Anda di halaman 1dari 36

REFLEKSI KASUS

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun oleh :
Muhammad Irham Fanani
20130310087

Dokter pembimbing : dr. Kuadiharto, Sp. PD, FINASIM.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD SALATIGA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, refleksi kasus dengan judul

Chronic Myeloid Leukemia (CML)

Disusun oleh :
Nama: Muhammad Irham Fanani
NIM: 20130310087

Disahkan oleh :
Dokter Pembimbing,

dr. Kuadiharto, Sp. PD, FINASIM.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................ 1
BAB I ........................................................................................................................................ 2
PENJABARAN KASUS ..................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................... 11
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 12
BAB III................................................................................................................................... 12
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 30
BAB IV ................................................................................................................................... 30
KESIMPULAN ................................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 33

1
BAB I
PENJABARAN KASUS

I. IDENTITAS
 Nama : Ny. SS
 Usia : 51 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Alamat : Kauman, Suruh
 Pekerjaan : Pedagang
 Status perkawinan : Menikah
 Masuk RS : Tanggal 6 Juni 2018 pukul 09.00 WIB
 Bangsal : Berlian, RSU Puri Asih

II. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Badan terasa panas menggigil, perut bagian kiri atas
nyeri dan membesar.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang ke IGD RSU Puri Asih rujukan dari klinik Grha
Interna dengan diagnosis CML. Penderita mengeluh perut sebelah kiri
membesar sejak dua bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS). Perut nyeri
hilang timbul setiap 1-2 minggu sekali, membaik dalam sehari dengan
beristirahat. Pembesaran perut dikatakan menetap dan tidak bertambah atau
berkurang dengan perubahan posisi dan aktifitas. Pembengkakan di daerah
leher, ketiak, lipatan paha disangkal.
Penderita mengeluhkan panas menggigil disertai keringat dingin pada
malam hari. Selain itu penderita juga mengeluhkan nafsu makan yang
semakin menurun, cepat merasa kenyang, berat badan yang semakin

2
menurun, merasa lemah serta cepat lelah saat beraktivitas maupun
beristirahat, dan merasa mual.
Terjadi penurunan berat badan yang progresif sebelum sakit yaitu dari
78 kg menjadi 64 kg saat ini. Dari keluarga mengatakan penderita terlihat
pucat. Penderita tidak mengeluhkan muntah, nyeri tulang, dan nyeri pada
persendian sebelumnya. Tidak didapatkan riwayat kontak dengan penderita
batuk lama.
Buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan dengan volume cukup,
warna kuning jernih, BAK kemerahan disangkal. Buang air besar (BAB)
tidak ada keluhan, konsistensi lembek, warna kuning, BAB warna
kehitaman disangkal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat sakit serupa sebelumnya (-)
 Riwayat pucat, lemah, mimisan, memar spontan (-)
 Riwayat kuning (-), Riwayat malaria (-)
 Riwayat cacingan (-), Riwayat alergi (-)
 Riwayat paparan radiasi dan pengobatan kemositotoksik (-)
 Riwayat operasi pengangkatan polid di vagina (+)
 Riwayat minum jamu (+) lebih dari 10 tahun.
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluhan serupa (-)
 Riwayat HT, DM, dan jantung pada keluarga (-)
 Riwayat Personal Sosial
 Kegiatan fisik aktif, kegiatan sosial di kampung (+)
 Merokok (-)
 Penggunaan alcohol (-)
 Ekonomi menengah ke atas
 Biaya pengobatan di rumah sakit ditanggung sendiri

3
 Riwayat Perjalanan Penyakit dan Riwayat Pengobatan sebelumnya

19 Februari 2018 30 Mei 2018 5 Juni 2018


(Keluhan panas (Pemeriksaan (Lab AL :
menggigil dengan hasil Sitogenetik BCR- 328.900 Hb :
lab AL 244.900/uL dan ABL Kualitatif : hasil 7,7 g/dL)
Hb 9,4 g/dL) belum diketahui)

21 Februari 2018 (AL : 26 Mei 2018 (Pemeriksaan


290.000/uL, Hb : 8,2 g/dL, BMP dengan kesimpulan
USG Abdomen Gynekologi : Chronic Myeloid Leukemia
Cystitis Partial, adnexitis Dx, dengan pengobatan
dan gambaran IUD di uterus ; Hidroxyurea, Byloric,
GDT : Mengarah gambaran Folavit)
CML)

21 Mei 2018 (Hasil USG


9 Maret 2018 (Pengangkatan Abdomen : Splenomegali
IUD dan pemeriksaan pap dan fatty liver ; GDT :
smear : Polip servix dengan Gambaran CML ; AL
radang kronis ; Hasil Lab AL : 364.900 u/L dan Hb 7,9
8500u/L, Hb : 9 g/dL) g/dL

Penderita untuk kemudian di rawat inap di RS Puri Asih tanggal 6 Juni


2018 dengan terapi Infus NaCl, mendapatkan transfusi PRC 4 kolf
premedikasi dexametasone dan furosemide/2kolf. Terapi oral mendapatkan
kapsul hydroxyurea 1x2 caps, tablet folavit 1x1 tab, tablet paracetamol k/p,
dan tablet domperidone k/p.

