Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Obat psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan


narkotika yang bersifat psikoaktif dan bekerja secara selektif pada susunan saraf
pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku
serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Terkadang cara penggunaan
obat psikotropika tidak tepat seperti penentuan dosis, lama pemberian, campuran
berbagai obat psikotropika, interaksi dengan obat lain serta masalah lain yang
berkaitan dengan penggunaan obat psikotropika (efek samping, intoksikasi,
ketergantungan obat dan lain-lain).1,2
Selain itu, terdapat juga kelompok masyarakat yang menyalahgunakan
obat psikotropika untuk kepentingan sendiri (non medical use) yang menyertai
berbagai masalah sosial seperti tindak kriminal dan kenakalan remaja,
menyebabkan timbul pandangan mengkhawatirkan manfaat kehadiran obat
psikotropika dan menimbulkan citra buruk dari obat tersebut.1 Meskipun dalam
kedokteran golongan obat ini masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila
disalahgunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih
lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal akan berakibat sangat merugikan bagi
individu maupun masyarakat luas.3 Obat golongan psikotropika dalam dunia
kesehatan maupun kedokteran digunakan untuk mengobati gangguan jiwa
maupun depresi atau stres.4
Menurut data BNN penyalahgunaan obat golongan psikotropika
meningkat sebesar 28,9% per-tahun.5 Jenis obat psikotropika yang sering
disalahgunakan antara lain dumolid, activan, valium, riklona, esilgan, xanax,
amitriptilin, calmlet, codein, frisium, klonazepam dan alprazolam. Alasan
menggunakan obat-obatan tersebut tidak hanya karena masalah yang menekan
mereka saja tetapi juga rasa keingin tahuan mereka untuk mencoba, pergaulan
yang salah, kurangnya perhatian dari keluarga, kurangnya pengetahuan tentang
dampak buruk menyalahgunakan obat dan mudahnya mendapatkan obat tersebut.6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi1,5
Obat psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang bersifat psikoaktif dan bekerja secara selektif pada susunan saraf
pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku
serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Penyalahgunaan obat yaitu
seseorang dalam keadaan sehat tetapi mengkonsumsi obat tidak sesuai dosis dan
manfaat dari obat tersebut. Penggunaan obat secara terus-menerus akan
mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan.
2.2 Klasifikasi2,3
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (ekstasi,
shabu). Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (amfetamin,
metilfedinat/ritalin). Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan (fenobarbital, flunitrazepam). Psikotropika golongan IV adalah
psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan (diazepam, klonazepam, nitrazepam
seperti pil koplo, dumolid dan mogadon).
Tingkatan dari pemakaian obat psikotropika ada beberapa tingkat yaitu
pemakaian coba-coba (experimental use) adalah pemakaian obat psikotropika
yang tujuannya ingin mencoba, untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian
pemakai berhenti pada tahap ini dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
2
Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) adalah pemakaian obat
psikotropika dengan tujuan bersenang-senang, pada saat rekreasi atau santai.
Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat
pada tahap yang lebih berat. Pemakaian situasional (situasional use) adalah
pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan,
kekecewaan, dan sebagainya dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan
