Definisi: Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Definisi: Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
1. Definisi
2. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu:
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)
ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan
sisa urin lebih dari 100 ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
3. Etiologi
Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka
tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana
sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma,
sehingga timbul dugaan bahwa testosterone diperlukan untuk inisiasi
terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk
perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat
(Roehrborn, 2013).
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh
kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise
akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen.
Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat
merangsang produksi hormone estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari
fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar
uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak
bereaksi terhadap estrogen (Roehrborn, 2013). Testosteron yang dihasilkan
oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%)
masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi
sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan
testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase
menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor
complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang
masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese
protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat (Roehrborn,
2013).
Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian, didapatkan ternyata ada
hubungan antara pertumbuhan sel epitel dan sel stroma prostat. Differensiasi
dan perkembangan sel epitel prostat dikontrol secara tidak langsung oleh
androgen dependent mediator yang dihasilkan oleh stroma. Androgen
dependent mediator mempunyai nama lain Stromal Growth Faktor. Growth
Faktor ini akan berikatan dengan GF reseptor pada sel stroma dan epitel.
Selanjutnya terjadi pertumbuhan sel prostat. Growth Faktor yang diketahui
adalah, Epitelial GF (EGF), Insulin GF (IGF), Fibroblast GF (FGF), Keratinosit
GF (KGF), Transforming GF β (TGF-β). EGF, IGF, FGF dan KGF diketahui
memiliki aktivitas merangsang terjadinya mitosis pada sel epitel. Sedangkan
TGF-β memiliki aktivitas menghambat aktivitas mitosis. Pada BPH diduga
aktivitas EGF, IGF, FGF dan KGF lebih tinggi daripada TGF-β (Roehrborn,
2013).
Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel
yang Mati
Beberapa penelitian lainnya, mendapatkan bahwa BPH terjadi bukan
karena proliferasi sel yang lebih dominan, tapi terjadi karena aktivitas
kematian sel atau apoptosis yang berkurang.
Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”,
antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan
adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih
cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat
menjadi berlebihan.
Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular
morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,
menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral
dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal
dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic
stroma during adult hood (Roehrborn, 2013).
4. Faktor resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
a. Kadar Hormon
Menurut Guess (1995) dalam Amelia (2007) kadar testosteron yang tinggi
berhubungan dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah
menjadi androgen yang lebih poten yaitu DHT oleh enzim 5α-reduktase, yang
berperan penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.
b. Usia
Proses penuaan akan menginduksi penghambatan proses maturasi sel
sehingga perkembangan sel-sel yang berdiferensiasi berkurang dan
mengurangi tingkat kematian sel (Roehborn et al., 2007).
c. Ras
Menurut Roehborn (2002) dalam Amelia (2007) orang dari ras kulit hitam
memiliki risiko 2 kali lebih besar menderita BPH dibanding ras lain. Orang-
orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah.
d. Genetik
Salah satu analisis kasus-kontrol, di mana subjek penelitiannya adalah pria
berusia dibawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, diperkirakan lebih
dari 50% pria menderita penyakit BPH secara genetik. Penelitian lain telah
menyebutkan bahwa penyakit ini diwariskan secara autosomal dominan
(Parsons, 2010).
e. Obesitas
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh
terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap
androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat (Bain,
2006).
f. Penyakit Diabetes Mellitus
Dalam beberapa studi kohort yang berbeda yang dilakukan secara kumulatif
yang menggabungkan puluhan ribu orang menunjukkan bahwa peningkatan
kadar glukosa puasa plasma berhubungan dengan peningkatan ukuran
prostat dan peningkatan risiko pembesaran prostat, klinis BPH, operasi BPH,
dan LUTS (Parsons, 2010).
5. Patofisiologi
(Terlampir)
6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah,
rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum
klien.
Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
b. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
c. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.
USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi ekskresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
d. Pemeriksaan Panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan
buli-buli.
e. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran
adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun
sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan
karena mahal biayanya.
f. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat
memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau
sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau
batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars
prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
8. Penatalaksanaan
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan
pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan
kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan
hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk
melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
c. Intervensi
- Diagnosa Keperawatan:
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot
spincter
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil :
Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang dan
pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
b. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor
pencetus serta penghilang nyeri.
c. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
d. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
e. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok,
abdomen tegang)
f. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
g. Lakukan perawatan aseptik terapeutik
h. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.
- Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat
lanjutan .
Kriteria hasil :
- Klien akan melakukan perubahan perilaku.
- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan
dan kebutuhan berobat lanjutan.
Intervensi :
- Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil :
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.
Intervensi :
a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
b. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan.
c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat
mengurangi nyeri (analgesik).
Patofisiologi
Teori Dihidrotestosteron Ketidakseimbangan Interaksi stroma-epitel Berkurangnya kematian Teori sel stem
antara estrogen- sel prostat
testosteron
Pemasangan
Pembedahan
kateter
Risiko tinggi
Risiko obstruksi disfungsi seksual
aliran urin
Gangguan Pola
Eliminasi Urin
Daftar Pustaka
Amalia, R., 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi
Roehborn, C.G., McConnell, J.D., 2007. Prostate. In : Wein, A.J., Kavoussi, L.R.,
Novick, A.C., Partin, A.W., Peters, C.A., Campbell’s Urology. 9th ed. W.B.
Saunders, Section IV-XVI.
Presti J.C., Kane, C.J., Shinohara, K., Carroll, P.R., 2008. Neoplasms of the Prostate
Gland. In : Tanogho, E.A., McAninch, J.W., Smith’s General Urology. 17th Ed.
USA : Lange, 348, 350-351.
Parsons, J.K., 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Bain, B.S., 2006. Obesity and Diabetes Increase Risk for BPH : Presented at AUA.
Atlanta, GA.