Anda di halaman 1dari 1

Tiga tahun bekerja sebagai juru tulis di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi, tidak

membuatnya bermimpi untuk meneruskan tradisi priyayi pangreh praja. Jiwa beliau mulai berontak, dan
banyak pertanyaan yang muncul dalam pikirannya: Kenapa masyarakat Jawa mau diperintah oleh Belanda?
Kenapa masyarakat Jawa juga harus tunduk pada sistem pemerintahan Belanda? Kenapa banyak petani
miskin yang melarat harus menyetor upeti kepada pemerintah Belanda? Mengapa sekolah-sekolah yang
eksklusif hanya untuk kaum priyayi seperti beliau saja?
Hingga akhirnya pada tahun 1905, HOS Tjokro mengundurkan diri dari pekerjaannya, yang mana merupakan
bentuk dari perlawanan terhadap sistem feodal. Dengan mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut,
membuat resah keluarga priyayi terutama dari ayah mertuanya. Ayah mertua beliau menginginkan HOS
Tjokro menjadi seorang birokrat, namun tentu HOS Tjokro tidak setuju. Akhirnya percekcokan dan
perdebatan dengan mertuanya terus meningkat hingga suatu ketika HOS Tjokro sadar akan masalah yang
dihadapinya dan beliau akhirnya memutuskan sesuatu yang sangat nekat, yaitu kabur dari rumah kediaman
mertuanya yang beliau tinggali dan meninggalkan seorang istri yang sedang hamil anak pertama.
HOS Tjokro mulai menetapkan hati pergi berkelana mencari jati dirinya. Mengkaji kitab berbagai pondok
pesantren sampai menyendiri atau beriktikaf di tempat yang tidak diketahui keberadaannya. Hingga
beberapa waktu kemudian akhirnya HOS Tjokro nekat untuk kembali menjemput istrinya dan mengajak ke
Semarang untuk menikmati kebebasannya.
Di Semarang beliau bekerja serabutan, berinteraksi dengan realitas masyarakat sebenarnya. Bahkan menjadi
kuli pelabuhan pun beliau lakoni. Pengalaman selama tahun 1905 sampai 1907 menempa diri beliau dalam
memahami bagaimana kehidupan wong cilik, buruh, pekerja kelas bawah, yang sangat jauh dari keadilan.
Lalu pada 1907 HOS Tjokro pindah ke Surabaya, melanjutkan pendidikan di BAS teknik sipil jurusan mesin
sekaligus kerja di perusahaan dagang. Lulus dari BAS, ia sempat bekerja menjadi juru mesin selama 1 tahun
hingga akhirnya menjadi juru kimia di sebuah pabrik gula. Dan di Surabaya inilah beliau mulai aktif
berorganisasi, menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo. Berbekal pengalaman bekerja yang luas HOS
Tjokro memiliki bakat yang masih langka pada masa itu, yaitu menulis, terutama tulisan yang berbau
jurnalistik. Banyak tulisan beliau mengenai kondisi mengenaskan rakyat akibat eksploitasi perusahaan-
perusahaan dan juga kependudukan Kolonial Belanda. Selama Tahun 1910 sampai 1912, HOS Tjokro banyak
membaca, berdiskusi dan menulis sekaligus mulai melakukan pergerakan-pergerakan bersama banyak tokoh
di Surabaya.
Selama di Surabaya, rumah HOS Tjokro sering dijadikan tempat berkumpul para tokoh dan berdiskusi. Bahkan
salah satu muridnya yang kost di rumah beliau, yaitu Soekarno, menjuluki rumah beliau sebagai “dapur
nasionalisme”. HOS Tjokro sendiri terkenal di kalangan Belanda karena sifatnya yang sangat radikal dan
melawan sistem. Dia berani duduk tegap di hadapan pejabat pemerintah Belanda dan beliau tidak takut
untuk bicara tanpa tunduk terhadap atasannya. Dan beliau berani duduk dengan menyilangkan kakinya yang
mana pada saat itu dianggap sebagai gesture perlawanan terhadap Belanda.
Hingga pada akhirnya tahun 1912 karir politik beliau dimulai setelah beliau berkenalan dengan Haji
Samanhudi pendiri dan pemimpin Sarekat Dagang Islam (SDI) ini bersama dua orang temannya datang ke
Surabaya dalam usaha mereka untuk mengembangkan SDI. Beliau mengajak Cokroaminoto yang dikenal
sebagai Muslim terpelajar untuk turut berjuang bagi kepentingan umat Islam. Cokroaminoto setuju dan
dengan spontan ia menyarankan agar nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI).

Anda mungkin juga menyukai