Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

A. Identitas Pasien
- Nama : Tn Bernat Mone
- Jenis kel : Laki-laki
- Umur : 53 tahun
- Alamat : Camplong II
- Tgl Masuk RS : 18 Maret 2018
- No RM : 052099

B. Anamnesis
KU : Tangan dan kaki lemas
RPS :
Sejak 2 minggu SMRS os merasa dada sering berdebar-debar, tidak ada nyeri dada dan sesak
nafas, tidak ada nyeri perut, mual (-), muntah (-), pusing (-), keringat dingin (-). Batuk (+),
berdahak (+), jarang-jarang. Os tidak memeriksakan keluhannya ke dokter.
Hari SMRS os tiba-tiba tidak sadar, seluruh tubuh lemas, badan panas, keringat dingin (-),
dada berdebar-debar (+), nyeri dada (-), nyeri perut (-), mual (-), muntah (-), pusing (-),
pandangan kabur (-). Lalu os dibawa ke IGD RSUD Muntilan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat DM (+) terkontrol
Riwayat dislipidemia (+) terkontrol
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Os merupakan seorang perokok aktif

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat gejala serupa di keluarga disangkal
Riwayat DM (+) kakak kandung
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat HT disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
 05/05/2011 ( Saat masuk RS)
KU : lemah, somnolen
TD : 100/61 mmHg
Cor/pulmo : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstrimitas : dalam batas normal
Pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Mei 2011
WBC : 4,85 GDS : 561
Hb : 15,3 Ureum : 196
Ht : 42,2 Creatinin : 3,1
MCV : 87,0 Asam urat : 6,7
MCH : 31,5 Kolesterol : 276
MCHC : 36,3 Trigliseride : 634
PLT : 46 SGOT : 51
SGPT : 66
Urin rutin
Makroskopis
Warna : kuning
Kekeruhan : jernih

Kimia :
Glukosa : +4
Protein :±
Bilirubin : (-)
Urobilinogen : normal
PH : 5,5
BJ : > 1,030
Blood :±
Keton : +1
Leukosit : (-)
Nitrit : (-)
Sedimen
Epithel squamosa : 0-2
Leukosisit : 01-2
Eritrosit : 0-2
Silinder : (-)
Kristal : (-)
Bakteri : (-)

Roentgen Thorax:
 Lesi opak pada apek pulmo kiri
 Lesi opak suprahiler kiri
 COR < 0,05
 Kesan : bronkopneumoni kiri
DD : Proses TB

EKG : irama sinus, regular, HR : 120-140, aksis normal, zona transisi di V4


Kesan : sinur takikardi

 Tanggal 12 Mei 2011


KU : lemah, CM
TD : 120/70
N : 140 x/menit
RR : 24 x/menit
S : 140 x/menit
- Ceph :
CA +/+, SI -/-, pupil isokor 3mm/3mm, nafas bau keton (-) kaku kuduk (-)
- Thorax:
Pulmo :
Inspeksi  simetris, retraksi dada (+), ketinggalan gerak (-)
Palpasi  simetris (+), ketinggalan gerak (-), vocal vremitus kanan=kiri
Perkusi  sonor / sonor
Auskultasi  SD : vesikuler +/+ ST : ronki (-) wheezing (-)
Cor :
Inspeksi  iktus kordis tak kuat angkat
Palpasi  iktus kordis teraba di SIC 5
Auskultasi  S1S2 reguler, takikardi, bising (-)
- Abdomen :
Inspeksi : lebih tinggi dari dada, tak tampak pembesaran organ ataupun massa
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : supel (+), turgor kulit dbn, pembesaran organ (-),asites (-)
- Ekstrimitas : akral hangat, edema -/-/-/-
GDS : 490

D. Assasmen :
Hiperglikemia : ketoasidosis diabetikum
Hiperosmolar non ketotik

E. Terapi :
Drip insulin esuai algoritme
Infuse NaCl 0,9% 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1 gr/8 jam
Injeksi ranitidine 1 A/ 12 jam
Prorenal 3 x I
Lapibros 1 x I (malam)
Alopurinol 100 mg 1 x I
Paracetamol 3 x 1
Balance cairan nol sampai dengan + 500 cc.
TINJAUAN PUSTAKA
KOMA HIPERGLIKEMI

A. PENDAHULUAN
Koma hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan keadaan serius yang
mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Koma hiperglikemia dapat terjadi
dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik
(SHH)/hiperosmolar non ketotik (HONK) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua
keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat
pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan HONK ditandai dengan hiperosmolalitas berat
dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni.

