Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................... ii


TUMOR SINONASAL .............................................................................................. 1
Tumor Sinonasal Benigna .................................................................................... 1
Tumor Sinonasal Maligna ..................................................................................... 11
TUMOR SINONASAL BENIGNA

Tumor sinonasal jinak adalah pertumbuhan sel abnormal didalam cavum nasal
dan atau rongga sinus paranasal. Tumor ini biasanya tumbuh secara perlahan dan
tidak menyebar ke bagian lain dari tubuh, tumor jinak ini dapat timbul dari salah satu
daerah di dalam sinonasal, termasuk pembuluh darah, saraf, tulang, tulang rawan.

1.1. Schneiderian Papilloma (SP)


Tumor ini berasal dari epitel mukosa saluran pernafasan bersilia yang
merupakan derivat dari ektoderm yang melapisi rongga hidung dan sinus
paranasal disebut dengan membran Schneiderian. secara keseluruhan,
Schneiderian papilloma menghasilkan tiga tipe morfologi papilloma yang
berbeda, diantaranya inverted papilloma, oncocytic papilloma, dan exophytic
papilloma.
1.1.1 Epidemiologi
SP adalah tumor jinak sinonasal yang relatif jarang terjadi, sekitar 0,5-
4% dari semua tumor hidung primer adalah Schneiderian papilloma.
Inverted papilloma menyumbang sekitar 70% dari semua kasus SP dan
memiliki insiden 0,74-1,5 kasus per 100.000 kasus per tahun. Pria lebih
rentan terkena daripada wanita, yaitu 4 kali lebih sering. Orang dengan
kulit putih lebih rentan atau lebih berisiko dibandingkan ras lainnya.
Schneiderian papilloma jarang terjadi pada anak-anak, dengan rentang
usia kejadian Fungiform Papilloma lebih sering terjadi pada orang berusia
20-50 tahun, Inverted Pappilloma lebih umum terjadi pada orang dengan
usia 40-70 tahun dan Silindrical Papilloma dengan rata-rata usia pasien
lebih dari 50 tahun.

1.1.2 Etiologi
Etiologi dari Schneiderian papilloma masih belum diketahui. Diduga
sinusitis kronik, polusi udara dan infeksi virus merupakan salah satu
penyebabnya.
Sinusistis paranasal merupakan hal yang sering ditemukan pada pasien
dengan SP dan dianggap oleh banyak peneliti sebagai hal yang terjadi
akibat tumor yang menghalangi sinus daripada hal yang mencetuskan
tumor tersebut. Virus telah lama diduga menjadi penyebab lesi neoplastik
karena memilki kecenderungan untuk membentuk papilloma di daerah lain
di tubuh. Virus yang diduga kuat sebagai salah satu penyebabnya adalah
HPV (Human Papillom Virus).

1.1.3 Manifestasi Klinik


Sinonasal Schneiderian papilloma hampir selalu terjadi unilateral. Tiga
karekteristik klinis utama dari tumor SP adalah; kecenderungan untuk
kambuh, perusakkan struktur disekitarnya dan kecenderungan untuk
berubah menjadi ganas. Beberapa gejala klinis yang muncul adalah;
 Epistaksis
 Nasal discharge
 Epifora
 Nyeri pada wajah
 Obstruksi unilateral

1.1.4 Tipe-tipe Schneiderian Papilloma


a) Fungiform Papilloma (Eksofitik)
Dari ketiga subtipe SP, hanya fungiform yang belum
dilaporkan memiliki potensi untuk berkembang menjadi karsinoma.
Eksofitik secara khas timbul pada septum cavum nasal, biasanya pada
bagian anterior, pada pemeriksaan fisik berwarna abu-abu, merah
muda atau coklat, tidak transparan, melekat pada septum hidung
dengan dasar relatif luas, konsistensi kenyal sampai keras padat,
tampak massa bertangkai melekat pada mukosa, hanya 4-21% yang
berasal atau melibatkan lateral hidung. Adanya bukti yang semakin
meningkat yang menunjukkan bahwa etiologi FP terkait dengan HPV
terutama tipe 6 dan 11. Epistaksis, obstruksi hidung unilateral atau
adanya massa asimtomatik adalah gejala yang muncul secara khas.