4
 Anamnesis Sistem:
 Kepala/Leher : Tidak ada keluhan
 THT : Tidak ada keluhan
 Respirasi : Tidak ada keluhan
 Kardiovaskular : Tidak ada keluhan
 Gastrointestinal : Mual, nyeri perut kiri
 Urogenital : Tidak ada keluhan
 Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
 Integumentum : Tidak ada keluhan

III. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT PASIEN


1. S (Subjektif)
Pasien datang dengan keluhan badan terasa panas menggigil, nyeri perut
bagian kiri dan terasa mual.
2. O (Objektif)
Kesan Umum Rawat diri baik, tampak lemah
Kesadaran Komposmentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 90x/menit Pulse defisit : (-)
Vital Signs / Respirasi : 20x/menit
Tanda-Tanda Suhu :36,3 0C
Vital VAS : 3
Lingkar Perut : 86 cm
BMI : 64/(1,60)2 = 25 (overweight)
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-),
deviasi trakea (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis

5
tengah, JVP 5+2
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk, pernapasan thorakoabdominal
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di lapang
paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC VI 3 cm lateral dari linea
midclavicularis sinistra
Perkusi Batas kanan atas : SIC III linea sternalis dextra
Batas kiri atas : SIC III linea sternalis sinistra
Batas kanan bawah : SIC VI linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : SIC VI linea axillaris anterior
sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Tidak ada kelainan bentuk abdomen. Tidak terdapat
jejas di seluruh lapang abdomen
Auskultasi Bising usus (+)
Palpasi Defens muscular (-), nyeri tekan positif pada
kuadran hipocondriac sinistra.

6
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen, area traube
pekak dengan pembesaran lien ± schuffner 4, liver
span (batas hepar lobus kanan ± 8cm dan batas
hepar lobus kiri ± 4 cm)
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, CTR <2 detik.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hematologi Darah Rutin, Fungsi hati, profil lipid,
dan fungsi thyroid
19/2 21/2 9/3 21/5 5/6
Darah Rutin
Hemoglobin (g/dL) 9,4* 8,2* 9,0* 7,9* 7,7*
Eritrosit (106/uL) 2,99* 2,9* 2,73* 2,64*
Hematokrit (%) 24,8* 24,9* 23,6* 23,2*
MCV (fL) 82,9 85,9 86,4 87,9
MCH (pg) 31,4 28,3 28,9 29,2
MCHC (g/dL) 37,9* 32,9 33,5 33,2
RDW (%) 19,8* 19,9* 20,4* 20,8*
Leukosit (103/uL) 244,9* 290* 8,5 364,9* 328,9*
Eosinofil (%) 0 12* 8,0*
Basofil (%) 0 1,0 7,0*
Neutrofil Batang (%) 23
Neutrofil Segmen (%) 45* 41* 44,0*
Limfosit (%) 0 2,0* 0,0*
Monosit (%) 0 2,0 0,0*
Trombosit (103/uL) 420 410 210 427 468*
Fungsi Hati
SGOT (U/L) 22
SGPT (U/L) 20
Profil Lemak

7
Kolestrol (mg/dL) 125
Fungsi Thyroid
T3 (ug/mL) 0,82
T4 (ug/mL) 8,40
TSHs (ulU/ml) 1,247
LED mm/jam 48* 45*
HBsAg (-)

Pemeriksaan Penunjang USG


21 Februari 2018
• Abdomen : Debris di Gall Bladder dan Cystitis Parsial
• Gynekologi : Cystitis Parsial, Terpasang IUD dengan posisi di uterus,
Adnexitis Dextra
21 Mei 2018
• Abdomen : Splenomegali, diameter ukuran terpanjang 14,8cm, tak
tampak hepatomegali, fatty liver grade II, Tak tampak
ascites, tak tampak effusi pleura, tak tampak effusi
pericardial.

Pemeriksaan Penunjang Gambaran Darah Tepi


21 Februari 2018
• Kesimpulan : Gambaran mengarah ke Chronic Myeloid Leukemia (CML)
• Saran : Pemeriksaan BMP
21 Mei 2018
• Kesan : Gambaran ke arah Chronic Myeloid Leukemia (CML)
• Saran : Pemeriksaan BMP bila kondisi memungkinkan
Pemeriksaan Penunjang PA jaringan servix
• Kesimpulan : Servik : Polip servik dengan radang kronis dan abses

8
Pemeriksaan Penunjang Aspirasi Sum-sum Tulang (BMP)
BMP : SIPS Dextra dengan Anesthesi local Lidocain

Konsistensi tulang : normal. Aspirasi : mudah. Fragmen : Banyak

Hitung Jenis Aspirat Sum-sum Tulang

Jumlah sel yang dihitung : 400 sel Lymphoblast : 0%


Lymphocite : 1%
Myeloblast : 4%
Monocyte : 0%
Promyelocyte : 4% Sel Plasma : 1%
Myelocyte Neutrophil : 21% Proerythroblast : 5%
Myelocyte eosinophil : 6% Basophilic erythroblast : 1%
Polychromatic erythroblast : 1%
Metamyelocyte neutophil : 16% Ortochromatic erythroblast : 2%
Metamyelocyte eosinophil : 3% Total Erytrocyte : 9%
Basophil : 0% Megakaryocyte : meningkat
Sel Retikulum : tak ditemukan
Stab neutrophil : 2%
Sel asing : tak ditemukan
Stab eosinophil : 1%
Segmen neutrophil : 24%
Segmen eosinophil : 8%
Total Granolocyte : 89%
M : E ratio = 9,9 : 1
SBB : predominan positif
Resume Pembacaan
- Sum-sum tulang hiperseluler
- Erytropoeisis : aktivitas menurun, maturasi normal
- Granulopoeisis : aktivaitas meningkat pada semua stadium maturasi, dispersi
eosinofilik, maturasi normal, mitosis (+)
- Megakaryopoeisis : aktivitas meningkat, maturasi normal
Kesimpulan : CHRONIC MYELOID LEUKIMIA (CML)