B. DEFINISI
Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah daripada rentang
kadar puasa normal 80 – 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg /100
ml darah. Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa
bila tidak ditangani secara tepat. lnsiden kondisi ini bisa terus meningkat, dan tingkat mortalitas
1-2 persen telah dibuktikan sejak tahun 1970-an. Ketoasidosis diabetikum paling sering terjadi
pada pasien penderita diabetes tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes
mellitus), akan tetapi keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya
disebut non-insulin dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit hitam yang gemuk
adalah tidak sejarang yang diduga.
Sindrom hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) /hiperosmolar non ketotik
(HONK) ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar, tanpa disertai adanya ketosis. Gejala
klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai dengan
gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu
(beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai
poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%.
Ditinjau dari sudut patofisiologi, HHNK dan KAD merupakan suatu spectrum
dekompensasi metabolic pada pasien diabetes; yang berbeda adalah awitan (onset), derajat
dehidrasi, dan beratnya ketosis.
Salah satu kendala dalam laporan mengenai insidensi, epidemiologi dan angka
kematian KAD adalah belum ditemukannya kesepakatan tentang definisi KAD. Sindroma ini
mengandung triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Konsensus diantara
para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD adalah pH arterial < 7,3, kadar
bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria
moderate. HONK pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada tahun 1957. HONK
didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dihidrasi berat
tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Serum dihitung dengan rumus sebagai berikut :
2(Na)(mEq/L) + glucose (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai normalnya adalah 290 ± 5
mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda nitroprusid
pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7,3. Hiperglikemia pada SHH
biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai
sebagai kriteria diagnostik. HONK lebih sering terjadi pada usia tua atau pada mereka yang
baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat.

C. EPIDEMIOLOGI
Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah antara 4.6
sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian HONK <1%. Pada
penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa dari 613 pasien yang
diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% HONK dan 33% merupakan campuran dari kedua
keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata sepertiga dari mereka yang presentasi
kliniknya campuran KAD dan HONK, adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.
Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada sentrum yang
berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan hiperglikemia hiperosmoler
(HONK) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya lebih buruk pada usia ekstrim yang
disertai koma dan hipotensi. Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka
mortalitas pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan
33% pada kelompok usia > 79 tahun .Untuk kasus HONK mortalitas berkisar antara 10% pada
mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun, dan 35% pada
mereka yang berusia >84 tahun. Empatpuluh % pasien yang tua yang mengalami krisis
hiperglikemik sebelumnya tidak didiagnosis sebagai diabetes.

D. ETIOLOGI
Penyebab tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui kekurangan insulin
adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang peranan penting. Yang lain akibat
pengangkatan pancreas, pengrusakan secara kimiawi sel beta pulau langerhans.
Faktor predisposisi herediter, obesitas. Faktor imunologi; pada penderita
hiperglikemia khususnya DM terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini
mereupakan repon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing.

E. FAKTOR PENCETUS
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling utama pada KAD dan HONK.
Disamping itu pemberian insulin dengan dosis yang tidak adekuat, juga merupakan faktor
pencetus untuk terjadinya KAD pada penderita DM tipe 1. Faktor pencetus lain adalah CVD,
penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli paru dan infark miokard. Berbagai jenis obat dapat
pula mengganggu metabolisme karbohidrat, antara lain : kortikosteroid, pentamidine, obat-obat
simpatomimetik, penghambat β dan β adrenergik serta diuretik , sehingga dapat pula
mencetuskan KAD dan HONK terutama pada penderita usia lanjut. Disamping itu pada
penderita DM tipe 1 onset baru biasanya terdiagnosis pertama kali karena KAD. HONK juga
dapat terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut yang tidak menyadari kondisi
hiperglikeminya dan kurang mendapat asupan cairan yang cukup pada saat diperlukan. Pada
penderita DM tipe 1 yang disertai problem psikologik sehingga terjadi gangguan selera makan
dapat pula menjadi faktor pemicu KAD yang berulang.

