APPENDISITIS
APPENDISITIS
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn.T
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Pubian
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pasien datang ke IGD RSD Demang Sepulau Raya dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 2 jam SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut
kanan bawah, nyeri dirasakan sudah 14 hari dirumah hilang timbul. Nyeri yang dirasakan
tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika
pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan
beristirahat Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri.
Sejak timbulnya gejala, nafsu makan pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami
demam. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola
BAB. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.
C. Riwayat Penyakit Terdahulu
a. Hipertensi : Disangkal
b. Diabetes Mellitus : Disangkal
c. Penyakit Jantung : Disangkal
d. Asma : Disangkal
e. Riwayat Alergi : Disangkal
f. Riwayat Operasi : Tidak pernah
g. Riwayat Pengobatan : Tidak pernah
D. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
E. Riwayat Sosial : Pasien merokok, tetapi tidak mengkonsumsi alkohol
III. Pemeriksaan Fisik Generalis
A. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
B. Kesadaran : Compos mentis
C. Tanda Vital
a. Tekanan darah :110/80mmHg
b. Heart Rate :98 x/ menit
c. Respiratory Rate :20x/menit
d. Suhu : 37’ C
D. Status Generalisata
a. Kepala : Normochepali
b. Mata : Konjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
c. Hidung : Septum deviasi (-) , Sekret (-)
d. Telinga : Normoratia +/+ Sekret -/-
e. Leher : KGB tidak teraba , JVP tidak meningkat
f. Thorax
Jantung Inspeksi : Ictus Cordis Tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis Teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ II-BJII Reguler, Murmur (-), gallop
(-)
Goldar O
CT 3.00 1.00-6.00
BT 14.00 9.00-15.00
V Alvarado Score
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada
pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica
ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir
pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis.
Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar
Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di
bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi
apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, Appendix
dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin
terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan komponen integral dari
sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak penting dan
Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi
lainnya.2
2.2 INSIDENSI
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari
satu tahun.2
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah
hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi
jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,
Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.
Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi
karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih
dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah
trauma, stress psikologis, dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa
dengan perforasi. 1,2,6,7
Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal
0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal
sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah
epigastrium. 2
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri
yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena,
aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran
arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri
yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum
parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai
darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan
suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya
distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada
salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
kesalahan pencernaan.
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam
beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,
dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin
meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini
menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke
dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator
inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding
Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang
terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat
timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat
ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh
pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui
dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix. 2,3
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan
apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA
terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang
akut dan bukan radang akut.5
Pasien dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan gerakan yang
minimal. Pasien yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya jarang didiagnosis
sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak retrocaecal. Pada
Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga nyeri yang timbul
menyerupai nyeri pada kolik renal.6
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan, karena
pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut akan
mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6
Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut7
Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi pangkal Caecum.
Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina
iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.6
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
toucher tidak diperlukan lagi.6
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam
arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas
kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix.
Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian
eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M.
Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
2.7 KOMPLIKASI
2.7.1. Perforasi
2.7.2. Peritonitis
2.7.3. Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk
akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa Appendix terbentuk pada hari
ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa Appendix lebih
sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah
berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus
proses radang.6
2.7.3.1. Patofisiologi
Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.17
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa
periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang, dinding
Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir
proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).8
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 8
2.7.3.4. Diagnosis
Riwayat klasik Appendicitis, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abscess
Appendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang.
Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma Caecum, penyakit Crohn, amuboma
dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik Terganggu
(KET), Adnexitis dan Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada
anamnesis yang khas.7
Tumor Caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek,
anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin
test. Pada anak-anak tumor Caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium.
Pada Appendicitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat
disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas
badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral
bawah kanan, kadang-kadang teraba massa.7
Massa Appendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.
Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan:
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.6
2.7.3.5. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada Appendix tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi
nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abscess yang jelas batasnya.7
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang
Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan
sangat berbahaya, dan karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abscess yang dapat mudah
didrainase.7
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikular yang
pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Pada anak, dipersiapkan
untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang
terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan Appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abscess
Appendix. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,
dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih
kontroversial. Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-anak,
kebanyakan adalah konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan
intravena, dan pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif berlangsung selama ± 6 hari
di rumah sakit, lalu direncanakan untuk dilakukan Appendectomy elektif setelah 4-6
minggu kemudian untuk mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih
luas. Dari hasil penelitian komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif
terlebih dahulu lebih sedikit bila dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti
cedera pada ileum (Ileal injury), abses intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi.
Sehingga terapi non-operatif pada appendicular infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy
elektif merupakan metode yang aman dan efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang
dewasa yaitu dengan konservatif terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy elektif.
Hal ini dikarenakan untuk mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur
pembedahan yang besar (extensive).2
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi
abscess, dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy
direncanakan pada Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya
pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru
setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan Appendectomy.2
Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD (Primary
Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic Appendectomy). PLD
ini rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit, makanan oral dapat diberikan 2-
3 hari setelah PLD, penurunan panas badan pasien menjadi afebril pada 4-7 hari setelah
PLD, antibiotik intravena dapat dilepas 4-5 hari setelahnya, perawatan di rumah sakit antara
7-15 hari. PLD ini tidak terbukti terdapat komplikasi selama intra maupun post operasi,
sedangkan bila dilanjutkan dengan LA, komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi
obstruksi usus.2
Bila sudah terjadi abscess, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy dikerjakan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan atau gejala apapun,
dan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.2
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien Appendicitis yaitu 1,2,3,6,7
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika profilaksis harus
diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih
antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.
sayatan
M.rectus abd. M.rectus abd.
ditarik ke medial
2 lapis
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting
Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke
medial bawah.
Keterangan gambar:
Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua
mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis
externus.
2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.
Keterangan gambar:
Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah dengan
seratnya ke arah lateral.
Keterangan gambar:
Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar. Peritoneum
sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil
peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De
Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter
bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa
hanya peritoneum yang diangkat.
5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk mencari
Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan klem Babcock
dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke jaringan sekitarnya).
Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem,
kemudian dipotong di antara 2 ikatan.
Keterangan gambar:
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock
melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada
gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas mesenterium di bawah
ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak
menyebarkan kontaminasi.
6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih kuat
karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem
dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang
yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk
pus akan masuk ke dalam Caecum).
9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskan dan
mesenteriolumnya (retrograde).
10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
b. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien
dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna
untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan
laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta.1
Gambar 3.10. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy 1
2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI 1
1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena benda
asing, tuberculosis, Aktinomikosis.
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah
Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah echymosis dan
erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem
porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.
2.10 PROGNOSIS 2
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun
1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan
penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi,
antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta
meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
CASE REPORT
Appendisitis Kronik
Supervisor:
dr. H.Sodiq Sp.B
Oleh:
dr. Asep Ridwan