9
Hasil pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang (BMP)

10
Pemeriksaan Penunjang tanggal 30 Mei 2018

Pemeriksaan BCR-ABL Kualitatif (Belum diketahui hasilnya)

Pemeriksaan Elektro Cardio Gram (ECG) tanggal 6 Juni 2018

Irama : Sinus ; Ritme : Reguler ; Axis : Normoaxis


Kesimpulan : Normal Sinus Rhytm
3. A (Asessment)
Diagnosis Banding : Leukemia mielomonositik kronik, Trombositosis
esensial, Leukemia netrofilik kronik, Chronic Myeloid Leukemia.
Diagnosis Kerja :
Chronic Myeloid Leukemia fase kronik
Suspect Sindrom Metabolik
4. P (Planning)
 Infus NaCl 500ml 30 tpm
 Program transfusi PRC 4 kolf
 Premedikasi tiap 2 kolf
I.V. Furosemide 1 A
I.V. Dexametasone 1 A
 Po. Hydroxyurea 1 x 2 Caps
 Po. Folavit 1 x 1 tab
 Po. Paracetamol tab k/p
 Po. Domperidone tab k/p
 Usul Pemeriksaan Profil lemak (Colestrol total, TG, LDL, HDL),
dan Kadar Asam Urat.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Chronic Myeloid Leukemia


Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit mieloproliferatif menahun
dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada pluripoten sel stem. Kelainan
tersebut mengenai lineage mieloid, monosit, eritroid, megakariosit, limfosit B dan T.
Perubahan patologik yang terjadi berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum
tulang, aktivasi mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan
terjadinya proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi
hematopoiesis ekstramedular (Wirawan, 2007).
Penyakit ini ditandai oleh adanya translokasi spesifik, t(9;22) (q34 ;q1) yang
dikenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Translokasi ini mendekatkan gen ABL
(Abelson) ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34) dengan gen BCR (break cluster
region) pada kromosom 22 (22q11) sehingga menghasilkan gen gabungan yang
menyandi protein gabungan BCR-ABL (Fadjari, 2006).

Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas),
metamielosit, mielosit sampai granulosit (Djamil, 1995).

2.2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Umumnya menyerang
usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih
progresif.2,1 Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2, secara umum didapatkan
1 - 1,5/100.000 penduduk di seluruh negara (Wirawan, 2007).

12
Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki
dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak.
Beberapa melaporan penyebab CML selain akibat paparan radiasi, bom atom adalah
ankylosing spondilitis pasca penyinaran (Fadjari, 2006).

2.3. ETIOLOGI DAN KRONOLOGI


Penyebab CML belum diketahui. Tidak ada predisposisi khusus terjadinya
CML baik untuk sosial ekonomi, jenis kelamin, familial, maupun ras. Namun, faktor
risiko yang dikenal dapat meningkatkan terjadinya CML adalah paparan dosis tinggi
radiasi pengion. Tiga populasi utama yaitu Jepang terkena radiasi yang dikeluarkan
oleh ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, pasien dengan spondilitis
ankilosis di Inggris yang diterapi dengan radiasi tulang belakang, dan wanita dengan
kanker serviks yang juga menerima terapi radiasi, memiliki frekuensi CML jauh lebih
tinggi dibandingkan kelompok yang tidak terpapar (Fadjari, 2006).

Terjadinya CML secara kronologi adalah tampak perubahan hematologi yang


pertama kali berupa basofilia dan trombositosis; diikuti dengan rendahnya aktivitas
neutrophil alkaline phosphatase (NAP); dijumpai granulosit imatur di dalam darah
tepi serta peningkatan kadar vitamin B12 serum. Setelah itu terjadi splenomegali
yang diikuti gejala subyektif. Paparan dengan zat karsinogen selama 2 - 7 tahun (15-
20 tahun) dapat terjadi CML fase kronik. Tiga sampai lima tahun kemudian CML
dapat mengalami perkembangan progresif menjadi bentuk agresif walaupun dalam
pengobatan. Pada keadaan agresif tersebut dapat terjadi 2 keadaan yaitu fase
akselerasi atau fase blastik (transformasi blastik = krisis blastik) menjadi AML/ALL/
leukemia bilineage serta kemungkinan terjadi perubahan menjadi mielofibrosis
(Wirawan, 2007).
Berikut ini adalah urutan kronologis perjalanan CML berdasarkan jumlah
lekosit dan perubahan hematologi serta tanda lain yang menyertainya yang terangkum
dalam tabel 1 (Wirawan, 2007).