F. PATOGENESIS
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin,
relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak
adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk mensupres
ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan
menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia
bertambah berat dan produksi insulin makin kurang.
Pada KAD dan HONK, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah,
terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh
ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia
dan perubahan osmolaritas extracellular. Kombinasi kekurangan hormon insulin dan
meningkatnya hormone kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release
asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam
lemak hepar menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak
terkendali, sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH
mungkin disebabkan oleh konsentrasi hormone insulin plasma yang tidak cukup untuk
membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup
adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis;
akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah. KAD dan HONK berkaitan dengan
glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit
lain keluar.
Ada sekitar 20 % pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama
kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui sebelumnya, 80 % dikenali adanya faktor
pencetus. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard
akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi
dosis insulin. Sementara itu 20 % pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi gula hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan derajat berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda
klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:
 Akibat hiperglikemia
 Akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapat menurunkan glukosa, sistem homeostasis tubuh terus
teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara
berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB);
dalam keadaan normal 3HB meliputi 75-85 % dan aseton darah merupakan benda keton yang
tidak begitu penting. Meskupin sudah tersedia bahan bakar tersebut, sel-sel tubuh masih tetap
lapar dan terus menerus produksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi
signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis lemak,
menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong oksidasi melalui siklus krebs
dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang merupakan
energi utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin
relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa dapat mengganggu
sensitivitas insulin.
Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat
dipahami paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia.
Manifestasi utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1)
berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; 2). Berkurangnya penggunaan glukosa
oleh pelbagai jaringan, dan 3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati.
Masing-masing peristiwa ini akan dibicarakan lebih rinci dibawah ini.

Factor yang memeluiai timbulnya HONK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria


mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
intravascular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup
untuk menurunkan kadar gluksoa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.
Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HONK tidak mengalami ketoasidosis,
nmaun tidak dimketahui dengan jelas alasannya. Factor yang diduga ikut berpengaruh adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar,kadar asam lemak bebas yang rendah
untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun
tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glucagon.
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemia.
Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer perifer termasuk oleh sel otot jaringan dan
sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi
glucagon pada sel hati, dan stimulasi glucagon pada sel hati untuk glukoneogenesis
mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin tidak
mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi
dan masukan karbohidrat oral.
Hiperglikemi mengakibatkan timbulnya diuresis osmotic, dan mengakibatkan
menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vascular, dimana glukoneogenesis dan masukan
makanan terus menerus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan meningkatnya konsentrai
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravascular menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormone anti diuretic. Keadaan
hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovelemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium akhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.

G. MANIFESTASI KLINIS
 Polifagi.
 Polidipsi
 Poliuri.
 Kelainan kulit, gatal-gatal, kulit kering
 Rasa kesemutan, kram otot
 Visus menurun
 Penurunan berat badan
 Kelemahan tubuh dan luka yang tidak sembuh-sembuh

Sekitar 80 % pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini
tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut
DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat
dan dalam (kussmaul), berbagaia derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak
terlalu mudah tercium.
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuria dan
polidipsia sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin,
demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada
KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastro-paresis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).
Keluhan pasien HONK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang bila dibandingkan dengan
KAD. Kadang pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang
buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstrimitas yang dingin dan denyut
nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu
tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah
rehidrasi adekuat.
Secara klinik HONK sulit dibedakan dengan KAD terutama bila kadar laboratorium
seperti glukosa darah, keton dan analisa gas darah belum ada hasilnya. Berikut ini adalah
beberapa gejala dan tanda:
 Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin
berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.
 Hampir separuh apsien tidak mempunyai nriwayat DM atau DM tanpa insulin.
 Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap oenyakit ginjal atau
kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis dan penyakit
Chusing.
 Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain thiazid, furosemid, manitol, digitalis,
reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin, dan haloperidol
(neuroleptik).
 Mempunyai factor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,
perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, penkreatitis, koma hepatic dan operasi.

H. DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :
Proses terjadinya HONK biasanya mulai terjadi dalam beberapa hari sementara
timbulnya episode KAD terjadi secara mendadak. Walaupun gejala dari DM yang tidak
terkontrol baik dapat terjadi dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas dari KAD
biasanya terjadi dalam waktu yang singkat (kurang dari 24 jam). Temuan laboratorium awal
pada pasien HONK adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg/dL) dan
omolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih
besar dari 7,30 dan disertai ketonuria ringan atau tidak. Separuh apsien akan menunjukkan
asidosis metabolic atau anion gap yang ringan (10-12). Jika anion gap nya berat (>12), harus
dipikirkann diagnosis diferential asidosis laktat atau penyebab lain.
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia
hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai
kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
Langkah pertama yang harus diambil pada paasien dengan KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi
jalan nafas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah
ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dilakukan setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan
pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah
glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat
menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3-, anion gap, pH darah
dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.
Kriteria diagnosis KAD:
a. kadar glukosa > 250 mg%
b. pH < 7,35
c. HCO3- rendah
d. Anion gap yang tinggi
e. Keton serum positif
Baik pada KAD maupun HONK , dapat ditemui gambaran klinis yang klasik meliputi:
- poliuri, polidipsi dan polifagi
- penurunan BB dalam waktu singkat
- mual muntah
- nyeri perut
- dehidrasi
- badan lemas
- penglihatan kabur
- gangguan kesadaran mulai dari apatis sampai koma.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
- Turgor yang kurang, bibir dan kulit kering
- Pernafasan Kussmaull ( pada KAD )
- Takhikardi
- Hipotensi
- Syok hipovolemik
- Gangguan kesadaran dari apatis sampai koma
Lebih dari 25% penderita KAD mengalami muntah yang dapat berwarna hitam
kecoklatan yang pada endoskopi terlihat adanya gastiris erosive karena stress ulcer. Perubahan
status mental dapat bervariasi mulai dari sadar penuh pada kasus ringan sampai letargi atau
koma pada kasus yang berat. Walaupun infeksi merupakan faktor pemicu utama terjadinya
KAD atau HONK, pada pengukuran suhu tubuh dapat menunjukkan suhu tubuh yang normal
(normotermik) atau bahkan hipotermik, terutama karena adanya vasodilatasi perifer. Hipotensi
merupakan petanda prognosis yang jelek pada kedua komplikasi ini.

Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium pertama yang harus dilakukan pada pasien2 yang dicurigai KAD
atau HONK meliputi :
- Pemeriksaan kadar glukosa darah plasma, ureum, kreatinin dan keton serum, elektrolit,
osmolalitas, urinalisis, keton urin, analisa gas darah, darah rutin lengkap dan
Elektrokardiografi
- Biakan urin, darah dan usap tenggorok dilakukan untuk pertimbangan pemberian antibiotika
yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi.
- Pemeriksaan HbA1c (A1c) bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut dari krisis
hiperglikemi ini terjadi akibat kulminasi dari proses perjalanan penyakit DM yang tidak
terdiagnosis sebelumnya atau tidak terkontrol baik atau murni merupakan episode akut dari
DM yang selama ini terkontrol baik.
Kebanyakan pada pasien dengan krisis hiperglikemik ditemukan adanya lekositosis.
Kadar natrium serum biasanya mengalami penurunan karena perubahan aliran air dan elektrolit
dari ruang intravaskuler menuju ekstraseluler akibat adanya hiperglikemi. Kadar kalium serum
dapat mengalami peningkatan karena perpindahan kalium ekstraseluler akibat defisiensi
insulin, hipertonisitas dan asidemia. Penderita yang pada saat pertama kali datang dengan kadar
kalium yang normal rendah atau rendah, sebenarnya sudah menunjukkan defisiensi kalium
yang berat sehingga memerlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan gangguan
fungsi jantung sehingga perlu diberikan suplemen kalium yang cukup untuk mencegah
terjadinya aritmia jantung. Terjadinya stupor atau koma pada penderita DM tanpa adanya
kelainan osmolalitas perlu segera dipertimbangkan adanya penyebab lain dari perubahan status
mental ini. Osmolalitas efektif dapat dihitung dengan rumus :
2 [Na+(mEq/l)] + glucose(mg/dl)/18
Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik
Ketoasidosis Diabetik Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik
Ringan Sedang Berat
Glukosa Plasma > 250 > 250 > 250 > 600
(mg/dl)
pH arteri 7,25-7,30 7,00- <> > 7,30
<7,24
Bikarbonat Serum 15-18 10-<15 <> > 15
(mEq/l)
Keton urin Positif Positif Positif Sedikit/negative
Keton Serum Positif Positif Positif Sedikit/negative
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320
efektif (mOsm/kg)
Anion gap > 10 > 12 >12 <12
Sensorium Sadar Apatis Stupor/Coma Stupor/Coma

I. DIAGNOSIS BANDING
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis disebabkan karena DM. Ketosis akibat
kelaparan dan alcoholic ketoacidosis dapat dibedakan dengan KAD dari anamnesis riwayat
menderita DM dan pemeriksaan kadar glukosa plasma yang tidak terlalu tinggi (jarang
melebihi 250 mg/dl) bahkan sampai hipoglikemi. Pada ketosis akibat starvasi (kelaparan yang
berat), kadar bikarbonat serum biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.

