Anda di halaman 1dari 18

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

RS Bhakti Yuda, Depok

REFERAT

ATLS

Oleh:

Selley Kenanga

11.2014.102

Pembimbing :

Dr. Alif Noeriyanto R, Sp.OT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk –Jakarta Barat


PEMBAHASAN

I. ATLS

ATLS (Advanced Trauma Life Support) merupakan suatu pelatihan tentang penanganan
terhadap pasien korban kecelakaan. Pelatihan ini bertujuan agar peserta dapat melakukan
diagnose secara tepat dan akurat terhadap pasien trauma, dapat mengerjakan pertolongan secara
benar dan sistematis serta mampu menstabilkan pasien untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
ATLS dicetuskan pertama kali oleh James Styner, MD, FACS tahun 1977. Ide ini muncul setelah
seluruh keluarganya menjadi korban kecelakaan pesawat terbang. Kemudian ide ini oleh
America College of Surgeon menjadikannya sebagai modul pelatihan dan saat ini sudah
digunakan di lebih dari 45 negara di dunia. ATLS digunakan sebagai panduan dalam melakukan
penilaian dan resusitasi penderita trauma.
Penderita yang mengalami traum ataupun multitrauma memerlukan penilaian dan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Pada penderita trauma,
waktu sangat penting, karena itu diperlukan adanya suatu sistem penilaian penderita trauma yang
mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan meliputi :

1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitif
Baik primary survey maupun secondary survey dilakukan berulang kali agar dapat
mengenali penurunan keadaan penderita, dan memberikan terapi bila diperlukan. Urutan
kejadian di atas disajikan seolah-olah berurutan (sekuensial), namun dalam praktek sehari-
hari dapat dilakukan bersama-sama (simultan). Penyajian secara berurutan memberikan
dokter yang menangani penderita trauma suatu cara atau sistem untuk menilai perkembangan
keadaan penderita.

2
II. Initial assessment (Penilaian Awal)

II.I. Persiapan

Persiapan penderita sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama
adalah fase pra-rumah sakit (pre-hospital), dimana seluruh penanganan penderita sebaiknya
berlangsung dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit
(hospital) dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita, sehingga dapat dilakukan
resusitasi dalam waktu cepat.

a. Fase Pra-Rumah Sakit

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan akan
menguntungkan penderita. Sebaiknya terdapat pemberitahuan rumah sakit sebelum
penderita mulai diangkut dari tempat kejadian. Pengumpulan keterangan yang akan
dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat
penderita. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkan Tim Trauma
sehingga sudah siap saat penderita sampai di rumah sakit. Pada fase pra-rumah sakit titik
berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi
penderita dan pengiriman ke rumah sakit terdekat, sebaiknya ke suatu pusat trauma yang
diakui bila memungkinkan.

b. Fase Rumah Sakit


1. Harus dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba. Sebaiknya ada ruangan / daerah
resusitasi.
2. Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube dsb) sudah dipersiapkan,
dicoba, dan diletakkan di tempat yang mudah terjangkau.
3. Cairan kristaloid (misalnya Ringer's Lactate) yang sudah dihangatkan dan diletakkan
pada tempat yang mudah dijangkau.
4. Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan.
5. Suatu sistem pemanggilan tenaga medik tambahan sudah harus ada, demikian juga
tenaga laboratorium dan radiologi.

3
6. Semua tenaga medik yang berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari
kemungkinan penularan penyakit menular, terutama hepatitis dan Acquired Immuno-
deficiency Syndrome (AIDS). Center for Disease Control (CDC) dan pusat kesehatan
lain sangat menganjurkan pemakaian alat pelindung diri (APD) seperti masker (face
mask), proteksi mata (kaca mata), baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air,
bila ada kontak dengan cairan tubuh penderita. Untuk pelayanan kesehatan di
Amerika Serikat, American College of Surgeons mengharuskan pemakaian semua
perlengkapan di atas. Ini juga merupakan persyaratan dari OSHA (Occupational
Safety and Health Administration).

II.II. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya
yang tersedia. Terapi didasarkan pada kebutuhan ABC (Airway dengan kontrol vertebra
servikal), Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan).
Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan
dirujuk. Merupakan tanggung jawab tenaga pra-rumah sakit (dan pimpinan tim lapangan) bahwa
penderita akan dikirim ke rumah sakit yang sesuai. Merupakan kesalahan besar untuk mengirim
penderita ke rumah sakit non-trauma bila ada pusat trauma tersedia. Suatu sistem skoring akan
membantu dalam pengambilan keputusan pengiriman ini.
Dua jenis triase :
A. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan
prioritas penanganan lebih dahulu.
B. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita
dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan
tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

Golongan/pelabelan pasien pada musibah massal adalah sebagai berikut;


- Golongan Nol (hitam) :
Pasien sudah tidak dapat diselamatkan lagi (meninggal seketika).
4
- Golongan Pertama (merah) :
Pasien yang paling diutamakan untuk ditolong, biasanya pasien yang cedera berat seperti
cedera maksilofasial, cedera thorax, cedera abdomen, dimana semua cedera tersebut disertai
dengan syok hipovolemik. Luka bakar yang berat dan fraktur terbuka juga termasuk dalam
pelabelan golongan pertama.
- Golongan Kedua (kuning) :
Biasanya pasien dengan trauma seperti fraktur ekstremitas, cedera abdomen, cedera thorax
yang semuanya tanpa disertai syok hipovolemik.
- Golongan Ketiga (hijau) :
- Pasien dengan trauma ringan, misalnya hanya terdapat erosi-erosi pada kulitnya.