13
Tabel 1. Urutan kronologis perjalanan CML (Wirawan, 2007).
Jumlah leukosit Perubahan hematologis/ tanda lain
- 10 x 109 / L Kromosom Ph
Basofilia, Trombositosis
- 20 x 109 / L Aktivitas NAP rendah
- 30 x 109 / Granulosit imatur
- 40 x 109 / L Peningkatan kadar vitamin B12 serum
- 50 x 109 / L Splenomegali
Gejala subyektif

2.4 TANDA DAN GEJALA KLINIK


Dalam perjalanan penyakitnya, CML dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase
kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase
kronis, bahkan sering kali diagnosa CML ditemukan secara kebetulan, misalnya saat
persiapan pra operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala
infeksi.2 Pada 85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat
mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan
gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh.
Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung seberapa dini penyakit tersebut telah
didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan
yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke fase akselerasi (Wirawan,
2007).
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa
cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti
diremas di perut kanan atas. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya; rasa cepat
lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan

14
berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut
merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia (Fadjari,
2006).
Pada fase akselerasi dan fase blastik, dijumpai tambahan kelainan pada
pemeriksaan sitogenetik maupun molekular (Djamil, 1995).
Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan
abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase
kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak
digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD Anderson Cancer Center dan
kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu:
- 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang.
- >20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang.
- Trombosit 100.000, tidak respon terhadap terapi.
- Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom
philadelphia.
- Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.
Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-tanda
yang telah disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan
perubahan menjadi krisis blast berjarak berdekatan.
Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia
akut, dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis
blast didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML :
- >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum
tulang.
- Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang.
- Perkembangan dari chloroma (Supandiman et.al., 1997).
Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka
seperti terlihat pada tabel 2.

15
Tabel 2. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi (Fadjari, 2006)
Keluhan Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
Penurunan berat badan 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut (infark limpa) 30
Demam 10

Setelah 2-3. tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau


mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis.
maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase
akselerasi adalah: lekositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif,
mieloblas di perifer mencapai 15- 30 %, promielosit >30 dan trombosit <
100.000/mm3 . Secara klinis fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah
mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat. timbul
ptekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi (Fadjari, 2006).

16
2.5. KLASIFIKASI
Leukemia mieloid kronik mencakup enam tipe leukemia yang berbeda yaitu
(Hoffbrand et.al., 2005)
 Leukemia mieloid kronik Ph positif (CML, Ph +/ Leukemia Granulositik
Kronik; CGL)
 Leukemia mieloid kronik Ph negatif (CML, Ph -)
 Leukemia mieloid kronik juvenilis
 Leukemia netrofilik kronik
 Leukemia eosinofilik
 Leukemia mielomonositik kronik (CMML)
Manifestasi klinis
Pada 90% pasien dengan CML terdiagnosa pada fase kronis. Pasien sering
mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa
terhadap lambung. Keluhan lainnya yang tidak spesifik misalnya: rasa cepat lelah,
nyeri kuadran kiri atas, distensi abdomen, penurunan berat badan, keringat malam,
yang merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia.
Kadang-kadang, pasien juga memperlihatkan sindrom hiperviskositas dengan
manifestasi stroke, priapismus, stupor, ataupun perubahan penglihatan (Sacher et.al.,
2007)
Pada fase kronis pasien sering mengeluh rasa cepat kenyang. Hal ini
dimungkinkan akibat desakan limpa terhadap lambung. Nyeri seperti diremas di perut
kanan atas. Keluhan lain seperti rasa cepat lelah, badan lemah, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi apabila penyakit
berlangsung lama. Setelah 2 sampai 3 tahun, beberapa pasien mengalami transformasi
progresif atau mengalami akselerasi (Harahap, 2007).

17
2.6. PATOGENESIS
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan
sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasiya
berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen
BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme diatas adalah
terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis
lainnya (Fadjari, 2006).
Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi
terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat
molekular (Fadjari, 2006).
Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki,
diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi , sebagian ahli berpendapat akibat mutasi
spontan. Translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada
kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak
pada tabel 3. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau
kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena
patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11 akan tetapi dapat juga di daerah q l2
atau q l3 dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.

18
Tabel 3. Variasi kelainan sitogenetik pada CML (Fadjari, 2006).
Kariotipik Gen-gen yang terlibat Istilah Klinik
t(9 ; 22)(q34;q12) BCR – JAK CML atipik
t(9 ; 22)(q34;q13) BCR - PDGFRB CML atipik
t(9 ; 22)(q34;q11) BCR – FGFR1 CML BCR - ABL negatif
t(8 ; 22)(p11;q11) BCR - FGFR1 CML BCR - ABL negatif
t(4 ; 22)(q12;q11) BCR - PDGFRA CML atipik
t(9 ; 12)(q34;p13) ABL – TEL CML atipik
Del(4)(q12) FIPIL 1- PDGFRA CML hipereosinofilia
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien
CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph + lebih rawan terhadap adanya kelainan
kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen
lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen
supresor tumor, seperti gen p53, p 16 dan gen Rb (Fadjari, 2006).
Biologi molekular pada Patogenesis CML
Pada kebanyakan pasien CML, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah
5,8-kb atau di daerah el 3-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break region
(M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesa protein dengan berat
molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL . Patahan lainnya ditemukan di
daerah 54,4-kb atau el yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-
nya akan mensintesa pl90 (Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan
satu lagi variasi patahan ini pada 3` gen BCR antara el9-e20 yang selanjutnya akan
terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai mikro bcr (-bcr)
(Melo, 1996). Melo (1997) menemukan bahwa 3` variasi letak patahan pada gen BCR
ini yaitu mayor (M-hcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) temyata berhubungan

19
dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien CML yang patahan pada gen BCRnya di
M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan
monositosis yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia
dan/ atau trombosis. p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara
sebagai berikut : gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai
kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam
sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi
dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum
tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan
berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah
transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini menyebabkan aktivasi dan juga
represi dari proses transkripsi pada RNA sehingga terjadi kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis (Fadjari, 2006).