tersebut. Penyalahgunaan (abuse) adalah pemakaian sebagai suatu pola
penggunaan yang bersifat patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh
intoksikasi sepanjang hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha
berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya
kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional
yang ditandai oleh tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,
perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos
sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi
secara efektif. Ketergantungan (dependence use) adalah telah terjadi toleransi dan
gejala putus zat, bila pemakaian obat psikotropika dihentikan atau dikurangi
dosisnya.
2.3 Etiologi3,4
Etiologi dari penyalahgunaan obat psikotropika ini terbagi menjadi dua
yaitu dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam penyalahgunaan
obat psikotropika biasanya berasal dari diri sendiri yang menyebabkan adanya
perubahan perilaku, adapun di antaranya adalah rasa ingin tahu yang tinggi
sehingga terdapat keinginan untuk mencoba, keinginan untuk bersenang-senang,
keinginan untuk mengikuti gaya hidup terbaru, keinginan untuk diterima oleh
lingkungan atau kelompok, pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-kali
tidak menimbulkan ketagihan, pengetahuan agama yang kurang, ketidaktahuan
akan bahaya obat psikotropika baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan maupun
masa depannya. Selain itu juga disebabkan oleh faktor lain seperti rendah diri dan
merasa tertekan atau ingin lepas dari segala aturan-aturan dari orang tua.
Penyalahgunaan obat psikotropika juga dapat dipengaruhi faktor eksternal dari
3
keluarga seperti hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis, keluarga yang
tidak utuh, kurang komunikasi antar anggota keluarga, keluarga terlalu
mengekang kehidupan pribadi, keluarga yang kurang mengamalkan hidup
beragama dan keluarga yang orang tuanya telah menggunakan obat psikotropika.
Faktor lain yang merupakan faktor eksternal berasal dari pengaruh buruk dari
lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh dan tekanan dari kelompok teman
sebaya dan kurangnya perhatian dari pemerintah.
Penyebab penyalahgunaan obat psikotropika sangat kompleks akibat
interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor
tersedianya obat psikotropika. Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single
cause). Kebanyakan penyalahgunaan obat psikotropika dimulai atau terdapat pada
masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik,
psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk
menyalahgunakan obat psikotropika. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu
mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna obat psikotropika.
Ciri-ciri tersebut antara lain cenderung memberontak dan menolak otoritas,
memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti depresi, cemas, psikotik,
kepribadian dissosial.
Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku, rasa kurang
percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negatif (low
self-esteem), sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif, mudah
murung, pemalu, pendiam, mudah merasa bosan dan jenuh, keingintahuan yang
besar untuk mencoba atau penasaran, keinginan untuk bersenang-senang (just for
fun), keinginan untuk mengikuti mode karena dianggap sebagai lambang
keperkasaan dan kehidupan modern, keinginan untuk diterima dalam pergaulan,
identitas diri yang kabur sehingga merasa diri kurang “jantan”, tidak siap mental
untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil keputusan untuk
menolak tawaran obat dengan tegas, kemampuan komunikasi rendah, putus
sekolah, dan kurang menghayati iman kepercayaannya.

