Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

HIFEMA OCULUS DEXTRA GRADE I


ec TRAUMA TUMPUL

Pembimbing :
dr. Syafridawati

Disusun Oleh :
dr. Suci Fahlevi Masri

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KEC. MANDAU


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2018

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................3


BAB II STATUS PASIEN ....................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Definisi .....................................................................................................10
Klasifikasi .................................................................................................10
Epidemiologi ............................................................................................11
Patofisiologi ..............................................................................................12
Penegakan diagnosis .................................................................................13
Pemeriksaan Penunjang ............................................................................14
Penatalaksanaan ........................................................................................14
Komplikasi ...............................................................................................16
Prognosis...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hifema merupakan suatu keadaan dimana adanya darah dalam bilik mata
depan yang bersal dari pembuluh darah iris dan badan siliar yang pecah yang dapat
terjadi akibat dari trauma ataupun secara spontan, sehingga darah
terkumpul di dalam bilik mata, yang hanya mengisi sebagian ataupun seluruh bilik
mata depan. Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari
cedera. Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami
kerusakan akibat cedera, sehingga dapat terjadi kebutaan. Trauma pada mata harus
diperiksa untuk menentukan pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.1
Salah satu di antara sekian banyak penyebab kebutaan, yang sering dijumpai
adalah trauma tumpul pada mata. Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke
belakang sehingga kemungkinan dapat merusak struktur pada permukaan (kelopak
mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan struktur mata bagian belakang
(retina dan persarafan). Perdarahan di dalam Camera Oculi Anterior (COA) yang
disebut dengan hifema merupakan masalah yang serius dan harus segera ditangani.2
Penelitian menemukan 33% dari seluruh trauma mata yang serius
menimbulkan hifema, 80% hifema terjadi pada pria, perkiraan rata-rata kejadian di
Amerika utara adalah 17-20/100.000 populasi pertahun. Sering pada pasien yang
berumur kurang dari 20 tahun dan pertengahan 30 tahun. Perbandingan antara pria
dan wanita adalah 3:1. Untuk di Indonesia sendiri khususnya penelitian yang
dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, menunjukan pada tahun 2002-2006
terdapat 50 kasus hifema. Kasus terbanyak pada usia 1-12 tahun. Penyebab
terbanyak akibat trauma benda tumpul.3
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan
limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan
tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada
sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah,

3
antara lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis,
dan vena-vena badan siliar.4
Pada gejala klinik pasien akan mengeluh nyeri pada mata, disertai dengan
epifora dan blefarospasme. Pengelihatan pasien kabur dan akan sangat menurun.
Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya
cukup banyak. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah
bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. 4,5
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah
perdarahan sekunder, glaukoma dan hemosiderosis disamping komplikasi traumanya
sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak, dan iridodialysis.
Besarnya komplikasi tergantung pada tingginya hifema.6,7
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai
glaukoma, prognosisnya baik karena darah akan diserap kembali dan hilang
sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma,
prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek
pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih
rendah maka prognosisnya penderita adalah buruk kerena dapat menyebabkan
kebutaan.8,9

BAB II

4
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SJF
No RM : 1325XX
Umur : 6 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jln. Gereja Pentakosta, Sebanga
Masuk RS : 14 April 2018 pkl. 18.00 WIB

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis / Alloanamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada mata kanan yang dirasakan sejak ± 1 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh nyeri mata kanan yang dirasakan sejak ± 1 jam SMRS
setelah mata kanannya terkena trauma bambu. Permukaan bambu rata tidak
runcing. Arah trauma dari depan. Keluhan disertai dengan mata merah dan
berair pada mata kanan. Penglihatan kabur (-), silau (-), penglihatan ganda (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Sakit serupa sebelumnya (-)
 Riwayat penyakit gangguan pembekuan darah (-)
 Riwayat alergi makanan atau obat (-)
 Riwayat asma bronkhial (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

5
Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama

C. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Komposmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Vital Sign :
 Frekuensi nadi : 80x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
 Frekuensi napas : 24x/menit
 Suhu : 36,20 C
 Berat badan : 21 kg
Status Generalisata:
 Bibir : sianosis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)
 Paru
- Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan = kiri
- Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi: vesikuler seluruh lapangan paru, wheezing (-/-), ronki (-/-)
 Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : batas-batas jantung
Dextra : RIC V linea parasternalis dekstra
Sinistra : RIC V 2 jari medial LMCS
- Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : perut tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba

6
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
 Ekstremitas
- Akral hangat
- CRT < 2 detik
- Pitting oedem (-/-)
 Status Lokalis
Okulus Sinistra Okulus Dextra
Visus 6/6 6/6
Tekanan Intraokuler Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Segmen Anterior
Palpebra Hematom (-), Edema (-) Hematom(+), edema (+)
Konjungtiva Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+)
Kornea Jernih, sikatrik (-) Sikatrik (-)
COA Dalam Darah (+) 1/3 COA
Iris/Pupil Pupil: RAPD (-), bulat, Pupil: RAPD (-), oval,
refleks cahaya (+) refleks cahaya (+)
Iris: sinekia (-) Iris: sinekia (-)
Segmen Posterior
Refleks fundus Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Retina Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Papil N. II Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Makula Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium
Darah rutin
 Hb : 12,6 gr/dl
 Ht : 34,9%
 Leukosit : 8.160/ul
 Hitung jenis
- Basofil : 0
- Eosinofil : 9
- Neutrofil : 56
- Limfosit : 24
- Monosit : 11
 Trombosit : 455.000 /ul
E. DIAGNOSIS
Hifema oculus dextra grade I ec trauma tumpul