2.7. Fase perjalanan penyakit


Perjalanan penyakit CML dibagi 3 fase, yaitu :
1. Fase kronis
Pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blas dan sel promielosit kurang dari
10% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan produksi
granulosit berlebihan yang didominasi oleh neutrofil segmen. Gejala yang
dialami ringan dan relatif mempunyai respons baik terhadap terapi
konvensional (Fadjari, 2006).
2. Fase akselerasi atau transformasi akut
Fase ini sangat progresif, mempunyai blas lebih dari 10% tetapi kurang dari
20%. Pada fase ini jumlah leukosit bisa mencapai 300 ribu/mm3 yang
didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan
kromosom lebih dari satu (selain kromosom Philadelphia) (Djamil, 1995).

20
3. Fase blastik atau krisis blastik
Pada fase ini pasien mempunyai blas lebih dari 20% pada darah serta sumsum
tulangnya. Sel blas telah menyebar ke jaringan lain dan organ di luar sumsum
tulang. Pada pasien ini, penyakit berubah menjadi leukemia mieloblastik akut
atau leukemia limfositik akut (Supandiman et.al., 1997).

2.8. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti, dapat ditemukan gejala klinis yang
berhubungan dengan hipermetabolisme, seperti penurunan berat badan,
kelelahan, anoreksia, keringat malam, splenomegali disertai rasa nyeri atau rasa
tidak nyaman, gangguan pencernaan, gejala gangguan trombosit : perdarahan,
memar, epistaksis, menorhagia, gejala hiperurisemia : gout dan gangguan ginjal
dan gangguan penglihatan.
b. Pemeriksaan fisik
Ditemukan tanda-tanda seperti : pucat, organomegali (splenomegali-
hepatomegali), limfadenopati, purpura atau perdarahan pada retina sebagai
akibat gangguan fungsi trombosit dan nyeri tulang sternum saat di palpasi.
Pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan CML
adalah splenomegali, dengan besarnya splenomehgali berhubungan dengan
peningkatan leukositosis. Pasien juga memperlihatkan tanda anemia seperti
pucat, dispnea, dan takikardi. Ekimosis juga sering ditemukan akibat fungsi
trombosit yang abnormal (Fadjari, 2006).
c. Pemeriksaan penunjang Umumnya CML memperlihatkan penurunan jumlah
eritrosit, anemia yang mula-mula ringan. Kadar hemoglobin kurang dari 10
g/dl. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3, bahkan dapat mencapai
100.000/mm3. Apusan darah tepi menunjukkan stadium lengkap dari semua seri
granulositik mulai dari mieloblas sampai neutrofil segmen. Komponen

21
granulosit yang paling menonjol adalah neutrofil segmen dan mielosit. Sel blas
pada sediaan darah tepi < 5%.
Pada 10-20% pasien tidak menunjukkan gejala dan terdiagnosa karena
ditemukan peningkatan hitung sel darah putih pada pemeriksaan darah rutin.
a. Hematologi rutin
Leukositosis biasanya berjumlah >50x109/l dan kadang-kadang
>500x109/l. Presentasi basofil dan eosinofil meningkat. Trombosit
biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang,
pada beberapa kasus dapat ditemukan normal atau trombositopeni.
b. Apus Darah Tepi
Spektum lengkap sel-sel mieloid ditemukan dalam darah tepi. Jumlah
netrofil dan mielosit melebihi jumlah sel blas dan promielosit, penurunan
trombosit, dan ditemukan anemia normositik normokrom.
c. Apus sumsum tulang
Selularitas meningkat (hiperseluler) akibat proliferasi dari sel-sel
leukemia, sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakaryosit juga
tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin tampak bahwa stroma
sumsum tulang mengalami fibrosis.
d. Analisa sitogenetik darah atau sumsum tulang
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom
philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari
pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan hibridisasi fluoresen in situ atau
dengan PCR.

