Css Jiwa Fix
Css Jiwa Fix
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi1,5
Obat psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang bersifat psikoaktif dan bekerja secara selektif pada susunan saraf
pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku
serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Penyalahgunaan obat yaitu
seseorang dalam keadaan sehat tetapi mengkonsumsi obat tidak sesuai dosis dan
manfaat dari obat tersebut. Penggunaan obat secara terus-menerus akan
mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan.
2.2 Klasifikasi2,3
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (ekstasi,
shabu). Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (amfetamin,
metilfedinat/ritalin). Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan (fenobarbital, flunitrazepam). Psikotropika golongan IV adalah
psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan (diazepam, klonazepam, nitrazepam
seperti pil koplo, dumolid dan mogadon).
Tingkatan dari pemakaian obat psikotropika ada beberapa tingkat yaitu
pemakaian coba-coba (experimental use) adalah pemakaian obat psikotropika
yang tujuannya ingin mencoba, untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian
pemakai berhenti pada tahap ini dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
2
Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) adalah pemakaian obat
psikotropika dengan tujuan bersenang-senang, pada saat rekreasi atau santai.
Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat
pada tahap yang lebih berat. Pemakaian situasional (situasional use) adalah
pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan,
kekecewaan, dan sebagainya dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan
tersebut. Penyalahgunaan (abuse) adalah pemakaian sebagai suatu pola
penggunaan yang bersifat patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh
intoksikasi sepanjang hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha
berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya
kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional
yang ditandai oleh tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,
perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos
sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi
secara efektif. Ketergantungan (dependence use) adalah telah terjadi toleransi dan
gejala putus zat, bila pemakaian obat psikotropika dihentikan atau dikurangi
dosisnya.
2.3 Etiologi3,4
Etiologi dari penyalahgunaan obat psikotropika ini terbagi menjadi dua
yaitu dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam penyalahgunaan
obat psikotropika biasanya berasal dari diri sendiri yang menyebabkan adanya
perubahan perilaku, adapun di antaranya adalah rasa ingin tahu yang tinggi
sehingga terdapat keinginan untuk mencoba, keinginan untuk bersenang-senang,
keinginan untuk mengikuti gaya hidup terbaru, keinginan untuk diterima oleh
lingkungan atau kelompok, pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-kali
tidak menimbulkan ketagihan, pengetahuan agama yang kurang, ketidaktahuan
akan bahaya obat psikotropika baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan maupun
masa depannya. Selain itu juga disebabkan oleh faktor lain seperti rendah diri dan
merasa tertekan atau ingin lepas dari segala aturan-aturan dari orang tua.
Penyalahgunaan obat psikotropika juga dapat dipengaruhi faktor eksternal dari
3
keluarga seperti hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis, keluarga yang
tidak utuh, kurang komunikasi antar anggota keluarga, keluarga terlalu
mengekang kehidupan pribadi, keluarga yang kurang mengamalkan hidup
beragama dan keluarga yang orang tuanya telah menggunakan obat psikotropika.
Faktor lain yang merupakan faktor eksternal berasal dari pengaruh buruk dari
lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh dan tekanan dari kelompok teman
sebaya dan kurangnya perhatian dari pemerintah.
Penyebab penyalahgunaan obat psikotropika sangat kompleks akibat
interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor
tersedianya obat psikotropika. Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single
cause). Kebanyakan penyalahgunaan obat psikotropika dimulai atau terdapat pada
masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik,
psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk
menyalahgunakan obat psikotropika. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu
mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna obat psikotropika.
Ciri-ciri tersebut antara lain cenderung memberontak dan menolak otoritas,
memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti depresi, cemas, psikotik,
kepribadian dissosial.
Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku, rasa kurang
percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negatif (low
self-esteem), sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif, mudah
murung, pemalu, pendiam, mudah merasa bosan dan jenuh, keingintahuan yang
besar untuk mencoba atau penasaran, keinginan untuk bersenang-senang (just for
fun), keinginan untuk mengikuti mode karena dianggap sebagai lambang
keperkasaan dan kehidupan modern, keinginan untuk diterima dalam pergaulan,
identitas diri yang kabur sehingga merasa diri kurang “jantan”, tidak siap mental
untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil keputusan untuk
menolak tawaran obat dengan tegas, kemampuan komunikasi rendah, putus
sekolah, dan kurang menghayati iman kepercayaannya.
