Anda di halaman 1dari 29

PERANAN INFAQ DALAM KEHIDUPAN1

Abstrak
Al-Qur’an dilihat dari sisi manapun, pasti berbeda dengan bacaan-
bacaan atau buku-buku lain yang bukan wahyu. Al-Qur’an teramat
dinamis dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi
dengan informasi-informasi klasikal maupun aktual. Berbeda dengan
buku-buku lain yang sering mengkritisi suatu konsep atau teori dengan
tidak memberikan solusi ,ayat-ayat dalam Al-Qur’an memberikan solusi
yang cerdas untuk mengatasi berbagai persoalan termasuk masalah
ekonomi yang dihadapi umat manusia. Bila ditelusuri lebih jauh, Al-
Qur’an melalui sederetan ayat-ayatnya, juga meletakkan serangkaian
norma-norma dasar untuk beberapa jenis transaksi baik yang bersifat
umum maunpun yang bersifat khusus. Termasuk norma-norma dasar yang
berhubungan dengan beberapa jenis transaksi ekonomi. Oleh karena itu,
penyerapan nash Al-Qur’an kedalam kompilasi hukum termasuk ayat-ayat
ekonomi dan keuangan terhadap kompilasi hukum bidang ekonomi
Syariah, secara tekstual tentu akan mengalami kesulitan. Tetapi, secara
substansial berdasarkan istinbath hukum (istinbath al-ahkam) dari
ayat-ayat hukum ekonomi yang ada, sangatlah dimungkinkan.
Kemungkinan kompilasi nash Al- Qur’an itu diserap kedalam kompilasi
bidang ekonomi Syariah, sangat bergantung pada model kompilasi itu
sendiri. Termasuk didalamnya menekankan keseimbangan dalam hidup,
bukan hanya terfokus atau mementingkan hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya (ta’abbudi), melainkan juga bersifat sosial
kemasyarakatan (ijtimaiyyah). Seperti zakat, infaq, shadaqah untuk
meningkatkan kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan salah satu
prioritas utama umat Islam.

Kata Kunci: Muzakki, Mustahik, Kesejahteraan

1
Ubabuddin, Dosen Institut Agama Islam Sultan M. Syafiuddin Sambas.

1
A. PENDAHULUAN
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadi penderma
dan penolong bagi yang membutuhkan. Bahkan, zakat dijajarkan sebagai
pilar rukun Islam. Hal ini menunjukkan bahwa menolong orang yang
membutuhkan mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam. Sedekah/infaq
sendiri mempunyai pengaruh yang sungguh luar biasa dalam kehidupan di
masyarakat. Sedekah, Infaq, zakat dan sejenisnya merupakan wujud
kepedulian Islam atas problem-problem sosial. Untuk itulah, bagi yang
hidup berkecukupan dihimbau bahkan diwajibkan untuk menyisihkan
sebagian harta yang dimiliki kepada mereka yang membutuhkan.
Perhatian Islam terhadap orang yang tidak mampu begitu besar,
tidak dapat dibandingkan dengan agama manapun, baik dari segi
pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Al Quran sebagai
pedoman kehidupan umat Islam sangat memperhatikan permasalahan ini. Di
dalamnya terdapat banyak ayat-ayat yang berisi tentang himbauan untuk
memperhatikan nasib orang-orang miskin.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan firman-
firman Allah (kalam Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Di antara tujuan utama diturunkannya adalah untuk menjadi pedoman dalam
menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Al-Qur’an memuat berbagai petunjuk, keterangan, uraian, prinsip,
hukum, nilai, perumpamaan dan konsep. Hal itu, terkadang di
ungkapkannya dalam bentuk global atau detail, tersurat dan tersirat.
Al-Qur’an sendiri menamakan dirinya sebagai hudan (petunjuk)2
bagi manusia pada umumnya dan bagi orang bertakwa pada khususnya.
Dalam upaya menggali dan memahami petunjuk tersebut diperlukan upaya
maksimal sehingga kita dapat menyingkap makna-makna yang
dikandungnya.
Salah satu konsep penting yang perlu mendapat perhatian serius
dewasa ini sehubungan dengan krisis yang menerpa bangsa Indonesia di

2
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 330.