Fase kronik bila dijumpai kriteria berikut ini (Fadjari, 2006) :


 Gambaran darah tepi dan sumsum tulang yang klasik dengan dominasi
mielosit dan neutrofil.
 Darah tepi didapatkan anemia normositik normokrom,
 Jumlah leukosit 20.000 - > 500.000/uL,

22
 Aktivitas NAP menurun, tampak terutama mielosit dan neutrofil. Kadang-
kadang didapatkan neutrofil yang warnanya terdiri dari campuran antara
granula basofil dan eosinofil, dapat disertai monositosis atau relatif
monositopenia.
 Jumlah trombosit dapat > 1.000.000/uL dengan morfologi abnormal.
Trombosit dengan ukuran besar tanpa ada granula dan dijumpai megakariosit
pada 25% kasus CML
Fase akselerasi bila dijumpai salah satu dan kriteria di bawah ini (Fadjari, 2006)
 Blas 10-19% di darah tepi / sumsum tulang
 basofilia  20%
 Trombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak disebabkan oleh
pengobatan atau trombositosis persisten (> 1000x 109/L) yang tidak responsif
terhadap pengobatan
 Ukuran limpa makin membesar dengan jumlah leukosit meningkat, tidak ada
respons terhadap pengobatan
Fase blastik didapatkan bila memenuhi salah satu kriteria di bawah ini (Fadjari,
2006) :
 Blas  20% di darah tepi atau sumsum tulang
 Proliferasi blas ekstramedular
 Ditemukan kelompok / cluster sel bias pada biopsi sumsum tulang.
Pada fase akselerasi dan blastik, didapatkan kelainan sitogenetik minor, mayor
dan kelainan molekular. Pemeriksaan sitogenetik yang dilakukan selama fase
akselerasi mungkin memperlihatkan banyak kelainan sitogenetik, termasuk
kromosom Philadelphia ganda atau tripel. Gambaran lain adalah pewarnaan sitokimia
pada blas, yang pada sekitar 25% kasus memperlihatkan penanda-penanda
limfoblastik. Ini mungkin mencerminkan suatu dediferensiasi atau mengisyaratkan
bahwa penyakit primer adalah penyakit sel bakal imatur dengan kemampuan
memperlihatkan ciri-ciri mieloid dan limfoid. Penanda limfoblas, yaitu termincil

23
deoxynucleotidyl transfernse (TdT) mungkin ditemukan pada sel-sel bias ini. Sekitar
60 sampai 70% pasien akan mengalami transformasi mieloblastik (Sacher et.al.,
2007)
Pemeriksaan genetik pada CML dilakukan dengan metode sitogenetik
konvensional, FISH, maupun RT-PCR. Pemeriksaan sitogenetik konvensional dapat
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia pada 95% pasien CML. Bila hasil
pemeriksaan sitogenetik tidak memperlihatkan adanya kromosom Philadelphia (±
7,8,9
10%) perlu dilakukan deteksi bcr/abl menggunakan FISH atau RT-PCR. .
Kelompok pasien negatif-Ph ini umumnya berusia lebih tua dan memperlihatkan
hitung trombosit dan sel darah putih inisial yang lebih rendah. Kelangsungan hidup
rata-rata pasien hanyalah 8 bulan, dibandingkan dengan 40 bulan pada LMK positif-
Ph (Harahap, 2007).
Pemeriksaan molekuler untuk deteksi t(9:22)(q34;q11) tidak memerlukan
pembiakan sel dan dapat menggunakan sampel baik darah tepi maupun sumsum
tulang. Tapi bila ada kelainan kromosom lainnya maka tidak akan terdeteksi dengan
cara ini. Untuk itu yang sering dideteksi pada CML antara lain trisomi 8, kromosom
Philadelphia ekstra, isokromosom 17q11, yang mempunyai makna dalam prognosis.
Karena itu pada CML pemeriksaan sitogenetik konvensional tetap diperlukan, juga
sebagai baseline untuk monitor terapi (Hoffbrand et.al., 2005).
Pemeriksaan FISH pada awal diagnosis juga bermanfaat sebagai baseline
untuk monitor MRD. Karena itu pada awal diagnosis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan FISH disamping sitogenetik konvensional.
2.9. DIAGNOSA BANDING
- CML fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial,
leukemia netrofilik kronik
- CML fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasi.

24
2.10. PENGOBATAN
Tujuan terapi pada CML adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi
hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi
hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang.
Tahapan terapi (Lowenberg et.al., 1999)
Tahapan terapi pada CML dibedakan atas beberapa tahap yaitu umum, fase
kronis, fase krisis blas dan cangkok sumsum tulang. Berikut ini adalah penjelasan
tahap-tahap tersebut.
1. Umum
Profilaksis peninggian asam urat
Profilaksis tromboemboli bila trombosit > 750.000/mm3
2. Fase kronis :
 Hidroksi urea (Hydrea®, oap @ 500 mg), dosis disesuaikan dengan jumlah
Lekosit : 20.000-150.000/mm3 : 50 mg/kg BB/hari/hari/p.o dalam dua dosis
sampai lekosit 20.000/ mm3
Leukosit > 150.000/ mm3 : perlu lekoferesis dulu, kemudian 20
mg/kgBB/hari (15-25 mg/BB) sampai
lekosit 5.000- 15.000/mm3
Selanjutnya dosis pemeliharaan sehingga lekosit tidak kurang dari 5000/ mm 3 dan
trombosit tidak kurang dari 75.000/ mm3.
 Interferon  5MU seminggu 3 x / s.c, sampai terjadi krisis blas/ progresivitas,
tidak diberi bila terjadi efek samping berat atau jumlah lekosit kurang dari
2.000/ mm3.
Terapi lain :
- Busulfan (Myleran®) 0,1 mg/kg BB/p.o
Bila lekosit berkurang 50% dosis dikurangi separuhnya

