Anda di halaman 1dari 67

BAB I

LUKA

A. PENDAHULUAN

Hampir semua orang pernah mengalami luka, misalnya teriris pisau ketika
memasak di dapur, terjatuh, kecelakaan lalu lintas atau mengalami luka bakar
akibat kontak dengan benda panas.

Ada luka yang dapat sembuh sendiri, misalnya pada luka baru yang kecil,
superfisial (hanya mengenai lapisan kulit paling atas) serta tidak
terkontaminasi, dan ada luka yang memerlukan intervensi untuk
penyembuhannya, misalnya dengan penjahitan luka, penggunaan wound
dressing, atau dengan pemberian obat.

Penyembuhan luka adalah proses regenerasi jaringan yang mengalami luka.


Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang terdiri dari
beberapa tahap atau fase dan melibatkan banyak faktor seperti jenis luka,
penyebab luka, ada tidaknya infeksi, nutrisi dan sebagainya.

Proses penyembuhan luka akan lebih cepat dalam lingkungan luka yang lembab
(moist environment). Untuk mendapatkan atau mempertahankan lingkungan
yang lembab, dapat dilakukan antara lain dengan mengaplikasikan wound dressing
di atas permukaan luka. Terdapat beberapa jenis wound dressing yang tersedia
saat ini, misalnya kasa, tule, film, dll.

1
B. STRUKTUR DAN FUNGSI KULIT

Kulit tersusun atas beberapa lapisan, yaitu: 1


1. Epidermis (lapisan
paling luar)
Terdiri atas:
a. Stratum korneum (lapisan tanduk)
Merupakan bagian epidermis yang paling atas yang terdiri
dari beberapa lapisan sel mati. Lapisan ini terus-menerus
mengelupas secara teratur (deskuamasi) dan digantikan
dengan lapisan baru yang berasal dari lapisan di bawahnya.
b. Stratum lusidum
Terdapat langsung di bawah stratum korneum dan hanya terdiri
atas 2-
3 lapis sel.
c. Stratum granulosum
Terdapat di bawah stratum lusidum dan terdiri atas 2-3 lapis sel.
d. Stratum spinosum
Terdapat di bawah stratum granulosum dan sel-selnya
mengandung banyak glikogen.
e. Stratum basale
Merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas 2
jenis sel
yaitu:
• Sel-sel kolumnar
• Sel-sel pembentuk melanin (melanosit) yang mengandung
butir-
butir pigmen (melanosome)

2. Dermis
Merupakan lapisan yang terdapat di bawah lapisan epidermis di
mana
dalam lapisan ini terdapat kelenjar sebasea (kelenjar minyak),
kelenjar
keringat, ujung saraf, pembuluh darah, akar rambut, serabut
kolagen,

2
serabut elastin, bahan proteoglikan serta glikosaminoglikan.
Kelenjar
sebasea menghasilkan sebum/lemak kulit yang berperan dalam
fungsi barier kulit.
Secara garis besar dermis dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Pars papilare
Yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah.
b. Pars retikulare
Yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan,
terdiri atas serabut kolagen, elastin, dan retikulin.

3. Subkutis
Merupakan kelanjutan dari lapisan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak yang berfungsi sebagai cadangan
makanan. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, akar
rambut, pembuluh darah dan pembuluh getah bening.

Gambar 1. Penampang Kulit


3
Kulit mempunyai banyak fungsi yaitu: 2
1. Proteksi
Kulit merupakan bagian tubuh manusia yang paling luar dan
berfungsi
melindungi organ-organ dalam terhadap lingkungan dari luar tubuh.
Fungsi
proteksi ini dimungkinkan oleh adanya bantalan lemak dalam kulit,
pigmen
(pemberi warna kulit) yang melindungi kulit dari sinar matahari,
lapisan
stratum korneum yang impermeabel (tidak bisa ditembus oleh)
terhadap
air dan zat kimia, pH kulit yang asam (5-6,5) akibat ekskresi
keringat dan
sebum (minyak kulit) dan keratinosit (salah satu jenis sel utama
pada
lapisan epidermis) yang berperan sebagai sawar mekanik
karena sel
keratinosit melepaskan diri secara teratur.
2. Absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah mengabsorpsi/menyerap air, larutan
dan benda padat, tetapi lebih mudah menyerap cairan yang
mudah menguap dan yang larut dalam lemak lebih. Absorpsi
antara lain dapat berlangsung melalui celah antar sel atau
menembus sel epidermis.
3. Ekskresi
Zat-zat sisa metabolisme antara lain diekskresikan oleh kelenjar
keringat yang terdapat pada kulit.
4. Persepsi
Pada kulit terdapat ujung saraf sensorik yang berfungsi
menghantarkan sensasi (nyeri, panas, dingin, sentuhan, tekanan).
5. Termoregulasi
Kulit berfungsi mengatur suhu tubuh melalui pengeluaran
keringat dan konstriksi pembuluh darah kulit.
6. Pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak pada dasar epidermis.
7. Pembentukan vitamin D
Vitamin D dibentuk di kulit dengan bantuan sinar matahari.

