Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dia menuturkan masalah utama yang dihadapi pemerintah dan PT Transjakarta adalah
sulitnya menambah jumlah bus. Alhasil, masyarakat harus menunggu lama sebelum akhirnya
naik Transjakarta.
Selain itu, dia mengatakan kendala lain yang dihadapi adalah sulitnya mengatur pengguna
kendaraan pribadi di Jakarta. Pasalnya, sampai saat ini masih banyak motor dan mobil yang
masuk busway. Jalur Transjakarta pun menjadi tak steril.
"Tren masyarakat untuk naik Transjakarta juga mulai turun. Makanya, kami fokuskan untuk
membangun Mass Rapid Transit dan Light Rail Transit sebagai angkutan umum," paparnya.
Proyek MRT dimulai pada 2012 silam. Saat ini, progres pembangunan MRT sudah masuk
tahap pengeboran bawah tanah. Sistem angkutan massa ini ditargetkan selesai pada 2018
mendatang.
Selain MRT, Pemprov DKI juga berencana membangun kereta rel ringan (LRT) mulai tahun
depan. Pemerintah setidaknya akan membangun tujuh koridor LRT yang tersebar di lima
wilayah Ibu Kota.
......................
Setiap sore di halte Dukuh Atas 1, tampak sejumlah bus Transjakarta berjejer.
Penumpang yang menumpuk berjejer sesuai arah tujuannya masing-masing. Ada
yang hendak menuju Blok M, ada yang hendak menuju Grogol, dan ada yang
hendak menuju Bekasi, baik Bekasi Barat atau Timur. Bus datang bertubi-tubi, dan
halte sesaat terlihat lengang, kemudian penuh lagi dengan penumpang lain yang
terus tiba di halte tersebut. Setelah naik, bus terhenti saat memasuki halte Karet
Sudirman. Rupanya ada antrean empat bus yang sedang menaik-turunkan
penumpang di depannya. Di seberang jalan, bus patas AC Mayasari Bakti berjalan
lambat, juga dalam kondisi dijejali penumpang.
Saat MRT akan dibangun, ada pihak yang mengkritik “kenapa dibangun sampai
Lebak Bulus? Kenapa tidak memberdayakan saja akses ke stasiun KRL
Jurangmangu?”. Jawabannya adalah karena konektivitas KRL tidak dapat
menjangkau sejauh itu. Penumpang menginginkan perjalanannya dilakukan dengan
cara yang mudah, efisien, dan kalau bisa tanpa perlu transit. Ini yang coba digagas
dengan sistem APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway) dan kini
diteruskan dengan Transjabodetabek. Dari Ciputat atau Bulak Kapal, penumpang
bisa naik Transjabodetabek dan meneruskan perjalanan dengan Transjakarta biasa
di halte dalam koridor.
Itu alasan mengapa kota-kota satelit di sekitar Tokyo, Jepang dilayani dengan
berbagai macam operator KRL, dan dari luar kota, KRL-KRL milik operator
swasta itu langsung masuk ke dalam jalur subway dan mampu mengantar
penumpang dari rumah berjarak 50-70km langsung ke pusat kota. Setiba di
stasiun hub besar seperti Shibuya atau Shinjuku, mereka bisa berganti ke moda
atau rute lain di dalam kota.
Tetapi di Tokyo, hanya dua rute tersebut yang “gagal” secara umum. Rute-rute
lainnya dibangun dengan perhitungan demand jangka menengah sampai panjang.
Itu mengapa pembangunan shortcut Ueno-Tokyo Line tetap dilakukan walau
memakan biaya 4 triliun untuk rute sepanjang 2 km saja, karena pembangunannya
efektif mengurangi kepadatan kereta api di Tokyo sekaligus memperbaiki
konektivitas penglaju dari utara ke selatan Tokyo.
Memang membangun proyek padat modal tidak bisa dilakukan secara gegabah.
Perlu ada survei yang holistik mengenai pergerakan penumpang. Tetapi rasa-
rasanya itu bukan alasan untuk tidak membangun LRT dan MRT, apalagi
menimpakan seluruh beban tulang punggung angkutan komuter ke KRL
Commuter.
Manggarai tetap harus dibangun. Jalur loop line tetap pula harus dibangun. Akses
yang lebih baik bagi masyarakat Rangkasbitung pun baik. Tetapi mari melihat
LRT dan MRT bukan sebagai pesaing, namun pelengkap dan nantinya akan
mengurangi beban transportasi eksisting saat ini seperti KRL Commuter dan
Transjakarta. Asalkan integrasi antarmoda-nya benar-benar disiapkan dengan
matang. Masyarakat di Lebak Bulus, Cibubur, dan daerah-daerah lainnya yang
tidak terjangkau KRL juga berhak mendapatkan angkutan yang cepat, langsung,
dan nyaman.