4
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan
baik di sekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,
terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja
menjadi penyalahguna obat psikotropika antara lain adalah komunikasi orang tua-
anak kurang baik/efektif, hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi
dalam keluarga, orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi, orang tua terlalu
sibuk atau tidak acuh, orang tua otoriter atau serba melarang, orang tua yang serba
membolehkan (permisif), kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau
teladan, orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah obat psikotropika,
tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten),
kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga dan
orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna obat.
Faktor lingkungan sekolah meliputi sekolah yang kurang disiplin, terletak
dekat tempat hiburan dan penjual obat psikotropika, sekolah yang kurang
memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan
positif, adanya murid pengguna obat psikotropika. Sedangkan faktor lingkungan
teman meliputi berteman dengan penyalahguna dan tekanan atau ancaman teman
kelompok atau pengedar. Faktor lingkungan masyarakat/sosial meliputi lemahnya
penegakan hokum, situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung.
Faktor dari obat psikotropikanya yaitu mudahnya obat didapat di mana-mana
dengan harga terjangkau, khasiat farmakologik obat yang menenangkan,
menidurkan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
2.4 Epidemiologi5,6
Jenis obat psikotropika yang sering disalahgunakan adalah amfetamin,
ekstasi, shabu, obat penenang seperti mogadon, dumolid, lexotan, pil koplo dan
LSD. Dari data BNN daerah Jawa Barat tahun 2013, obat psikotropika yang disita
dalam periode Januari-Agustus adalah Shabu sebanyak 59,83 gram, ekstasi 2.329
butir, lexotan 203 butir dan dumolid 319 butir yang diperoleh dari tempat seperti
tempat hiburan, tempat wisata, pasar dan rumah/kost-an. Berdasarkan penelitian
penyalahgunaan obat psikotropika di kota Semarang, sebagian besar
5
penyalahguna obat berusia dewasa (65,5%), berjenis kelamin laki-laki (74,5%),
dengan tingkat pendidikan paling banyak sebagai mahasiswa (60%), kelompok
penyalahguna menggunakan obat dengan frekuensi penggunaan obat psikotropika
paling banyak yaitu kelompok yang menggunakan obat seminggu 3 kali (96,4%),
durasi >1 tahun (74,5%), jenis obat yang disalahgunakan yaitu golongan obat
antiansietas (63,6%) dan dengan jumlah penggunaan >3 butir/hari (52,7%).
Sebesar 50,9% penyalahguna obat tersebut menggunakan 2 jenis obat
psikotropika dengan jenis obat paling banyak digunakan yaitu benzodiazepin
sebesar 63,6 %.
2.5 Gejala Klinis Penyalahgunaan dan Gejala Putus Obat1,3,4
2.5.1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum gejalanya adalah pada saat menggunakan obat psikotropika (jalan
sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,
curiga), bila overdosis (nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba
dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal), pengaruh jangka panjang (penampilan
tidak sehat, tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan
keropos, terdapat bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada
pengguna dengan jarum suntik)).
2.5.2. Perubahan Sikap dan Perilaku
Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering
membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab, pola tidur berubah, begadang,
sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat kerja, sering
berpergian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih
dulu, sering mengurung diri, berlama-lama di kamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain di rumah, sering mendapat telepon dan didatangi
orang tidak dikenal oleh keluarga kemudian menghilang, sering berbohong dan
minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya,
mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga,
mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi, sering bersikap
6
emosional, mudah tersinggung, marah, kasar, sikap bermusuhan, pencuriga,
tertutup dan penuh rahasia.
Penyalahgunaan obat psikotropika adalah penggunaan obat tersebut
secara patologis (di luar pengobatan) yang sudah berlangsung selama paling
sedikit satu bulan berturut-turut dan menimbulkan gangguan dalam fungsi sosial,
sekolah atau pekerjaan. Dampak terhadap kesehatan tubuh jika digunakan secara
terus menerus atau melebihi takaran mengakibatkan ketergantungan sehingga
terjadi kerusakan organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak
penyalahgunaan pada seseorang sangat tergantung pada jenis psikotropika yang
dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum
dampak penyalahgunaan dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial. Dampak
psikis dan sosial antara lain adalah lamban kerja, apatis hilang kepercayaan diri,
tertekan, sulit berkonsentrasi, gangguan mental, anti-sosial, asusila dan dikucilkan
oleh masyarakat. Selain itu, penyalahgunaan yang menggunakan jarum suntik,
khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular
penyakit seperti hepatitis dan HIV. Penggunaan yang berlebihan atau over dosis
dapat menyebabkan kematian.
2.5.3 Gejala Berdasarkan Jenis Obat dan Gejala Putus Obat
Pada golongan benzodiazepin, penggunaan yang lama golongan ini bisa
menyebabkan efek “disinhibiting” yang berakibat menjadi timbulnya rage
reaction (perilaku penyerang yang ganas), relaksasi otot (rasa lemas dan cepat
lelah). Risiko ketergantungan pada obat ini kecil jika digunakan tidak lebih dari 2
minggu. Kesulitan penghentian obat ini dikarenakan psychological dependence
(habituasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat
ditanggulangi. Penghentian secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus
obat (rebound phenomena) : pasien menjadi iritable, bingung gelisah, insomnia,
tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi dan lain-lain. Ketergantungan relatif
lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalahguna
obat. Oleh karena itu obat benzodiazepin tidak dianjurkan diberikan pada paien-
pasien tersebut. Penghentian selalu secara bertahap (stepwise) agar tidak
7
menimbulkan gejala lepas obat. Gejala intoksikasi dari penyalahgunaan obat
golongan ini adalah kesadaran menurun, lemas, pernafasan, nadi dan tekanan
darah menurun sedikit, ataksia, disertai, “confusion” dan refleks fisiologis
menurun.
Pada golongan obat antidepresan seperti antidepresan trisiklik, dapat
menimbulkan gejala penyalahgunaan meliputi rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, mulut
kering, gangguan lambung, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, gangguan
fungsi seksual, takikardia, hipotensi ortostatik, tremor halus dan agitasi. Namun,
obat golongan ini tidak berpotensi menimbulkan ketergantungan obat.