4
C. DEFINISI DAN JENIS LUKA

Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan


tubuh. Luka antara lain dapat mengakibatkan perdarahan, infeksi,
kematian sel dan gangguan sebagian atau seluruh fungsi organ. 3,4

Secara garis besar luka dapat digolongkan menjadi: 4-6


1. Luka terbuka
Yaitu luka yang terpapar oleh udara karena adanya kerusakan
pada kulit tanpa atau disertai kerusakan jaringan di
bawahnya. Luka terbuka merupakan jenis luka yang banyak
dijumpai.
Jenis-jenis luka terbuka antara lain:
a. Luka lecet (abrasi atau ekskoriasis)
Yaitu luka yang mengenai lapisan kulit paling atas (epidermis)
yang disebabkan oleh gesekan kulit dengan permukaan yang
kasar.

Gambar 2. Luka lecet Gambar 3. Luka


insisi

b. Luka insisi atau luka iris (vulnus scissum)


Yaitu luka yang terjadi karena teriris oleh benda yang tajam dan
rata
seperti silet atau pisau. Tepi luka tampak teratur. Misalnya luka
operasi.
c. Luka robek (laserasi atau vulnus laceratum)
Yaitu luka yang disebabkan oleh benturan keras dengan benda
tumpul. Tepi luka biasanya tidak teratur.

5
Gambar 4. Luka robek

d. Luka tusuk (vulnus punctum)


Yaitu luka yang disebabkan oleh benda runcing yang menusuk
kulit, misalnya jarum atau paku.

Gambar 5. Luka tusuk

e. Luka karena gigitan (vulnus morsum)


Yaitu luka yang terjadi akibat gigitan hewan atau manusia.
Bentuk luka tergantung dari bentuk dan susunan gigi yang
menggigit.
f. Luka tembak
Yaitu luka karena peluru dari tembakan senjata api.
6
Gambar 6. Luka tembak Gambar 7. Luka bakar

g. Luka bakar (combustio)


Yaitu luka yang terjadi karena kontak dengan api atau benda
panas lainnya, zat kimia, terkena radiasi, aliran listrik atau petir.
Berdasarkan kedalaman luka, luka bakar digolongkan menjadi:
• Luka bakar derajat 1 (luka superfisial)
Yaitu luka bakar yang mengenai lapisan epidermis kulit.
Biasanya hanya ditandai dengan kemerahan pada kulit dan
rasa nyeri.
• Luka derajat 2 (partial thickness burn)
Yaitu luka yang mengenai lapisan epidermis hingga
dermis. Dibagi lagi menjadi :
- Luka derajat 2 superfisial (superficial partial thickness
wound)
Yaitu luka bakar yang mengenai lapisan epidermis hingga
dermis bagian atas.
Dapat ditandai dengan adanya kemerahan pada kulit,
adanya
lepuhan berisi cairan (blister atau bula) dan terasa sangat
nyeri.
- Luka derajat 2 dalam (deep partial thickness wound)
Yaitu luka bakar yang mengenai lapisan epidermis hingga
dermis bagian bawah.
Biasanya tidak ditemukan adanya bula, namun luka
biasanya basah atau lembab.

7
• Luka derajat 3 (full thickness burn)
Yaitu luka bakar yang mengenai lapisan epidermis hingga
subkutan. Biasanya luka terlihat pucat dan luka tidak
terasa nyeri karena ujung saraf pada luka telah rusak.
• Luka derajat 4
Yaitu luka bakar yang mengenai lapisan epidermis,
dermis, subkutan, hingga otot, tendon atau tulang.

Gambar 8. Kedalaman luka bakar

Sedangkan untuk menentukan luas luka bakar dapat digunakan


metode rule of nine (cara mengukur luas luka bakar pada
orang dewasa di mana tubuh dibagi ke dalam daerah-
daerah yang sama dengan kelipatan 9% luas permukaan
tubuh total).
8
Telapak tangan pasien ≈ 1% luas permukaan
tubuh pasien.
Kepala ≈ 9% luas permukaan tubuh.
Lengan ≈ 9% luas permukaan tubuh.
Dada ≈ 18% luas permukaan tubuh.
Punggung ≈ 18% luas
permukaan tubuh.
Tungkai ≈ 18% luas permukaan
tubuh.

Gambar 9.
Rule of nine

2. Luka tertutup
Yaitu cedera pada jaringan di mana kulit masih utuh atau tidak
mengalami luka. Misalnya :
a. Luka memar (kontusio)
Merupakan cedera pada jaringan dan menyebabkan kerusakan
kapiler sehingga darah merembes ke jaringan sekitarnya.
Biasanya disebabkan oleh benturan dengan benda tumpul.
Gambar 10. Luka memar

9
b. Hematoma
Adalah pengumpulan darah setempat (biasanya menggumpal) di
dalam organ atau jaringan akibat pecahnya dinding pembuluh
darah.

