-Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU 40/2007 minimum modal dasar PT yaitu
Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam
PT;
-Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya;
-Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan agar suatu badan usaha
berbentuk PT.
Yayasan
-Bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota;
-Kekayaan Yayasan dipisahkan dengan kekayaan pendiri yayasan.
Koperasi
Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum, pada bentuk badan usaha
ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya. Badan
usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:
Persekutuan Perdata
-Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke
dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya;
-Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan Perdata.
Firma
-Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah nama bersama;
- Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie,
Staatsblad tahun 1847 No. 43).
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
4. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 28 Tahun 2004
5. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
7. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
8. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
pengukuran kinerjanya.
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan
usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak
dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social
control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) adalah suatu subjek yang memiliki
banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut
masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi pedoman dan
mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham.
Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola
perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada
kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola
perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menunjuk perhatian dan
akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau
lingkungan.
Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan GCG yang dapat
mengakomodasikan berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi
semua pihak yang berkepentingan dengan GCG disebabkan karena cakupan GCG yang lintas
sektoral. Definisi CGC menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang
ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan
penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang
saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan
dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya
perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.
Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar pihak-pihak yang berperan dalam
menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi dan peran sesuai wewenang dan
tanggung jawab. Pihak yang berperan meliputi pemegang saham, dewan komisaris, komite,
direksi, pimpinan unit dan karyawan.
Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah konsep yang sudah saatnya
diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, karena melalui konsep
yang menyangkut struktur perseroan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris
dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung
jawab yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan nilai
perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah
satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi
dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap
secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan
terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan
tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak
dalam manajemen.
1. 2. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
2. 3. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Adanya keterbukaan informasi dalam bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian yang
dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional perusahaan, sedangkan
komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan oleh Direksi, termasuk
pengawasan keuangan. Sehingga sudah sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris
Independent mutlak diperlukan kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya
mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang professional atas semua
keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan.
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang
berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial,
perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan
persaingan yang sehat.
Kebijakan perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga
merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini menjamin
mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar. Demikian pula dari
sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan
usaha karena akan mendapat dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan.
1. 4. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara
di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan
perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham minoritas – dari
berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang
melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang),
KKN, atau keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang
telah dikeluarkan, penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan
lain.
Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-
hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan
adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek
korporasi yang merugikan seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk
memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara
efektif. Syarat itu berupa peraturan dan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan
dapat ditegakkan secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin
adanya perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun, tanpa ada pengecualian. Peraturan
perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari
penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah
penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan dalam mengambil keputusan sehingga pihak
yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur waktu kewajiban yang harus dibayarkannya atau
bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang harus dibayarkannya.
Prinsip GCG yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan mekanisme internal
perusahaan adalah accountability. Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing-masing
komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak,
kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing-masing
komponen mampu melaksanakan tugas secara professional.
Dengan demikian masing-masing pihak baik Direksi maupun Komisaris perlu mengamankan
investasi dan aset perusahaan. Dalam hal ini Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan
internal, yang meliputi bidang keuangan, operasional, risk management dan kepatuhan
(compliance). Sedangkan Komisaris menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan
penyalahgunaan wewenang oleh Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.
Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:
2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat
dipertanggungjawabkan
3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders.
Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas akankah
implementasi GCG di Indonesia akan terwujud ? Hal ini tergantung pada penerapan dan
kesadaran dari perseroan tersebut akan pentingnya prinsip GCG dalam dunia usaha.
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi
faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik
corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini
ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’
di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal
global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara
konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung
pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat
meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan.
1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai
akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa
kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing),
ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan
yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh
perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut
kepada publik luas dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan
perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh
perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat
maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan.
Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang
sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi
hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan
dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good Government
Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi
standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain,
semacam benchmark (acuan).
1. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini
penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan
masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.
2. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG
terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan
publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan
perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat
mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.
Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal
dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari
setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan
langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Komentar Saya :
Good Corporate Governance (GCG) telah menjadi sebuah istilah dan gerakan yang hangat
dibicarakan dalam 10 tahun terakhir ini. Tidak dapat dipungkiri, institusi-institusi seperti World
Bank, IMF, OECD, APEC, dan ADB turut mendorong tuntutan penerapan GCG secara konsisten
dan komprehensif di berbagai perusahaan, khususnya setelah krisis Asia dan collapse-nya
beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat dan Eropa di penghujung tahun 90-an dan awal
tahun 2000-an.
Sehubungan dengan itu, hingga saat ini istilah GCG itu sendiri belum mendapatkan padanan
yang tepat dalam bahasa Indonesia. Banyak perusahaan tetap menggunakan istilah GCG. Istilah
– GCG – merujuk pada pengertian yang sama yakni sebagai:
Suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC,
dan RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan
dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan para stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.