b) Inverted Papilloma (Endofitik)


Bersifat invasif dan dapat merusak jaringan sekitanya. Tumor
jenis ini cenderung residif dan dapat berubah menjadi ganas (pada 5%-
10% kasus) apabila tidak di reseksi. Inverted Papilloma (IP) ini khas
muncul dari dinding lateral hidung dan sinus maxillary, akan tetapi
sinus paranasal lainnya dapat saja terlibat. Pada pemeriksaan fisik
berupa massa berwarna merah atau abu-abu, tidak transparan,
konsistensi padat sampai lunak dan rapuh, berbentuk polipoid dengan
permukaan berbelit atau berkerut.
Hanya 8% dari angka kejadian yang menunjukkan bahwa yang
berasal dari septum nasal. Diketahui bahwa kejadian IP berhubungan
HPV tipe 6, 11, 16, 18 dan 57. Gejala yang paling khas dan umum
adalah obstruksi unilateral, epistaksis, anosmia, sakit kepala, epifora,
proptosis dan diplopia.

CT-scan kepala tanpa kontras potongan coronal dan axial : Inverted Papilloma.
Gambar kanan : tampak massa isodens pada seluruh rongga sinus maxillaris
sinistra sebagian ronggan sinus maxillary dextra. Gambar kiri : tampak massa
isodens pada seluruh rongga sinus maxillary sinistra
CT-Scan kepala dengan
kontras:
Inverted Papilloma,
Tampak massa
hiperdens pada kavum
nasal dengan
perselubungan pada
sinus maksilaris
(sinusitis sekunder)

c) Silindrical Papilloma (onkotik)


Onkotik papilloma memilki potensi paling besar untuk berubah
menjadi karsinoma (14%-19%), akan tetapi, onkotik papilloma
merupakan jenis SP yang paling jarang ditemukan. Angka kejadiannya
antara pria dan wanita sama banyak. Onkotik papilloma hanya terjadi
pada dinding lateral cavum nasal atau rongga sinus, yaitu biasanya
sinus maksilaris dan etmoidalis. Pada pemeriksaan fisik berupa massa
fleshy berwarna merah kehitaman sampai coklat, atau abu-abu,
berbentuk papilari atau polipoid, berhubungan dengan obstruksi
hidung dan epistaksis yang intermitten.

1.1.5 Tatalakasana
Kebanyakan dokter setuju bahwa operasi pembedahan adalah
pengobatan pilihan untuk SP, namun belum ada konsensus yang telah
dicapai pada jenis atau tingkat intervensi bedah.
1.2. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNAs)
JNA adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologis terdiri dari
komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak,
tumor ini berkembang secara perlahan, menginvasi secara lokal dan tidak
bermetastasis, akan tetapi tumor ini mempunyai daya ekspansif yang amat
merusak dan mendorong jaringan sekitarnya.

1.2.1. Epidemiologi
Tumor ini jarang ditemukan, merupakan 0.05% dari tumor kepala dan
leher paling sering ditemukan pada pria usia remaja.

1.2.2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari angiofribroma belum diketahui. Terdapat
beberapa teori yang mengatakan bahwa terjadinya angiofibroma adalah akibat
gangguan hormonal atau karena pertumbuhan abnormal jaringan
fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis.

1.2.3. Manifestasi Klinik


 Epistaksis masif berulang
 Obstruksi hidung
 Massa di nasofaring

1.2.4. Gambaran Radiologi


Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan
dalam menunjukkan perluasan tumor primer. Pemeriksaan radiologi juvenile
angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan foto polos, CT-scan, MRI
dan arteriografi. CT-scan berperan dalam follow-up setelah pembedahan
untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah radioterapi atau menilai
pengecilan tumor. CT-scan merupakan pemeriksaan sebelum operasi yang
paling penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur tulang dan
pelebaran foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran tumor.
CT-Scan kepala
dengan kontras:
Tampak massa
hiperdens pada
cavum nasal
posterior sinistra

1.2.5. Tatalaksana
 Pembedahan (ekstirpasi tumor)
 Radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi

1.3. Polip Nasal


Polip nasal adalah lesi abnormal yang bisa berasal dari setiap bagian dari mukosa
hidung atau sinus paranasal. Patogenesis dari polip hidung sendiri masih belum
diketahui.

