A. Kaidah Hukum
Kaidah hukum dinyatakan dalam bentuk bahasa, jika hakim menelusuri masalah yang
sedang dihadapi dan akan menetapkan kaidah hukum bisa terjadi persoalan bahwa kaidah
hukum tidak dapat sepenuhnya diterapkan dengan dengan fakta-fakta yang ada dilapangan.
Namun, dapat diterapkan apabila perumusannya dengan bahasa yang jelas dan dengan cara
yang tidak bermakna ganda. Bisa juga memunculkan persoalan walaupun formulasinya sudah
jelas namun sudah ketinggalan jaman.
Metode penemuan hukum harus diarahkan pada peristiwa yang bersifat khusus,
konkret dan individual. Maka dari itu metodenya bersifat praktikal karena digunakan untuj
mendapatkan keadilan.
Dalam menghadapi peristiwa hukum, pemikiran praktek hukum dengan pemikiran
ilmuan hukum tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling melengkapi. Penemuan hukum
dalam menegakan hukum berdasarkan pada teori hukum yang berkembang, tidak bisa saling
berdiri sendiri. Implikasi teori hukum ada pada praktek hukumnya.
Dari hasil penelitian terhadap praktik keadilan pada abad 19 dan 20 dalam
menetapkan makna menggunakan interpretasi / penafsiran yang dapat diberikan pada
formulasi dari sebuah kaidah hukum. Tokohnya Von Savigny memberikan batasan tentang
penafsiran yaitu rekontruksi pikirian yang tersimpul dalam UUD. Dan ada azaz yang disebut
dengan “Sens Clair” yang tercantum dalam Ps 1342 yang mendukung batasan yang
dikemukakan oleh tokoh diatas.
4. Interpretasi Sejarah UU
Penafsiran dengan mendasarkan pada sejarah terbentuknya UU, interpretasi ini
juga disebut juga dengan “interpretasi subjektif” karena orang melihat UU
sebagai pernyataan kehentak dari subyek pembentuk UU.
5. Interpretasi Sejarah Hukum
Penafsiran untuk mengetahui konsep yuridis dengan memperhitungkan sejarah
dari isi kaidah hukum/pengertian hukum dengan mencari pertautan pada penulis-
penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan pada masa lalu.
6. Interpretasi Teologis (Sosiologis)
Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu, yang berarti didalam
kaidah hukum terdapat tujuan kemasyrakatan / kepentingan hukum yang hendak
dilindungi serta asas yang melandasi dan hal ini menentukan maknanya.
Penafsiran ini digunakan pada perundang-undangan yang tidak begitu
mutakhir lagi untuk diterapkan pada situasi yang tidak sama dengan keadaan
waktu berlangsung pembentukan UU.
Berbeda dengan penafsiran sebelumnya karena penafsiran ini bukan untuk
menemukan pertautan pada kehendak subjektif pembuat UU namun lebih pada
makna aktual/obyektif dari teks UU yang menjadi titik pusat perhatian.
Penafsiran ini penting karena kehidupan dan kejadian dimasyarakat selalu
berkembang sedangkan bunyi UU bersifat statis.
7. Interpretasi Antisipatif/Futuristis
Penafsiran peraturan pada saat sekarang (ius constitutum) dengan mengacu
atau dicari dalam peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku atau yang
akan berlaku di masa depan (ius constituendum).
Pada hakikatnya peraturan perundang-undangab bersifat “normatif” yang
berarti apa yang seharusnya, apa yang seharusnya dapat dibedakan menjadi dua
yaitu apa yang seharusnya saat ini (hukum positif) dan apa yang seharusnya untuk
masa depan (politik hukum) bedanya yang pertama secara teknis telah mempunyai
kekuatan yang berlaku, akan tetapi secara substantif keduanya merupakan
keharusan yang dibutuhkan untuk mengatur tata tertib.
8. Interpretasi Restriktif
Penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam UU.
9. Interpretasi Ekstensif
Penafsiran yang memperluas arti kata-kata dalam peraturan sehingga melebihi
batas-batas hasil interpretasi gramatikal.
10. Interpretasi Komparatif
Penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum.
Perbandingan yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip
yang berlaku umum pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil
dari komparasi tersebut dapat digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan
suatu kasus hukum dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.
C. Metode Penalaran/Argumentasi
Bukan suatu argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan tertentu,
tetapi untuk mengisi kekosongan atau ketidak lengkapan UU.
1. Argumentum Analogian (Analogi)
UU dianggap terlalu sempit ruang lingkupnya, maka hakim perlu memperluas
jangkauannya sehingga dengan analogi peristiwa yang serupa,sejenis, atau mirip
dengan yan diatur dalam UU diperlakukan sama
Analogi suatu peraturan khusus dalam UU dejadikan umum yang tidak tertulis
dalam UU, kemudian digali asas yang terkandung didalamny dan disimpulkan
dai ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. PU yang tidak tertulis dalam
UU diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam UU, tetapi
mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam UU. Sudikno mengatakan
bahwa analogi ini disebut juga dengan penafsiran ekstensif.
2. Argumentum a Contrario
Suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan
pengertian antara pengertian konkret yang dihadapi dan peristiwa yang di atur
dalam undang-undang.Sehingga dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu
dapat di ambil kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak di liputi oleh
undang-undang yang di maksud atau berada di luar ketentuan undang-undang
tersebut.
3. Penyempitan Hukum (Rechsverfijning)
Sudikno memakai istilah penyempitan hukum karena ia bukan argumentasi
untuk membenarkan peraturan perundang-undangan, tetapi pengecualian terhadap
peraturan perundangan karena kalau tidak maka dirumuskan terlalu luas.
Kadang UU terlalu luas lingkupnya dan umum, maka perlu dipersempit untuk
diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu
Dan bagi mereka yang mengartikan penghalusan hukum, maka hukum
diperlakukan secara halus sehingga seolah olah tidak ada pihak yang disalahkan.
Penghalusan ini kebalikan dari analogi, dan sama-sama mengisi kekosongan.
BAB VI
SUMBER-SUMBER HUKUM
(Sumber Penemuan Hukum)