lari ke: Sumatera atau Aceh, Malaka, dll, di
seluruh Nusantara. Dan setelah itu dimasa rubuhnya kerajaan Andhraa 185 SM sampai 225 M,
banyak pula bangsa Parthi dan Saka dari India Barat lari meninggalkan negerinya, barangkali
inilah asal bangsa Sakai di Malaka. Gerakan besar-besaran lagi berikut itu, ialah setelah bangun
agama Islam dalam permulaan abad VII semenjak kira-kira tahun 43-602 H bersamaan dengan
712-1206 M. Kalifah serta mubaliq Islam telah memperkembangkan Syiar Islam keseluruh
Afrika, Eropa dan Asia. Persia Syam dan India di serang dan didirikan kerajaan-kerajaan Islam.
Karena peperangan yang maha dasyat itu, maka bangsa-bangsa Parsi dan Hindu yang tidak mau
menganut agama Islam, telah menghindarkan diri mencari kediaman baru pula. Imigran ini telah
membanjiri pulau-pulau di Asia Tenggara. Sudah tentu saja kalifah-kalifah pelarian ini
sebahagian telah mengambil tempat di Aceh (Sumatera). Yang tidak dapat bergaul dengan
penduduk di Aceh yang telah lebih dahulu datang, mereka itu meneruskan perjalanannya ke lain
tempat yaitu ke pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Ternate, dll, diseluruh kepalauan Nusantara.
Demikian pula halnya dalam peperangan Raja Harsha yang diserang oleh bangsa Huna (604) di
India Selatan. Adik perempuan putra Harsha permaisuri seorang Raja dalam daerahnya telah
dibunuh suaminya oleh raja Mulwa (India Barat dekat Gujarat), puteri (Permaisuri) itu serta
pengikutnya dengan membawa segala harta benda dan pembendaraan suaminya, telah lari ke
Aceh dan menderikan negeri baru, yang kemudian disusul atau dicari oleh abangnya putera
Harsha. Tetapi puetri itu tidak mau pulang kembali kenegerinya semula, karena dirasanya lebih
sentosa dinegeri yang baru: yang mungkin negeri baru yang didirikan oleh bekas Permaisuri itu
ialah Indrapuri, karena dekat Indrapuri ada perkampungan orang Hindu yang disebut Tanoh
Abee sekarang. Maka Harsha sesudah diketahui adiknya telah berkedudukan baik, lalu pulang
kenegerinya dan sampai disana barulah ia mau ditabalkan menjadi Raja dengan gelar Maharaja
Diraja Seri Harsha (606-647).
Maka setelah itu pula menurut cerita Hindustan, baru didirikan candi Borobudur
Parambanan di pulau Jawa kira-kira tahun 700 M. Oleh karena pulau Sumatera letaknya lebih
dekat ke Teluk Persi dan Benggala atau ke India Muka dan India Belakang dari pada pulau Jawa.
Maka dapatlah dikatakan bahwa pulau Sumatera atau Aceh memperoleh tamu asing itu lebih
dahulu dari pada pulau Jawa.
Mungkin pengaruh Hindu purbakala itu bisa disebut Hindu Imigrasi (Nomanden) atau
Hindu mengungsi. Karena orang banyak mengingat akan orang-orang berpindah dengan cara
besar-besaran mengambil jalan dari pesisir kepedalaman, dari kuala-kuala: Pidie, Meureudu dan
Samalanga. Barangkali juga dari daerah Pasai berlalu kedaerah-daerah kepegunungannya melalui
kuala-kuala: Piada, Pasai, Junda, Jangka dan dari Aceh Besar. Orang-orang Hindu itu tinggal dan
seterusnya dalam pekerjaannya bertani, berternak yang menghasilkan juga minyak sapai yaitu: di
Tanah Abee, Panja dan Janthoe, mereka berserak-serak di lembah Aceh Besar. Orang-orang
Hindu dan Batak/Karo mereka ini tahu menempatkan dan menyusuaikan dirinya dengan
Bumiputera asli, sehingga mereka itu tunduk kepada lembaga dan rukun kampung itu. karena itu
generasinya termasuk menjadi warga kampung itu yang mendapat haknya serupa dengan
pribumi asli.
Pada mulanya sebahagian dari negeri atau daerah, diperintahi langsung oleh kepala atau
Merah (Raja) nya. Sementara sebahagian lain-lain diperintahkan oleh wakilnya. Begitu juga
dengan kekuasaan yang merupai Kerajaan Hindu kecil yang terdapat disetempat-setempat.
Tidaklah disangsikan lagi bahwa disana-sini ada terdapat tempat yang dipengaruhi oleh
pemerintah Hindu dengan membangun kebudayaannya. Terbukti tulisan-tulisan pada batu-batu
dan kuburan-kuburan yang didapati orang di Tanoh Abee hulu sagi XXII mukim dan reueng-
reueng didaerah Aceh Besar. Menurut cerita orang Aceh tentang riwayat seorang Raja Hindu
yang bernama Rawana yang berkedudukan di Indrapuri arti Kuta Raja, daerah mana
perbatasannya sampai ke laut. Mythe itu dapat dipelajari lebih mendalam dari nama-nama tempat
seperti nama kampung Panja diatas Seulimeuem, Indrapurwa dimana sungai Nejid atau Kuala
Pancu dan Indraputera diatas Lam Nga dekat Kuala Gigieng. Di India ada nama negeri atau
kerajaan yang merupai nama-nama yang tersebut diatas.
Menurut keterangan seorang Thabib India yang bernama Fahruddin yang dipelajari dari kitab-
kitab kuno India/Hindu. Indrapuri dahulu kota kota dari seorang Raja Perempuan (Ratu). Disatu
masa ada datang satu khalifah orang Hindu keturunan Dasarata tinggal disitu. Khalifah ini akan
mendirikan candi disitu untuk mengembangkan agama Budha, tetapi disanggah keras oleh anak
negeri itu. Khalifah itu kemudian berangkat kebahagian Sumatera Barat dan sampai disana
dilihatnya satu tempat padang rumput yang luas disana akan ditempati oleh khalifah itu, tetapi
tidak diterima oleh penghuni negeri itu dan karena itu, negeri itu ditinggalkan, maka negeri itu
diberi nama Padang, itulah negeri Padang sekarang. Berangkat dari situ khalifah itu singgah
ditempat lain, disana mendapat tempat dan mendirikan satu kota yang bernama Indrapura:
artinya kota raja laki-laki yang bertandingan dengan nama Indrapuri. Dalam pantun Aceh ada
disebut satu semboyan: Si Indrapura Si Indrapuri, mate dilaut Sulingdong hari, seubab mate si
Indrapura karena ija Si Indrapuri. Kalau kita fahamkan istilah pantun itu, yakni anak Raja dari
Khlifah itu telah ada perhubungan cinta dengan Ratu puteri di Indrapuri, tetapi anak negeri itu
tidak suka menerima lamaran itu dan dia diusir dari situ sehingga ia berangkat ketempat lain,
dimana ia lama-lama karena menanggung rindu ia mati dilaut. Pergeseran besar yang berikutnya
lagi yang bersifat sosial, terjadi dibahagian pertama dalam perluasan agama Islam ke India,
karena terjadi perang besar maka orang-orang Hindu telah menghindarkan diri pula ke Sumatera
Aceh dan seterusnya dalam akhir abad XI ± 1075 M, oleh Parsi/Arab agama dan kebudayaan