1.3.1. Epidemiologi
Polip nasal lebih sering dialami oleh pria daripada wanita dengan
perbandingan 4:1, biasanya pada pasien berumur lebih dari 20 tahun,
dan lebih sering pada orang-orang umur 40 tahun.
1.3.2. Etiologi
Pembentukkan polip sendiri dikaitkan dengan peradangan kronis,
disfungsi sistem saraf otonom dan predisposisi genetik. Kebanyakan
teori menganggap polip menjadi manifestasi utama dari peradangan
kronik. Oleh karena itu, kondisi yang menyebabkan peradangan kronis
di rongga hidung dapat menyebabkan polip hidung, seperti misalnya;
bronchial asthma, rhinitis alergi.
1.3.3. Manifestasi Klinis
 Obstruksi nasal
 Kongesti nasal
 Postnasal drip
 Nyeri pada wajah
 Hiposmia atau Anosmia
 Bersin

1.3.4. Gambaran Radiologi


Foto polos sinus paranasal, seperti waters dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus,
tetapi pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip.
Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas
keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi,
polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan
medikamentosa.

CT-Scan kepala
tanpa kontras :
Tampak massa
isodens pada cavum
nasal dextra
CT-Scan kepala
tanpa kontras:
Tampak massa
isodens di seluruh
sinus maxillary kiri
dengan massa isoden
pada setengah dari
bagian inferior
cavum nasal

1.3.5. Tatalaksana
 Topical : Fluticasone, Beclomethasone
 Oral : Predinosone (1 mg/kg/hari, 4-7 hari)

1.4. Osteoma
Osteoma adalah lesi tulang jinak yang sering muncul di sinus frontalis dan
ethmoid. Osteoma multipel dapat dikaitkan dengan Sindrom Gardner. Osteoma
biasanya ditemukan secara kebetulan pada CT-Scan.

1.4.1. Epidemiologi
Osteoma lebih sering terjadi pada orang usia 20-30 tahun dan pada
umur 60 tahun. Ratio antara pria dan wanita adalah 2:1. Daerah sinus
paranasal yang paling sering mengalami osteoma adalah sinus frontalis
(80%).
1.4.2. Etiologi
Etiologi dari osteoma sendiri belum diketahui. Terdapat bebarapa teori
yang mengatakan bahwa osteoma mungkin terjadi akibat mekanisme
reaktif yang dipicu oleh trauma atau infeksi.

1.4.3. Manifestasi Klinis


 Nyeri pada bagian frontal
 Sinusitis akut atau kronis akibat blokade tumor pada bagian ostium
sinus
 Daerah orbita : proptosis, epifora, nyeri pada daerah orbita

1.4.4. Gambaran Radiologi

Foto Caldwell PA: Foto Caldwell PA:


Tampak opasitas di Tampak opasitas di
bagian superior dalam sinus frontalis
sinus frontalis sinistra dan dextra
dextra. berbatas tegas
CT-Scan, Bone Window:
Tampak gambaran hiperdens pada sinus frontalis sinistra bagian supero-
lateral pada potongan axial dan coronal

1.4.5. Tatalaksana
Pengobatan atau terapi yang digunakan untuk osteoma adalah
pembedahan berupa eksisi untuk lesi simtomatik
TUMOR SINONASAL BENIGNA

Tumor sinonasal adalah timbulnya penyakit, dimana terjadinya pertumbuhan sel


abnormal didalam rongga sinus paranasal dan atau cavum nasi yang bersifat ganas
yang dapat merusak jaringan sehat disekitarnya dan dapat menyebar ke bagian tubuh
yang lainnya. tumor ganas bisa timbul dari salah satu daearah di dalam rongga hidung
atau sinus.