4
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan
baik di sekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,
terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja
menjadi penyalahguna obat psikotropika antara lain adalah komunikasi orang tua-
anak kurang baik/efektif, hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi
dalam keluarga, orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi, orang tua terlalu
sibuk atau tidak acuh, orang tua otoriter atau serba melarang, orang tua yang serba
membolehkan (permisif), kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau
teladan, orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah obat psikotropika,
tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten),
kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga dan
orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna obat.
Faktor lingkungan sekolah meliputi sekolah yang kurang disiplin, terletak
dekat tempat hiburan dan penjual obat psikotropika, sekolah yang kurang
memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan
positif, adanya murid pengguna obat psikotropika. Sedangkan faktor lingkungan
teman meliputi berteman dengan penyalahguna dan tekanan atau ancaman teman
kelompok atau pengedar. Faktor lingkungan masyarakat/sosial meliputi lemahnya
penegakan hokum, situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung.
Faktor dari obat psikotropikanya yaitu mudahnya obat didapat di mana-mana
dengan harga terjangkau, khasiat farmakologik obat yang menenangkan,
menidurkan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
2.4 Epidemiologi5,6
Jenis obat psikotropika yang sering disalahgunakan adalah amfetamin,
ekstasi, shabu, obat penenang seperti mogadon, dumolid, lexotan, pil koplo dan
LSD. Dari data BNN daerah Jawa Barat tahun 2013, obat psikotropika yang disita
dalam periode Januari-Agustus adalah Shabu sebanyak 59,83 gram, ekstasi 2.329
butir, lexotan 203 butir dan dumolid 319 butir yang diperoleh dari tempat seperti
tempat hiburan, tempat wisata, pasar dan rumah/kost-an. Berdasarkan penelitian
penyalahgunaan obat psikotropika di kota Semarang, sebagian besar
5
penyalahguna obat berusia dewasa (65,5%), berjenis kelamin laki-laki (74,5%),
dengan tingkat pendidikan paling banyak sebagai mahasiswa (60%), kelompok
penyalahguna menggunakan obat dengan frekuensi penggunaan obat psikotropika
paling banyak yaitu kelompok yang menggunakan obat seminggu 3 kali (96,4%),
durasi >1 tahun (74,5%), jenis obat yang disalahgunakan yaitu golongan obat
antiansietas (63,6%) dan dengan jumlah penggunaan >3 butir/hari (52,7%).
Sebesar 50,9% penyalahguna obat tersebut menggunakan 2 jenis obat
psikotropika dengan jenis obat paling banyak digunakan yaitu benzodiazepin
sebesar 63,6 %.
2.5 Gejala Klinis Penyalahgunaan dan Gejala Putus Obat1,3,4
2.5.1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum gejalanya adalah pada saat menggunakan obat psikotropika (jalan
sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,
curiga), bila overdosis (nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba
dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal), pengaruh jangka panjang (penampilan
tidak sehat, tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan
keropos, terdapat bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada
pengguna dengan jarum suntik)).
2.5.2. Perubahan Sikap dan Perilaku
Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering
membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab, pola tidur berubah, begadang,
sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat kerja, sering
berpergian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih
dulu, sering mengurung diri, berlama-lama di kamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain di rumah, sering mendapat telepon dan didatangi
orang tidak dikenal oleh keluarga kemudian menghilang, sering berbohong dan
minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya,
mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga,
mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi, sering bersikap
6
emosional, mudah tersinggung, marah, kasar, sikap bermusuhan, pencuriga,
tertutup dan penuh rahasia.
Penyalahgunaan obat psikotropika adalah penggunaan obat tersebut
secara patologis (di luar pengobatan) yang sudah berlangsung selama paling
sedikit satu bulan berturut-turut dan menimbulkan gangguan dalam fungsi sosial,
sekolah atau pekerjaan. Dampak terhadap kesehatan tubuh jika digunakan secara
terus menerus atau melebihi takaran mengakibatkan ketergantungan sehingga
terjadi kerusakan organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak
penyalahgunaan pada seseorang sangat tergantung pada jenis psikotropika yang
dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum
dampak penyalahgunaan dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial. Dampak
psikis dan sosial antara lain adalah lamban kerja, apatis hilang kepercayaan diri,
tertekan, sulit berkonsentrasi, gangguan mental, anti-sosial, asusila dan dikucilkan
oleh masyarakat. Selain itu, penyalahgunaan yang menggunakan jarum suntik,
khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular
penyakit seperti hepatitis dan HIV. Penggunaan yang berlebihan atau over dosis
dapat menyebabkan kematian.
