Anda di halaman 1dari 17

Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum terdiri dari :

Perseroan Terbatas (“PT”)

-Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU 40/2007 minimum modal dasar PT yaitu
Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam
PT;
-Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya;
-Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan agar suatu badan usaha
berbentuk PT.

Yayasan
-Bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota;
-Kekayaan Yayasan dipisahkan dengan kekayaan pendiri yayasan.

Koperasi

- beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya


berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas
kekeluargaan.
- Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada paksaan untuk menjadi anggota
koperasi dan terbuka bahwa tidak ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi.

Badan Usaha bukan berbentuk Badan Hukum

Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum, pada bentuk badan usaha
ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya. Badan
usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:

Persekutuan Perdata

-Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke
dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya;
-Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan Perdata.

Firma

-Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah nama bersama;
- Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma.

Persekutuan Komanditer (“CV”)


-Terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif/komanditer.
-Pesero Aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya
bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV.

Untuk memperdalam pengetahuan mengenai keseluruhan hal tersebut, saya mereferensikan


pembaca untuk mempelajari lebih lanjut melalui referensi baik buku maupun dasar hukum (UU),
antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie,
Staatsblad tahun 1847 No. 43).
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
4. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 28 Tahun 2004
5. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
7. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
8. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Perusahaan Bukan badan Hukum