F. PENATALAKSANAAN

8
Non farmakologis
 Bedrest dengan elevasi kepala 30°- 45°
 Bebat tekan mata kanan dengan menggunakan kassa

Farmakologis
Terapi IGD
 Paracetamol tab 3x250 mg (p.o)
 Timolol maleate 0,25% 2 dd gtt 1

Terapi dr. Sp.M


 Pasien rawat inap
 IVFD RL + Transamin 20 tpm
 Paracetamol tab 3x250 mg (p.o)
 Diazepam 1x1 mg (malam)
 Timolol maleate 0,25% 2 dd gtt 1

G. PROGNOSIS
Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

9
I. Definisi
Hifema merupakan suatu keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan
humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan
biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata
depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan. Pasien akan mengeluh sakit,
disertai dengan epifora dan blefarospasme. Bila pasien duduk hifema akan terlihat
terkumpul dibagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh
ruang bilik mata depan.2,3

II. Klasifikasi
a). Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi2,3:
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen
anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).
3. Hifema akibat inflamasi yang arah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah dapat pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah.
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

b). Berdasarkan onset perdarahannya, hifema dibagi menjadi:


1. hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma pada mata
2. hifema sekunder terjadi 2-5 hari setelah trauma pada mata

c). Berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan menjadi:


1. makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
2. mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan mikroskop.

10
d). Berdasarkan pemenuhan darah dibilik mata depan, hifema dapat dibagi menjadi:
 Grade 1, darah mengisi kurang dari 1/3 bilik mata depan
 Grade 2, darah mengisi 1/3-1/2 bilik mata depan
 Grade 3, darah mengisis 1/2 – kurang dari seluruh bilik mata depan
 Grade 4, darah mengisi seluruh bilik mata depan, dikenal dengan total
hyphema, blackball atau 8-ball hyphema

III. Epidemiologi
Penelitian menemukan 33% dari seluruh trauma mata yang serius
menimbulkan hifema, 80% hifema terjadi pada pria, perkiraan rata-rata kejadian di
Amerika utara adalah 17-20/100.000 populasi pertahun. Sering pada pasien yang
berumur kurang dari 20 tahun dan pertengahan 30 tahun. Perbandingan antara pria
dan wanita adalah 3:1. Untuk di Indonesia sendiri khususnya penelitian yang
dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, menunjukan pada tahun 2002-2006

11
terdapat 50 kasus hifema. Kasus terbanyak pada usia 1-12 tahun. Penyebab
terbanyak akibat trauma benda tumpul.3

IV. Patofisiologi
Trauma tumpul pada kornea atau limbus dapat menimbulkan tekanan
yang sangat tinggi, dan dalam waktu yang singkat di dalam bola mata terjadi
penyebaran tekanan ke cairan badan kaca dan jaringan sklera yang tidak elastis
sehingga terjadi perenggangan-perenggangan dan robekan pada kornea, sklera sudut
iridokornea, badan siliar yang dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan sekunder
dapat terjadi oleh karena resorbsi dari pembekuan darah terjadi cepat, sehingga
pembuluh darah tidak mendapat waktu yang cukup untuk meregenerasi kembali,
dan menimbulkan perdarahan lagi.
Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan
primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari setelah trauma yang disebut perdarahan
sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme
pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih
buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis,
tumor pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah yang mungkin diakibatkan
karena terjadi suatu kelemahan dinding-dinding pembuluh darah. Pada proses
penyembuhan, hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah
merah melalui sudut bilik mata depan atau kanal sclemn dan permukaan depan iris.
Penyerapan melalui dataran depan iris dipercepat oleh enzim proteolitik yang dapat
6
berlebihan di dataran depan iris.
Sebagian darah dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat
hemosiderin berlebihan di dalam bilik mata depan, dapat terjadi penimbunan
pigmen ini ke dalam lapis kornea. Penimbunan ini menimbulkan kekeruhan kornea
terutama di bagian sentral sehingga terjadi perubahan warna kornea menjadi coklat
yang disebut imbibisi kornea. Sementara itu darah dalam bilik mata depan tidak
sepenuhnya berbahaya, namun bila jumlahnya memadai maka dapat menghambat

12
aliran humor aquos ke dalam trabekula, sehingga dapat menimbulkan glaukoma
sekunder.
Gambar hifema, nampak darah pada bilik mata depan, hanya memenuhi sebagian bilik mata
depan