J. PENATALAKSANAAN
Kebehasilan pengobatan KAD dan HONK membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan
faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang
ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu
dilaksanakan dengan baik.
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:
a. Penggantian cairan dan garam yang hilang
b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian
insulin.
c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.

Perawatan umum
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 di antaranya
ialah:
a. Cairan
b. Insulin
c. Garam
d. Kalium
e. Glukosa
Sedangkan yang terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di
sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil.

Cairan
Untuk mengatasi dehidrsi digunkaan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama
diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada
KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila
kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa
(dekstrosa 5 % atau 10 %).

Insulin
a. Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan
Insulin regular intravena memiliki waktu paruh 4–5 menit, sementara pemberian
insulin secara intramuskular atau subkutan memiliki waktu paruh sekitar 2–4 jam. Insulin infus
intravena dosis rendah berkelanjutan (continuous infusion of low dose insulin) merupakan
standar baku pemberian insulin di sebagian besar pusat pelayanan medis. Panduan terapi
insulin pada KAD dan SHH dapat dilihat pada tabel. 2
Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5%
100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI)
dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga mencapai
50 cc (1 cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur
kecepatan tetesan 1,5 cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%,
yang berarti setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI.
Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl
0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan
diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila dibutuhkan
1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan tetesan 12
jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit perjam,
kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6 jam,
demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan
infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.2
Pemberian insulin infus intravena dosis rendah 4–8 unit/jam menghasilkan kadar
insulin sekitar 100 uU/ml dan dapat menekan glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%.2
Cara pemberian infus insulin dosis rendah berkelanjutan dikaitkan dengan komplikasi
metabolik seperti hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesema,
hiperlaktatemia, dan disequilibrium osmotik yang lebih jarang dibandingkan dengan cara terapi
insulin dengan dosis besar secara berkala atau intermiten. 2

b. Insulin intramuskular
Penurunan kadar glukosa darah yang dicapai dengan pemberian insulin secara
intramuskular lebih lambat dibandingkan dengan cara pemberian infus intravena berkelanjutan.
Terapi insulin intramuskular dosis rendah (5 unit) yang diberikan secara berkala (setiap 1–
2jam) sesudah pemberian insulin dosis awal (loading dose) sebesar 20 m juga merupakan cara
terapi insulin pada pasien KAD. Cara tersebut terutama dijalankan di pusat pelayanan medis
yang sulit memantau pemberian insulin infus intravena berkelanjutan. Pemberian insulin
intramuskular tersebut dikaitkan dengan kadar insulin serum sekitar 60–90 μU/dL.
Panduan cara pemberian insulin pada pasien KAD dan HONK dewasa

c. Insulin subkutan
Terapi insulin subkutan juga dapat digunakan pada pasien KAD. Namun, untuk
mencapai kadar insulin puncak dibutuhkan waktu yang lebih lama. Cara itu dikaitkan dengan
penurunan kadar glukosa darah awal yang lebih lambat serta timbulnya efek hipoglikemia
lambat (late hypoglycemia) yang lebih sering dibandingkan dengan terapi menggunakan
insulin intramuskular.
Cara Pemberian Terapi Insulin Subkutan