2.5.3 Gejala Berdasarkan Jenis Obat dan Gejala Putus Obat
Pada golongan benzodiazepin, penggunaan yang lama golongan ini bisa
menyebabkan efek “disinhibiting” yang berakibat menjadi timbulnya rage
reaction (perilaku penyerang yang ganas), relaksasi otot (rasa lemas dan cepat
lelah). Risiko ketergantungan pada obat ini kecil jika digunakan tidak lebih dari 2
minggu. Kesulitan penghentian obat ini dikarenakan psychological dependence
(habituasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat
ditanggulangi. Penghentian secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus
obat (rebound phenomena) : pasien menjadi iritable, bingung gelisah, insomnia,
tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi dan lain-lain. Ketergantungan relatif
lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalahguna
obat. Oleh karena itu obat benzodiazepin tidak dianjurkan diberikan pada paien-
pasien tersebut. Penghentian selalu secara bertahap (stepwise) agar tidak
7
menimbulkan gejala lepas obat. Gejala intoksikasi dari penyalahgunaan obat
golongan ini adalah kesadaran menurun, lemas, pernafasan, nadi dan tekanan
darah menurun sedikit, ataksia, disertai, “confusion” dan refleks fisiologis
menurun.
Pada golongan obat antidepresan seperti antidepresan trisiklik, dapat
menimbulkan gejala penyalahgunaan meliputi rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, mulut
kering, gangguan lambung, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, gangguan
fungsi seksual, takikardia, hipotensi ortostatik, tremor halus dan agitasi. Namun,
obat golongan ini tidak berpotensi menimbulkan ketergantungan obat.
8
tremor kasar, mengantuk, konsentrasi menurun, bicara sulit, pengucapan tidak
jelas, dan gaya berjalan tidak stabil. Lalu gejala beratnya berupa kesadaran
menurun (confusional state) dapat sampai koma dengan hipertoni otot dan
kedutan, oliguria, kejang-kejang.
2.6 Diagnosis3
2.6.1. Anamnesis
9
gejala yang ada. Pemeriksaan fisik (adanya bekas suntikan sepanjang vena di
lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum
penis), pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala
intoksikasi/overdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti hepatitis,
endokarditis, bronkopneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain, perhatikan (kesadaran,
pernafasan, tekanan darah, nadi, pupil, cara jalan, sklera ikterik, kongjungtiva
anemis, karies gigi, aritmia jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain).
Pemeriksaan psikiatri meliputi : derajat kesadaran, daya nilai realitas,
gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih,
depresi, euforia), gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid,
halusinasi), gangguan pada psikomotor (hiperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan
pola tidur, sikap manipulatif dan lain-lain).
Pemeriksaan penunjang berupa analisa urin yang bertujuan untuk
mendeteksi adanya tidaknya zat tersebut dalam tubuh (benzodiazepin, barbiturat,
amfetamin), pengambilan urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat
pemakaian zat terakhir dan pastikan urin tersebut urin pasien. Untuk menunjang
diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin
darah, EKG, EEG, foto rontgen toraks dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg,
HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi Psikologik, Evaluasi Sosial).
2.7 Tatalaksana3,7
Tujuan dari terapi dan rehabilitasi pada penyalahguna obat psikotropika
yang pertama adalah abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan obat
psikotropika. Tujuan ini tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak
mampu atau tidak mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau
ia baru menggunakan obat psikotropika pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat
ditolong dengan meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari
obat psikotropika tersebut. Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap
salah satu obat psikotropika tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis
obat yang lain.
10
Kedua yaitu pengurangan frekuensi dan keparahan relaps, sasaran
utamanya adalah pencegahan relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali
saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya dan
ia memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia.
Ketiga, yaitu memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi
rumatan (maintenance) merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi
golongan ini.
