Anda di halaman 1dari 9

BAB V

TEKNIK TEKNIK PENEMUAN HUKUM

A. Kaidah Hukum
Kaidah hukum dinyatakan dalam bentuk bahasa, jika hakim menelusuri masalah yang
sedang dihadapi dan akan menetapkan kaidah hukum bisa terjadi persoalan bahwa kaidah
hukum tidak dapat sepenuhnya diterapkan dengan dengan fakta-fakta yang ada dilapangan.
Namun, dapat diterapkan apabila perumusannya dengan bahasa yang jelas dan dengan cara
yang tidak bermakna ganda. Bisa juga memunculkan persoalan walaupun formulasinya sudah
jelas namun sudah ketinggalan jaman.
Metode penemuan hukum harus diarahkan pada peristiwa yang bersifat khusus,
konkret dan individual. Maka dari itu metodenya bersifat praktikal karena digunakan untuj
mendapatkan keadilan.
Dalam menghadapi peristiwa hukum, pemikiran praktek hukum dengan pemikiran
ilmuan hukum tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling melengkapi. Penemuan hukum
dalam menegakan hukum berdasarkan pada teori hukum yang berkembang, tidak bisa saling
berdiri sendiri. Implikasi teori hukum ada pada praktek hukumnya.
Dari hasil penelitian terhadap praktik keadilan pada abad 19 dan 20 dalam
menetapkan makna menggunakan interpretasi / penafsiran yang dapat diberikan pada
formulasi dari sebuah kaidah hukum. Tokohnya Von Savigny memberikan batasan tentang
penafsiran yaitu rekontruksi pikirian yang tersimpul dalam UUD. Dan ada azaz yang disebut
dengan “Sens Clair” yang tercantum dalam Ps 1342 yang mendukung batasan yang
dikemukakan oleh tokoh diatas.

B. Macam-macam Metode Interpretasi


1. Interpretasi Gramatikal / Interpretasi Bahasa
Cara penafsiran UU berdasarkan arti kata-kata yang terdapat didalamnya yang
dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari. Kita bisa mencarinya di ahli bahasa,
doktrin, kamus-kamus.
Metode Objektif metode yang mendasarkan pada makna bahasa/istilah/kata
yang secara umum digunakan oleh masyarkat.metode ini digunakan hakim yang
berusaha untuk memahami teks yang terdapat dalam kaidah hukum yang
dinyatakan berbeda dari makna menurut pemakaian bahasa yang biasa, atau dari
makna teknik yuridikial yang sudah lazim.
2. Iterpretasi Otentik
Adalah penafsiran yang didasarkan pada tafsir yang dinyatakan oleh pembuat
undang-undang, yang berarti penjelasan terhadap kata-kata, istilah dan pengertian
di dalam peraturan perundangan yang ditetapkan oleh pembuat UU itu sendiri
dalam peraturan perundangan yang dibuatnya.
3. Interpretasi Sistematik
Penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasa yang lain dalam
suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau dengan UU yang lain, serta
mencari makna dari penjelasan UU tersebut sehingga kita dapat memahami
maksudnya.