25
Bila lekosit  20.000/ mm3 obat dihentikan, hanya dilakukan
observasi
- Radioterapi, terutama bila splenomegali sangat besar dan tidak mengecil
dengan kemoterapi
3. Leukemi granulositik kronik dalam krisis blas
3.1. Krisis non limfoblastik :
 Hidroksiurea 15-25 mg/kg BB/ p.o
 6-MP (Purinethol® tab @ 50 mg) 1,5-2,5 mg/kg BB/p.o
 Prednison 60 mg/ m2 /p.o
Bila tidak ada respons dalam 2 minggu dosis menjadi 2 x lipat (kecuali
prednison), bila ada respon dosis menjadi separuhnya, lalu kembali ke
pengobatan fase kronis.
Dosis 6-MP dan hidroksiurea harus disesuaikan dengan jumlah lekosit dan
trombosit.
Lekosit Trombosit Dosis (%)
> 5.000 > 150.000 100
3.000-5.000 100.000-150.000 50
20.000-3.000 75.000-100.000 25
< 2.000 < 75.000 0

3.2. Krisis limfoblastik : sesuai pengobatan Leukemia Limfositik Akut


 Agen kemoterapi oral (hydroxyurea, busulfan)
- Digunakan pada permulaan untuk menurunkan white cell
- Dosis 1-6 g/hr per oral
- Dosis diturunkan hingga 1-2 g/hr saat hitung leukosit mencapai
20.000/mm3
- ESO: supresi hematopoiesis

26
 Interferon α
- Dosis: 3 juta unit/m2 subkutan 3 hari per minggu, dan setelah 1
minggu 5 juta u/m2 per hari. Setelah respon maksimal (6-8 bulan) 3-
5 juta u/m2 satu atau dua kali per minggu.
- Dosis dikurangi atau dihentikan secara temporer bila leukosit kurang
dari 5.000/mm3 atau trombosit kurang dari 50.000/mm3
- Jika setelah 6 bulan tidak ada respon atau respon sedikit, maka
gunakan Imatinib atau alloSCT
 Anti Tirosin Kinase
a. First-line therapy
Imatinib mesylate (Glivec, Gleevec)
Imatinib menghambat aktivitas tirosin kinase mutan dengan
memblok pengikatan ATP. Sangat berguna bagi orang tua atau bagi
pasien yang intoleran atau resisten IFN α. Dosis 400 mg/hr per oral
(dosis max 600-800 mg/hr dalam 2 resep terbagi). Imatinib memiliki
toksisitas yang lebih rendah, lebih mudah diberikan, dan dapat
menginduksi hematologi, sitogenetik, dan molekuler lebih tinggi
b. Second-line therapy
Dasatinib (Sprycel®)
Dasatinib adalah inhibitor BCR-ABL/Src kinase ganda yang
poten dan merupakan TKI pertama yang diterima di Amerika Serikat
dan Eropa sebagai terapi pasien resisten imatinib dan intoleran
imatinib dari semua fase CML dan Ph+ acute lymphoblastic
leukemia (Ph+ ALL). Walaupun targetnya adalah BCR-ABL,
dasatinib secara struktural tidak mirip dengan imatinib dan berikatan
dengan bermacam konformasi dari domain Abl kinase.
Nilotinib (Tasigna®)

27
Nilotinib adalah adalah turunan imatinib yang tersedia secara
oral dengan perbaikan spesifisitas yang lebih maju terhadap BCR-
ABL protoonkogen virus. Dalam suatu penelitian preklinis, nilotinib
ditemukan memiliki aktivitas terhadap 32 dari 33 mutasi BCR-ABL
yang resisten terhadap imatinib, tapi tidak bereaksi terhadap mutasi
T3151. Pada analisis farmakokinetik, nilotinib memiliki T (max) 3
jam. Total waktu paruh dari beberapa dosis harian adalah 17 jam.
4. Cangkok sumsum tulang alogenik.
Merupakan terapi definitif untuk CML. Cangkok sumsum tulang (CST) dapat
memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. Tidak
dilakukan pada CML dengan kromosom Ph negatif atau Bcr-Abl negatif (Lowenberg
et.al., 1999)
Indikasi cangkok sumsum tulang :
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun,
2. Ada donor yang cocok,
3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.
2.11. PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah
diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka
median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Kombinasi
hidrea dan interferon memberi hasil median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun.
Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan
hidup belum dapat ditentukan (Wirawan, 2007).
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien CML, antara lain :
1. Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan berat badan, demam, keringat malam.
2. Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia
eosinofilia, kromosom Ph negatif, Bcr-Abl negatif

28
Terapi: memerlukan waktu lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan
terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

29
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang perempuan dengan keluhan perut membesar sejak 2 bulan yang


lalu mengeluh perut sebelah kiri membesar, di sertai panas badan menggigil,
berkurangnya nafsu makan, berat badan mengalami penurunan disertai mual,
muntah(-), sesak(-). BAK (+) normal, BAB (+) normal. Kemudian penderita di
rawat di RSU Puri Asih dengan diagnosis CML.

Pemeriksaan fisik didapatkan TD : 110/80 mmHg, N : 90 x/menit, RR : 20


x/menit, suhu : 36,3 0C. konjungtiva palpebra pucat +/+ dan lien membesar Shuffner
IV.