Gambar 11. Hematoma

Luka juga dapat digolongkan berdasarkan derajat kontaminasi yaitu: 7


1. Luka bersih
Yaitu luka yang bersih tanpa kontaminasi, misalnya luka insisi
dengan teknik yang steril yang tidak mengenai saluran
gastrointestinal, saluran kemih, genital atau pernapasan.
Tingkat infeksi ± 1,5%
2. Luka bersih terkontaminasi
Yaitu luka bersih yang dapat terkontaminasi, misalnya luka insisi
yang mengenai saluran gastrointestinal, saluran kemih,
genital atau pernapasan tetapi sekresi saluran tersebut tidak
mengenai luka operasi.
Tingkat infeksi ± 7,7%
3. Luka terkontaminasi
Yaitu luka yang terkontaminasi, misalnya luka insisi pada organ
yang mengalami inflamasi atau luka insisi yang terkena
sekresi saluran gastrointestinal, saluran kemih, genital atau
pernapasan atau luka insisi dengan tindakan asepsis /antisepsis
yang kurang.
Tingkat infeksi ± 15,2%

10
4. Luka kotor
Yaitu luka
yang kotor.
Tingkat infeksi
± 40%

Berdasarkan lamanya penyembuhan, luka dapat digolongkan menjadi:


a. Luka akut yaitu luka yang baru terjadi yang dapat sembuh sesuai
dengan
lama fase penyembuhan yang normal (waktu penyembuhan luka
dapat
diperkirakan)
Contoh : luka lecet, luka robek, luka operasi tanpa komplikasi.
b. Luka kronik yaitu luka yang telah berlangsung lama karena
mengalami
kegagalan dalam proses penyembuhan yang normal atau luka
yang sering
kambuh (waktu penyembuhan luka tidak dapat diperkirakan)
Contoh : ulkus pada penderita diabetes melitus (ulkus diabetik
atau kaki
diabetik), ulkus akibat tekanan (pressure ulcer), ulkus akibat
gangguan
vaskular, dll (Lebih detail mengenai luka kronik bisa dilihat dalam
PK
Produk Luka Kronik)

Ulkus adalah hilangnya jaringan epidermis sampai dermis atau


jaringan di bawah kulit.
Gambar 12. Ulkus

11
BAB II
PENYEMBUHAN LUKA

A. JENIS PENYEMBUHAN LUKA

Penyembuhan luka adalah proses regenerasi jaringan yang


mengalami
luka.

Penyembuhan luka terbuka dibagi menjadi 2 yaitu: 8


1. Penyembuhan primer
Yaitu penyembuhan luka yang terjadi secara cepat dengan
cara menyatukan tepi luka secara langsung. Misalnya
penyembuhan luka insisi pada pembedahan di mana tepi
luka disatukan dengan penjahitan, distaples atau diplester.
Biasanya penyembuhan jenis ini akan meninggalkan jaringan
parut yang lebih halus dan kecil dibanding dengan jenis
penyembuhan luka lainnya.

Gambar 13. Penyembuhan primer

2. Penyembuhan sekunder (penyembuhan spontan)


Yaitu penyembuhan luka pada luka yang dibiarkan tetap
terbuka. Luka
akan menutup spontan dengan kontraksi dan re-epitelisasi
luka.
Penyembuhan sekunder memerlukan waktu yang lebih lama
dan akan

12
meninggalkan jaringan parut yang kurang baik dibandingkan
dengan
penyembuhan primer. Misalnya pada luka yang lebar.

Gambar 14. Penyembuhan sekunder

3. Penyembuhan tersier (delayed primary healing)


Yaitu penyembuhan luka dengan menutup luka beberapa hari
pasca trauma. Pada penyembuhan tersier, setelah
debrideman (tindakan menghilangkan jaringan yang mati dan
benda asing pada luka), luka dibiarkan tetap terbuka dalam
waktu tertentu kemudian baru dilakukan penutupan luka
dengan penjahitan atau tandur kulit (skin graft). Misalnya
pada luka yang terinfeksi atau luka yang tidak beraturan yang
akan menyebabkan infeksi bila langsung dijahit.