Pada mayoritas pasien, terapi insulin diberikan secara simultan dengan cairan
intravena. Apabila pasien dalam keadaan syok atau kadar kalium awal kurang dari 3,3 mEq/L,
resusitasi dengan cairan intravena atau suplemen kalium harus diberikan lebih dahulu sebelum
infus insulin dimulai. Insulin infus intravena 5-7 U/jam seharusnya mampu menurunkan kadar
glukosa darah sebesar 50–75 mg/dL/jam serta dapat menghambat lipolisis, menghentikan
ketogenesis, dan menekan proses glukoneogenesis di hati. 2
Kecepatan infus insulin harus selalu disesuaikan. Bila faktor-faktor lain penyebab
penurunan kadar glukosa darah sudah dapat disingkirkan dan penurunan kadar glukosa darah
kurang dari 50 mg/dL/jam, maka kecepatan infus insulin perlu ditingkatkan. Penyebab lain dari
tidak tercapainya penurunan kadar glukosa darah, antara lain rehidrasi yang kurang adekuat
dan asidosis yang memburuk. 2
Bila kadar glukosa darah sudah turun < 250 mg/dL, dosis insulin infus harus dikurangi
menjadi 0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai pasien mampu minum atau makan. Pada tahap ini,
insulin subkutan dapat mulai diberikan, sementara infus insulin harus dilanjutkan paling sedikit
1–2 jam setelah insulin subkutan kerja pendek diberikan. Pasien KAD dan SHH ringan dapat
diterapi dengan insulin subkutan atau intramuskular. Hasil terapi dengan insulin infus
intravena, subkutan, dan intravena intermiten pada pasien KAD dan SHH ringan tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam hal kecepatan penurunan kadar glukosa dan
keton pada 2 jam pertama. 2

Kalium
Pada awalnya KAD biasanya kadar ion K serum meningkat hiperkalemia yang fatal
sangat jarang dan bila terjdi harus segera diataasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada
elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat
segera mengatasi keadaan hiperkalemi tersebut.
Yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemiayang dapat fatal selaama pengobatan
KAD. Ion kalium terutama terdapat di intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar
sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Total defisit K yang terjadi selama KAD
diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi KAD, ion K kembali mempertahankan
kadar K serum dalam batas normal., perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal
serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram,
pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.

Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60
mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung
glukosa. Perlu dditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar
glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.

Bikarbonat
Terapi bikarbonat pafda KAD menjadi topik perdebatn selama beberapa tahun.
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan
pemberian bikarbonat adalah:
a. Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.
b. Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
c. Hipertonis dan kelebihan natrium
d. Meningkatkan insidens hipokalemia
e. Gangguan fungsi serebral
f. Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian
komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi
pemberian bikarbonat.

Pengobatan Umum
Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum yang tak kalah penting. Pengobatan umum
KAD, terdiri atas:
1. Antibiotika yang adekuat
2. Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)

Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat
penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan:
1. kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer
2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaa.
3. Analisis gas darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1,
selanjutnya setiap hari sampai keadaan stabil
4. Vital Sign tiap jam
5. Keadaan hidrasi, balance cairan
6. Waspada terhadap kemungkinan DIC
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis
yang baku.

Penatalaksanaan HONK:
Penatalaksanaanya serupa dengan KAD, hanya cairan yang dibutuhkan adalah cairan
hipotonis (1/2N, 2A). pemantauan kadar glukosa darah lebih ketat, dan pemberian insulin harus
lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan kadar glukosa darah lebih baik. Walaupun
demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu
saja lebih banyak disertai kelainan organ-organ lainnya.
Penatalaksanaan HONK memerlukan monitoring ketat terhadap kondisi pasien dan
responnya terhadap terpai yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat, dan sebagian
besar pasien tersebut sebaiknya dirawat diruang rawat intensif atau intermediate.
Penatalaksanaan HONK meliputi 5 pendekatan:
1. Rehidrasi intravena
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan managemen factor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan
1. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HONK adalah penggantian
cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan deficit
cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan
isotonic akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi deficit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis myelin
difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya
mengalami syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada orang dewasa, risiko edema serebri rendah sedangkan konsekuensi dan terapi
yang tidak memadai meliputi oklusi vascular dan peningkatan mortalitas.
Pada awal terapi, kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin
diberikan, dan hal ini dapat menjadi indicator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang
diberikan. Jika kadar glukosa darah tidak bias diturunkan sebesar 75 – 100 mg per dL per jam,
hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal.

2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena kadar kalium
dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika
diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar
elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien harus dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda
dan diberikan dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai
kadar kalium setidaknya 3,3 mEq per L), kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0
mEq per L, namun sebaiknya kadar kalium ini perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar awal
kalium antara 3,3 – 5,0 meq per L, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter
cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan kadar kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L.

3. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vakular, atau
kematian. Insulin sebaiknya dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara intravena, dan diikuti
dengan drip 0,1 U/kgBB perjam sampai kadar glukosa darah turun antara 250 mg/dl (13,9
mmol per L) sampai 300 mg per dL. Jika kadar gluksoa darah sudah mencapai dibawah 300
mg/dL, sebaiknya diberikan dektrosa secara intravena dan dosis insulin secara sliding scale
sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.