Islam telah mengalir didaerah Kerajaan Peureulak dan Pasei. Kemudian mengalir terus ke Pidie
yaitu meliputi negeri Meureudu, Ribee, sampai ke Padang Tiji sekalipun belum merata, hanya
setempat-setempat dan kemudian berulah pada permulaan abad ke 16 agama Islam resmi dipeluk
oleh orang diseluruh Aceh Besar.
Seri Sultan Ali Mughayat Syah menurut cerita orang-orang adalah Sultan Aceh Raja yang
pertama membentuk kerajaan. Islam memberikan santunan untuk itu. kelirulah jika ada orang
mengatakan bagwa lembah Aceh Besar dahulu ada sebagaimana sekarang ini, tetapi
penduduknya padat. Disamping Kerajaan Islam dimasa itu berada kerajaan atau kekuasaan
campuran dari suku Batak/Karo dan Hindu. Masing-masing mempunyai kepala yang merupai
pemerintahan, yang ditaklukkan kemudiannya oleh Seri Sultan Alaiddin Rajat Syah alqahar.
Tentang riwayat Aceh ini dapat diketahui orang dari sejarah pelajaran orang-orang Tionghoa,
Arab, Itali dan lebih jelas Portugis yang membikin riwayat perjalanannya dimasa dahulu kala dan
dari hal penduduk bumiputera dari XXV mukim menurut cerita-cerita orang, ada bercampur
darah dengan suku Batak/Karo asalnya. Batak Karee kata orang Aceh.
Seri Sultan Alaiddin Rajat Syah alqahar yang memegang kerajaan dari tahun 1537-1568
membagi golongan rakyatnya atas keasalannya yang dinamai Kaum atau Sukee. Orang-orang
Hindu yang datang, tampaknya membentuk 4 kesatuan dan berdiam di Tanoh Abeeh, Lam
Leu’ot, Panca, Montasik dan Lam Nga. Sebagai kaum dari mereka adalah Raja Raden tinggal di
Tanoh Abee.
Orang-orang yang berasal dari suku Batak atau Karo membentuk kaum Lhee Reutoih
(Kaum Tiga Ratus), dari suku Hindu Kling (dagang) kaum Imeum Peuet (Imam Empat) dan
orang-orang asing lain: Arab, Parsi, Turki dll, dari sana-sini datangnya membentuk kaum Tok
Batee (Cukup Batu). Keluarga Sultan sendiri termasuk dalam suku Tok Batee. Kemudian barulah
terjadi kaum Ija Sandang yang berasal dari campuran (peranakan) suku Hindu dan Batak Karee.
Pengiut-pengikutnya memeluk agama Islam, dikepalai oleh 4 orang (penglima kaum) yang
bergelar Imam. Imam-imam ini yang menjadi penanggung jawab dari 4 kaum itu, yang pada
akhir abad XIX masih juga terdapat di Aceh Besar. Dalam pantun Aceh ada disebut:
Kaum Lhee Reutoih ban aneuk drang,
Kaum Ija Sandang jeura haleba,
Kaum tok batee bacut-bacut,
Kaum Imeum Peuet yang gok-gok donya.
Artinya:
a. Kaum tiga ratus, sebagai biji drang yang semacam pohong kacang tanah, tumbuhnya setalah
musim memotong padi, matilah segala jerami, maka tumbahlah sendiri pohong-pohon drang
itu dengan suburna, buahnya diatas seperti kacang hijau, tetapi bijina lebih halus.
b. Kaum ija sandang, sebagai jeura haleba, haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini bahan
pemasak kari guna menghilangkan bau hanyir pada daging dan ikan. Biji ini lebih besar
sedikit dari biji drang
c. Kaum tok batee, bacut-bacut yakni Cuma sedikit saja.
d. Kaum Imeum Peuet, yang gok-gok donya. Gogok = guncang, maknanya: Kaum ini
berpengaruh besar dan memegang peranan penting dalam pemerintahan.
Jadi Imeum Peuet adalah kaum yang berpengaruh terbesar. Sesudah kaum ini, maka kaum
tiga ratuslah yang dapat dipandang besar dan alasannya maka terbentuk kaum itu adalah sebagai
berikut:
Orang-orang suku Hindu dan Batak atau Karo bersengketa karena suatu peristiwa zina. 300
orang suku Batak atau Karo berhadapan dengan 400 orang suku Hindu, hendak
menyelenggarakannya persengketaan itu dengan mengangkat senjata. Guna menghindari perang
saudara ini, maka mereka itu memperoleh kata sepakat, bahwa orang yang bersalah itu dibawa
kesatu arena (tanah lapang) disana akan dilakukan hukum adat, tetapi kemudian dapat
dibebaskan. Bila ia, diwaktu dilakukan tuntutan untuk membunuhnya, dapat melarikan dirinya
kesalah satu kaum yang berada disekitar arena itu, yang kelak dapat menempatkannya dalam
perkauman mereka. Hal ini terjadilah sehingga kedua kaum yang dimaksud bersetia tolong
menolong melindungi yang bersalah itu.
Sejak waktu inilah orang-orang suku Batak atau Karo disebut Kaum Tiga Ratus dan orang-
orang suku Hindu yang menjadi Kaum Empat Ratus. Sukee Tok Bate terbentuk dari orang-orang
suku lain: Arab, Parsi, Turk, Habsyi, Kling dan sebagainya yang berturut-tutut diam di Aceh.
Tentang terjadinya pun ada suatu cerita pula yaitu: Sewaktu Sultan Alaiddin Rajat Syah Alqahar
membangunkan sebuah istana, maka dikerahkan Baginda rakyatnya berseraja membawa batu-
batu untuk keperluan itu. orang-orang bangsa asing turut juga melakukan pekerjaan itu dan
mereka ini yang lebih giat bekerja dan lekas mencukupi batu untuk keperluan pembangunan
istana itu. sesudah batu-batu penghabisan dibawa oleh orang-orang asing ini, maka Sultan
bertitah supaya menghentikan pekerjaan itu, disebabkan batu sudah cukup (tok batee). Sejak
waktu itulah orang-orang yang berasal dari bangsa asing digelarkan kaum Tok Batee.
Sultan dan famile asalnya pun dari orang-orang diluar Aceh, umumnya dari orang-orang Parsi,
Arab, Melayu dan Bugis, yang mempunyai pengetahuan memerintah secara Islam dan
terpandang karena pergaulan dan kebijaksanaannya. Dalam sejarah Melayu ada juga turunan
Raja Aceh yang datang dari Jempa, Kamboja. Jadi raja dan keluarganya termasuk dalam kaum
Tok Batee.
Jikalau cerita orang dapat dipercaya, maka kaum ija sandang ada kemungkinan berasal dari
seorang Raja Batak datangnya dari XXII mukim, kampung Lam Panaih, Laweueng, Kale, dan
Pandei, dipesisir Selat Malaka. Nama gelarnya diperolehnya dari seorang Sultan Aceh, karena ia
mempersembahkan kepada Sultannya setiap tahun satu bambu yang berisikan tuak yang
disandang dibahunya dengan seutas tali. Kaum-kaum ija sandang, lhee reutoih, dan tok batee
untuk dapat mengimbangi kaum 400 selalu bersatu. Setiap kampung atau mukim biasanya
dijumpai orang-orang yang berasal dari berbagai kaum, tetapi selamanya dikuasai oleh kaum
yang orangnya banyak menjadi penduduknya.
Mereka yang terikat dalam satu kaum, berada dibawah kuasa dari atau satu kepala-famili