II.III. Primary Survey (ABCDE)


Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi diberikan
berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan
penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan
akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut :

A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)

B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)

D: Disability : status neurologis

E: Exposure/environmental control : buka baju penderita, tetapi cegah hipotermia

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan resusitasinya
dilakukan pada saat itu juga.
Penyajian primary survey di atas adalah dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioritas
dan agar lebih jelas; namun dalam praktek hal-hal di atas sering dilakukan berbarengan
(simultan).

5
Prioritas pada anak pada dasarnya sama dengan orang dewasa. Walaupun jumlah darah, cairan,
obat, ukuran anak, kehilangan panas, dan pola perlukaan dapat berbeda, namun prioritas
penilaian dan resusitasi adalah sama seperti pada orang dewasa.

Prioritas pada orang hamil sama seperti tidak hamil, akan tetapi perubahan anatomis dan
fisiologis dalam kehamilan dapat mengubah respon penderita hamil terhadap trauma. Penting
untuk survival ibu dan anak adalah pengenalan dini adanya kehamilan yang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium (HCG), dan penilaian dini terhadap janin.

Trauma adalah penyebab kematian yang kerap terjadi pada usia tua. Dengan meningkatnya usia
dari dewasa menjadi tua, maka penyakit kardiovaskular dan keganasan menjadi penyebab
kematian utama. Resusitasi pada usia tua memerlukan perhatian khusus, karena cadangan
fisiologis penderita berkurang sebanding pertambahan umur. Kemampuan bertahannya orang
tua terhadap trauma akan berkurang karena adanya penyakit jantung, paru-paru dan metabolik
yang khronis. Penyakit penyerta seperti DM, penyakit paru obstruktif menahun (PPOM),
penyakit koroner, koagulopati, penyakit hati dan gangguan vaskular akan ditemukan lebih sering,
dan akan memperberat keadaan.

II.III.I. Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vetebra
servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita
yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher dikarenakan
kecurigaan tejadinya fraktur pada servikal terutama pada setiap penderita multitrauma, terlebih
bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan di atas klavikula.
Jika pasien sadar, dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, adakah obstruksi airway atau
tidak. Jika pasien tidak sadar; Look, Ada sumbatan atau tidak; Listen, Suara-suara nafas; Feel,
Hembusan nafas pasien. Untuk mengetahui dan menilai pasien sadar atau tidak, dapat dilakukan
dengan mengajak bicara pasien. Jika pasien dapat menjawab dengan baik maka dapat dinilai
kesadaran pasien dan tidak adanya sumbatan pada jalur pernapasan pasien.
6
Obstruksi terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Obstruksi airway totalis; yaitu penghambatan jalan nafas secara total, biasanya karena
tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi sianosis dan resistensi terhadap nafas
buatan. Jika pasien sadar, pasien akan terlihat berusaha bernafasa dan memegang
lehernya dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis.
b. Obstruksi airway partial; yaitu penghambatan jalan nafas yang dapat disebabkan sebagai
berikut:
 Cairan seperti darah, serosa. Terdengar bunyi ‘gurgling’ atau seperti orang
berkumur-kumur.
 Lidah jatuh kebelakang. Terdengar bunyi ‘snoring’ atau seperti orang menggorok
 Penyempitan laring / trakea, biasanya karena edema di daerah leher. Terdengar
bunyi ‘crowing’ atau bunyi high pitched karena penyempitan tersebut.

Pengelolaan airway dapat dilakukan dengan cara:


a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan control servikal in-line immobilisasi
b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
c. -. Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
-. Pasang airway definitif sesuai indikasi
d. Fiksasi leher
e. Evaluasi

7
II.III.II. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada
saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Nilai
frekuensi pernafasannya, lihat apakah didapatkan sesak, trauma pada thorax, tanda-tanda
sianosis. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan
untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
 Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)
 Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
 Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
 Penderita tampak nyaman
 Frekuensi cukup
 Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
 Gerakan dada kurang baik

8
 Ada suara nafas tambahan
 Sianosis
 Frekuensi kurang atau lebih
 Perubahan status mental (gelisah)
 Tanda-tanda tidak adanya pernafasan
 Tidak ada gerakan dada atau perut
 Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
 Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung

II.III.II.a. Penilaian

a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi
trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-
tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral

II.III.II.b. Pengelolaan

a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask11-12 liter/menit)


b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter

II.III.II.c. Evaluasi

9
II.III.III. Circulation
Setelah melakukan penanganan pada sistem pernafasan, sistem sirkulasi dapat segera
dinilai dengan cara:
- Memeriksa denyut nadi. Pada orang dewasa dan anak-anak dapat diraba pada arteri
radialis dan arteri carotis. Sedangkan pada bayi dapat diraba pada arteri brachialis.
Frekuensi denyut nadi orang dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila kurang dari 50
kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100 kali/menit disebut takikardi. Pada bayi
frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada anak-anak adalah 60-
140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda diagnostik yang
buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan CRT
- Periksa adanya perdarahan atau tidak

II.III.III.a. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah

II.III.III.b. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli
bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah
dan cross-matchserta Analisis Gas Darah (BGA).
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.