2.1. Epidemiologi
Keganasan pada sinonasal sendiri lebih sering terdiagnosis pada orang-
orang berusia 50-60 tahun. Jenis keganasan sinonasal yang umum terjadi di
sinus maxillaris, yaitu mencakup 60-70% angka kejadian keganasan sinonasal,
sedangkan 20-30% terjadi di dalam cavum nasal dan 10-15% berada di sinus
ethmoid. Kanker sinus sphenoid dan sinus frontalis sangatlah jarang terjadi,
dan hanya terjadi 5% dari angka kejadian tumor sinonasal.
Di Indonesia maupun di luar negeri, jenis tumor yang ganas hanya
mencakup kurang dari 1% dari semua jenis keganasan seluruh tubuh dan 3%
dari seluruh keganasan di bagian kepala dan leher.2,3 Gejala-gajala dan tanda
klinis yang ditimbulkan semua tumor hidung maupun sinus paranasal hampir
mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi yang dapat
menentukan jenisnya.
Tumor sinonasal lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dengan
perbandingan 1,5 : 1 dan sekitar 80% penderita tumor sinonasal berusia 45-85
tahun.

2.2. Etiologi
Tumor sinonasal sendiri dapat dipicu oleh berbagai hal, beberapa
faktor resiko yang dapat mengakibatkan timbulnya tumor sinonasal antara
lain; virus (HPV, virus Epstein-barr), sinar ionisasi, inhalasi gas dan debu di
pabrik, seperti; debu kulit, tepung, debu tekstil, debu kayu atau serbuk gergaji
debu kromium dan nikel, dan pada perokok serta alkoholik berat akan
memiliki risiko yang lebih besar dalam mengalami malignansi sinonasal.
2.3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis masing-masing pasien tergantung pada letak atau
lokasi primer dan arah perluasan penyebaran berikut beberapa gejala yang
mungkin muncul pada penderita yaitu berupa ;
o Hidung : obstruksi unilateral, epistaksis, rhinorrhea, adanya massa pada
kavum nasi yang dapat mendesak tulang hidung hingga mengakibatkan
deformitas pada hidung.
o Wajah : nyeri, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum,
parastesia, deformitas pada wajah.
o Mata : proptosis, diplopia, lakrimasi, epifora
o Telinga : otalgia, pendengeran menurun
o Luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus

2.4. Tipe-tipe tumor Sinonasal Maligna


2.4.1. Karsinoma Sel Squamosa Sinonasal
Karsinoma sel squamosal (SCC) merupakan tumor ganas pada
sinonasal, yang berasal dari sel epitelial cavum nasal ataupun sinus
paranasal yang terdiri dari tipe non-keratinizing dan keratinizing.
Dimana keratinizing sel squamosa karsinoma adalah karsinoma sel
squamosal sendiri sementara non-keratinizing adalah schneiderian
carcinoma, cylindrical cell carcinoma, transitional cell carcinoma,
Ringertz carcinoma atau respiratory epithelian carcinoma.

2.4.1.1 Epidemiologi
Jenis tumor ganas sinonsal yang paling sering ditemukan dan
terjadi, mencapai 80% angka kejadian dari seluruh keganasan yang
ada di sinonasal, ataupun melibatkan rongga sinus maxillaris
walaupun terdapat kemungkinan bahwa tumor ganas ini berasal
dari hidung maupun rongga sinus paranasal lainya. Angka
kelangsungan hidup selama 5 tahun adalah 60-64%.
2.4.1.2 Etiologi
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabakan SCC adalah
paparan terhadap nikel, debu tekstil, rokok dan riwayat atau
adanya rekurensi Schneiderian Papilloma.

2.4.1.3 Manifestasi Klinis


 Epistaksis
 Rinorea
 Obstruksi pada kavum nasal
 Bengkak pada daerah hidung atau pipi
 Proptosis
 Lakrimasi

2.4.1.4 Gambaran Radiologi

Foto Waters :
Tampak perselubungan pada seluruh rongga sinus maksilaris
dextra dengan destruksi pada dinding lateral sinus maksilaris
CT-Scan kepala :
Tampak massa isodens
dengan tepi ireguler
didalam rongga hidung
dan sinus maxillaris
dextra dan desktruksi
dinding sinus maxillaris
media, serta terdapat
destruksi tulang dinding
medial dan inferior os
orbita dekstra.