Merupakan perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan swasta, dapat berupa perusahaan
perseorangan maupun perusahaan persekutuan. Contohnya : Perusahaan Perseorangan,
Perskutuan Perdata, Firma, CV.
PERUSAHAAN BUKAN BADAN HUKUM merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan
dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara kerja sama, jenis perusahaan ini dapat
menjalankan usaha di bidang perekonomian (perindustrian, perdagangan, dan perjasaan).
Beberapa penjelasan singkat mengenai Perusahan Bukan Badan Hukum.
Subjek hukumnya adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi bukan badan hukum itu
sendiri karena ia bukanlah hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum.
Pada perusahaan bukan badan hukum, yang bertindak sebagai subjek hukum adalah orang-
orangnya dan bukan perkumpulannya sehingga yang dituntut adalah orang-orangnya oleh pihak
ketiga
Harta kekayaan dalam perusahaan yang tidak berbadan hukum adalah dicampur, artinya bila
terjadi kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi /pelunasan utang maka harta
kekayaan pribadi dapat menjadi jaminannya. Dengan kata lain, pertanggung jawabannya pribadi
untuk keseluruhan
Harta perusahan bersatu dengan harta pribadi para pengurus/anggotanya. Akibatnya kalau
perusahaannya pailit, maka harta pengurus/anggotanya ikut tersita juga.
Badan usaha yang bukan badan hukum adalah Perusahaan Perseorangan, Firma, CV.
Salah satu contoh Perusahan Bukan Badan Hukum adalah Perusahaan Perseorangan.
Perusahaan perseorangan adalah bisnis yang kepemilikannya dipegang oleh satu orang. Pemilik
perusahaan perseorangan memiliki tanggung jawab tak terbatas atas harta perusahaan. Artinya,
apabila bisnis mengalami kerugian, pemilik lah yang harus menanggung seluruh kerugian itu.
Bentuk perusahaan perseorangan secara resmi tidak ada, tetapi dalam masyarakat perdagangan
bentuk perusahaan perseorangan diterima masyarakat. Dalam praktik, sebagian perusahaan
persorangan pendiriannya menggunakan akta otentik. Beberapa karakteristik dari Perusahaan
Perseorangan adalah
Aset perusahaan hanya dimiliki satu orang.
Bertanggungjawab sendiri atas seluruh hutang perusahaan
Pekerja yang ada merupakan wakil atau pembantu pengusaha dalam perusahaan berdasarkan
pemberian kuasa atau perjanjian kerja
Contoh perusahaan perseorangan adalah Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD).
Perusahaan perseorangan termasuk perusahaan yang wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Perusahaan, kecuali (pasal6 UU WDP):
Diurus, dijalankan, atau dikelola pribadi pemiliknya dengan hanya mempekerjakan anggota
keluarga.
Tidak wajib memiliki izin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu yang
diterbitkan instansi yang berwenang.
Benar-benar hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari pemiliknya.
Bukan merupakan badan hukum atau persekutuan.
Contoh perusahaan perorangan adalah usaha kecil atau UKM (Usaha Kecil Menengah) seperti
bengkel, binatu (laundry), salon kecantikan, rumah makan, persewaan komputer dan internet,
toko kelontong, tukang bakso keliling, dan pedagang asongan.
Ciri dan sifat perusahaan perseorangan :
– relatif mudah didirikan dan juga dibubarkan
– tanggung jawab tidak terbatas dan bisa melibatkan harta pribadi
– tidak ada pajak, yang ada adalah pungutan dan retribusi
– seluruh keuntungan dinikmati sendiri
– sulit mengatur roda perusahaan karena diatur sendiri
– keuntungan yang kecil yang terkadang harus mengorbankan penghasilan yang lebih besar
– jangka waktu badan usaha tidak terbatas atau seumur hidup
– sewaktu-waktu dapat dipindah tangankan
Keuntungan Perusahaan Perseorangan
Laba hanya untuk pengusaha perseorangan. Tidak mengenal akan bagi hasil, tetapi
keuntungannya mutlak untuk pemilik.
Organisasi sederhana. Sangat sederhana dalam mendirikan hanya mendaftarkan diri ke
pemerintah daerah dan memberikan lisensi pekerjaan untuk menjalankan bisnis mereka.
Pengendalian seutuhnya. Maksud dari penegendalian seutuhnya adalah karena pemiliknya hanya
satu orang jadi dalam pengambilan keputusan tidak terjadi konflik (keputusannya satu pihak).
Pajak rendah. Karena pemiliknya hanya satu orang jadi dianggap itu penghasilan satu orang
dibandingkan bisnis lain.
Kekurangan Perusahaan Perseorangan
Pengusaha perseorangan bertanggung jawab atas semua kerugian. Sama seperti pada saat terjadi
keuntungan pengusaha perseorangan tidak harus membagi labanya, mereka juga tidak bisa
membagi kerugiannya kepada pihak lain. Karena anda seorang pengusaha perseorangan, maka
tidak ada pemilik lain yang bersedia menolong atau menutup kerugian tersebut.
Tanggung jawab tidak terbatas. Arti dari pernyataan itu adalah tidak ada batas utang yang
menjadi tanggung jawab pemilik.
Dana terbatas. Karena hanya seorang pengusaha perseorangan maka dana yang ditanamkan lebih
kecil dibandingkan bisnis lain.
Keterampilan terbatas. Pengusaha perseorangan mempunyai keterampilan terbatas dan mungkin
tidak dapat mengendalikan semua bagian perusahaan.
berdasarkan pembahasan di atas terlihat bahwa suatu perusahaan yang tidak memiliki badan
hukum tidak kuat sama sekali dalam hukum sehingga apabila perusahaan tersebut memiliki
masalah dengan perusahaannya pemiliknya harus bisa mengambil keputusan yang baik.
Sebaiknya pengetahuan mengenai badan hukum ini diberikan kepada pemilik usaha kecil
menengah, sehingga dengan pengetahuan ini mereka diharapkan bisa lebih membuat keputusan
yang baik untuk perusahaan atau usahanya di kemudian hari. Penegak hukum harus betul-betul
memeriksa kapan suatu perusahaan wajib mendaftarkan perusahaannya pada kantor pendaftaran
perusahaan karena apabila suatu perusahaan yang tidak sesuai dengan ciri-ciri perusahaan
perseorangan tetapi tidak mendaftarkan perusahaannya makan dapat merugikan negara karena
pajak yang ditanggung akan berbeda.
Tanggung Jawab Hukum
Konstruksi hukum antara Perusahaan induk dengan Anak Perusahaan dalam UUPT yang
menggunakan prinsip hukum mengenai kemandirian badan hukum induk dan anak perusahaan
untuk bertindak sebagai subyek hukum mandiri dan berhak melakukan perbuatan hukum
sendiri. Berdasarkan prinsip hukum tersebut maka berimplikasi :
- Induk perusahaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak
perusahaan.
- Berlakunya prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung jawab) yang melindungi
perusahaan induk sebagai pemegang saham anak perusahaan untuk tidak bertanggungjawab