yang bergelar Panglima Kaum. Kaum adalah sekeluarganya yang dinamai juga aneuk sukee
(anak suku). Dalam pemerintahan yang dahulu-dahulu ada juga terjadi pertumpahan-darah yang
dipersengketakan antara kaum 300 dengan kaum 400. Manakala terjadi persengketaan ini, maka
masing-masing anak kau mencari kaumnya dengan melupakan tali-famili. Dimasa yang begini
rupa, maka perkawinan antara kaum-kaum dimaksud tidaklah dilakukan orang. Dalam masa
peperangan Aceh dengan Portugis dan sampai kepada Belanda segala kaum-kaum itu bersatu
padu dan melupakan peselisihan sesamanya untuk kepentingan negara.
Dalam suatu riwayat tersebut, setelah mangkat Sultan Iskandar Tsani, permaisurinya Seri
Alam diangkat menjadi Sultanah (Ratu) yang bergelar Tajul Alam Safiatuddin Syah. Orang
Belanda berusaha kekuasaan Aceh lumpuh dan diharapnya supaya Aceh jatuh dalam pengaruh
Kerajaan Johor. Oleh sebab itu disuruhnya Sultan Johor Sultan Abdul Jalil Ra’jat Syah III
meminang Ratu Safiatuddin, yang mana orang Belanda serta orang-orang Besar dari Johor yang
disertai oleh seorang Nyonya Belanda datang ke Aceh buat menghantar tanda perkawinan. Ratu
serta beberapa orang-orang besar telah lebih dahulu menyetujui pertunangan itu. akan tetapi
keempat kaum itu sepakat menolak perkawinan Raja Johor dengan Ratu Aceh, karena mereka itu
menaruh dendam dan sadar atas segala kesalahan dan pelanggaran janji Raja-raja Johor dengan
Raja-raja Aceh yang telah lalu semenjak Sultan Mansyur Syah dan Sultan Iskandar Muda.
Karena penolakan ini, utusan-utusan dari Johor pulang dengan tangan hampa dan karena ini
malulah Raja Johor. Maka untuk penutup malu Raja Johor, ditutupnya negeri Aru diberikan
kepada Kerajaan Johor dan negeri ini dengan sepakat dibiarkan diserahkan dulu buat sementara
kepada Johor sebagai penebus malu. Berhubung dengan riwayat-riwayat yang diatas ini,
ternyatalah bahwa kaum-kaum itu senantiasa atau telah membentuk dasar yang kuat dari bangsa
Aceh dan suatu penyelesaiannya tidak mudah, jika mereka itu tidak didengar atau bekerja sama
sampai tercapai keputusannya.
Beberapa Budaya Aceh Dalam Pengaruh Hindu:
Perayaan Rabu Abeh Di Barat-Selatan Aceh
Dalam tradisi masyarakat di pesisir Barat-Selatan Aceh, perayaan Uroe Rabu Abeeh atau
perayaan “tulak bala” dilakukan setiap tahun pada akhir bulan Safar. Uroe Rabu Abeeh biasanya
dilaksanakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar. Bulan safar adalah salah satu bulan di
dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu
serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia
menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut
sebagai “bulan panas” atau “buleun seuum”.
Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan
“turun bala” dari sang pencipta ke bumi. Dalam kajian empiris, menunjukkan bahwa selama
bulan safar belakangan ini, di beberapa daerah khususnya Aceh telah diklaim menjadi salah satu
daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Belum lagi berbagai gejala alam yang sangat
sulit diprediksi, namun ditenggarai sebagai pengaruh global warming yang memicu semakin
seringnya terjadi disharmonisasi alam seperti kebakaran hutan, lahan gambut, dan fenomena
semakin sering muncul semburan lumpur panas seperti yang terjadi di Meulaboh dan
peningkatan suhu di beberapa ruangan di Rumah Sakit Umum Aceh Barat Daya. Hal ini
memberi sinyal, seolah-olah bumi Aceh semakin membara dalam peningkatan intensitas
“marabahaya” akibat kerusakan alam.
Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempo doeloe,
bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi
untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang
dirayakan pada akhir bulan ini. Prosesi “tulak bala” pada masa lalu dilakukan dengan cara
upacara berdoa bersama-sama baik di meunasah, dayah, sungai, pantai, ataupun pemandian
dengan dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang
relevan dengan tolak bala. Pada akhir prosesi Tulak Bala dilakukan doa bersama, kemudian
kenduri berupa makan bersama-sama dari “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa
dari rumah masing-masing. Setelah itu dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian dari
flora yang terdapat di lingkungan mereka. Mereka bersama-sama dengan keluarga atau kerabat
melakukan mandi bersama sebagai simbolisasi pembersihan diri dari “wujud bala”yang datang
dengan membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis dengan “membersihkannya” dari
tubuh dan jiwa ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian.
Pada tataran kontemporer, Uroe Rabu Abeeh atau tolak bala tidak lagi bermakna sakral
namun sudah berwujud provan sebagai salah satu sarana peningkatan kesadaran rekreasi pada
tataran lokal, terutama meningkatnya daya tarik wisatawan lokal terhadap tempat-tempat rekreasi
yang ada di sana seperti Kreung Seumayam, Kreung Babah Rot, Ceuraceu Kuala Batee, pantai
Lama Tuha, Pantai Cemara Indah, Pantai Jilbab, Pantai Bali, Krueng Beukah, Ujong Tanoh,
Ujong Pasi Manggeng sampai Krueng Baru.
Dari pemahaman di atas, dapat disimpulkan prosesi uroe rabu abeeh atau tulak bala sudah
mengalami diaspora dari aura religiusitas ke provan. Di mana saat ini tolak bala dan uroe rabu
abeeh di pesisir Barat-Selatan Aceh telah bergeser menjadi ajang untuk berhura-hura dengan
pacar atau sesama saudara atau tetangga sambil berdiwana dengan motif yang berbeda-beda dari
esensi kedalaman pemaknaan dari tulak bala itu sendiri.
Pada tataran perayaan uroe rabu abeeh saat ini, WH di Barat-Selatan Aceh harus bekerja
ektra dan bertindak preventif untuk mengontrol pendiwana, dalam mengaplikasi syariat Islam
dengan meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan korban lainnya. Preventivikasi ini harus
ditegakkan, namun kebebasan yang tidak “keblablasan” juga harus diberi ruang bagi publik agar
mereka tidak merasa diintipi, dibebani dengan rasa takut yang tak terperi untuk mengunjungi
objek-objek terindah yang dimiliki karena apapun alasannya semua manusia merindukan
keindahan namun yang paling penting adalah terciptanya nilai kedamaian di dalam masyarakat.