Oleh Kevin W | Penulis telah menggunakan transportasi KRL sejak 2007 sejak
zaman masih sering tidak membeli karcis, menggunakan abunemen KRL ekonomi
AC, sampai membeli kartu multi trip di hari pertamanya dijual. Pengguna
Transjakarta sejak bus Huanghai pertama beroperasi di koridor 5.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti
merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
..........................................
TRANSPORTASI massal masih menjadi impian warga Jakarta yang tak kunjung terealisasi. Salah satunya,
transportasi berbasis rel yang disebut Mass Rapid Transit (MRT), seperti yang dimiliki Singapura. Negara
tetangga itu telah membuktikan, betapa MRT mampu menjadikan kota tersebut maju dan lalu lintasnya tertib dan
nyaman bagi masyarakat.
Kepala Biro Komunikasi PT MRT Jakarta Manpalagupta Sitorus mengatakan, Jakarta memang harus mencontoh
Singapura dalam menyediakan transportasi massal untuk warganya. Untuk itu, ia meminta dukungan masyarakat
dalam pembangunan MRT di ibu kota.
Dengan demikian, nantinya warga Jakarta memiliki alternatif sarana transportasi massal yang mudah
menjangkau lokasi-lokasi strategis. Tidak seperti sekarang, transportasinya jauh dari memadai dan nyaman,
apalagi modern.
"MRT di Jakarta ini tidak akan berbeda dengan di Singapura. Nantinya, akan lewat juga di lokasi-lokasi strategis
di Jakarta. Seperti Fatmawati, Blok M dan Sudirman," kata Manpalagupta saat kunjungan di Singapura, pekan
lalu.
Manpalagupta mengatakan, MRT memang telah berhasil menjadi tulang punggung sarana transportasi massal
dan mengakses berbagai kawasan baik perkantoran, pusat perbelanjaan maupun pemukiman sejak tahun 1987
di Singapura. Saat ini, tersedia empat jalur MRT yang terdiri dari 89 stasiun dengan 11 stasiun transit yang
mempermudah pengguna berpindah jalur.
Beberapa lokasi strategis yang mudah dijangkau dengan MRT adalah Orchard, Somerset, City Hall, Raffles
Place, Bugis, China Town, Esplanade, Bayfront dan Marina Bay. Bahkan biaya menggunakan MRT ini hanya
berkisar sekitar 1-2 dollar Singapura. Tarif ini tentu jauh lebih murah dibandingkan menggunakan kendaraan
pribadi atau naik taksi.
"Naik taksi dari Bugis sampai Clementi bisa sampai 14 dollar Singapura. Sedangkan naik MRT hanya 2 dollar
Singapura," ujar Manpalagupta.
Tidak hanya itu, jika mengendarai kendaraan pribadi saat hari kerja maka masyarakat harus bersiap membayar
sebesar 4 dollar Singapura tiap kali melewati wilayah Electronic Road Pricing (ERP). Ditambah lagi, tarif parkir di
gedung untuk kendaraan pribadi jauh lebih mahal daripada tarif parkir kendaraan pribadi di fasilitas park and ride
yang terintegrasi dengan MRT.
Manajer Komunikasi pihak otoritas transportasi di Singapura, Land Transport Authority (LTA), Khrisna
menjelaskan, sebelum adanya MRT kawasan Holland Village, di Singapura, merupakan daerah yang belum
berkembang. Namun, setelah MRT melintas kawasan tersebut lebih berkembang, baik bisnis maupun
perekonomiannya.
"Dulu Holland Village kondisinya macet, susah parkir, bisnis turun tapi setelah ada MRT semakin berkembang,"
imbuhnya.
Bahkan meski telah memiliki empat jalur MRT yang terdiri dari 89 stasiun dengan 11 stasiun transit, pemerintah
Singapura terus mengembangkan transportasi ini, seperti pembangungan terowongan, rel, dan stasiun. Sebab
pemerintah Singapura telah menyadari sarana transportasi merupakan faktor pendukung percepatan ekonomi
negara.
"Karena itu kami lakukan segala upaya untuk memperkuat sektro transportasi. Dan kami pastikan, MRT
merupakan tulang punggung sektor transportasi Jakarta," tandasnya.