V. Penegakan Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan
adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA
(dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan perikorneal, fotofobia
(tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra,
midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu
letargi, disorientasi atau somnolen namun jarang sekali terjadi.5,6,7,8
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang
terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk,
hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi
seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi
(midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor
pupil.5,6,7,8
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah
mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung
dapat mengakibatkan tekanan intra okuler meningkat akibat bertambahnya isi
kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intra okuler ini disebut glaucoma

13
sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang
menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang
berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera
anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan
jaringan kornea.5,6,7,8

VI. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a. Tonometri, untuk memeriksa tekanan intra okuler
b. Funduskopi
Untuk mengetahui akibat trauma pada segmen belakang bola mata,
kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada
media refraksi disegmen belakang bola mata, yaitu pada badan kaca.
c. USG untk menyingkirkan adanya perdarahan vitreus atau ablasio retina
d. Skrining sickle cell
e. X-ray
f. CT-scan orbita
g. Gonioskopi

VII. Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya
adalah 5,6:
a. Menghentikan perdarahan.
b. Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
c. Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat absorbsi.
d. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
e. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.

Perawatan Konservatif
1. Tirah baring (bed rest total)

14
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat
(diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o (posisi semi fowler). Hal ini akan
mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli
mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan
bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan
bahwa dengan tirah baring kesempurnaan absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat
mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.5,6

2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di
antara para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu untuk
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.5,6

3. Pemakaian obat-obatan
 Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun
parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan. Pada hifema yang
baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik sehingga bekuan darah
tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan
terjadinya perdarahan sekunder dapat dihindarkan. 5,6
 Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan
kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi
meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
Pemberian midriatika dianjurkan bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis.
Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja.5,6

15
 Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox)
secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan
intraokuler.
 Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.5,6

VIII. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah
perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis, selain komplikasi dari
traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan
iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada derajat
hifema.

 Perdarahan Sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ketiga sampai keenam. Sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10-40 persen. Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, karena bekuan darah terlalu cepat diserap,
sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali,
dan menimbulkan perdarahan lagi
 Glaukoma Sekunder
Adanya darah di dalam COA dapat menghambat aliran aquos humor ke
dalam trabekula, sehingga dapat menimbulkan glaucoma sekunder. Hifema dapat
pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang
dapat meresap masuk kedalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan
disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan
adalah: glaucoma sekunder, uveitis, dan imbibisio kornea.
 Hemosiderosis Kornea
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder
disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis tidak

16
selalu permanen, tapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama
(dua tahun). Insidensinya 1-10 persen.

Kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea

IX. Prognosis
Prognosis hifema bergantung pada jumlah darah di dalam bilik mata depan.
Bila darah sedikit di dalam bilik mata depan, maka darah ini akan hilang dan jernih
dengan sempurna. Sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata
depan, maka prognosis buruk yang akan disertai dengan beberapa penyulit. Hifema
yang penuh di dalam bilik mata depan akan memberikan prognosis lebih buruk di
bandingkan dengan hifema sebagian.
Pada hifema akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapat
dipikirkan kemungkinan adanya kerusakan langsung pada mata akibat trauma
tersebut, seperti luksasi lensa, ablasi retina dan edema makula. Hifema sekunder
yang terjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma, biasanya lebih masif dibanding
dengan hifema primer dan dapat memberikan rasa sakit sekali. Dapat terjadi
keadaan yang disebut hemoftalmitis atau peradangan intraokular akibat adanya
darah yang penuh didalam bola mata. Dapat juga terjadi siderosis akibat
hemoglobin atau siderin tersebar dan diikat oleh jaringan mata.
Prognosa dari hifema sangat bergantung pada:
 Tingginya hifema

 Ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya

 Cara perawatan

 Keadaan dari penderitanya sendiri

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Rizky G. Hifema. Medicinesia.2013. available at URL: www.


Medicinesia.com
2. Ilyas, S. Hifema, dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. FKUI, Jakarta, 2005
3. Ilyas, S.Hifema. Dalam : Kedaruratan dalam Ilmu penyakit Mata. Edisi 3.
FKUI: Jakarta. 2005

18
4. Balatay A, Ibrahim H. Traumatic Hyphema. Dohuk Medical Journal 2008.
Available at URL: www.uod.ac
5. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. General ophthalmology.16 th
ed.USA:McGraw-Hill
6. Kuhn F, Pieramici D. Mechanical Globe Injuri: Anterior Chamber. Dalam:
Ocular trauma principles and practice. New York: Thieme.2002.
7. Kuhn F. Anterior Chamber. Dalam: Ocular
TraumatologyUSA:Springer.2008.
8. Behbehani A, Abdelmoaty S, Aljazaf A. Traumatic Hyphema. Dalam Studi
Journal og Ophtalmology, Volume 3, No. 3 July-September.2006
9. Sheppard JD. Hyphema. Available at URLL: //medicine.medscape.com
10. Sumarsono, Contusio Oculi. Available at:
http://www.portalkalbe/kalbe_ContusioOculi.html.

19

Anda mungkin juga menyukai