Pada golongan obat antipsikosis, gejala penyalahgunaannya dapat berupa


rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif menurun, hipotensi, mulut kering, kesulitan miksi dan
defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intarokuler meningkat, gangguan
irama jantung, EPS : distonia akut, akathisia, sindrom parkinson (tremor,
bradikinesia, rigiditas). Lalu dapat juga terjadi amenorea, ginekomastia, jaundice
dan agranulositosis jika penggunaan dalam jangka yang sangat panjang. Terdapat
juga gejala yang “irreversible” yaitu tardive diskinesia (gerakan berulang
involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, di mana pada
waktu tidur gejala tersebut hilang). Biasanya terjadi pada pengguna dengan usia
lanjut. Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala putus obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
Pada penyalahgunaan obat golongan moodstabilizer, gejala yang dapat
timbul adalah mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare,
feses lunak), kelemahan otot, poliuria, peningkatan BB, perubahan fungsi tiroid,
edem pada tungkai, leukositosis, gangguan daya ingat dan konsentrasi serta
tremor halus. Tidak terdapat efek sedasi dan gangguan ekstrapiramidal pada
penggunaan obat ini. Gejala dini dari intoksikasi obatnya adalah muntah, diare,

8
tremor kasar, mengantuk, konsentrasi menurun, bicara sulit, pengucapan tidak
jelas, dan gaya berjalan tidak stabil. Lalu gejala beratnya berupa kesadaran
menurun (confusional state) dapat sampai koma dengan hipertoni otot dan
kedutan, oliguria, kejang-kejang.

2.6 Diagnosis3
2.6.1. Anamnesis

Pada pasien yang bersikap tertutup, menanyakan langsung perihal


penggunaan obat psikotropika biasanya tidak membawa hasil. Sebaiknya
anamnesis dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan pertanyaan sebagai
berikut : Apakah ada yang bisa dibantu? Apakah ada masalah dengan orang tua,
guru atau teman pacar? Apakah ada kesulitan belajar, malas kerja, sulit tidur?
Apakah sering tidak betah dirumah, sering begadang? Apakah sering mengalami
stres, kegelisahan, kesedihan? Apakah untuk mengatasi kegelisahan atau
kebosanan merokok lebih banyak dari biasa? Bila sedang frustasi, lalu minum
minuman keras,apakah pernah mabok atau teler? Bila minum minuman keras
apakah dicampur obat tidur, masing-masing berapa banyak dan berapa sering?
Pada pasien sudah bersikap terbuka, anamnesis/pertanyaan mengenai obat
psikotropika meliputi : keluhan pasien dan riwayat perjalanan penyakit terdahulu
yang pernah diderita, riwayat penyalahgunaan obat psikotropika (jenis yang
dipakai, lamanya pemakaian, dosis, frekuensi dan cara pemakaian), riwayat/gejala
intoksikasi/gejala putus zat, alasan penggunaan, taraf fungsi sosial (riwayat
pendidikan, latar belakang kriminal, status keluarga, kegiatan sosial lain), evaluasi
keadaan psikologis (keadaan emosi, kemampuan pengendalian impuls,
kemungkinan tindak kekerasan, bunuh diri) dan riwayat perawatan terdahulu.
2.6.2 Pemeriksaan
Penampilan pasien, sikap saat wawancara, gejolak emosi dan lain-lain
perlu diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan
pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan

9
gejala yang ada. Pemeriksaan fisik (adanya bekas suntikan sepanjang vena di
lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum
penis), pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala
intoksikasi/overdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti hepatitis,
endokarditis, bronkopneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain, perhatikan (kesadaran,
pernafasan, tekanan darah, nadi, pupil, cara jalan, sklera ikterik, kongjungtiva
anemis, karies gigi, aritmia jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain).
Pemeriksaan psikiatri meliputi : derajat kesadaran, daya nilai realitas,
gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih,
depresi, euforia), gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid,
halusinasi), gangguan pada psikomotor (hiperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan
pola tidur, sikap manipulatif dan lain-lain).
Pemeriksaan penunjang berupa analisa urin yang bertujuan untuk
mendeteksi adanya tidaknya zat tersebut dalam tubuh (benzodiazepin, barbiturat,
amfetamin), pengambilan urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat
pemakaian zat terakhir dan pastikan urin tersebut urin pasien. Untuk menunjang
diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin
darah, EKG, EEG, foto rontgen toraks dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg,
HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi Psikologik, Evaluasi Sosial).