4. Interpretasi Sejarah UU
Penafsiran dengan mendasarkan pada sejarah terbentuknya UU, interpretasi ini
juga disebut juga dengan “interpretasi subjektif” karena orang melihat UU
sebagai pernyataan kehentak dari subyek pembentuk UU.
5. Interpretasi Sejarah Hukum
Penafsiran untuk mengetahui konsep yuridis dengan memperhitungkan sejarah
dari isi kaidah hukum/pengertian hukum dengan mencari pertautan pada penulis-
penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan pada masa lalu.
6. Interpretasi Teologis (Sosiologis)
Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu, yang berarti didalam
kaidah hukum terdapat tujuan kemasyrakatan / kepentingan hukum yang hendak
dilindungi serta asas yang melandasi dan hal ini menentukan maknanya.
Penafsiran ini digunakan pada perundang-undangan yang tidak begitu
mutakhir lagi untuk diterapkan pada situasi yang tidak sama dengan keadaan
waktu berlangsung pembentukan UU.
Berbeda dengan penafsiran sebelumnya karena penafsiran ini bukan untuk
menemukan pertautan pada kehendak subjektif pembuat UU namun lebih pada
makna aktual/obyektif dari teks UU yang menjadi titik pusat perhatian.
Penafsiran ini penting karena kehidupan dan kejadian dimasyarakat selalu
berkembang sedangkan bunyi UU bersifat statis.
7. Interpretasi Antisipatif/Futuristis
Penafsiran peraturan pada saat sekarang (ius constitutum) dengan mengacu
atau dicari dalam peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku atau yang
akan berlaku di masa depan (ius constituendum).
Pada hakikatnya peraturan perundang-undangab bersifat “normatif” yang
berarti apa yang seharusnya, apa yang seharusnya dapat dibedakan menjadi dua
yaitu apa yang seharusnya saat ini (hukum positif) dan apa yang seharusnya untuk
masa depan (politik hukum) bedanya yang pertama secara teknis telah mempunyai
kekuatan yang berlaku, akan tetapi secara substantif keduanya merupakan
keharusan yang dibutuhkan untuk mengatur tata tertib.
8. Interpretasi Restriktif
Penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam UU.
9. Interpretasi Ekstensif
Penafsiran yang memperluas arti kata-kata dalam peraturan sehingga melebihi
batas-batas hasil interpretasi gramatikal.
10. Interpretasi Komparatif
Penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum.
Perbandingan yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip
yang berlaku umum pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil
dari komparasi tersebut dapat digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan
suatu kasus hukum dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.
C. Metode Penalaran/Argumentasi
Bukan suatu argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan tertentu,
tetapi untuk mengisi kekosongan atau ketidak lengkapan UU.
1. Argumentum Analogian (Analogi)
UU dianggap terlalu sempit ruang lingkupnya, maka hakim perlu memperluas
jangkauannya sehingga dengan analogi peristiwa yang serupa,sejenis, atau mirip
dengan yan diatur dalam UU diperlakukan sama
Analogi suatu peraturan khusus dalam UU dejadikan umum yang tidak tertulis
dalam UU, kemudian digali asas yang terkandung didalamny dan disimpulkan
dai ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. PU yang tidak tertulis dalam
UU diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam UU, tetapi
mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam UU. Sudikno mengatakan
bahwa analogi ini disebut juga dengan penafsiran ekstensif.
2. Argumentum a Contrario
Suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan
pengertian antara pengertian konkret yang dihadapi dan peristiwa yang di atur
dalam undang-undang.Sehingga dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu
dapat di ambil kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak di liputi oleh
undang-undang yang di maksud atau berada di luar ketentuan undang-undang
tersebut.
3. Penyempitan Hukum (Rechsverfijning)
Sudikno memakai istilah penyempitan hukum karena ia bukan argumentasi
untuk membenarkan peraturan perundang-undangan, tetapi pengecualian terhadap
peraturan perundangan karena kalau tidak maka dirumuskan terlalu luas.
Kadang UU terlalu luas lingkupnya dan umum, maka perlu dipersempit untuk
diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu
Dan bagi mereka yang mengartikan penghalusan hukum, maka hukum
diperlakukan secara halus sehingga seolah olah tidak ada pihak yang disalahkan.
Penghalusan ini kebalikan dari analogi, dan sama-sama mengisi kekosongan.
BAB VI
SUMBER-SUMBER HUKUM
(Sumber Penemuan Hukum)

