Anda di halaman 1dari 14

1.

ANEMIA DENGAN CKD

Menurut World Health Organization (WHO), anemia didefinisikan sebagai


konsentrasi hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dari 13.0 g/dL pada pria dan wanita
postmenopause dan lebih rendah dari 12.0 g/dL pada wanita premenopause. Sedangkan
anemia pada pasien dengan CKD didefinisikan sebagai konsentrasi Hb di bawah 11.5
g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria ≤70 tahun, dan 12.0 g/dL pada pria lebih dari 70
tahun (The European Best Practice Guidelines).
Penyebab terjadinya anemia pada pasien dengan CKD antara lain: kehilangan darah,
pemendekan masa hidup sel darah merah, uremic milieu, defisiensi erythropoietin (EPO),
defisiensi zat besi, dan inflamasi (Nurko, 2006).
1) Kehilangan darah
Pasien dengan CKD memiliki risiko kehilangan darah karena disfungsi platelet.
Penyebab utama kehilangan darah pada pasien CKD yaitu dialysis, terutama
hemodialisis, dan kehilangan darah ini menyebabkan defisiensi zat besi yang berat.
Pasien dengan hemodialisis mungkin mengalami penurunan 3 sampai 5 gram zat besi per
tahun. Secara normal, setiap orang mengalami penurunan zat besi sebesar 1 sampai 2 mg
per hari, jadi pada pasien dengan dialysis terjadi penurunan zat besi 10 sampai 20 kali
lipat lebih besar dibanding individu normal.
2) Pemendekan masa hidup sel darah merah
Masa hidup sel darah merah mengalami penurunan kurang lebih sebesar 1/3 pada
pasien hemodialisis.
3) Uremic milieu
Uremic milieu merupakan istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan adanya
disfungsi organ multiple pada CKD. Penelitian pada pasien yang mendapatkan terapi
hemodialisis menunjukkan adanya peningkatan hematokrit ketika terjadi peningkatan
intensitas hemodialisis. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menurunkan uremia dapat
mengembalikan atau meningkatkan fungsi sumsum tulang belakang.
4) Defisiensi EPO
Erythropoietin (EPO) adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol produksi
erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin adalah ginjal,
walaupun disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati. Sel ginjal yang mensekresi
adalah sekumpulan sel di interstitium. Stimulus dari pengsekresian erythropoietin adalah
berkurangnya tekanan parsial oksigen pada ginjal, seperti pada anemia, hipoksia arterial,
dan tidak adekuatnya aliran darah ginjal. Erythropoietin menstimulasi sumsum tulang
untuk meningkatkan produksi eritrosit.
Defisiensi EPO diduga merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada pasien
CKD. Sel-sel yang memproduksi erythropoietin mengalami deplesi atau kerusakan
seiring dengan perkembangan CKD, sehingga produksi EPO menjadi lebih rendah.
Defisiensi EPO pada CKD mungkin merupakan respon fungsional terhadap penurunan
GFR. Mekanisme yang mendasari mungkin sel-sel yang memproduksi EPO pada ginjal
tidak mengalami hypoxia. Jika GFR rendah, maka reabsorbsi natrium juga mengalami
penurunan. Reabsorbsi natrium merupakan determinan utama konsumsi oksigen di ginjal,
sehingga pada ginjal mungkin terdapat oksigen yang berlebih yang dapat menyebabkan
down regulasi produksi EPO (Donnelly, 2001). Selain itu, pasien yang mendapatkan
terapi dialysis dapat mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan produksi EPO.
5) Defisiensi zat besi
Homeostasis zat besi dalam tubuh tergantung pada jumlah zat besi yang diabsorbsi
dalam duodenum dan dari sel darah merah yang telah mati. Sebagian besar zat besi terikat
pada hemoglobin dan disimpan dalam hepatosit dan makrofag pada sistem
reticuloendothelial. Zat besi ditransport ke eritrosit yang matur oleh protein yang disebut
transferrin, yang mengangkut zat besi yang diserap dan dilepas makrofag. Pada pasien
dengan CKD terjadi gangguan pada homeostasis zat besi. Transferrin pada pasien dengan
CKD hanya terdapat sebesar 1/3 sampai ½ dari jumlah normal, yang menunjukkan
kapasitas sistem transport zat besi dalam tubuh. Hal ini diduga disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk melepas zat besi yang disimpan dalam makrofag dan hepatosit.