melebihi nilai investasi atas ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan tanggung jawab
hukum dengan pihak ketiga.
Prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung jawab) kepada induk perusahaan
sebagai pemegang saham anak perusahaan sesuai mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dimana dinyatakan bahwa pemegang
saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang
dimilikinya.
Namun Induk perusahaan akan bertanggungjawab terhadap permasalahan hukum anak
perusahaan dalam hal-hal :
1. Induk Perusahaan turut menandatangani perjanjian yang dilakukan anak perusahaan dengan pihak
ketiga anak perusahaan
2. Induk Perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee atas perjanjian anak perusahaan dengan
kreditor
3. Induk perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi
pihak ketiga dari anak perusahaan.
2. Perluasan Tanggung Jawab
Pada prinsipnya tanggung jawab hukum dari perusahaan induk/Perusahaan holding dalam
perusahaan grup dalam hal sebagai pemegang saham maka pertanggungjawabannya hanya sebatas
nilai saham, namun dalam hal-hal tertentu hukum memperkenankan tanggung jawab hukum
pemegang saham melebihi dari tanggung jawab sebatas sahamnya (Piercing the corporate
veil). UUPT telah memberikan peluang bagi penerapan Piercing the corporate
veil terhadap hapusnya imunitas limited ability induk perusahaan sebagai pemegang saham anak
perusahaan sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat 1 tidak berlaku apabila terjadi hal-hal berikut :
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
2. Pemegang saham yang berangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi.
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh perseroan.
4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan
hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi utang perseroan.
Jadi tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya
kemungkinan hapus apabila terbukti antara lain percampuran harta kekayaan pribadi pemegang
saham dan harta kekayaan perseroan sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang
dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka Prinsip hukum Piercing the corporate veil berlaku
apabila terbukti hal hal sebagai berikut :
1. Fakta Pengendalian induk terhadap anak perusahaan nyata-nyata menyebabkan ketidak mandirian
secara ekonomi anak perusahaan sehingga anak perusahaan hanya menjadi instrumen induk induk
perusahaan karena perbuatan hukum anak perusahaan semata-mata menjalankan instruksi induk
perusahaan.
2. Induk perusahaan terbukti menunjukkan itikad tidak baik dengan memanfaatkan anak perusahaan
untuk kepentingan induk perusahaan.
3. Induk perusahaan memberikan instruksi kepada anak perusahaan sehingga anak perusahaan wajib
menggunakan kekayaannya tidak untuk kepentingan anak perusahaan melainkan untuk
kepentingan induk perusahaan sehingga mengakibatkan anak perusahaan menderita kerugian.
D. PENUTUP
Pada prinsipnya induk perusahaan dapat dikenakan tanggung jawab hukum sebagai
akibat dominasi induk perusahaan terhadap pengurusan anak perusahaan yang menjalankan
instruksi induk perusahaan, namun hukum perseroan kita masih mempertahankan pengakuan
yuridis terhadap status badan hukum induk dan anak perusahaan sebagai subyek hukum mandiri.
Hukum perseroan memberikan perlindungan kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham
anak perusahaan dengan Berlakunya prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung
jawab) atas ketidak mampuan anak perusahaan menyelesaikan seluruh tanggung jawab hukum
pada pihak ketiga. Keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi
perusahaan grup menyebabkan induk perusahaan memiliki peran ganda sebagai pemegang saham
anak perusahaan sekaligus pimpinan sentral perusahaan grup. Kedudukan induk perusahaan
sebagai pemegang saham anak perusahaan menyebabkan induk perusahaan tidak hanya
bertanggungjawab sebesar nilai saham mengingat peran ganda perusahaan induk. Tanggung jawab
ini diarahkan kepada perluasan tanggung jawab hukum induk perusahaan sebagai pemegang
saham sekaligus sebagai pimpinan sentral perusahaan grup dengan menerapkan prinsip Piercing
the corporate veil dan prinsip keseimbangan yang berkeadilan antara hak dan kewajiban induk
perusahaan sehingga induk perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab atas segala
akibat hukum yang muncul dari hubungan tersebut.
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
Posted: 15 November 2010 in Uncategorized
0
A. Definisi Good Corporate Governance (GCG)
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry,
misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report –
mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip
yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan
serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada
para shareholderskhususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan
pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan
dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara
mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah.
Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara
manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di
perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan
nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses
pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-
nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat
nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation. Pengertian lain
datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut
GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus
mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan
akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka
panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara
harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan.” Adapun dalam konteks
GCG, governance sering juga disebut “tata pamong”, atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi
orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun
tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan,
meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari
istilah yang tepat dalam bahasan Indonesia yang benar.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris,
Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang
dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.