2.7 Tatalaksana3,7
Tujuan dari terapi dan rehabilitasi pada penyalahguna obat psikotropika
yang pertama adalah abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan obat
psikotropika. Tujuan ini tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak
mampu atau tidak mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau
ia baru menggunakan obat psikotropika pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat
ditolong dengan meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari
obat psikotropika tersebut. Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap
salah satu obat psikotropika tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis
obat yang lain.
10
Kedua yaitu pengurangan frekuensi dan keparahan relaps, sasaran
utamanya adalah pencegahan relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali
saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya dan
ia memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia.
Ketiga, yaitu memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi
rumatan (maintenance) merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi
golongan ini.
Tatalaksana juga bisa dilakukan berdasarkan dari golongan obat
psikotropika yang dikonsumsi seperti tatalaksana pada penyalahgunaan
benzodiazepine (nitrazepam, diazepam), penyalahgunaaan pada golongan
barbiturate (fenobarbital) dan sebagainya. Karena beberapa benzodiazepin
dieliminasi dari tubuh secara lambat, gejala withdrawal bisa dilanjutkan untuk
beberapa minggu. Untuk mencegah kejang dan gejala withdrawal lainnya, dokter
harus mengurangi dosisnya secara bertahap. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa karbamazepin (Tegretol) mungkin bermanfaat dalam pengobatan dai gejala
withdrawal benzodiazepin.
Berikut adalah tahapan tatalaksana dari penyalahgunaan benzodiazepin,
pertama evaluasi dan obati kondisi fisik dan psikis, lalu dapatkan riwayat
pengobatan dan sampel urin serta darah, tentukan dosis obat yang dibutuhkan
untuk stabilisasi, berdasarkan dari anamnesis, gejala klinis dan (dalam beberapa
kasus) challenge dose, lakukan detoksifikasi dari dosis supraterapeutik.

Rawat inap jika ada indikasi medis atau psikis, dukungan sosial yang
buruk, atau ketergantungan pada beberapa obat atau pasien tidak dapat dipercaya,
beberapa dokter menyarankan untuk mengganti obat dengan benzodiazepin long
acting pada kasus withdrawal.(contoh : diazepam, klonazepam). Yang lain
merekomendasikan untuk stabilisasi pasien dapat menggunakan obat yang sedang
dipakai atau dapat menggunakan fenobarbital, setelah stabilisasi, kurangi dosis

11
sebesar 30 persen pada hari kedua atau ketiga dan evaluasi responnya, ingat
bahwa gejala yang terjadi setelah penurunan pada obat yang mempunyai waktu
paruh yang singkat (contoh : lorazepam) muncul lebih cepat dari pada obat yang
mempunyai waktu paruh yang lebih lama (contoh : Diazepam), kurangi dosis
lebih lanjut sebesar 10-25 persen setiap hari jika dapat ditoleransi, gunakan terapi
tambahan yang sesuai jika diperlukan seperti karbamazepin, B-adrenergik
receptor antagonists, klonidin dan antidepresan sedatif yang telah digunakan
namun efeknya dalam penanganan sindrom dari penghentian benzodiazepin yang
belum terbukti.

Detoksifikasi dari dosis terapeutik dilakukan dengan mengurangi dosis


awal 10 sampai 25 persen dan evaluasi responnya, dosis dan lama terapi, tingkat
keparahan dari kecemasan mempengaruhi penurunan dari dosis obat dan
membutuhkan pengobatan tambahan, sebagian besar pasien yang menggunakan
dosis terapeutik tidak mengalami komplikasi akibat penghentian obat. Intervensi
psikologis dapat membantu pasien dalam melakukan detoksifikasi dari
benzodiazepin dan dalam pengelolaan jangka panjang dari kecemasan.

Untuk menghindari kematian mendadak saat penghentian barbiturat,


dokter harus mengikuti panduan klinis konservatif. Dokter sebaiknya tidak
memberikan barbiturat pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran/jelas
mengalami intoksikasi. Seorang dokter harus berusaha mengetahui dosis short-
acting barbiturat yang biasa digunakan setiap hari oleh pasien dan kemudian
buktikan dosisnya secara klinis. Misalnya, seorang dokter bisa memberikan
percobaan dosis 200 mg pentobarbital setiap jam sampai terjadinya intoksikasi
ringan, namun gejala withdrawal tidak ada. Kemudian dokter dapat menurunkan
dosis sekitar 10 persen dari total dosis harian. Begitu dosis yang diberikan benar
telah ditentukan, long acting barbiturate dapat digunakan untuk detoksifikasi.