Kenduri Laot
Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di
Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya
berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima Laot di
Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana
mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek
moyang).
Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut
sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa
karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman
dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke
pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah
Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai
sekarang.
Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan
berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan
wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat
nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan
dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan
setempat.
Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai
kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya
sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga
menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini
dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga
warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk
sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut
sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap
berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki
perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual
didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah
sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus
membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai
dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh
teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari)
kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan
shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.

Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama tujuh hari setiap
sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya kerbau menyusuri bibir pantai
wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak mengherankan selama tujuh hari sebelum acara
kenduri laot dilaksanakan, pantai selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.

Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging
kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima
laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan
ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak
dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula.
Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji
berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam
perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan. Setelah kira-kira sampai
ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji
yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat
Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.

Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan, anak-anak yatim
serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi petunjuk-petunjuk berkenaan dengan
pantangan-pantangan melaut. Pantangan turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan
sebagai suatu hukum adat yang mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti
dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak
dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat
Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul
08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama
tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan
yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai
penguburan.

Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua atau ulama dan
pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya adalah petuah-petuah menyangkut
kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah
panglima laot dan juga pejabat-pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya
selesai pula acara kenduri laot.

3.3 Upacacara Peusijuk


A. Konsep Peusijuek Pada Masyarakat Aceh

Pada masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat telah memberikan tempat yang
istimewa dalam perilaku sosial dan agama. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan “Hukom ngon
Adat Hanjeut cre Lagee zat Ngon Sifeut”. artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat
dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat dengan sifatnya. Diumpamakan seperti kuku dengan
daging, sehingga kaidah Islam sudah merupakan bagian daripada adat.

Akan tetapi adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam sebelumnya banyak terdapat pengaruh
Hindu. Hal ini terlukiskan pada zaman dahulu tatkala Aceh sebagai tempat persinggahan lalu
lintas pelayaran internasional, dalam rangka hubungan perdagangan bahkan ada yang sampai
menetap di Aceh.

Masuknya pengaruh Hindu ke dalam kebudayaan dan adat istadat Aceh, disebabkan karena
pernah terjadi suatu hubungan yang luas antara Aceh dan India pada masa lampau. Sehingga ada
beberapa kepercayaan dari masyarakat Aceh seperti peusijuek (tepung tawari), upacara boh gaca,
(memberi inai), kanduri blang, (syukuran ke sawah), upacara peutron aneuk (turun anak) dan
lain-lain dianggap bagian dari unsur budaya Hindu yang tidak pernah luntur dalam kehidupan
masyarakat Aceh saat ini. Namun sejak masuknya Islam ke bumi Serambi Mekkah, upacara /
kepercayaan tersebut telah disesuaikan dengan nuansa keIslaman. Segala sesuatu pekerjaan
dimulai dengan bismillah dan doa selamat serta shalawat Nabi.

Upacara Peusijuek disebut juga tepung tawari. Pada masyarakat Aceh upacara ini dianggap
upacara tradisional simbolik dari permohonan keselamatan, ketentraman, kebahagiaan, perestuan
dan saling memaafkan. Hampir sebahagian adat Aceh adanya prosesi upacara peusijuek. Seperti
upacara perkawinan, sunat rasul, peusijuek meulangga (perselisihan), peusijuek pada bijeh
(tanam padi), peusijuek tempat tinggai (rumah baru), peusijuek peudong rumoh (membangun
rumah), peusijuek keurubeuen (hari raya kurban), aqiqah anak, peusijuek kenderaan (roda dua
dan empat), peusijuek jak haji (naik haji), peusijuek puduk batee jeurat (pemasangan batu nisan
bagi yang telah meninggal). Peusijuek Juga di lakukan tatkala adanya pergantian seorang
pemimpin dari perangkat desa sampai gubernur bahkan setiap ada tamu kebesaran daerah juga
adanya prosesi upacara peusijuek.

Biasanya dalam pelaksanaan upacara peusijuek dihadirkan seorang Tengku (ulama) atau atau
orang yang dituakan (Majelis adat) sebagai pemimpin upacara. Hal ini dilakukan karena
dianggap peusijuek yang dilakukan salah satu unsur tersebut memperoleh keberkatan dan setelah
selesai upacara peusijuek adakalanya diiringi dengan doa bersama yang dipimpin oleh Tengku
untuk mendapat berkah dan rahmat dari Allah SWT.

B. Macam-Macam Upacara Peusijuek

1. Peusijuk Meulangga

Apabila terjadi perselisihan di antara penduduk, misalnya antara A dan B ataupun antara
penduduk gampong (desa) A dengan penduduk gampong B serta perselisihan ini mengakibatkan
keluar darah, maka setelah diadakan perdamaian dilakukan pula peusijuek. Peusijuek ini sering
disebut dengan peusijuek meulangga. Pada upacara itu juga sering diberikan uang, yang disebut
sayam (uang damai) yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perselisihan terjadi seperti
tersebut di atas, tetapi tidak mengeluarkan darah, misalnya perkelahian, perdamaian dan upacara
peusijuek dilakukan juga, tetapi tidak diberikan uang.
Pada peusijuek Meulangga alat-alat yang dibutuhkan seperti dalong, bu leukat, teumpo / u mirah,
breueh pade, on sisijeuk, on manoe, naleueng sambo (ketiga-tiga diikat menjadi satu), teupong
taweue, glok / cuerana, sangee dan ija puteh. (jika mengeluarkan darah). Biasanya apabila
mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak, ikatan keluarga yang terjadi perselisihan
akan menjadi kuat bahkan telah dianggap sebagai sanak saudara.

2. Peusijuek Pade Bijeh

Acara peusijuek pade bijeh ini dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan benih
(bibit) sebelum penyemaian di sawah. Tujuan daripada peusijuek ini mengandung harapan agar
bibit yang akan ditanam mendapat rakhmat Allah SWT, subur dan berbuah banyak.

Perangkat alat dan bahan yang digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah : on gaca, bak
pineung, on kunyet, on nilam, on birah, naleueng sambo, sira, saka, boh kuyuen dan minyeuk
ata. Peranannya adalah sebagai berikut :

a. On gaca (daun pacar), sifatnya tahan panas dan tahan dari segala penyakit, sedangkan
maknanya adalah agar benih padi yang akan ditanami kuat dan tahan dari segala gangguan hama,
seperti halnya daun pacara tersebut.
b. Bak pineueng (phon pinang), sifat asalnya tumbuh tegak dan kuat. Maknanya ialah agar benih
padi tersebut akan tumbuh tegak dan kuat seperti halnya pohon pinang.
c. On kunyet (daun kunyit), sifat asalnya tahan dari penyakit. Warnanya kuning dan buahnya
bersih, maknanya ialah agar benih padi tersebut tahan dari segala serangan penyakit dan tumbuh
subur seperti kunyit.
d. On nilam (daun nilam), sifat asalnya apabila dibuat minyaknya harum sehingga orang banyak
yang senang. Maknanya ialah agar padi tersebut memiliki bentuk daun nilam, buah padinya
tumbuh subur.
e. On birah (daun keladi), daunnya yang berwarna hijau dan tahan hujan, maknanya agar benih
padi yang akan ditanam menjadi seperti daun keladi tersebut dan tahan dari gangguan hama.
f. On naleueng sambo (daun rumput panjang), sifatnya kokoh dan teguh, akarnya kuat, sehingga
tahan dari segala penyakit. Maknanya agar benih padi tersebut memiliki daya tahan dari
gangguan serangan penyakit.
g. Sira (garam). Sifat sira adalah asin dan dapat menghancurkan bibit penyakit. Maknanya adalah
agar benih padi yang disemai memiliki sifat seperti garam, yaitu dapat menghancurkan penyakit
yang hinggap pada padi, sehingga tumbuh dengan subur.
h. Saka (gula). Sifat saka adalah manis. Maknanya adalah agar padi yang akan disemai dapat
memberikan manfaat bagi orang yang menyemainya.
i. Boh kuyuen (jeruk nipis) ; minyeuk ata (minyak wangi) dicampurkan dengan air putih
sehingga menjadi harum. Maknanya ialah benih padi itu diibaratkan sebagai bayi yang baru
lahir, memerlukan wangi-wangian. Orang-orang yang menciumnya akan merasa senang dan
segar. Demikian juga halnya dengan benih padi yang diperlakukan seperti bayi, supaya tumbuh
subur dan banyak orang yang senang melihatnya.
j. Asap keumeunyan (kemenyan), dibakar ketika padi menjelang direndam. Maknanya adalah
agar padi dapat hidup dengan leluasa dan sempurna serta cepat berbuah.

3. Peusijuk Tempat Tinggai

Setiap orang yang mendiami rumah baru, kebiasaannya dilakukan upacara peusijuek.
Pelaksanaannya oleh beberapa orang terdiri dari tiga, lima orang dan seterusnya dalam jumlah
ganjil. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil berkah agar yang tinggal di tempat ini
mendapat ridha Allah mudah rezeki dan selalu dalam keadaan sehat wal'afiat. Pada upacara ini
alat-alat yang digunakan adalah ; dalong, bu leukat, tumpo / u mirah, breueh pade, on sisijuek, on
manek manoe, naleueng sambo (ketiga yang terakhir di ikat menjadi satu), glok dan sangee.

4. Peusijuk Peudong Rumoh

Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, kegiatan membangun
rumah selalu dipilih pada hari baik. Demikian juga dalam memilih bahan-bahan rumah yang
dianggap baik. Selanjutnya, membangun rumah atau sering disebut peudong rumoh diawali
dengan upacara peusijuek. Yang di peusijuek biasanya adalah tameh (tiang) raja, dan tameh
putroe serta tukang yang mengerjakannya (utoh) agar ia diberkati oleh Allah SWT. Adapun
bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara peusijuek ini adalah : dalong, bu leukat, breueh
pade, teupong taweue, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, ija puteh dan ija mirah,
glok dan sangge.

5. Peusijuk Keurubeuen

Bagi orang Islam yang mampu, sering memberikan kurban pada hari raya sesuai dengan hukum
agama. Seekor hewan kecil (kambing atau domba) cukup untuk korban bagi seorang, sedangkan
tujuh orang secara bersama-sama memberi korban seekor hewan besar (sapi). Perangkat yang
digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah sebagai berikut : dalong, boh manok meuntah,
teupong taweue, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, minyeuk ata,
suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu (lipstik), boh kayee (buah-buahan), tirai
peunahan matahari, dan ija puteh (kain putih). Semua bahan, termasuk alat-alat adalah untuk
merapikan tubuh domba oleh penyembelih (jagal) dipakai menurut kegunaannya masing-masing.

Menurut keyakinan masyarakat Aceh, bahan-bahan tambahan yang dipersiapkan untuk peusijuek
tersebut seperti minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu, boh kayee,
tirai peunahan matahari, dan ija puteh. Mempunyai makna dan fungsi di hari akhirat kelak. Di
mana hewan yang diperuntukkan untuk korban tadi nantinya akan menjadi kenderaan di hari
akhirat kelak dan fungsi dari bahan-bahan tersebut sebagai hiasan kenderaan.

6. Peusijuk Kendaraan

Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan
peusijuek. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan.
Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang.

C. Perlengkapan Upacara Peusijuek


Adapun perlengkapan pada acara Peusijuek sebagai berikut:

1. Dalong

Pada masyarakat Aceh, dalong mengandung makna bahwa mempelai yang dilepaskan akan tetap
masih bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkannya. Karena dalong merupakan satu
wadah yang diisi dengan bermacam-macam alat peusijuek sehingga dianggap memiliki
kebersamaan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan.

2. Bu Leukat

Warnanya kuning ataupun putih. Makna dari ketan ini adalah mengandung zat perekat, sehingga
jiwa raga yang di peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok
masyarakatnya. Warna kuning dari ketan merupakan lambang kejayaan dan kemakmuran,
sedangkan warna putih melambangkan suci dan bersih. Maksudnya supaya yang di peusijuek
dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain dan yang di peusijuek dalam ketentraman
menuju jalan yang benar.

3. U mirah

Makna dari U mirah adalah sebagai pelengkap dalam kehidupan dan memberikan perpaduan
yang manis.

4. Breueh pade

Maknanya adalah sifat padi itu semakin berisi makin merunduk, maka diharapkan bagi yang di
peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan dan peranan beras ialah sebagai
makanan pokok masyarakat.

5. Teupong Taweue ngon ie


Makna dari pada teupong taweue dan air adalah untuk mendinginkan dan membersihkan yang di
peusijuek supaya tidak akan terjadi hal-hal yang di larang oleh agama melainkan mengikuti apa
yang telah ditunjukkan yang benar oleh agama.

6. On sisikuek, manek manoe dan naleueng sambo

Ketiga jenis perangkat ini di ikat dengan kokoh menjadi satu, yang peranannya sebagai alat
untuk memercikkan air tepung tawar. Makna tali pengikat dari semua perangkat tersebut untuk
mempersatukan yang di peusijuek sehingga dapat bersahabat dengan siapapun dan selalu terjalin
hubungan yang harmonis dan terbina. Sedangkan dari masing-masing perangkat dedaunan
merupakan obat penawar dalam menjalankan bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan
dengan bermusyawarah dan berkepala dingin, bertanggung jawab dengan sepenuhnya dan dapat
menjalin hubungan yang erat dengan siapapun.

7. Glok

Peranannya sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang sudah dicampur dengan air dan yang
satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi beras dan padi. Maknanya adalah jika yang di
peusijuek tersebut melakukan aktivitas sebaiknya hasil yang didapatkan disimpan dengan sebaik-
baiknya.

8. Sangee

Berperan untuk menutup perlengkapan alat-alat tepung tawar. Maknanya untuk mengharap
perlindungan supaya yang di peusijuek mendapat lindungan dari Allah SWT
.
D. Peusijuek Saat Ini

Pasca gempa dan tsunami banyak adat Aceh yang terlupakan, budaya luar begitu cepat merambat
ke pelosok desa. Hal ini terlihat jelas dari pergaulan kehidupan sehari-hari masyarakat. Belum
lagi dengan kehidupan kota yang memang sudah memudar akan pelaksanan adat. Namun pada
saat ini di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat dalam bentuk upacara Peusijuek tetap masih
terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Meskipun ada beberapa pelaksanaan
peusijuek yang sudah tidak dipakai lagi khususnya pada masyarakat perkotaan. Seperti di kota
peusijuek meulangga (perselisihan) sudah tidak ada lagi karena semua urusan perselisihan akan
diselesaikan oleh aparatur hukum lain dengan peusijuek pade bijeh (tanam padi) di mana kota
sudah tidak ada lagi lahan untuk menanam padi. Lain lagi dengan peusijuek peudong rumoh
(membangun rumah) salah satu yang terlupakan, mengingat Aceh dilanda gempa dan tsunami
sehingga setiap pembangunan rumah bantuan tidak ada lagi prosesi upacara peusijuek.

Dan yang terakhir peusijuek keurubeuen di mana adanya penerapan sistem kurban yang
pelaksanaan, penyembelihan dan pembagian daging diserahkan pada panitia dan kadang-kadang
pemilih tidak hadir pada saat itu sehingga adat upacara peusijuek ditinggalkan.

3.4 Upacara Peucicap


Masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri dalam memperlakukan anak yang baru lahir. Adat
peucicap dan peutron bak tanoh salah satunya. Adat peucicap ini biasanya dilakukan pada hari
ketujuh bayi lahir, yang disertai dengan cuko ok (cukur rambut) dan pemberian nama terhadap si
bayi. Acara peucicap dilakukan dengan cara mengoles madu pada bibir bayi disertai dengan doa
dan pengharapan dengan kata-kata agar si bayi kelak tumbuh menjadi anak yang saleh, berbakti
kepada kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa.

Selama 44 hari sejak lahir, ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan. Ia harus tetap
berada di kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum yang
banyak, nasi yang dimakan juga tanpa gulai dan lauk pauk. Begitu juga dengan makanan yang
peda-pedas sangat dilarang. Selama pantangan tersebut ibu bayi selalu dihangatkan dengan bara
api yang terus menerus di samping atau dibawah ranjang tidurnya. Masa pantangan inu disebut
madeung.

Untuk menjaga badan dan perut si ibu yang baru melahirkan tidak melar dan agar tetap langsing,
dilakukan cara tradisonal yakni dengan toet bateei (memanasi batu). Batu dibakar lalu di balut
dengan kain dan diletakkan di perut wanita yang baru melahirkan. Rasa hangat atau panas dari
batu tersebut akan membakar lemak sehingga tubuh wanita yang baru melahirkan tersebut
setelah menjalani masa pantangan akan tetap langsing.

Setelah masa madeung selesai, ibu bayi akan dimandikan oleh bidan yang merawatnya dengan
air yang dicampur irisan boh kruet (limau perut). Acara mandi ini disebut manoe peut ploh peut,
yang bermakna mandi setelah 44 hari menjalani masa madeueng. Pada hari ini mertuanya akan
datang membawakan nasi pulut kuning, ayam panggang, dan bahan-bahan untuk peusijuek ro
darah (keluar darah) menantunya pada saat melahirkan.

Setelah upacara itu selesai, kepada bidan yang merawat ibu hamil tersebut diberikan hadiah
berupa: pakaian satu salin, uang ala kadar, uang penebus cincin suasa, beras dua bambu, padi dua
bambu, pulut kuning, ayam panggang, dan seekor ayam hidup. Setelah itu selesaikan kewajiban
bidan dan tanggung jawab terhadap ibu hamil tersebut.

Setelah masa 44 hari ibunya menjalani madeueng, bayi akan diturunkan untuk menginjang tanah
pertama kalinya. Prosesi adat ini disebut peutron bak tanoh. Ada juga yang melakukannya
dengan mengadakan pesta besar-besaran untuk, apalagi pada kelahiran anak pertama.

Pada upacara adat ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai maupun
budi pekertinya. Orang yang mengendongnya memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu bayi
diturunkan dari tangga dipayungi dengan selembar kain yang dipegang oleh empat orang pada
setiap sisi kain. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi menjadi pemberani. Suara saat
batok kelapa dibelah ditamsilkan sebagai suara petir, si bayi nantinya tidak takut terhadap petir
dan berbagai tantangan hidup lainnya. Ia akan menjadi seorang anak yang ceubeh dan beuhe
(gagah berani).

Belahan kelapada tadi sebelah akan dilemparkan ke arah para wali si bayi, sebelah lagi kepada
karong. Wali merupakan saudara dari pihak ayah si bayi, sedangkan karong saudara dari pihak
ibu. Setelah itu salah seorang anggota keluarga bergegas menyapu halaman dan yang lain
menampi beras bila bayi yang diturunkan ke tanah perempuan.
Sedangkan bila bayi laki-laki, keluarga tadi akan mencangkul tanah, mencencang batang pisang
atau batang tebu. Perlakuan ini sebagai maksud agar si bayi kelak menjadi anak yang rajin dan
giat berusaha. Setelah itu bayi akan di jejakkan ke tanah, kakinya menyentuh tanah untuk
pertama kali, lalu digendong dibawa berkeliling rumah atau mesjid. Setelah itu baru dibawa
pulang kembali ke rumah.