3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
pengukuran kinerjanya.

B. Arti penting Good Corporate Governance (GCG)


GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten
dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang
saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai
pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang
harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim
usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan
penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement) .

2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan
usaha.

3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak
dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social
control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) adalah suatu subjek yang memiliki
banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut
masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi pedoman dan
mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham.
Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola
perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada
kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola
perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menunjuk perhatian dan
akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau
lingkungan.
Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan GCG yang dapat
mengakomodasikan berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi
semua pihak yang berkepentingan dengan GCG disebabkan karena cakupan GCG yang lintas
sektoral. Definisi CGC menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang
ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan
penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang
saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan
dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya
perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.
Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar pihak-pihak yang berperan dalam
menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi dan peran sesuai wewenang dan
tanggung jawab. Pihak yang berperan meliputi pemegang saham, dewan komisaris, komite,
direksi, pimpinan unit dan karyawan.

Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah konsep yang sudah saatnya
diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, karena melalui konsep
yang menyangkut struktur perseroan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris
dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung
jawab yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan nilai
perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.

1. C. Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG)


Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007 prinsip-prinsip Good Corporate Governance harus
mencerminkan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Yaitu keterbukaan yang diwajibkan oleh Undang-undang seperti misalnya mengumukan pendirin
PT dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ataupun Surat Kabar. Serta keterbukaan
yang dilakukan oleh perusahaan menyangkut masalah keterbukaan informasi ataupun dalam hal
penerapan management keterbukaan, informasi kepemilikan Perseroan yang akurat, jelas dan
tepat waktu baik kepada share holders maupun stakeholder.
Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang
cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan
tersebut. Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta
informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat
dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan
secara mudah pada saat diperlukan.

Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah
satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi
dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap
secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan
terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan
tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak
dalam manajemen.
1. 2. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
2. 3. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Adanya keterbukaan informasi dalam bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian yang
dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional perusahaan, sedangkan
komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan oleh Direksi, termasuk
pengawasan keuangan. Sehingga sudah sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris
Independent mutlak diperlukan kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya
mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang professional atas semua
keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan.
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang
berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial,
perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan
persaingan yang sehat.

Beberapa contoh mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

 Kebijakan sebuah perusahaan makanan untuk mendapat sertifikat “HALAL”. Ini


merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Lewat sertifikat ini, dari sisi
konsumen, mereka akan merasa yakin bahwa makanan yang dikonsumsinya itu halal dan tidak
merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi Pemerintah, perusahaan telah mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi perusahaan,
kebijakan tersebut akan menjamin loyalitas konsumen sehingga kelangsungan usaha,
pertumbuhan, dan kemampuan mencetak laba lebih terjamin, yang pada akhirnya memberi
manfaat maksimal bagi pemegang saham.