Selama proses ini, pasien mungkin mulai merasakan gejala withdrawal,


dalam kasus di mana harus dokter mengurangi separuh dari penurunan dosis

12
harian. Dalam prosedur withdrawal, fenobarbital dapat diganti dengan
menggunakan barbiturat yang lebih umum digunakan. Efek fenobarbital bertahan
lebih lama dan karena kadar barbiturat dalam darah sedikit berfluktuasi,
fenobarbital tidak menyebabkan gejala toksik yang bisa diamati atau overdosis
yang serius. Pasien harus dipertahankan dosisnya setidaknya untuk 2 hari sebelum
dosis dikurangi lebih lanjut. Setelah gejala withdrawal selesai, pasien harus
mengatasi keinginan untuk mulai mengonsumsi kembali obat tersebut. Jika pasien
telah bebas dari pemakaian obat tersebut, mengikuti terapinya, selalu
mendapatkan bantuan dari psikiater dan dukungan dari masyarakat, hal ini sangat
penting. Jika tidak, besar kemungkinan pasien akan kembali menggunakan
barbiturat atau obat dengan bahaya yang serupa.

Komplikasi yang paling sering terjadi pada penyalahgunaan psikotropika


adalah overdosis. Tatalaksana secara umum terhadap overdosis dari obat
psikotropika ini meliputi bilas lambung dan pemantauan ketat pada tanda-tanda
vital serta aktivitas dari sistem saraf pusat (SSP). Pasien yang mengalami
overdosis dan datang ke rumah sakit dalam keadaan sadar harus selalu
dipertahankan agar derajat kesadarannya tidak mengalami penurunan. Muntah
harus diinduksi untuk menunda penyerapan penyerapan di lambung. Jika pasien
koma, maka dokter memberikan terapi cairan intravena, monitor tanda-tanda vital
pasien, memasukkan endotracheal-tube untuk mempertahankan patensi jalan
nafas dan memberikan ventilasi mekanis, jika perlu. Rawat inap pasien yang
koma di unit perawatan intensif, hal ini biasanya dibutuhkan pada tahap awal
pemulihan dari pasien yang mengalami overdosis.

Pada antidepresan trisiklik dapat terjadi intoksikasi sehingga tindakan


untuk keadaan tersebut adalah gastric lavage (hemodialisis tidak bermanfaat oleh
karena obat trisiklik bersifat “protein binding”, force diuresis juga tidak
bermanfaat oleh karena “renal excretion of free drug” rendah). Diazepam 10 mg
(im) untuk mengatasi konvulsi, prostigmin 0,5-1,0 mg (im) untuk mengatasi efek
anti-kolinergik (dapat diulangi setiap 30’ -45’ sampai gejala mereda) dan
13
monitoring ekg untuk deteksi ada/tidaknya kelainan jantung. Pada kasus
intoksikasi lithium bisa dilakukan tatalaksana forced diuresis dengan garam
fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan I.V sebanyak 10 cc (1 ampul), bila perlu
hemodialisis. Terapi pada intoksikasi golongan benzodiazepin berupa terapi
suportif (tatalaksana terhadap respiratory depression dan syok) dan terapi kausal
(benzodiazephine antagonist) flumazenil ampul 0,5mg/5 cc (i.v).

2.8 Komplikasi1

Pada golongan anti-insomnia seperti nitrazepam, karena golongan obat ini


bisa mensupresi SSP, hati-hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan,
uremia dan gangguan fungsi hati. Oleh karena keadaan tersebut bisa terjadi
penurunan fungsi SSP dan memudahkan timbulnya koma. Pada pasien usia lanjut
juga bisa terjadi over sedasi sehingga risiko jatuh dan trauma menjadi lebih besar,
yang sering terjadi adalah fraktur tulang pinggul. Pada golongan antidepresan
trisiklik jika terjadi intoksikasi dapat menimbulkan atropine toxic syndrome :
hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic confusional state (confusion, delirium
and disorientation). Kematian dapat terjadi oleh karena cardiac arrest pada
”Lethal dose” golongan obat trisiklik (sekitar 10 kali dari dosis terapi). Obat anti
depresi golongan SSRI relatif lebih aman pada kejadian overdosis. Obat golongan
anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis
atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang kurang
menguntungkan sebaiknya dilakukan gastric lavage bila obat belum lama
dimakan.