Selama perawatan di RS, hasil laboratorium didapatkan :

 Anemia normokrom normositer (berdasar MCV dan MCH), biasa terjadi pada
penyakit kronis termasuk penderita keganasan.3 Pada penderita ini dijumpai
anemia normokrom normositer dengan retikulosit normal yang disebabkan
karena respon sumsum tulang yang tidak adekuat terhadap anemia akibat dari
proliferasi sel-sel mieloid yang berlebihan sehingga menekan seri eritroid.
 Adanya penurunan kadar HB dengan peningkatan retikulosit, bahwa sumsum
tulang berespon baik terhadap anemia dengan membuat lebih banyak eritosit.
 Jumlah leukosit meningkat. Leukositosis disebabkan oleh adanya gen BCR-
ABL pada kromosom Ph atau P210 yang mempunyai aktivitas tirosin kinase
tinggi sehingga menyebabkan hilangnya kontrol proliferasi sel induk
pluripoten pada sistem hematopoiesis dan penghambatan apoptosis sehingga
klon-klon ini bisa hidup lebih lama dibanding sel normal.8 Pada sediaan apus
darah tepi pasien ini ditemukan semua seri sel-sel mieloid.

30
 Trombositosis diduga disebabkan oleh adanya patahan pada gen BCR-ABL di
daerah micro bcr (μ-bcr). Menurut Melo variasi letak patahan berhubungan
dengan gambaran klinik penyakitnya.
 Splenomegali terjadi karena adanya hematopoiesis extramedular akibat tidak
efektifnya hematopoiesis di sumsum tulang.
 Peningkatan kadar asam urat. Pada keganasan biasanya turn-over cell yang
tinggi menyebabkan peningkatan asam urat. Peningkatan produksi asam urat
tersebut dapat menyebabkan artritis gout, batu asam urat dan nefropati.
 Pada hampir semua keadaan penyakit yang mengalami kerusakan dan
destruksi sel aktivitas LDH meningkat Isoenzim LD2,3 dan 4 sering
meningkat pada pasien dengan keganasan dan beban tumor yang besar karena
metabolisme dan pertukaran sel tumor. Peningkatan LDH pada pemeriksaan
penyaring, mengarahkan pada kemungkinan keganasan tersamar. Pemeriksaan
Laktat Dehidrogenase (LDH) serum akan membantu menegakkan diagnosa,
memantau terapi dan follow up terapi..
 Pada pasien ini hasil BMP menunjukkan sumsum tulang hiperseluler dengan
granulositik hiperplasia dan jumlah sel blas 4% sehingga mendukung
diagnosis Chronic Myelocytic Leukemia (CML) fase kronis Analisis
sitogenetik dilakukan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan
kromosom Philadelphia (Ph). Pada penderita hasil pemeriksaannya belum
diketahui. Adanya kromosom Ph memastikan diagnosis CML dan
menunjukkan prognosis yang lebih baik. CML dengan kromosom Ph positip
memiliki prognosis yang baik karena telah ditemukan terapi penghambat kerja
enzim tirosin kinase yang dikode oleh gen BCR-ABL

31
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta


pemeriksaan BMP dapat disimpulkan penderita menderita penyakit CML fase
kronik.

SARAN

 Pemantauan Hb, lekosit, trombosit, SADT untuk keperluan terapi dan follow
up terapi.
 Pewarnaan Sitokimia dengan Tes Neutrophil Alkaline Phosphatase (NAP)
dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis. NAP adalah enzim yang
terdapat dalam granula dan sitoplasma sel seri granulosit, terutama pada
neutrofil segmen dan sedikit pada neutrofil batang.
 Deteksi kromosom Ph t(9;22)(q34;q11) untuk memantau perjalanan penyakit
sekaligus mengevaluasi efektivitas pengobatan.
 Pemeriksaan Laktat Dehidrogenase (LDH) serum.

32
DAFTAR PUSTAKA

B. Löwenberg, J.J. Cornelissen, P. Sonneveld. “Leukemia akut dan kronik”. Dalam:


Arjono, alih bahasa. Onkologi. Edisi V. Panitia Kanker RSUP Dr Sardjito.
Yogyakarta. 1999: 641-60.

Djamil LS. “Pembacaan preparat darah tepi leukemia”. Dalam: Budiwiyono I,


Adhipireno P, editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 38-46.

Fadjari H. “Leukemia granulositik kronis”. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi


I, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 698-701

Harahap AR. “Penanda genetik chronic myeloid leukemia: Deteksi kromosom


Philadelphia, bcr/abl fusion gene dan protein 210”. Dalam: Oesman F, editor.
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Departemen Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 62-73

Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. “Leukemia mieloid kronik dan


mielodisplasia”. Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4th
edition. Jakarta: EGC; 2005: 167-76.

Pradana AP. “Keganasan hematologik”. Dalam: Budiwiyono I, Adhipireno P, editors.


Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Undip/ RS
Dr Kariadi. Semarang. 1995: 27-36

Sacher R.A., McPherson R.A.. “Penyakit sel darah putih”. Dalam: Hartanto H,
editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan
laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 109-52.

Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R. “Lekemi granulositik kronik”. Dalam:


Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R, editors. Pedoman terapi hematologi
onkologi. PT Alumni . Bandung Edisi I.1997: 28-30

Wirawan R. “Patogenesis dan Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia”. Dalam:


Oesman F, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Departemen
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 49-61

33
34

Anda mungkin juga menyukai