2.4.2. Sinonasal Undifferentiated Carcioma (SNUC)


Merupakan tumor yang jarang, sangat agresif dan patologi klinik
karsinoma yang khas dan tidak jelas. SNUC menggambarkan tumor
yang berkembang dengan cepat, timbul dari saluran sinonasal dengan
gejala awal yang tidak jelas dalam waktu yang relatif singkat dan
dengan prognosisi yang buruk.

2.4.2.1. Epidemiologi
SNUC lebih sering terjadi pada pria dengan jangkauan usia
yang luas. Kavum nasal, sinus maksilaris dan etmoidalis
biasanya terlibat, baik sendiri ataupun kombinasi.

2.4.2.2. Etiologi
SNUC adalah jenis kenker yang berasal dari sel epithelial di
kavum nasal ataupun sinus paranasal. Etiologi terjadinya
sinonasal undifferentiated carcinoma sendiri masih belom
diketahui. Akan tetapi terdapat teori yang menyebutkan bahwa
adanya pengaruh gen, dapat tumbuh dari memebran
schneiderian dan tidak memiliki kaitan dengan EBV.

2.4.2.3. Manifestasi Klinik


 Epistaksis
 Rinorea
 Proptosis/ Eksopthalmus
 Diplopia
 Obstruksi nasal
 Bengkak pada orbita
 Nyeri pada wajah

2.4.2.4. Gambaran Radiologi

CT-Scan kepala:
SNUC
Terdapat massa
isodens dengan
batas ireguler
pada sinus
maxillary dan
sinus ethmoid
dextra
2.4.3. Adenokarsinoma
Adenocarcinoma berasal dari epitel saluran pernafasan atau kelenjar
mukoserous. Tipe ini dibagi menjadi tipe intestinal dan non-intestinal.
Intestinal Type Adenocarcinoma merupakan tumor ganas primer yang
berasal dari epitel kelenjar pada traktus sinonasal yang secara
histopatologi mirip dengan adenokarsinoma dan adenoma pada intestinal.

2.4.3.1. Epidemiologi
Lokasi yang paling sering yaitu sinus etmoidalis (40%), diikuti
oleh kavum nasi (27%) dan sinus maksilaris (20%).

2.4.3.2. Etiologi
Adenocarcinoma sangatlah penting karena berhubungan
dengan faktor risiko tertentu seperti paparan debu kayu dan
senyawa organik lainnya.
2.4.3.3. Manifestasi Klinik
Gejala awal cenderung tidak spesifik dan bervariasi mulai dari;
 Obstruksi hidung unilateral
 Rinorhea yang jernih atau purulent
 Epistaksis

CT- Scan kepala:


Adenocarcinoma
Tampak gambaran
isodens pada sisi
sinsistra sinus maxillaris
dan cavum nasal

2.4.4. Adenoid Cystic Carcinoma (ACC)


Tumor ini dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Tumor yang berasal dari kelenjar saliva
minor ini menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan
tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis. Prognosis jangka panjang
pada ACC buruk dengan tingkat kelangsungan hidup 10 tahun hanya 7%.
Kebanyakan pasien menginggal akibat penyebaran local daripada
metastasis.

2.4.4.1. Epidemiologi
Adenoid cystic carcinoma merupakan keganasan sinonasal
kedua yang paling sering ditemukan, mencapai 10% dari total
kasus. Paling sering dijumpai pada sinus maksila (60%) dan
rongga hidung (25%).

2.4.4.2. Etiologi
Adenoid cystic carcinoma sering dikaitkan dengan paparan di
area tempat kerja dan peningkatan risiko dikalangan pekerja
furnitur dan pekerja kayu lainnya. peningkatan risiko juga telah
diamati di kalangan pekerja nikel, industri tekstil dan industri
sepatu.