A. Sumber Penemuan Hukum


Sumber atau tempat terutama bagi hakim dapat menemukan sumber
hukumnya. namun ada kalanya sumber juga sekaligus merupakan hukum, contohnya
putusan hakim
Putusan hakim adalah hukum, maka didalam putusan hakim semestinya
mengandung isi nilai-nilai dasar hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Sumber hukum yang dicari hakim bisa berasal dari sesuatu yang berbentuk
secara formal (sumber hukum formil), maupun dari sumber hukum substansial
(sumber hukum materiil)
B. Sumber Hukum Materiil
Merupakan faktor-faktor kemasyarakatan/pandangan/pola tata hidup yang
merupakan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah hukum dalam arti
materiil (material/subtantive certainty).
Sumber hukum materiil ini merupakan sumber-sumber yang melahirkan isi
(materiil) suatu hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan merupakan
faktor yang membantu dalam pembuatan hukum.
Menurut E. Utrecht sumber hukum materiil merupakan perasaan hukum atau
keyakinan hukum individu dan pendapat umum (Public opinioin), yang merupakan
faktor penentu dari isi hukum.
Bagi pembentuk UU sumber ini merupakan materi yang harus direspon
sehingga perumusan hukum/UU/wet geving dapat mencerminkan masyarkatnya. Dan
juga bagi hakim ini merupakan sumber yang sangat strategis untuk “diadopsi” demi
memenuhu kebutuhan keadilan yang harus diberikan pada masyarakat.
Dalam metoda penemuan hukum otonom, sumber hukum materiil ini sangat
membantu dalam pembentukan hukum khususnya dalam menentukan isi/substansi
hukum atau putusan.
Faktor riil kemasyarakatan Faktor idiil kemasyarakatan
Hal-hal yang benar-benar hidup Patokan-patokan yang tetap mengenai
dalam masyarakat dan merupakan keadilan yang harus ditaati
petunjuk hidup bagi masyarakat
yang bersangkutan Misal :
Misal :
1. Kebiasaan atau adat istiadat 1. Nilai-nilai pancasila
yang telah melekat dan 2. Pandangan keagamaan dan kesusialaan
berkembang menjadi aturan 3. Pandangan-pandangan tentang moral dan
tingkah laku yang tetap kesopanan
2. Hukum yang berlaku, hukum 4. Pandangan-pandangan tentang kewajaran
yang tumbuh berkembang daam dan kelayakan
masyarakat dan mengalami 5. Tuntutan kehati-hatian kemasyarakatan
perubahan-perubahan menurut 6. Itikad baik
kebutuhan masyarakat yang 7. Pandangan-pandangan tentang pergaulan
bersangkutan antar sesama warga masyarakat
3. Situasi sosial-ekonomi 8. Pendapat umum yang ada pada
4. Hubungan sosial masyarakat
5. Struktur ekonomi dan kebutuhan
masyarakat
6. Tradisi
7. Aneka gejala dalam masyarakat
baik yang sudah menjadi
peristiwa maupun belum
8. Keadaan geografis
9. Hasil penelitian ilmiah
10. Tata hukum negara lain

C. Sumber Hukum Formil


Sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya
hukum secara formil. Jadi, sumber hukum formil merupakan dasar kekuatan
mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun para penegak
hukum.
Antara sumber hukum formil dan sumber hukum formil jangan
“didikotomiskan” karena sama-sama merupakan apa yang seharusnya menjadi kaidah
masyarakat,
Hukum formil ini berisi ide-ide, cita hukum, pandangan-pandangan, gagasan-
gagasan yang berisi keadilan hukum masyarakat. Sumber hukum formil meliputi:
1. Undang-undang
2. Kebiasaan (costum) atau adat
3. Perjanjian antar negara (traktat/treaty)
4. Keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi)
5. Pendapat atau pandangan ahli hukum (doktrin)
1. Undang-undang
a. Pengertian
Undang-undang dapat dibedakan atas
1. Undang-undang dalam arti formil, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari
bentuknya (tertulis) dan cara terjadinya (oleh yang berwenang) sehingga
disebut UU.
2. Undang-undang dalam arti materiil, keputusan atau ketetapan penguasa, yang
dilihat dari isinya mengikat orang secara umum.
b. Berlakunya Undang-undang
UU dinyatakan berlaku dan mengikat apabila telah diundangkan dalam
Lembaran Negara, dan mulainya berlaku biasanya disebutkan dalam UU
tersebut. Setelah persyaratan berlaku dan mengikatnya UU terpenuhi, maka
setiap orang dianggap mengetahui UU dan dengan demikian ia terikat oleh
UU tersebut (fictie hukum).
UU dinyatakan berakhir masa dan kekuatan berlkunya apabila:
1. Dibatalkan melalui UU yang baru, atau apabila dikeluarkan UU baru yang
berisi ketentuan yang berlawanan dengan UU yang lama
2. Waktu berlakunya memang sudah lampau
3. Dalam kenyataannya memang tidak dapat berlaku lagi
4. Bertentangan dengan traktat yang berlaku