Gambar 15. Penyembuhan tersier


13
B. FASE PENYEMBUHAN LUKA4,8-11

Dalam keadaan normal, proses penyembuhan luka mengalami 3 tahap


atau 3 fase yaitu:
1. Fase inflamasi
Fase ini terjadi sejak terjadinya injuri hingga sekitar hari
kelima. Pada fase inflamasi, terjadi proses:
a. Hemostasis (usaha tubuh untuk menghentikan perdarahan), di
mana
pada proses ini terjadi:
• Konstriksi pembuluh darah (vasokonstriksi)
• Agregasi platelet dan pembentukan jala-jala fibrin
• Aktivasi serangkaian reaksi pembekuan darah
b. Inflamasi, di mana pada proses ini terjadi:
• Peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi yang
disertai
dengan migrasi sel-sel inflamasi ke lokasi luka.
• Proses penghancuran bakteri dan benda asing dari luka
oleh
neutrofil dan makrofag

2. Fase proliferasi
Fase ini berlangsung sejak akhir fase inflamasi sampai sekitar 3
minggu. Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, dan terdiri
dari proses:
a. Angiogenesis
Adalah proses pembentukan kapiler baru yang distimulasi oleh
TNF-α2 untuk menghantarkan nutrisi dan oksigen ke daerah
luka.
b. Granulasi
Yaitu pembentukan jaringan kemerahan yang mengandung
kapiler pada dasar luka (jaringan granulasi). Fibroblas pada
bagian dalam luka berproliferasi dan membentuk kolagen.

14
Gambar 16. Jaringan granulasi

c. Kontraksi
Pada fase ini, tepi-tepi luka akan tertarik ke arah tengah luka
yang disebabkan oleh kerja miofibroblas sehingga
mengurangi luas luka. Proses ini kemungkinan dimediasi oleh
TGF-β.
d. Re-epitelisasi
Proses re-epitelisasi merupakan proses pembentukan epitel
baru pada permukaan luka. Sel-sel epitel bermigrasi dari
tepi luka melintasi permukaan luka. EGF berperan utama
dalam proses ini.

3. Fase maturasi atau remodelling


Fase ini terjadi sejak akhir fase proliferasi dan dapat
berlangsung berbulan-bulan.
Pada fase ini terjadi pembentukan kolagen lebih lanjut,
penyerapan
kembali sel-sel radang, penutupan dan penyerapan kembali kapiler
baru
serta pemecahan kolagen yang berlebih. Selama proses ini
jaringan parut
yang semula kemerahan dan tebal akan berubah menjadi jaringan
parut
yang pucat dan tipis. Pada fase ini juga terjadi pengerutan
maksimal pada
luka. Jaringan parut pada luka yang sembuh tidak akan
mencapai
kekuatan regang kulit normal, tetapi hanya mencapai 80%
kekuatan
regang kulit normal.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecah.
Kolagen yang

15
berlebihan akan menyebabkan terjadinya penebalan jaringan parut
atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi kolagen yang
berkurang akan
menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka tidak akan menutup
dengan
sempurna.

Gambar 17. Fase penyembuhan luka

C. FAKTOR PENYEMBUHAN LUKA


Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita,
namun hasil penyembuhan yang dicapai sangat tergantung dari
beberapa faktor.

16
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka
antara lain
adalah : 6,12
1. Kebersihan Luka
Adanya benda asing, kotoran atau jaringan nekrotik (jaringan mati)
pada luka dapat menghambat penyembuhan luka, sehingga
luka harus dibersihkan atau dicuci dengan air bersih atau NaCl
0,9% dan jaringan nekrotik (jaringan yang mati) dihilangkan
(debrideman/debridement).
Debrideman adalah tindakan menghilangkan benda asing dan
jaringan mati/nekrotik, jaringan yang rusak atau terinfeksi dari luka.

Jenis-jenis debrideman adalah :13


a. Debrideman bedah (surgical debridement)
Yaitu debrideman yang dilakukan dengan menggunakan pisau
bedah, gunting atau alat lain untuk memotong jaringan
nekrotik dari luka. Merupakan metode debrideman yang cepat,
selektif dan efektif tetapi dapat menyebabkan rasa nyeri
sehingga memerlukan anestesia lokal. Cocok dilakukan pada
luka dengan jaringan nekrotik yang banyak dan atau yang
disertai dengan infeksi.

Gambar 18. Debrideman bedah

b. Debrideman mekanik (mechanical debridement)


Yaitu debrideman yang dilakukan dengan menggunakan kasa
yang
dibasahi dengan larutan NaCl 0,9% yang ditempelkan pada
luka yang
kemudian dibiarkan mengering dan melekat pada luka.
Jika kasa
tersebut dilepas dari luka, maka jaringan nekrotik akan ikut
terangkat

17
dari luka. Dengan metode ini, jaringan normal pada luka
dapat ikut
terangkat (tidak selektif) dan dapat menimbulkan rasa nyeri
saat kasa dilepas dari luka. Dapat dilakukan pada luka
dengan jaringan nekrotik yang tidak terlalu banyak (sedang).

Gambar 19. Debrideman enzimatik

c. Debrideman kimiawi atau enzimatik (chemical


atau enzimatic
debridement)

Yaitu debrideman yang


dilakukan
dengan menggunakan
bahan kimia
atau enzim yang dapat
menghancurkan jaringan
nekrotik.
Merupakan metode
debrideman
yang cepat, cukup selektif
dan tidak
menimbulkan rasa nyeri.
Cocok
dilakukan pada luka
dengan
jaringan nekrotik yang banyak
Gambar 20. Debrideman
atau enzimatik

luka dengan eskar

(jaringan nekrotik yang keras).