2.4.4.3. Manifestasi Klinik


Tumor ini sering membahayakan, gejala yang muncul
termasuk;
 Obstruksi hidung
 Epistaksis
 Nyeri
 Pembengkkan pada wajah
 Gigi-geligi yang goyang

2.4.4.4. Gambaran Radiologi

CT Scan Kepala soft tissue


window: Adenoid Cystic
Carcinona, tampak lesi
heterogen yang ekspansif
pada sinus maksilaris dextra,
terdapat erosi pada dinding
sinus maksilaris
2.4.5. Lymphoma Sinonasal
Meskupun jarang, limfoma maligna sinonasal merupakan tumor ganas
jenis non-epithelial yang sering ditemukan pada keganasan hidung.
Tumor ini merupakan lesi sinonasal yang destruktif pada tulang dan
jaringan lunak.

2.4.5.1. Epidemiologi
Limfoma sendiri lebih umum ditemukan di Negara-negara
Asia. Telah dilaporkan bahwa limfoma sel NK/T tampak relatif
umum pada pasien dengan limfoma non-Hodgkin.

2.4.5.2. Etiologi
Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam cavum nasal
berasal dari sel natural killer (NK) dan diyakini sangat erat
kaitannya dengan Epstein-barr virus. Meskipun demikian,
beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma
primer dapat juga bersal dari sel B dan T.

2.4.5.3. Manifestasi Klinik


 Obstruksi nasal
 Rinorea
 Epistaksis
 Post-nasal drip
 Massa pada leher
 Demam
2.4.5.4. Gambaran Radiologi

CT-Scan kepala :
Tampak massa
isodens pada sinus
maxillaris sinistra

2.4.6. Rhabdomyosarcoma Sinonasal


Rhabdomyosarcoma merupakan tumor sinonasal ganas jaringan
mesenkim yang agresif dan berasal dari otot rangka. Menyumbang
5%-10% dari semua keganasan yang terjadi pada masa kanak-kanak.
Rhabdomyosarcoa terdiri atas lima kategori besar yaitu, embrional
(70%), alveolar (20%, prognosis paling buruk), botyroid, spindle cell,
and anaplastik. Nama lain dari RMS adalah sarkoma jaringan lunak,
rhabdomyosarkoma alveolar, rhabdomyosarkoma embryonal,
botryoides sarcoma

2.4.6.1. Epidemiologi
Merupakan keganasan yang dapat terjadi pada setiap bagian
tubuh. Tempat yang paling sering terkena adalah pada regio
kepala dan leher, saluran urogenital, lengan dan kaki. Paling
umum dialami oleh anak-anak dan dewasa muda.
2.4.6.2. Etiologi
Penyebab Rhabdomyosarcoma secara pasti tidak diketahui
tetapi diduga karena adanya mutasi genetik yang meningkatkan
resiko terjadinya Rhabdomyosarcoma.

2.4.6.3. Manifestasi Klinik


Gejala yang timbul bervariasi tergantung pada lokasi tumor;
 Tumor di hidung menyebabkan hidung tersumbat
 Epistaksis
 Rinorea
 Proptosis

2.4.6.4. Gambaran Radiologi

CT Scan Kepala : tampak massa homogen soft tissue tanpa


kalsifikasi pada sinus maksilaris dan etmoidalis dextra.
2.5. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru
adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:

Tumor Primer (T)

Tumor Sinus maksilaris Kavum Nasi dan Sinus


Etmoidalis
TX Tumor primer tidak dapat Tumor primer tidak dapat
ditentukan. ditentukan.
T0 Tidak tampak tumor primer. Tidak tampak tumor primer.
Tis Karsinoma in situ. Karsinoma in situ.
T1 Tumor terbatas pada mukosa Tumor terbatas pada salah satu
sinus maksilaris tanpa erosi dan bagian dengan atau tanpa invasi
destruksi tulang. tulang.
T2 Tumor menyebabkan erosi dan Tumor berada di dua bagian
destruksi tulang hingga palatum dalam satu region atau tumor
dan atau meatus media tanpa meluas dan melibatkan daerah
melibatkan dinding posterior nasoetmoidal kompleks dengan
sinus maksilaris dan fossa atau tanpa invasi tulang.
pterigoid.