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengetahui dasar kekuatan


berlakunya UU/hukum yang baik yaitu:
1. Yuridis (juridische gelding)
2. Sosiologis (sosiologische gelding)
3. Filosofis (filosofische gelding)
Asas-asas berlakunya UU :
1. UU tidak berlaku surut (Tapi Ada UU tertentu yang berlaku surut)
2. Asas lex posteriori derogat legi priori, (UU yang berlaku kemudian
membatalkan UU yang terdahulu (bila engatur hak tertentu yang sama)
3. Asas lex superior derogat legi inferiori, (UU Yang dibuat oleh penguasa
yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula)
4. Asas lex specialis derogat legi generali (UU yang bersifat khusus
menyampingkan UU yang bersifat umum)
5. Asas lex scripta : dirumuskan terlebih dahulu, lex certa : jelas dan terang,
lex stricta : ketat/terbatas
6. Asas titulus est lex (judul per-UU lah yang menentukan)
7. Asas exceptio firmat vim legis in casibus non exceptis/exceptio format
regulam (jika terjadi penyimpangan terhadap aturan umum dilakukan,
penyimpangan tsb harus diinterpretasikan secara sempit)
8. Asas nullum crimen sine lege stricta (tiada ketentuan pidana kecuali
dirumuskan secara ketat/sempit di dalam peraturan per-UUan)
Disamping itu juga dikenal sebagai asas hukum (fundamen yang menjadi
tumpuhan berpikir tentang kebenaran hukum), yang merupaan dasar-dasar
umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar tersebut
merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Asas-asas hukum yang kita kenal :
1. fiat justicia pereat mundus (Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia
akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan).
2. Geen straf zonder schuld (Tiada hukuman tanpa kesalahan).
3. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (Tiada suatu
perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan dalam ketentuan pidana
dalam UU yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu).
4. Pacta sunt servanda (Setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus
ditaati dengan itikad baik).
5. Ne bis in idem/nemi debet bis vexari (tidak dapat dilakukan penentuan
untuk kedua kalinya untuk pidana yang sama)
6. Cogitationsis poenam nemo patitur (Tiada seorang pun dapat dihukum
oleh sebab apa yang dipikirkannya).
7. In dubio pro reo (Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang
paling menguntungkan bagi si terdakwa).
8. Koop breekt geen huur (Jual beli tidak memutuskan sewa menyenya.
Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang
disewanya beralih tangan).
9. Melius est accieperer quam facerer injuriam (Lebih baik mengalmi
ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan).
10. Presumption of innocence (Bisa juga disebut asas praduga tidak bersalah)
11. Res nullius credit occupant (Benda yang ditelantarkan pemiliknya dapat
diambil untuk dimiliki).
12. Testimonium de auditu (Kesaksian dapat didengar dari orang lain).
13. Unus testis nullus testis (Satu orang saksi bukanlah saksi)
14. Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara Tuhan).
15. Qui tacet consentire videtur (Siapa yang berdiam diri dianggap
menyetujui).
16. Fair hearing (setiap orang berhak atas proses peradilan yang layak)
17. Lites finiri oported (tidak membiarkan sengketa hukum berlarut tanpa
akhir adalah rasional)
18. Beginsel van’toerekenbare’ schijin (siapa yang mengemudikan kendaraan
bermotor akan diandaikan memiliki kemampuan untuk menguasai
kendaraannya dengan baik)
19. Res judicata pro veritate habeteur (Putusan hakim dianggap benar sampai
ada putusan hakim lain yang mengoreksinya).
20. Nullus commodum capere potest de injuria sua propria (tidak seorang
pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh orang lain)
2. Kebiasaan atau adat
Merupakan tindakan menurut pila tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim,
normal, atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu.
Yang menjadikan tungkah laku itu sebagai kebuasaan atau adat adalah
kepatutannya. Karena dirasakan patut, kemudan diulang-ulang. Patut tidaknya
perbuatan itu bukan karena pendapat seseorang, tetapi pendapat masyarakat.
Kebiasaan dapat dipandang sebagai perwujudan hukum. Oleh karenannya,