 Kebijakan perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga
merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini menjamin
mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar. Demikian pula dari
sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan
usaha karena akan mendapat dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan.
1. 4. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara
di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan
perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham minoritas – dari
berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang
melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang),
KKN, atau keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang
telah dikeluarkan, penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan
lain.
Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-
hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan
adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek
korporasi yang merugikan seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk
memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara
efektif. Syarat itu berupa peraturan dan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan
dapat ditegakkan secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin
adanya perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun, tanpa ada pengecualian. Peraturan
perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari
penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah
penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan dalam mengambil keputusan sehingga pihak
yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur waktu kewajiban yang harus dibayarkannya atau
bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang harus dibayarkannya.
Prinsip GCG yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan mekanisme internal
perusahaan adalah accountability. Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing-masing
komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak,
kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing-masing
komponen mampu melaksanakan tugas secara professional.
Dengan demikian masing-masing pihak baik Direksi maupun Komisaris perlu mengamankan
investasi dan aset perusahaan. Dalam hal ini Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan
internal, yang meliputi bidang keuangan, operasional, risk management dan kepatuhan
(compliance). Sedangkan Komisaris menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan
penyalahgunaan wewenang oleh Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.

1. D. Tujuan Penerapan Good Corporate Governance

Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:

1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan


kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders
lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan

2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat
dipertanggungjawabkan

3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders.

Dalam menerapkan nilai-nilai Tata Kelola Perusahaan, Perseroan menggunakan pendekatan


berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik.
Berdasarkan keyakinan yang kuat, maka akan tumbuh semangat yang tinggi untuk
menerapkannya sesuai standar internasional. Guna memastikan bahwa Tata Kelola Perusahaan
diterapkan secara konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan menyusun berbagai
acuan sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang disusun sendiri, Perseroan
juga mengadopsi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal penerapan prinsip GCG harus disadari bahwa penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
baik hanya akan efektif dengan adanya asas kepatuhan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, terlebih
dahulu diterapkan oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti oleh segenap karyawan. Melalui
penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari seluruh pelaku bisnis.

Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas akankah
implementasi GCG di Indonesia akan terwujud ? Hal ini tergantung pada penerapan dan
kesadaran dari perseroan tersebut akan pentingnya prinsip GCG dalam dunia usaha.

1. E. Manfaat dan Faktor Penerapan GCG

Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi
faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik
corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini
ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’
di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal
global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara
konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung
pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat
meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan.

Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:

1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai
akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa
kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing),
ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan
yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh
perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut
kepada publik luas dalam jangka panjang.

4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan
perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh
perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat
maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan.
Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang
sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:

a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi
hukum yang konsisten dan efektif.

b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan
dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good Government
Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi
standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain,
semacam benchmark (acuan).

1. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini
penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan
masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.

2. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG
terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan
publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan
perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat
mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.
Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal
dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:

a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG


dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan
nilai-nilai GCG.

c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar


GCG.

d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari
setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.

e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan
langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.

Komentar Saya :

Good Corporate Governance (GCG) telah menjadi sebuah istilah dan gerakan yang hangat
dibicarakan dalam 10 tahun terakhir ini. Tidak dapat dipungkiri, institusi-institusi seperti World
Bank, IMF, OECD, APEC, dan ADB turut mendorong tuntutan penerapan GCG secara konsisten
dan komprehensif di berbagai perusahaan, khususnya setelah krisis Asia dan collapse-nya
beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat dan Eropa di penghujung tahun 90-an dan awal
tahun 2000-an.
Sehubungan dengan itu, hingga saat ini istilah GCG itu sendiri belum mendapatkan padanan
yang tepat dalam bahasa Indonesia. Banyak perusahaan tetap menggunakan istilah GCG. Istilah
– GCG – merujuk pada pengertian yang sama yakni sebagai:

Suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC,
dan RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan
dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan para stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai