Anda di halaman 1dari 17

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

1. Definisi

Definisi BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan


pembesaran dari kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia
stroma yang progresif dan hiperplasia kelenjar prostat. Jaringan prostat yang terus
berkembang ini pada akhirnya dapat mengakibatkan penyempitan dari pembukaan
uretra. Akibatnya, klinis BPH sering dikaitkan dengan lower urinary tract symptoms
(LUTS). Bahkan, BPH merupakan penyebab utama LUTS pada pria tua (Speakman
, 2008).

2. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu:
 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)
ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.
 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan
sisa urin lebih dari 100 ml.
 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

3. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya


hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan
proses penuaan (Roehrborn, 2013). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

 Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka
tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana
sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma,
sehingga timbul dugaan bahwa testosterone diperlukan untuk inisiasi
terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk
perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat
(Roehrborn, 2013).
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh
kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise
akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen.
Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat
merangsang produksi hormone estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari
fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar
uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak
bereaksi terhadap estrogen (Roehrborn, 2013). Testosteron yang dihasilkan
oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%)
masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi
sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan
testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase
menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor
complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang
masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese
protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat (Roehrborn,
2013).
 Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian, didapatkan ternyata ada
hubungan antara pertumbuhan sel epitel dan sel stroma prostat. Differensiasi
dan perkembangan sel epitel prostat dikontrol secara tidak langsung oleh
androgen dependent mediator yang dihasilkan oleh stroma. Androgen
dependent mediator mempunyai nama lain Stromal Growth Faktor. Growth
Faktor ini akan berikatan dengan GF reseptor pada sel stroma dan epitel.
Selanjutnya terjadi pertumbuhan sel prostat. Growth Faktor yang diketahui
adalah, Epitelial GF (EGF), Insulin GF (IGF), Fibroblast GF (FGF), Keratinosit
GF (KGF), Transforming GF β (TGF-β). EGF, IGF, FGF dan KGF diketahui
memiliki aktivitas merangsang terjadinya mitosis pada sel epitel. Sedangkan
TGF-β memiliki aktivitas menghambat aktivitas mitosis. Pada BPH diduga
aktivitas EGF, IGF, FGF dan KGF lebih tinggi daripada TGF-β (Roehrborn,
2013).
 Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel
yang Mati
Beberapa penelitian lainnya, mendapatkan bahwa BPH terjadi bukan
karena proliferasi sel yang lebih dominan, tapi terjadi karena aktivitas
kematian sel atau apoptosis yang berkurang.
 Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”,
antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan
adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih
cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat
menjadi berlebihan.
 Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular
morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,
menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral
dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal
dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic
stroma during adult hood (Roehrborn, 2013).

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang


menerangkantentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak,
teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui,
teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan
kolesterol, dan Zinc yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan
sebab-akibatnya (Roehrborn, 2013).

4. Faktor resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
a. Kadar Hormon
Menurut Guess (1995) dalam Amelia (2007) kadar testosteron yang tinggi
berhubungan dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah
menjadi androgen yang lebih poten yaitu DHT oleh enzim 5α-reduktase, yang
berperan penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.
b. Usia
Proses penuaan akan menginduksi penghambatan proses maturasi sel
sehingga perkembangan sel-sel yang berdiferensiasi berkurang dan
mengurangi tingkat kematian sel (Roehborn et al., 2007).
c. Ras
Menurut Roehborn (2002) dalam Amelia (2007) orang dari ras kulit hitam
memiliki risiko 2 kali lebih besar menderita BPH dibanding ras lain. Orang-
orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah.
d. Genetik
Salah satu analisis kasus-kontrol, di mana subjek penelitiannya adalah pria
berusia dibawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, diperkirakan lebih
dari 50% pria menderita penyakit BPH secara genetik. Penelitian lain telah
menyebutkan bahwa penyakit ini diwariskan secara autosomal dominan
(Parsons, 2010).
e. Obesitas
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh
terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap
androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat (Bain,
2006).
f. Penyakit Diabetes Mellitus
Dalam beberapa studi kohort yang berbeda yang dilakukan secara kumulatif
yang menggabungkan puluhan ribu orang menunjukkan bahwa peningkatan
kadar glukosa puasa plasma berhubungan dengan peningkatan ukuran
prostat dan peningkatan risiko pembesaran prostat, klinis BPH, operasi BPH,
dan LUTS (Parsons, 2010).

5. Patofisiologi
(Terlampir)
6. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah,
rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau


pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan
tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada
malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri
pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum
klien.
 Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
 PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
b. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
 Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
 Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
 Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
c. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
 BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.
 USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
 IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi ekskresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
d. Pemeriksaan Panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan
buli-buli.
e. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran
adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun
sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan
karena mahal biayanya.
f. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat
memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau
sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau
batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars
prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
8. Penatalaksanaan
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan
pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan
kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan
hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk
melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
 Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
 Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
 Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
 Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
 Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut


Purnomo (2011) diantaranya :

 Penghambat adrenergenik alfa


Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,
afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai
1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot
polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga
terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai
memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing,
sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan
ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik,
antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek
pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
 Pengahambat enzim 5 alfa reductase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12
bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
 Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus
dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
c. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin
berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih
dan perubahan fisiologi pada prostat. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi :
 Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
- Prostatektomi suprapubic
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat
dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan
segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan
kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain,
kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai
bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
- Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk
biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,
impotensi dan cedera rectal.
- Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat
tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun
jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan
lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
 Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat
dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
- Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi
kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup
darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila
pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk
mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain
tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu
tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak
enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus
menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
- Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi
dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan
volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
9. Kompilikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk
batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
10. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Data subyektif :
- Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
- Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
- Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
- Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
Data Obyektif :

- Terdapat luka insisi


- Takikardi
- Gelisah
- Tekanan darah meningkat
- Ekspresi w ajah ketakutan
- Terpasang kateter

b. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


- Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot
spincter
- Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang
informasi
- Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

c. Intervensi
- Diagnosa Keperawatan:
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot
spincter
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil :
Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang dan
pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
b. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor
pencetus serta penghilang nyeri.
c. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
d. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
e. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok,
abdomen tegang)
f. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
g. Lakukan perawatan aseptik terapeutik
h. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

- Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat
lanjutan .
Kriteria hasil :
- Klien akan melakukan perubahan perilaku.
- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan
dan kebutuhan berobat lanjutan.

Intervensi :

a. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.


b. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6
minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
c. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
d. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
e. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

- Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil :
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

Intervensi :
a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
b. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan.
c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat
mengurangi nyeri (analgesik).
Patofisiologi

Teori Dihidrotestosteron Ketidakseimbangan Interaksi stroma-epitel Berkurangnya kematian Teori sel stem
antara estrogen- sel prostat
testosteron

Benigna Prostate Hyperplasaia

Penyempitan Lumen uretra posterior

Peningkatan tekanan intravesikal


Respon obstruksi: Respon iritasi:
Pancaran urin Frekuensi meningkat,
melemah, intemiten, Buli-buli harus berkontraksi lebih nokturia, urgensi,
hesistensi, miksi tidak kuat guna melawan tahanan disuria
puas, menetes setelah
miksi Gangguan pola eliminasi urin
Gangguan pemenuhan eliminasi urin Hipertrofi otot detrusor

Hidroureter & Hidronefrosis Gagal ginjal


Nyeri Tekan Simpisis Otot detrusor
Gangguan rasa
nyaman nyeri Refluk Keginjal
Over distensi vesika urinaria
Infeksi Saluran
Disuria Kencing Retensi urin

Proses Inflamasi Urin menetes Kecemasan/


ganggauan
Inkontinensia Paradoks/overflow konsep diri
Hipertermia
Gangguan pemenuhan eliminasi urin
Penatalaksanaan

Pemasangan
Pembedahan
kateter

Adanya luka baru Nyeri Kelemahan otot


(diskontinuinitas jaringan) detrusor

Incontinensia Risti infeksi


Perdarahan Nyeri urine
Risti infeksi
Risiko perdarahan Pembentukan Kecemasan
clothing

Risiko tinggi
Risiko obstruksi disfungsi seksual
aliran urin

Gangguan Pola
Eliminasi Urin
Daftar Pustaka

Amalia, R., 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi

Kasus di RS dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung Semarang)

Speakman, M.J., 2008. Lower Urinary Tract Symptoms Suggestive of Benign


Prostatic

Hyperplasia (LUTS/BPH): More Than Treating Symptoms?. In : European


Association of Urology. 7th Ed. UK : Elsevier B.V., 680-689.

Roehrborn, C. G., 2013 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh Urology.


10th ed. Elsevier Inc

Roehborn, C.G., McConnell, J.D., 2007. Prostate. In : Wein, A.J., Kavoussi, L.R.,

Novick, A.C., Partin, A.W., Peters, C.A., Campbell’s Urology. 9th ed. W.B.
Saunders, Section IV-XVI.

Presti J.C., Kane, C.J., Shinohara, K., Carroll, P.R., 2008. Neoplasms of the Prostate
Gland. In : Tanogho, E.A., McAninch, J.W., Smith’s General Urology. 17th Ed.
USA : Lange, 348, 350-351.

Parsons, J.K., 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract

Symptoms: Epidemiology and Risk Factors.

Bain, B.S., 2006. Obesity and Diabetes Increase Risk for BPH : Presented at AUA.

Atlanta, GA.

Anda mungkin juga menyukai