kebiasaan yang baik dan diterima masyarakat beradab sesuai dengan
kepribadiannya kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan. Untuk
timbulnya hukum kebiasaan diperlukan beberapa syarat :
a. Syarat faktual, adanya perbuatan yang dilakukan secara berulang.
b. Syarat ideal, adanya kesadaran bahwa itu baik/patut dilakukan dari
masyarakat yang bersangkutab
c. Syarat opinio, adanya keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena
telah merupakan suatu kewajiban sehingga menimbulkan akibat hukum
apabila hukum kebiasaan itu dilanggar)
Keyakinan hukum mempunyai 2 arti
a. Materiil, hukum atau aturan itu isinya memuat sesuatu yang baik
b. Formil, orang yakin bahwa peraturan itu harus diikuti dengan taat.
Diindonesa ini kebiasaan merupakan sumber hukum, karena kebiasaan
dalam lingkungan masyarakat tertentu adalah suatu kenyataan yang dapat dilihat,
dikonstatir oleh hakim sebagai suatu peristiwa dan kemudian dirumuskan sebagai
peraturan hukum dan kebiasaan juga disebut dengan adat.
3. Traktat (perjanjian internasional)
Dasar hukum traktat dalam Pasal 11 ayat 1&2 UUD 1945 :
1. Presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Istilah yang lain yang dipergunakan untuk traktat seperti :Charter, Covenant,
Pact, Statue, Convention, Act, Protocol dan sebagainya.
4. Yurisprudensi
Keputusan-keputusan hakim terdahulu yang dapat diikuti oleh hakim-hakim
kemudian dalam perkara yang sama. Dapat juga berarti ajaran hukum atau doktrin
yang dimuat dalam putusan.
Yurisprudensi yang dimaksud dalam hal ini adalah putusan pengadilan yang
merupakan produk yudikatif, berisi kaidah hukum yang bersifat khusus dan juga
umum. Artinya putusan hakim itu hanya mengikat pihak-pihak yang tercantum
dalam putusan (vonis), dan tidak memiliki kekuatan berlaku namun (khusus).
Akan tetapi hal-hal yang tercantum dalam vonis hakim (ratio decidendii) dapat
mempengaruhi pengambilan putusan oleh hakim lain (umum).
Yurisprudensi berguna sabagai parameter penegakkan kebenaran dan keadilan
hukum bagi hakim dalam proses pengadilan.
Sebab-sebab hakim mengikuti putusan hakim lain :
1. Sebab psikologi, artinya seorang hakim mempunyai kekuasaan, terutama
apabila putusan itu dibuat oleh pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung.
2. Sebab praktis, artinya seseorang hakim bawahan (pengadilan negeri) secara
logis akan mengikuti putusan yang dibuat oleh hakim yang lebih tinggi
kedudukannya.
3. Sebab pendapat yang sama, artinya hakim pemutus setuju atau sependapat
dengan putusan hakim terdahulu.
Sebab pendapat yang sama, artinya hakim pemutus setuju atau sependapat
dengan putusan hakim terdahulu.
Macamnya yurisprudensi :
1. Yurisprudensi tetap, yaitu keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian
keputusan serupa dan yang menjadi dasar pengadilan (standar) untuk
mengambil keputusan.
2. Yurisprudensi tidak tetap, adalah dimana seorang hakim dalam mengikuti
keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dengan isi keputusan
tersebut, lagi pula hal ini hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil
suatu keputusan mengenai suatu perkara serupa. Sehingga seorang hakim
dalam memutus perkara yang srupa tidak selalu mengikuti keputusan hakim
terdahulu.
5. Doktrin
Pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya
terhadap hakim dalam mengambil keputusannya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sebagai dasar pertimbangannya hakim menemukan hukumannya
dalam doktrin itu. Doktrin yang demikian adalah sumber hukum, yaitu sumber
hukum formal.
Sebagai hukum formal mempunyai syarat yaitu telah menjelma menjadi
keputusan hakim. Bahkan, dalam Mahkamah Internasional doktrin ini menjadi
sumber formal yang paling penting. Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di
Indonesia.
Doktrin atau pendapat sarjana hakikatnya adalah “ilmu pengetahuan” yaitu
ilmu hukum, tidak disangkal lagi peran ilmu sangat penting baik untuk “law
making” maupun “law enforcement”. Hukum dibuat dengan ilmu dan hukum
juga ditegakkan dengan ilmu yaitu ilmu hukum.
TUGAS TERSTRUKTUR PIH
RESUME MODUL PIH

Ade Dwi Permana / E1A113075

Anda mungkin juga menyukai