4. Identifikasi dan eliminasi factor penyebab


Walaupun tidak direkomendasikan untuk emmberikan antibiotic kepada semua
pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotic dianjurkan ambil menunggu
hasil kultur pada paien usia lanjut dan pada pasien dengan hipotensi. Berdasarkan penelitian
terkini, peningkatan kadan c-reaktif protein dan interleukin 6 merupakan indicator awal sepsis
pada pasien dengan HONK.

K. KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/HONK dan
komplikasi akibat pengobatan.
Penyulit KAD dan HONK yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan
dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian
insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian
insulin intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan.
Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi disebabkan oleh penggunaan
larutan saline berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non
anion gap yang sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang
hilang dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini
adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau
oliguria yang ekstrim.
Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi KAD
yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA. Umumnya terjadi pada anak-
anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah
diketahui DM dan pada orang-orang umur duapuluhan. Kasus yang fatal dari edema cerebral
ini telah pula dilaporkan pada HONK. Secara klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan
tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala ini
makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat
walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan
perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 7–14% pasien yang
sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak
diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat
dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD atau HONK.
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema cerebral
pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien orang dewasa
lebih secara klinis, daripada bukti ilmiah.
Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi resiko edema cerebral pada pasien
dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air dan natrium berangsurangsur
dengan perlahan pada pasien yang hyperosmolar (maksimal pengurangan osmolaritas 3 mOsm·
kg-1 H2O· h-1) dan penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai
250 mg/dl. Pada SHH, kadar glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai
keadaan hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil.
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi
saat terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan
osmotic koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan
compliance paru-paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen
alveoloarteriolar yang lebar pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya
ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru. Peningkatan
kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD maupun SHH. Pada
penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan lipase terjadi pada 16 – 25%
kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih dari 3 kali nilai normal
tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian, pankreatitis akut dapat juga
terjadi pada 10 – 15% kasus KAD. Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh
keadaan hipertonisitas merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada
keadaan ini risiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin
diperlukan dekompresi dengan naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam
lambung sebagai tindakan profilaksis.

L. PENCEGAHAN
Banyak kasus KAD dan HONK dapat dicegah dengan perawatan medic yang baik,
edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama belum
timbulnya penyakit. Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal ini
meliputi informasi spesifik pada 1)kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan 2) target
glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit, 3) mengobati demam dan
infeksi, dan 4) inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung karbohidrat
dan garam. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah menghentikan
insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit .
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan anggota
keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur dan
mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika glukosa darah > 300
mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat
badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau keluarga dapat mencegah
terjadinya HONK dalam kaitan dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu
untuk mengenali atau menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga
pasien mengenai tanda dan gejala newonset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-
obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi
kejadian dan beratnya HONK.
KESIMPULAN

1. Koma hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes Mellitus
(DM), baik tipe 1 maupun tipe 2.
2. Koma hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH)/hiperosmolar non ketotik (HONK) atau kondisi yang
mempunyai elemen kedua keadaan diatas.
3. Pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam (kussmaul), berbagai derajat
dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai
hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak terlalu mudah tercium,
sedangkan keluhan pasien HONK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang bila
dibandingkan dengan KAD. Secara klini sulit dibedakan.
4. Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (≥ 250 mg/dL), ketosis darah
atau urin, dan asidemia (pH < 7.3), sedangkan pada HONK pasien HONK adalah kadar
glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg/dL) dan omolarita serum yang tinggi (> 320
mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]).
5. Terapi bertujuan mengoreksi kelainan patofisiologis yang mendasari, yaitu gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, kadar glukosa darah, gangguan asam basa, serta
mengobati faktor pencetus.
6. Prinsip terapi KAD terdiri dari pemberian cairan, terapi insulin, koreksi kalium, dan
bikarbonat.
7. Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan
komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia,
hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Augusta L. Arifin ,dkk. 2010.Krisis Hiperglikemia Pada Diabetes Melitus. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS.Dr.Hasan
Sadikin Bandung.
2. Syahputra Dr. MHD.. 2003. Diabetik Ketoasidosis. Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
3. Sudoyo W, dkk. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. 2009. P 1906-1910
4. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th ed.
Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738–770
5. Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus :Theory
and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam, Elsevier,1997, 827-844.
6. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes Association.
Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102

Anda mungkin juga menyukai