Contoh : papain, kolagenase.

d. Debrideman autolitik (autolytic debridement)


Yaitu debrideman yang dilakukan oleh enzim proteolitik dari
tubuh
pasien sendiri. Metode ini memerlukan lingkungan luka yang
lembab

18
yang dapat diperoleh dengan penggunaan wound dressing.
Merupakan
debrideman yang sangat selektif, aman dan tidak menimbulkan
rasa nyeri. Cocok dilakukan pada luka derajat 3 atau 4
dengan eksudat ringan hingga sedang.

Gambar 21. Debrideman enzimatik

2. Infeksi
Luka yang terinfeksi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk
sembuh. Tubuh selain harus bekerja dalam menyembuhkan
luka, juga harus bekerja dalam melawan infeksi yang ada,
sehingga fase inflamasi akan berlangsung lebih lama. Infeksi tidak
hanya menghambat penyembuhan luka tetapi dapat menambah
ukuran luka (besar dan/atau dalamnya luka). Luka yang sembuh
juga tidak sebaik jika luka tanpa infeksi.
3. Usia
Semakin lanjut usia, luka akan semakin lama sembuh karena
respon sel dalam proses penyembuhan luka akan lebih lambat.
4. Gangguan Suplai Nutrisi dan Oksigen pada Luka
Gangguan suplai nutrisi dan oksigen (misal akibat gangguan
aliran darah
atau kekurangan volume darah) dapat menghambat penyembuhan
luka.
5. Status Gizi
Gizi buruk akan memperlambat penyembuhan luka karena
kekurangan vitamin, mineral, protein dan zat-zat lain yang
diperlukan dalam proses penyembuhan luka.

19
6. Penyakit yang mendasari
Luka pada penderita diabetes dengan kadar gula darah yang
tidak terkontrol biasanya akan sulit sembuh atau bahkan dapat
memburuk.
7. Merokok
Suatu studi menunjukkan bahwa asap rokok memperlambat
penyembuhan karena asap rokok akan merusak fibroblas yang
penting dalam proses penyembuhan luka.15
8. Stres
Stres yang berlangsung lama juga akan menghambat
penyembuhan luka.
9. Obat-obatan
Penggunaan steroid atau imunosupresan jangka panjang
dapat
menurunkan daya tahan tubuh yang dapat menghambat
penyembuhan
luka.

E. KOMPLIKASI LUKA

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada proses


penyembuhan luka
adalah:
1. Hematoma
2. Infeksi
3. Dehiscence (terbukanya kembali luka yang sudah dijahit)
Gambar 22. Dehiscence

20
4. Jaringan parut (skar) hipertrofik
Merupakan jaringan parut yang tumbuh berlebihan, menonjol di atas
bekas luka tetapi tidak melebihi luas luka asal.
5. Keloid
Merupakan jaringan parut yang tumbuh secara berlebihan,
menonjol di atas bekas luka, dapat melebihi luas luka asal,
berwarna merah muda hingga coklat tua, dan biasanya disertai
rasa gatal.

Gambar 23. Jaringan parut Gambar 24. Keloid


hipertrofik
21
BAB III
PENATALAKSANAAN LUKA

A. PENILAIAN LUKA

Pada penatalaksanaan luka, perlu dilakukan penilaian luka, yaitu


dalam
hal:
1. Perkiraan waktu penyembuhan (luka akut atau kronik)
2. Penyebab luka (trauma, operasi, gangguan pembuluh darah, dll)
3. Kedalaman luka (superfisial atau dalam)
4. Kondisi luka (bersih, kotor, eksudat, jaringan nekrotik, infeksi,
dll)

Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang keluar dari luka yang
mengandung
berbagai substansi seperti air, elektrolit, nutrisi, sel mediator
inflamasi,
leukosit (sel darah putih), protease (enzim yang
menghancurkan
protein).

Berdasarkan viskositas atau kekentalannya, eksudat terdiri dari 2


jenis
1. Eksudat yang encer (serous)
Pada luka akut, eksudat biasanya encer, jernih dengan
jumlah
sedikit.
2. Eksudat yang kental (viscous)
Pada luka kronik, eksudat biasanya kental, kekuningan
dengan jumlah bervariasi.

Dalam jumah sedikit, eksudat bermanfaat untuk proses


penyembuhan
luka. Eksudat diperlukan untuk menjaga lingkungan yang optimal
bagi

22
penyembuhan luka dan bermanfaat memberikan efek
menenangkan
(soothing effect) ujung saraf yang terpapar pada luka
sehingga mengurangi nyeri pada luka. Tetapi jika jumlah
eksudat pada luka berlebihan, maka dapat menyebabkan
peningkatan risiko infeksi pada luka dan maserasi pada kulit
sekitar luka (perlunakan jaringan akibat ”terendam” cairan).
Selain itu, dalam eksudat luka kronik, jumlah sel mediator
inflamasi dan protease meningkat.

Jaringan nekrotik
Jaringan nekrotik adalah jaringan yang telah mati, terdiri dari 2
jenis:
1. Slough (basah, kekuningan)
2. Eskar (kering, kehitaman)

Gambar 25. Slough Gambar 26. Eskar

B. PRINSIP PENATALAKSANAAN LUKA

Beberapa prinsip umum penatalaksanaan luka adalah:


1. Lingkungan luka yang lembab (moist environment)
2. Oksigenasi yang baik (misalnya dengan pemberian cairan
yang
optimal dan menghentikan perdarahan)
3. Menghilangkan faktor-faktor yang menghambat penyembuhan
luka

23
seperti jaringan nekrotik, infeksi, dan sebagainya

Lingkungan luka yang lembab merupakan lingkungan yang


optimal untuk penyembuhan luka.

Manfaat dari lingkungan luka yang lembab (moist wound


environment) antara lain:3,14
1. Mencegah dehidrasi jaringan
2. Mempertahankan suhu yang optimal pada luka
3. Mempercepat pemecahan jaringan nekrotik (autolytic
debridement)
4. Mempercepat fase inflamasi
5. Mempercepat kontraksi luka dan re-epitelisasi
6. Mempercepat angiogenesis
7. Mengurangi nyeri dan trauma saat pelepasan dressing dari luka
8. Mengurangi pembentukan jaringan parut
9. Mengurangi risiko infeksi

Sedangkan lingkungan luka yang kering akan


memperlambat penyembuhan luka karena lingkungan luka yang
kering akan:
1. Menyebabkan terbentuknya keropeng (scap) pada luka
akibat
dehidrasi jaringan luka sehingga menghambat pertumbuhan
sel dan migrasi sel epitel ke permukaan luka
Gambar 27. Keropeng (scap)

2. Menurunkan suhu pada luka sehingga juga akan


menghambat

24
migrasi sel epitel ke permukaan luka
3. Mengurangi oksigenasi pada permukaan luka
4. Mengganggu aliran nutrisi ke permukaan luka
5. Meningkatkan risiko infeksi
6. Menyebabkan nyeri dan merusak sel-sel baru pada luka saat
dressing
dilepas dari luka

Lingkungan luka yang lembab dapat diperoleh dengan penggunaan


wound dressing yang sesuai.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan


luka:15
1. Evaluasi Luka
Meliputi pemeriksaan fisik, lokasi, dan eksplorasi luka. Hal ini
perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan cedera
pada struktur jaringan yang lebih dalam, menemukan jaringan
yang telah mati dan benda asing yang mungkin tertinggal pada
luka.
2. Pencucian Luka
Dilakukan dengan cara irigasi dengan menggunakan air bersih.
3. Pemberian Antiseptik
Daerah yang diberi antiseptik harus lebih luas dari ukuran luka.
Prinsip saat
memberi antiseptik pada kulit adalah mulai dari tengah ke arah
luar
dengan pengusapan secara spiral (memutar). Terdapat data in
vitro yang
menyebutkan bahwa antiseptik bersifat sitotoksik terhadap sel
yang
berperan dalam penyembuhan luka seperti fibroblas dan leukosit
sehingga
menghambat penyembuhan luka, namun ternyata pada
konsentrasi yang
rendah, antiseptik tidak bersifat sitotoksik dan kebanyakan
antiseptik aman
untuk mencegah infeksi pada luka.
Contoh antiseptik yang sering digunakan pada luka yaitu : povidone
iodine, hydrogen peroxide, chlorhexidine dan alkohol. 16

25
4. Penggunaan Wound Dressing
Prinsip penggunaan wound dressing adalah untuk mendapatkan
kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga proses
penyembuhan berlangsung optimal.
5. Pemberian Antibiotika
Pada prinsipnya, luka yang bersih tidak perlu diberikan
antibiotika.
Sedangkan pada luka terkontaminasi atau kotor, perlu diberikan
antibiotika
untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka. Penggunaan
antibiotika
topikal dapat berisiko terjadinya dermatitis kontak alergi dan
resistensi
bakteri.
26
BAB IV
WOUND DRESSING

A. DEFINISI DAN TUJUAN WOUND DRESSING

Wound dressing atau bebat luka adalah suatu bahan yang digunakan
untuk menutup luka dan atau menghentikan perdarahan pada luka.

Tujuan penggunaan wound dressing antara lain adalah: 3,14


1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
(moist
environment)
2. Menyerap eksudat yang berlebihan
3. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanik
4. Mencegah luka dari kontaminasi mikroorganisme patogen
5. Meningkatkan hemostasis
6. Menyerap bau pada luka

Tidak ada satu pun wound dressing yang sesuai untuk semua jenis
luka. Namun suatu wound dressing seharusnya mempunyai satu
atau lebih karakteristik sebagai berikut:3,14,17,18
1. Mempertahankan lingkungan yang lembab (moist) pada luka
2. Menyerap eksudat yang berlebihan tanpa “strikethrough”
(merembes ke
permukaan dressing)
3. Memberikan perlindungan mekanik pada luka
4. Memberikan perlindungan terhadap mikroorganisme
patogen
(impermeabel/tidak dapat ditembus oleh mikroorganisme patogen)
5. Kedap air
6. Menjaga pertukaran udara pada luka

27
7. Menyerap bau luka
8. Tidak melekat pada luka sehingga mudah dilepas tanpa trauma
9. Mudah penggunaannya
10. Dapat diaplikasikan pada kulit bagian tubuh termasuk daerah yang
tidak
datar seperti siku, lutut atau tumit (conformable)
11. Mempunyai efek debrideman
12. Tidak bersifat toksik dan alergenik
13. Steril

B. JENIS WOUND DRESSING

Secara umum wound dressing dibagi menjadi 2 yaitu: 12,19


1. Dressing primer (primary dressing)
Yaitu dressing yang diletakkan secara langsung di atas permukaan
luka.
2. Dressing sekunder (secondary dressing)
Yaitu dressing yang tidak kontak secara langsung dengan luka
tetapi diletakkan di atas dressing primer. Biasanya digunakan
untuk memfiksasi atau melindungi dressing primer.

Berdasarkan melekat atau tidaknya dressing pada luka, wound


dressing dapat dibagi menjadi:
1. Adherent dressing
Yaitu dressing yang dapat melekat pada luka sehingga
dapat menyebabkan trauma atau rusaknya jaringan granulasi
atau rasa nyeri pada saat dressing dilepas dari luka.
2. Non-adherent dressing
Yaitu dressing yang tidak melekat pada luka.
28
Berdasarkan bahannya, saat ini terdapat beberapa jenis wound
dressing
yaitu:12,18,20
1. Kasa
Terbuat dari tenunan
katun. Karakteristik :
a. Dapat digunakan sebagai dressing primer atau sekunder
pada luka
dengan atau tanpa infeksi
b. Merupakan absorben (penyerap eksudat) yang cukup kuat
c. Mempunyai efek debrideman, tetapi tidak selektif sehingga
jaringan
normal dapat ikut terlepas dari luka dan menimbulkan rasa
nyeri bila
dilepaskan dari luka (debrideman mekanik)
d. Dapat meninggalkan serpihan kain/benang kasa pada luka
e. Memerlukan larutan atau gel untuk mempertahankan
kelembaban
permukaan luka

Gambar 28. Kasa Gambar 29. Tule

3. Tule (tulle)
Merupakan dressing yang berbentuk lembaran seperti kasa
dengan lubang-lubang yang lebih jarang tetapi lebih kuat, tidak
meninggalkan serpihan kain/benang pada luka dan bentuknya
relatif tetap (tidak seperti kasa). Sesuai untuk luka yang
datar dan dangkal. Biasanya diisi (impregnated) dengan gel,
vaselin, parafin, antiseptik atau antibiotika topikal. Contoh:
Bactigras, Bioplacenton Tulle, Sofra-Tulle.

29
4. Hidrogel (hydrogel dressing)
Merupakan dressing yang mengandung air dalam jumlah besar
yang dapat
memberikan efek menyejukkan dan mengurangi nyeri pada luka.
Karakteristik :
a. Digunakan sebagai dressing primer pada luka dengan
atau tanpa
infeksi dengan eksudat yang minimal
b. Memberikan lingkungan luka yang lembab
c. Mempunyai efek debrideman autolitik
d. Dapat mengisi dead space (rongga yang masih ada setelah
penutupan
luka)
e. Tidak nyeri bila dilepaskan dari luka
f. Memerlukan dressing
sekunder Contoh: Intrasit
Gel

Gambar 30,31. Hydrogel dressing

5. Hidrokoloid (hydrocolloid dressing)


Dressing ini mengandung sodium
carboxymethylcellulose. Karakteristik :
a. Digunakan sebagai dressing primer
b. Tidak digunakan pada luka dengan infeksi
c. Memberikan lingkungan luka yang lembab
d. Kapasitas menyerap eksudat sedang
e. Mempunyai efek debrideman autolitik
Gambar 32.
Hydrocolloid
dressing
f. Tahan air dan impermeabel terhadap bakteri
g. Dapat melekat sendiri pada permukaan luka
h. Nyeri bila dilepaskan dari luka
i. Tidak memerlukan dressing sekunder

6. Alginat (alginate dressing)


Alginat merupakan derivat dari ganggang laut. Bila dressing kontak
dengan
eksudat luka, akan terbentuk suatu gel hidrofilik pada
permukaan luka
akibat pertukaran antara ion kalsium dalam dressing dengan ion
natrium
dalam eksudat luka yang akan menciptakan suatu lingkungan yang
lembab
untuk luka yang menyebabkan re-epitelisasi dan pembentukan
jaringan
granulasi lebih optimal.
Karakteristik :
a. Digunakan sebagai dressing
primer pada
luka dengan atau tanpa infeksi
dengan
eksudat sedang hingga banyak
b. Memberikan lingkungan
luka yang
lembab
c. Merupakan absorben yang kuat
d. Mempunyai efek debrideman autolitik
e. Dapat mengisi dead space
f. Tidak nyeri dan atraumatik bila Gambar 33. Alginate
dressing

dilepaskan dari luka


g. Memerlukan dressing sekunder

7. Foam dressing
Merupakan foam polyurethane hidrofilik yang dapat menyerap
eksudat. Karakteristik :
a. Dapat digunakan sebagai dressing primer atau sekunder pada
luka
dengan atau tanpa infeksi

31
b. Memberikan lingkungan luka yang lembab
c. Merupakan absorben yang kuat
d. Tidak nyeri dan atraumatik bila dilepaskan
dari luka Contoh: Allevyn

Gambar 34. Foam dressing

8. Film transparan (transparent film dressing)


Merupakan suatu membran polimer semipermeabel yang
tipis dan
transparan yang dilapisi dengan suatu lapisan perekat akrilik yang
tahan
air. Dressing ini dapat mempertahankan pertukaran udara atau
oksigen
pada luka tetapi dapat mencegah masuknya air, kotoran dan
bakteri ke
dalam luka.
Karakteristik :
a. Dapat digunakan sebagai dressing primer atau sekunder
b. Tidak digunakan pada luka dengan infeksi atau luka eksudatif
c. Memberikan lingkungan luka yang lembab
d. Tidak menyerap eksudat
e. Permeabel terhadap oksigen, impermeabel terhadap air,
kotoran dan
bakteri
f. Dapat melekat pada permukaan kulit (adesif)
g. Karena transparan, maka dapat
memonitor
proses penyembuhan luka dengan
lebih
mudah
Contoh: Opsite
Gambar 35. Film
transparan

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Wasitaatmaja SM. Anatomi Kulit. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin, edisi
kedua, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1993:3-6.
2. Wasitaatmaja SM. Faal Kulit. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi
kedua, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1993:7-8.
3. Keast D, Orsted H. The Basic Principles of Wound Healing.
www.pilonidal.
org/pdfs/Principles- of-Wound-Healing.pdf.30/10/2007.
4. Wound. www.wikipedia.com/en.wikipedia.org/wiki/Wound -
26k.05/10/2007.
5. Classification of wounds.
http://www.accessmedicine.com/popup.aspx?aID=
816684 &print=yes. 05/10/2007.
6. Wound Care guide.
www.mckinley.uiuc.edu/Handouts/pdfs/wound_care.pdf.
30/10/2007.
7. Gottrup F, Melling A, Hollander D.A. An overview of surgical site
infections:
aetiology, incidence and risk factors. EWMA Journal 2005; 5(2): 11-5.
8. Sjamsuhidajat R. Luka, trauma, syok dan bencana. Dalam :
Sjamsuhidajat R,
Jong W, ed. Buku Ajar ilmu Bedah . Edisi 1. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran
EGC 1997: 72-4.
9. Diegelmann R.F, Evans M.C. Wound Healing : An Overview of Acute,
Fibrotic and
Delayed Healing. Frontiers in Bioscience 2004;9:283-9.
10. Mercandetti M, Cohen A.J. Wound Healing, Healing and
Repair.
http://www.emedicine.com/plastic/topic411.htm#target1. 05/10/2007.
11. Falanga V. Wound Healing.
http://www.aad.org/professionals/Residents/
MedStudCoreCurr/ DCWoundHealing.htm/11/06/2007.
12. Treatment of Wounds. http://www.accessmedicine.com/popup.aspx?
aID
=
816774&print=yes. 11/06/2007.
13. Falabella A.F. Debridement and wound bed Preparation. Dermatologic
Therapy
2006;19:317-25.

33
14. Sharman D. Moist wound healing: a review of evidence, application and
outcome.
The Diabetic Foot 2003;6(3):112-20.
15. Smoking Slows Healing. http://www.healthday.com/view.cfm? id=

522752.
20/12/2004.
16. Drosou A, Falabella A, Kirsner R.S. Antiseptics on Wounds : An
Area of
Controversy. Wounds 2003;15(5):149-66.
17. Ovingtin L.G. Advances in wound dressings. Clinics in Dermatology
2007;25:33-8.
18. Synthetic wound dressings.
http://dermnetnz.org/procedures/dressings.html.
19. An Overview of the topical management of wounds. AVJ
1997;75(6):20819.
20. Wiseman D.M, Rovee D.T, Alvarez O.M. Wound Dressings : Design and
Use.
Dalam : Cohen K, Diegelmann R.F, Lindblad R.F, ed. Wound Healing.
Biochemical
& Clinical Aspects. Philadelphia : W.B. Saunders Company 1992:592-76.
34

Anda mungkin juga menyukai