2.9 Aspek Medikolegal Penggunaan Psikotropika2,8

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah menjamin ketersediaan


psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan,
mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran
gelap psikotropika. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan I hanya
14
dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan penggunaan psikotropika
golongan I selain untuk tujuan tersebut, dinyatakan sebagai barang terlarang.
Dalam rangka penelitian, psikotropika golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan medis yang sangat terbatas dan dilaksanakan oleh orang yang diberi
wewenang untuk itu oleh Menteri.
Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan
oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter. Penyerahan
psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
Penyerahan psikotropika tersebut dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
dan dokter dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Penyerahan
psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam menjalankan praktik terapi dan
diberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dan
ketika menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Psikotropika
yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek. Pengguna psikotropika
hanya dapat memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika untuk
digunakan dalam rangka pengobatan dan atau perawatan. Pengguna psikotropika
yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam
pengobatan dan/atau perawatan yang dilakukan pada fasilitas rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Rehabilitasi dilakukan
bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan
dimaksudkan untuk memulihkan dan atau mengembangkan kemampuan fisik,
mental dan sosialnya.
Barangsiapa yang menggunakan psikotropika golongan I atau
memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I atau mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
atau mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan atau secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa
psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
15
tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Barangsiapa yang
memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan, memproduksi atau mengedarkan
psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

Barangsiapa yang tanpa hak, memiliki dan atau membawa psikotropika


dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Barangsiapa tidak
melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak
sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 20.000.000.00 (dua puluh juta rupiah). Dokter yang
melakukan praktik pribadi dan/atau pada sarana kesehatan yang memberikan
pelayanan medis, wajib membuat catatan mengenai kegiatan yang berhubungan
dengan psikotropika dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep,
yaitu tiga tahun.
Psikotropika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah
mendapatkan izin edar dari Menteri dan melalui pendaftaran pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penyaluran Psikotropika dalam bentuk obat jadi
hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi
Pemerintah, PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan, PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika
kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika, Instalasi Farmasi
Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi

16
Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian dan Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi
Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik
Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
Penyerahan Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima dan harus
berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker
penanggung jawab. Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan
Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Psikotropika kepada pasien
berdasarkan resep dokter. Penyerahan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter
hanya dapat dilakukan dalam hal sebagai berikut : dokter menjalankan praktik
perorangan dengan memberikan Psikotropika melalui suntikan dan/atau dokter
menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyerahan tersebut
harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang
menangani pasien. Penyerahan Psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya
dapat dilakukan dalam hal : dokter menjalankan praktik perorangan dengan
memberikan Psikotropika melalui suntikan, dokter menolong orang sakit dalam
keadaan darurat dengan memberikan Psikotropika atau dokter menjalankan tugas
di daerah terpencil yang tidak ada Apotek berdasarkan surat penugasan dari
pejabat yang berwenang. Surat penugasan tersebut termasuk sebagai izin
penyimpanan Psikotropika untuk keperluan pengobatan.

17
BAB III

KESIMPULAN

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1997, Obat


psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang
bersifat psikoaktif dan bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan
mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku.2 Berdasarkan
penggunaan klinik, obat psikotropika dibagi menjadi 4 antara lain antipsikosis,
antisietas, antidepresan dan psikotogenetik.5 Gejala yang dapat ditimbulkan dari
penyalahgunaan obat ini bisa dilihat dari gejala fisik dan gejala dari perubahan
perilakunya.3 Obat golongan psikotropika dalam dunia kesehatan maupun
kedokteran digunakan untuk mengobati gangguan jiwa maupun depresi atau
stres.5 Permasalahan penyalahgunaan obat psikotropika ini dianggap serius karena
membahayakan bagi masyarakat terutama golongan remaja. Hal ini terkait dengan
tingginya angka kematian, komplikasi yang ditimbulkan seperti overdosis,
penularan virus HIV, hepatitis dan lain-lainnya, meningkatnya kriminalitas,
rusaknya generasi muda dan kehancuran keluarga. Informasi tentang berbagai
jenis psikotropika, manfaat dan dampaknya, serta akibat melakukan
penyalahgunaannya adalah hal penting untuk diketahui. Selain itu, diharapkan
juga kesadaran dan kemauan dari tekat sendiri, agar dapat menghindarkan diri dari
penyalahgunaan dan pengedaran gelap obat-obat psikotropika.6

18

Anda mungkin juga menyukai