1. MANIFESTASI KLINIS
Gejala menurut (Long,1996 : 369)
 Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang,mudah tersinggung, depresi
 Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,nafas dangkal

Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:


1. Kardiovaskuler: Hipertensi,nyeri dada, gagal jantung kongesti, edema
pulmoner,perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital,
friction rub pericardial, pembesaran vena leher (peningkatan JVP)
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat,kulit kering bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan pernafasan
kussmaul
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau ammonia,
Ulserasi,perdarahan mulut, konstipasi, diare, perdarahan saluran cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan, perubahan tingkat
kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki sehingga selalu
digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati
(kelemahan dan hipertrofi otot-otot ekstremitas)
7. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, lemak dan vitamin D
8. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
9. Kelainan mata : Azotemia ameurosis, retinopati, nistagmus, miosis dan pupil
asimetris, red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi, Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronis akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya
dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat
hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang
adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin
disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
10. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom normositer dan
normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah karena anemia atau akumulasi
substansi buangan dalam tubuh. Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah
yang tidak berfungsi. Selain itu hemopoesis dapat terjadi karena berkurangnya
produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi
11. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya retensi garam
dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesia,
hipokalsemia
12. Farmakologi : Obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal

13. Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
14. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
15. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan
salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
16. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini
17. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu, gatal-gatal,
gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru, otot-otot mengecil,
Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas dan confusion, Perubahan
berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria

2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKA
 Pemeriksaan Laboratorium
 Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
 Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
 Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein
 Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun,
HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-
basa organik pada gagal ginjal.
 Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
 BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir. Rasio
BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
 GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
 Protein albumin : menurun
 Natrium serum : rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung berapa
banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
 Kalium, magnesium : meningkat
 Kalsium : menurun

 Pemeriksaan Urin
 Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin (anuria)
 Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat yang tidak
terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat
sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin.
 Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
 Klirens kreatinin : mungkin menurun.
 Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
 Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan
glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
 Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat
dari komplikasi yang terjadi
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram memberikan
hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal
oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
d. Endoskopi : untuk menentukkan pelvis ginjal, batu, hematuria, dan pengangkatan
tumor selektif
e. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
f. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan kanan, tanda-
tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
g. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan ekstravaskularisasi
serta adanya masa.
h. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.

 Pemeriksaan Patologi Anatomi


 Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik atau perlu
diketahui etiologi daru penyakit ini

3. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
 Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja
ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.4)Mencegah atau
mengurangi progresifitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju filtrasi
glomerulus (Almatsier, 2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan
untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Protein rendah, yaitu
0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu
20-30% dari kebutuhan total energi, diutamakan lemak tidak jenuh ganda.
Karbohidrat cukup, yaitu : kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari
protein dan lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium dibatasi (60-70
mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.
 Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi. Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
 Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan dibatasi yaitu sebanyak
jumlah urine sehari ditambah dengan pengeluaran cairan melalui keringat dan
pernapasan (±500 ml).
 Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin C,
vitamin D.

b. Terapi Simtomatik
 Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia:
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-stimulating agents
(ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara signifikan.
ESAs harus diberikan untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi hemoglobin
11.0 sampai 12.0 gr/dL. Pasien juga harus menerima suplemen zat besi selama
menerima terapi ESA karena erythropoiesis yang diinduksi secara farmakologis
dibatasi oleh supply zat besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang lebih sedikit
setelah pasien menerima suplemen zat besi. Selain itu, karena tubuh membentuk
banyak sel darah merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi sehingga dapat
terjadi defisiensi zat besi. Serum ferritin dan persen transferrin saturation mengalami
penurunan setelah 1 minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang menerima
dialysis. Karena pasien CKD mengalami gangguan metabolism zat besi, serum ferritin
dan persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih tinggi daripada individu
normal. Maintenance serum ferritin yang disarankan yaitu ≥200 ng/mL, dan persen
transferrin saturation ≥20%. Sebagian besar pasien CKD membutuhkan suplementasi
zat besi parenteral untuk mencapai kadar zat besi yang disarankan.
 Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
 Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
 Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
 Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal .
 Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan membantu penyembuhan luka.
Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu
membran berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.
Terdapat dua teknik yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
 Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan atau
produk limbah karena dalam tubuh penderita gagal ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin (2000),
hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah
dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk kedalam sebuah mesin yang
dihubungkan dengan sebuah membran semipermeable (dializer) yang terdiri dari
dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat,
sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-
shunt). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat. Hemodialisis di
Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre
kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.

 Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara
lain :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksresi, yaitu membuang sisa-sisa


metabolisme (ureum, kreatinin, dll).

b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang


seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat
c. Meningkatan kualitas hidup klien yang menderita penurunan fungsi ginjal.

 Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada penanganan gagal ginjal


akut dan kronis. Pengobatan ini jarang dipakai untuk jangka panjang. Akhir-akhir
ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat
ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

 Koreksi Hiperkalemi : Mengendalikan kalium darah sangat penting karena


hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama diingat jangan
menimbulkan hiperkalemia. Bila terjadi hiperkalemia, maka obati dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
 Koreksi Anemia: Usaha pertama harus dilakukan untuk mengatasi factor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian
gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat
diberikan bila ada indikasi kuat, misalnya: insufisiensi koroner.
 Koreksi Asidosis: Pemberian makanan dan obat harus dihindari. Natrium Bikarbonat
dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat
diberi intravena perlahan-lahan. Jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan
dialysis peritoneal juga dapat mengatasi asidosis.
 Pengendalian Hipertensi : Pemberian obat Beta-Blocker, Alpa Metildopa, dan
vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dan mengendalikan hipertensi harus
hati-hati karena tidak sama gagal ginjal disertai retensi natrium.
 Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan program transplantasi ginjal :
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal ginjal
 Kualitas hidup normal kembali
 Survival rate meningkat
 Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
 Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan pada fosa
iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah beranastomosis atau
berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri renalis berimplantasi pada arteri iliaca
interna dan vena renalis beranastomosis dengan vena iliaca komunis atau eksterna.
 Terapi Obat
 hindari antacids or laxatives magnesium to prevent magnesium toxicity.
 antipruritics, such as diphenhydramine (Benadryl)
 vitamin supplements (particularly B vitamins and vitamin D)
 loop diuretics, such as furosemide (if some renal function remains), along with fluid
restriction to reduce fluid retention
 digoxin (Lanoxin) to mobilize edema fluids
 antihypertensives to control blood pressure and associated edema
 antiemetics taken before meals to relieve nausea and vomiting
 famotidine (Pepcid) or nizatidine (Axid) to decrease gastric irritation.

Penatalaksanaan Menurut Derajat CKD


LFG Perencanaan
Derajat
(ml/mnt/1,873 m2) Penatalaksanaan Terapi
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,
kondisi kormobid, evaluasi perburukan
1 >90
(progresion) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler.
Menghambat perburukan (progresion) fungsi
2 60-89
ginjal
Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
3 30-59
komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis)
Dialysis dan mempersiapkan terapi
5 <15
penggantian ginjal (transplantasi ginjal)

4. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi ginjal
adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa mengalami tekanan darah tinggi
ketika terjadi gangguan kronis dari fungsi ginjal. Selanjutnya kondisi demikian
akan mempercepat peningkatan risiko penyakit jantung.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
10) Perdarahan
11) Neuropati perifer
12) Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
13) Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan garam
kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal ini
secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai terluka dan
terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan kulit menjadi
rusak, bahkan terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung (kasar & kering)
14) Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam kejadian di
lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau kejang otot jantung,
atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat sebelumnya.
5. PENCEGAHAN
a) Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat netrotoksik,
menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu, mencegah kehamilan pada
penderita yang berisiko tinggi, konsumsi garam sedikit. makin tinggi konsumsi garam,
makin tinggi pula kemungkinan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat
mempermudah terbentuknya kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
b) Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri atas
pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta) untuk menghambat
progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang terdiri dari dialisis dan
transplantasi ginjal. Pengobatan Konservatif : memanfaatkan faal ginjal yang masih
ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat
progresivitas gagal
c) Pengaturan diet kalium, natrium dan cairan
Diet rendah kalium .Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah 40-80
mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia. Selain itu,Diet rendah natrium Diet Na yang dianjurkan
adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na). Dapat mengakibatkan retensi cairan, edema
perifer, edema paru, hipertensi gagal jantung kongestif. Pengaturan cairan Asupan
yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema.
Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan
gangguan fungsi ginjal
d) Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau
kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi juga menyangkut
rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi penderita GG dapat berupa: mengurangi
stress, menguatkan sistem pendukung sosial atau keluarga untuk mengurangi pengaruh
tekanan psikis pada penyakit GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, hindari
imobilisasi karena hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi tulang,
meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi program diet yang
dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar kualitas hidup dan
rehabilitasi dapat dicapai.

Anda mungkin juga menyukai