10
f. Cegah hipotermia

II.III.III.c. Evaluasi

II.III.IV. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tandatanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway,oksigenasi, ventilasi dan circulation.

Pemeriksaan neurologis cepat (apakah pasien sadar, memberi respon terhadap suara atau
rangsang nyeri atau pasien tidak sadar). Biasanya dilakukan penilaian terhadap GCS namun bila
waktu yang tidak cukup untuk pemeriksaan GCS, maka sistem AVPU pada keadaan ini dapat
dilakukan: Awake (A), Verbal response (V), Painful response (P), Unresponsive (U).

II.III.V. Exposure/Environment

Tanggalkan pakaian penderita dan cari apakah ada luka/trauma lain secara generalis.
Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermia (beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat).

II.IV. Resusitasi

Prisnsipnya adalah resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang cepat dari keadaan yang
mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

II.IV.a. Re-evaluasi ABCDE

II.IV.b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan

20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat

II.IV.c. Evaluasi resusitasi cairan

1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal

2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-
tanda syok
11
II.IV.d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.

1. Respon cepat

- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance

- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah

- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan

- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan

2. Respon Sementara

- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah

- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif

- Konsultasikan pada ahli bedah

3. Tanpa respon

- Konsultasikan pada ahli bedah

- Perlu tindakan operatif sangat segera

- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio
miokard

- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya

II.V. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi


A. Pasang EKG
1. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai adanya
hipoksia dan hipoperfusi
2. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
B. Pasang kateter uretra
1. Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan kateter urine
2. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH, jangan
dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada bagian bedah
3. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine

12
4. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginja dan
hemodinamik penderita
5. Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada
anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
C. Pasang kateter lambung
1. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang merupakan
kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric tube.
2. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena bahaya aspirasi
bila pasien muntah.
D. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah, Analisis
Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan laboratorium darah.
E. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
1. Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin x-ray
portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
2. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses resusitasi.
Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary survey.
3. Pada wanita hamil, foto rontgen yang mutlak diperlukan, tetap harus dilakukan

II.VI. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

A. Anamnesis

Anamnesis yang harus diingat :


A : Alergi
M:Mekanisme dan sebab trauma
M:Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

13
B. Pemeriksaan Fisik
- Kepala - Abdomen
- Maxilo-facial - Perineum/vagina/rectum
- Leher - Muskuloskeletal
- Thorax - Pemeriksaan neurologis lengkap

Tabel 1. Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey

14
15
16
II.VII. Tambahan terhadap secondary survey
A. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan teliti dan
pastikan hemodinamik stabil.
B. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan tambahan
biasanya dilakukan di ruangan lain
C. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :
1. CT scan kepala, abdomen
2. USG abdomen, transoesofagus
3. Foto ekstremitas
4. Foto vertebra tambahan
5. Urografi dengan kontra

17
II.VIII. Pemantauan dan Re-evaluasi berkesinambungan

A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap perubahan
pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan

II.IX. Penanganan definitive


Penanganan ini dimulai setelah primary survey dan secondary survey selesai. Misalnya
menangani keluhan-keluhan pasien lain (selain yang trauma berat). Merupakan pengobatan
beradasarkan penyebab perlukaan, contoh jika trauma tersebut disertai fraktur maka harus
dilakukan operasi ORIF atau OREF, atau pada pasien cardiac tamponade dengan darah
yang telah membeku maka dibutuhkan pericardioctomy. Tindakan operatif serta konsultasi
ke dokter spesialis termasuk dalam tahap ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced


Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7.
Komisi trauma IKABI, 2008; 168-193
2. Arslan ZI, Yildiz T, Baykara ZN, Solak M, Toker K. Tracheal intubation in patients with
rigid collar immobilisation of the cervical spine: a comparison of Airtraq and LMA
CTrach devices. Anaesthesia: 2009 Oct 22; 64(12): 1332- 6.
3. Lubbert PH, Kaasschieter EG, Hoorntje LE, et al. Video registration of trauma team
performance in the emergency department: the results of a 2-year analysis in a level 1
trauma center. J Trauma. 2009; 67:1412–1420.
4. Holcomb JB, Dumire RD, Crommett JW, et al. Evaluation of trauma team performance
using an advanced human patient simulator for resuscitation training. J Trauma 2002; 52:
1078–86.
5. Manser T. Teamwork and patient safety in dynamic domains of healthcare: a review of
the literature. Acta Anaesthesiol Scand 2009;53:143–51.

18

Anda mungkin juga menyukai