Tatalaksana juga bisa dilakukan berdasarkan dari golongan obat
psikotropika yang dikonsumsi seperti tatalaksana pada penyalahgunaan
benzodiazepine (nitrazepam, diazepam), penyalahgunaaan pada golongan
barbiturate (fenobarbital) dan sebagainya. Karena beberapa benzodiazepin
dieliminasi dari tubuh secara lambat, gejala withdrawal bisa dilanjutkan untuk
beberapa minggu. Untuk mencegah kejang dan gejala withdrawal lainnya, dokter
harus mengurangi dosisnya secara bertahap. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa karbamazepin (Tegretol) mungkin bermanfaat dalam pengobatan dai gejala
withdrawal benzodiazepin.
Berikut adalah tahapan tatalaksana dari penyalahgunaan benzodiazepin,
pertama evaluasi dan obati kondisi fisik dan psikis, lalu dapatkan riwayat
pengobatan dan sampel urin serta darah, tentukan dosis obat yang dibutuhkan
untuk stabilisasi, berdasarkan dari anamnesis, gejala klinis dan (dalam beberapa
kasus) challenge dose, lakukan detoksifikasi dari dosis supraterapeutik.
Rawat inap jika ada indikasi medis atau psikis, dukungan sosial yang
buruk, atau ketergantungan pada beberapa obat atau pasien tidak dapat dipercaya,
beberapa dokter menyarankan untuk mengganti obat dengan benzodiazepin long
acting pada kasus withdrawal.(contoh : diazepam, klonazepam). Yang lain
merekomendasikan untuk stabilisasi pasien dapat menggunakan obat yang sedang
dipakai atau dapat menggunakan fenobarbital, setelah stabilisasi, kurangi dosis
11
sebesar 30 persen pada hari kedua atau ketiga dan evaluasi responnya, ingat
bahwa gejala yang terjadi setelah penurunan pada obat yang mempunyai waktu
paruh yang singkat (contoh : lorazepam) muncul lebih cepat dari pada obat yang
mempunyai waktu paruh yang lebih lama (contoh : Diazepam), kurangi dosis
lebih lanjut sebesar 10-25 persen setiap hari jika dapat ditoleransi, gunakan terapi
tambahan yang sesuai jika diperlukan seperti karbamazepin, B-adrenergik
receptor antagonists, klonidin dan antidepresan sedatif yang telah digunakan
namun efeknya dalam penanganan sindrom dari penghentian benzodiazepin yang
belum terbukti.
12
harian. Dalam prosedur withdrawal, fenobarbital dapat diganti dengan
menggunakan barbiturat yang lebih umum digunakan. Efek fenobarbital bertahan
lebih lama dan karena kadar barbiturat dalam darah sedikit berfluktuasi,
fenobarbital tidak menyebabkan gejala toksik yang bisa diamati atau overdosis
yang serius. Pasien harus dipertahankan dosisnya setidaknya untuk 2 hari sebelum
dosis dikurangi lebih lanjut. Setelah gejala withdrawal selesai, pasien harus
mengatasi keinginan untuk mulai mengonsumsi kembali obat tersebut. Jika pasien
telah bebas dari pemakaian obat tersebut, mengikuti terapinya, selalu
mendapatkan bantuan dari psikiater dan dukungan dari masyarakat, hal ini sangat
penting. Jika tidak, besar kemungkinan pasien akan kembali menggunakan
barbiturat atau obat dengan bahaya yang serupa.
2.8 Komplikasi1
16
Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian dan Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi
Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik
Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
Penyerahan Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima dan harus
berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker
penanggung jawab. Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan
Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Psikotropika kepada pasien
berdasarkan resep dokter. Penyerahan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter
hanya dapat dilakukan dalam hal sebagai berikut : dokter menjalankan praktik
perorangan dengan memberikan Psikotropika melalui suntikan dan/atau dokter
menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyerahan tersebut
harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang
menangani pasien. Penyerahan Psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya
dapat dilakukan dalam hal : dokter menjalankan praktik perorangan dengan
memberikan Psikotropika melalui suntikan, dokter menolong orang sakit dalam
keadaan darurat dengan memberikan Psikotropika atau dokter menjalankan tugas
di daerah terpencil yang tidak ada Apotek berdasarkan surat penugasan dari
pejabat yang berwenang. Surat penugasan tersebut termasuk sebagai izin
penyimpanan Psikotropika untuk keperluan pengobatan.
17
BAB III
KESIMPULAN
18