T3 Tumor menginvasi dinding Tumor menginvasi dinding


posterior tulang sinus maksilaris, medial atau dasar orbita, sinus
jaringan subkutanues, dinding maksilaris, palatum atau fossa
dasar dan medial orbita, fossa kribriformis.
pterigoid, sinus etmoidalis.
T4a Tumor menginvasi bagian Tumor menginvasi bagian
anterior orbita, kulit pipi, fossa anterior orbita, kulit hidung atau
pterigoid, fossa infratemporal, pipi, meluas minimal ke fossa
fossa kribriformis, sinus kranialis anterior, fossa
sfenoidalis atau frontal. pterigoid, sinus sfenoidalis atau
frontal.
T4b Tumor menginvasi salah satu dari Tumor menginvasi salah satu
apeks orbita, durameter, otak, dari apeks orbita, durameter,
fossa kranial media, nervus otak, fossa kranial media, nervus
kranialis dari divisi maksilaris kranialis dari divisi maksilaris
nervus trigeminal V2, nasofaring nervus trigeminal V2,
atau klivus. nasofaring atau klivus

Kelenjar Getah Bening Regional (N)

Kelenjar Getah Bening Regional (N)


NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤ 3 cm
N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar
ipsilateral < 6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral ≤ 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Matastasis multipel kelenjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm
N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralteral, tidak lebih dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Metastasis Jauh (M)


MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Stadium tumor ganas dan sinus paranasal


0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IV A T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IV B T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IV C Semua T Semua N M1

2.6. Pengobatan
1. Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan dapat dalam berbagai bentuk seperti;
 Drainase/ Debridement
 Reseksi
Reseksi bedah dianjurkan dengan tujuan kuratif. Eksisi paliatif
dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk
dekompresi cepat dari struktur-struktur vital atau debulking lesi
masif, atau untuk membebaskan pasien dari rasa malu
2. Rehabilitasi
Tujuan utama dari rehabilitasi post-operasi adalah penyembuhan luka
primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan
oronasal yang terpisah kemudian mempelancar proses bicara dan menelan.
3. Terapi Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan
atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara
lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifikatau absolut.
4. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya
paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan
penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal masif. Pasien yang
menunjukkan risiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk
dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi
dan kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2003. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien
Rawat. Jakarta: Jalan Di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003, Depkes RI.
2. Sutton David, Young Jeremy WR. 1995. A Concise Textbook of Clinical
Imaging. USA: Maple Vail-York
3. Roezin, A. et al. 2007. Tumor Hidung dalam : Soepardi E, Iskandar N, eds.,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: BP
FK UI
4. Carrau RL. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on
Desember 10th 2015]. Available at : http://emedicine.medscape.com/article
/846995
5. Scholes MA. , Ramakrishnan, VR. 2015. ENT Secrets, 4th ed.. Elsevier Health
Sciences.
6. Sadeghi, Nader. Sinonasal Papilloma. [cited on Desember 10th 2015].
Available at : http://emedicine.medscape.com/article/862677
7. Xu Caroline C, Dziegielewski PT, etal. Sinonasal Undifferentiated Carsinoma
(SNUC): the Alberta experience and literature review. Journal of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 2013; 42:2
8. Soepardi EA, Iskandar N, et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kelapa & Leher, edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
9. Bernardo Teresa, Ferreira Edite, et al. Sinonasl Adenocarcinoma – Experience
of an Oncology Center. Journal of Otolaryngology – Head and Neck Surgery.
2013; 2(13-16)
10. Barnes Leon. Schneiderian Papillomas and Nonsalivary Glandular Neoplasms
of the Head and Neck. Mod Pathol. 2002; 15(3).
11. Herrmann BW, Sotelo C, Eisenbeis JF. Pediatric Sinonasal
Rhabdomyosarcoma. Three cases and a review of the literature. Am. J.
Otolaryngol. 2003;24:174-180.
12. Barnes Leon. Pathology and Genetics of Head and Neck Tumours. World
Health Organization. 2005. 18-35

Anda mungkin juga menyukai