3.5 Kenduri Blang


Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika
padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan
maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.
Diawali dari keinginan mengangkat adat budaya kenduri turun ke sawah yang secara turun
temurun dilakukan, kenduri blang di Aceh Tamiang masih dilaksanakan hingga sekarang. Adat
turun ke sawah ini merupakan tradisi bagi petani yang akan memulai menanam padi.

Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang
harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu
dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang. Tulisan ini
memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang.
Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di Kampong
Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah
satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.

Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi
ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan
dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri oleh
kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan
pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus atau bu
kulah.

Dalam tatacaranya, penyembelihan ayam tersebut harus di sawah. Menurut keyakinan


masyarakat di sana, hal itu dilakukan sebagai isyarat darah ayam agar petani selamat dari alat-
alat yang tajam seperti cangkul, tajak, babat, dan lain sebagainya. Dalam kenduri blang itu juga
dilakukan baca yaasin sekali tamat dan doa semoga tanaman padi tahun ini berkat hingga dapat
dizakatkan.

Usai pembacaan yaasin dan doa bersama, dilakukan tepung tawar pada bibit dan alat-alat tani.
Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan sebagai
peusijuek antara lain (1) berteh (padi yang digongseng hingga mengembang) digunakan supaya
ringan padi keluar, (2) sebutir telur ayam kampong, ini dipercaya sebagai kepala obat, (3) seikat
daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.

Jika padi sudah tumbuh dara, petani berkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini
dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun,
sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah bunting (mulai
berisi), biasanya juga diadakanlah kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan
doa.

Menurut kisah orang-orang kampung di sini, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan
masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai
seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam
makanan asam-asam. Maka rujak jadi pilihan.

Jika dilihat sekarang, hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan
hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani
menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan
daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu ditancapkan di tengah-tengan sawah. Hal ini
dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan lain sebagainya. Menurut
kepercayaan masyarakat, bau daun-daun tersebut menyengat sehingga ulat, tikus, dan hama
lainnya tidak berani mendekat.

Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat,
hari Rabu Terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Selain itu, di sawah juga
dilarang berbicara takabur.

Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain: pertama, mengetahui berapa
banyak kelompok penanam padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua,
mengadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga mengadakan peraturan pantangan-
pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani tetap menjaga pantangan-pantangan
secara kebersamaan. Keempat, mengadakan peraturan pananaman, hal ini dilakukan untuk
menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menanam padinya. Apabila ada salah satu
petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan
ketinggalan panen, yang mengakibatkan padinya akan terserang hama lebih mudah.
Tata cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani adalah jika telah sampai waktu panen,
pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik.
Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang
ke rumah untuk diselipkan di atas atap. Setelah itu, baru padi dipanen semua. Jika hasil mencapai
100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan sebanyak 10 kaleng. Zakat itu dibagikan kepada fakir
miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tempat tinggal si petani.

A. Menjelang Turun ke Sawah

Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee
Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan
dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal
persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.

Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing
pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke
parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.

Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam
nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang
ada. Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh
pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya,
semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-
masing.

Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk
pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di
dalam tanah. Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki
fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan
sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering
menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya
dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.

Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu
menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi. Para petani sering dikarakteristikkan
sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam.
Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama
menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka.

Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk


lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih
luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di
tengah sebelum penanaman. Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang
dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam
pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi
petani. Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan
padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat
membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa
pulang.
Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap
menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini
adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti
dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses,
mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan
zakat bahkan hingga menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental
terasa di sawah dan terbawa pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.

B. Masa Padi Berbuah

Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika
batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi
ritual yang harus dijalankan. Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama.
Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk
melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi
mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim
untuk sekali waktu.

Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan
upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi
terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.

Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti
yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para
petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada
beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh
lahan si empunya hajatan.

Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai
memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat
para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan
bermanfaat.

Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan
rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas
membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan
keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.

C. Sesudah Masa Menuai

Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro.
Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para
petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut
dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh
berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus
mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dapat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah
SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar dan
membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.

Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak
yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai
suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini. Berbagi, kata ini
mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya
mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya
selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar
dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka
kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir
pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.

Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak
mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu,
petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan
Keuchik untuk menentukan waktunya.

Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat
saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan
berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang
datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu
makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat.
Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu
penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang
bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk
satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani
menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.

Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang
tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan
kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan
persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat
hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-
sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu
mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.

3.6 Upacara Membangun Rumah


Upacara adat adalah sejenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun yang
telah menjadi kebiasaan mereka. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam. Sebab di samping diadakannya do’a-do’a sesuai
menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan
terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap keramat.
Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama
dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak
mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah adat telah siap
untuk dihuni atau ditempati.

A. Upacara Pengambilan Bahan dari Hutan

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh
seperti tiang dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya
tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut. Dalam rangka
pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat.
Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong dengan mengundang sanak famili beserta
masyarakat. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti
sapi, kerbau, kambing dan sekurqang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada
pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan
yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut. Di
samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak lain adalah untuk lebih semaraknya
acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.

Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang berada
di darat maupun yang berada di laut terdapat semacam makhluk halus (roh-roh) yang menjaga
atau menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada di hutan. Untuk memasuki hutan dan
mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus
yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara untuk memperoleh
keizinan penguasa hutan tersebut adalah dengan cara menyembelih hewan korban.

Pertama kali kayu yang akan diangkut disatukan terlebih dulu kemudian diikat dengan rotan
guna ditarik beramai-ramai. Untuk mempermudah penarikannya diberi landasan berupa kayu
bulat sebanyak 2, 3 atau lebih. Setiap kayu landasan dipegang oleh seorang, apabila kayu yang
pertama telah lewat ditarik, maka kayu yang tertinggal tadi diambil dan diletakkan kembali di
depan kayu yang sedang ditarik itu. Apabila salah satu kayu landasan itu sangkut, maka
pemukulan canang yang dilakukan oleh wanita-wanita tadi harus diperkuat dan dipercepat serta
sorakan anak-anak menjadi lebih bergemuruh. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar
makhluk halus yang mungkin telah mencoba menghalangi pengangkutan kayu itu menjadi takut
dan lari. Selain itu, pemukulan canang dan sorakan itu juga bertujuan untuk memberikan
semangat kepada para penarik, dan juga agar mereka merasa malu jika bagian landasan yang
dipegangnya sering tersangkut.

Jumlah rotan (tali pengikat) biasanya bersesuaian dengan jumlah belah 4 (kampung) yang hadir,
sebab setiap belah memegang sebuah rotan pengikat. Jika jumlah belah yang hadir lebih banyak,
maka kayu-kayu tersebut dapat ditarik sampai dua atau tiga kayu sekaligus. Dalam hal ini tidak
dibenarkan menempati tali rotan yang telah dipegang oleh orang lain, karena hal tersebut bisa
menimbulkan bentrokan antar belah (kampung). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang raja
(reje) yang mengepalai belah secara keseluruhan.

Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie,
penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang
pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu
tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan
kayu untuk bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas
perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula
surutnya.

B. Upacara pada Saat Mendirikan Rumah

Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pendirian rumoh
Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama
dengan mengundang para ahli famili terdekat, karib kerabat beserta masyarakat sekitarnya.
Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk. Imam
Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada
Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baik dan
diharapkan dapat membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi para penghuninya.

Setelah selesai acara makan bersama dan pembacaan do’a, barulah orang yang hendak
mendirikan rumah tersdebut menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para undangan yang
hadir. Kemudian segala persoalan selanjutnya yang menyangkut tentang hari pelaksanaan
mendirikan rumah itu diserahkan kepada Kepala Desa atau “Keuchik” untuk menentukannya.

Dalam upacara mendirikan rumoh Aceh, ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan.
Pertama upacara “Tanom Kurah” dan yang kedua upacara “Peusijuk”.
Upacara “Tanom Kurah” adalah sejenis upacara yang kalau sekarang disebut upacara “peletakan
batu pertama”. Disebut upacara “Tanom Kurah”, karena dalam upacara ini dilakukan penanaman
kurah persis di tengah-tengah tempat di mana rumah akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan
pada malam hari, tepat pada pukul 24.00 WIB. Hal ini menurut kepercayaan orang Aceh dapat
membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuni rumah itu, terutama sekali menyangkut
tentang kenyamanan tidur pada malam hari.

Sedangkan upacara “Peusijuk” dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah sendiri
atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah
penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga
dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah
dipersiapkan sebelumnya di tempat itu.

Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk)
disebut juga “Daun Sidingin”, yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak
pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung” yang dinamakan
“Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan
sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut
diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yuang diisi air
secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.
Penepung tawaran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian akar dari alat-alat yang telah
diikat menjadi satu tadi ke dalam air itu, kemudian memercikkannya ke sekeliling tempat lokasi
di mana rumah itu akan dibangun. Penyiraman dilakukan mulai dari “Pancang Kurah” tadi terus
berputar ke kanan sampai seluruh lokasi itu terkena siraman (percikan) air. Setelah selesai
penepung tawaran, maka “On Sineujuk” (daun sidingin), “Naleung Sambo” beserta anak pohon
pisang tadi ditanam sekalian di bagian paling pinggir sebelah utara dari rumah itu.

Tujuan upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu sejuk dan nyaman. Upacara
ini biasanya dilaksankan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tinggi. Ini melambangkan suatu
kepercayaan bahwa waktu pagi itu sangat baik untuk mendatangkan rezeki bagi penghuni rumah
tersebut.

Selanjutnya, pada tiang Putri atau “Tameh Putro” ditanam sebuah periuk tanah (Kanot Tanoh).
Periuk tanah ini di beberapa daerah di Aceh pada zaman dahulu sering diisi dengan emas seberat
½ sampai 1 mayam beserta perak, ini terutama sekali berlaku di daerah Linge atau (Lingga),
yaitu suatu daerah yang terletak di perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Tengah. Akan
tetapi belakangan ini hal tersebut sudah jarang bahkan tidak ada lagi dilakukan oleh masyarakat
Aceh. Sekarang yang masih banyak dilakukan hanya penanaman “Kanot Tanoh” itu saja dan
diisi dengan kunyit dan padi atau beras secukupnya. Penanaman “kanot tanoh” ini bertujuan agar
kehidupan penghuni rumah tersebut selallu berada dalam berkecukupan, terutama dalam hal
terpenuhinya kebutuhan pokok (primer).

Setelah semua upacara “Peusijuk” itu selesai, barulah dimulai mendirikan tiang-tiang yang
sebelumnya telah dirangkai sesuai menurut posisi dan letaknya masing-masing. Untuk
mempermudah mendirikan tiang-tiang tersebut dipancangkan kayu sejajar dengan tiang yang
akan dinaikkan itu. Pada bagian atas pancang itu diikatkan sepotong kayu bulat dengan posisi
membujur (horizontal) gunak meletakkan tali (rotan) penarik tiang. Jadi fungsi kayu yang
dipancang dan kayu bulat yang membujur di atasnya adalah sebagai alat penggerak guna
mempermudah mendirikan tiang-tiang rumah itu.
“Raja” tetap berada di atas untuk memimpin dan mengarahkan anggota penarik selama tiang-
tiang yang lain belum selesai semuanya dinaikkan. Setelah berhasil tiang dinaikkan barulah
dipasang “pasak” atau (baji) atau “Ruk”, “Lheu”, “Gase”. Kemudian barulah “Raja” turun ke
bawah. Dengan turunnya “Raja” berarti upacara pendirian rumah itu dianggap telah selesai.
Untuk pembangunan selanjutnya diserahkan kepada tukang atau kepada keluarga yang akan
menduduki rumah tersebut.

C. Upacara Adat Ketika Menempati Rumah Baru

Setelah bangunan rumah selesai, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksankan oleh
pemilik rumah, yaitu: “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri E’ Rumoh Baro”
atau (upacara menempati rumah baru).

Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan
oleh si pemilik rumah. Upacara ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan
terimakasih si pemilik rumah kepada tukang yang telah mengerjakan rumahnya dengan baik
hingga siap untuk ditempati. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan secara simbolis dalam
bentuk penyerahan seperangkat pakaian seperti baju, celana, kain sarung dan kopiah beserta
hidangan makanan ala kadarnya kepadanya.

Dalam upacara ini biasanya diselesaikan juga segala hal ihwal yang menyangkut tentang
perongkosan dalam pembuatan rumah tersebut. Zaman dulu ongkos membuat rumah biasanya
dibayar dalam bentuk padi, namun sekarang sistem pembayaran ini umumnya telah memakai
uang. Jadi upacara ini selain mengandung arti ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada
“Utoh”, juga merupakan semacam acara serah terima perongkosan, baik serah terima
perongkosan dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, maupun serah terima bangunan dari tukang
atau “Utoh” kepada si pemilik rumah.

Sedangkan “Upacara Kenduri E’Rumah Baro” adalah semacam upacara syukuran yang
diselenggarakan si pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya
dilaksanakan setelah selesai shalat magrib di rumah baru yang hendak ditempati itu. Dalam
upacara kenduri ini diundang semua pihak yang dianggap telah ikut berjasa dalam membuat
rumah tersebut, seperti “Utoh” (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa), Teungku Imam baik
Imam Meunasah maupun Imam Mesjid beserta seluruh kerabat, ahli famili beserta seluruh
masyarakat. Tata cara yang dilaksanakan dalam upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya,
yaitu didahului dengan acara makan bersama, kemudian baru dilakukan dengan ucapan
terimakasih dari si pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan
rumah tersebut. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh
Teungku Imam.

Anda mungkin juga menyukai