2
segala lini kehidupan, termasuk masalah ekonomi adalah masalah
membelanjakan harta dengan tujuan mendapat ridha Allah atau dengan kata
lain memberikan harta tanpa konpensasi apapun yang ada dalam bahasa Al-
Qur’an dinamakan infak (‫)إنفاق‬.
Lewat kitab suci Al-Qur’an Allah Swt memerintahkan hamba-
hambanya supaya senantiasa peduli terhadap sesamanya. Bentuk kepedulian
ini dapat diwujudkan dengan melakukan infak dengan membelanjakan
sebagian harta yang dilimpahkan-Nya kepada para fakir, miskin, orang-
orang yang sangat memerlukannya dan untuk kebaikan dan kemanfaatan
orang banyak.
Infak atau belanja yang dikeluarkan seorang hamba dengan tujuan
mencari ridha Allah Swt semata pasti akan memperoleh balasan yang
berlipat ganda. Allah Swt akan membalasnya dengan caranya sendiri, baik
disadari oleh hambanya itu, ataukah dengan tidak disadarinya. Semua ini
menunjukkan bahwa rezeki yang dibelanjakan di jalan Allah akan
dikembalikan, bahkan digantikan olehnya dengan yang lebih baik dan
berlipat ganda.
Dalam menafkahkan sebagian rezeki yang telah dianugrahkan oleh
Allah Swt kepada hamba-hambaNya hendaklah memilih yang baik-baik dan
bermanfaat. Di antara ayat yang membicarakan masalah tersebut adalah
seperti dalam QS. al-Baqarah: 267
 
  
  
  
   
 
  
  
  
  
  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari

3
apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari
padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Infaq berasal dari akar kata nafaqa yang berarti keluar. Secara istilah,
infaq berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk suatu kepentingan, baik itu
kepentingan yang baik maupun kepentingan yang buruk.3 Kata infaq sering
digunakan dalam al Quran dan hadits untuk beberapa hal, sehingga secara
hukum, infaq terbagi menjadi empat, yaitu4:
1. Infaq wajib, Infaq wajib berarti mengeluarkan harta untuk perkara yang
wajib seperti: a) Membayar zakat, b) Membayar mahar (QS. al
Mumtahanah: 10), c) Menafkahi istri (QS. an Nisa : 34), d) Menafkahi
istri yang ditalak dan masih dalam keadaan iddah (QS. at Talaq: 6-7)
2. Infaq sunnah, Infaq sunnah berarti mengeluarkan harta dengan niat
shadaqah atau dengan kata lain menunjuk pada harta yang dianjurkan
untuk dikeluarkan tetapi tidak sampai wajib seperti: a) Infaq untuk jihad
(QS. al Anfal: 60), b) Infaq kepada yang membutuhkan, misalnya
memberi uang kepada fakir miskin atau menolong orang yang terkena
musibah dan lain sebagainya.
3. Infaq mubah, Infaq mubah berarti mengeluarkan harta untuk perkara yang
mubah seperti berdagang dan bercocok tanam (QS. al Kahfi: 43)
4. Infaq haram, Infaq haram berarti mengeluarkan harta dengan tujuan yang
diharamkan oleh Allah seperti: a) Infaqnya orang kafir untuk
menghalangi syiar islam (QS. al Anfal: 36), b) Infaqnya orang Islam
kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah (QS. an Nisa: 38)
Persoalan infak memang dibahas secara sistematis dalam kitab-kitab
Fiqh Islam, namun Al-Qur’an sendiri mempunyai perhatian khusus terhadap

3
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/384/pengertian-zakat-infak-dan-sedekah/
4
http://www.alkhoirot.net/2012/08/perbedaan-zakat-infaq-dan-sadaqah.html#2

4
masalah ini, yang dijelaskan dalam sejumlah ayat-ayatnya sebagai petunjuk
bagi seluruh umat manusia, sudah tentu penjelasan Al-Qur’an tentang infak
harus dipahami dan selanjutnya diamalkan guna mencapai tingkat dan
kualitas manusia yang mendapat ridha Allah Swt.
Untuk maksud tersebut di atas, kajian tafsir Al-qur’an mutlak
dibutuhkan, sehingga maksud Allah Swt yang terdapat di dalam perintah
infak yang telah ditetapkan bagi hamba-hambaNya dapat diketahui. Di
samping itu, hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dikandung oleh
Al-Qur’an tentang infak akan dapat dipahami secara jelas. Dengan
pemahaman ini, seseorang dapat merasakan bahwa Al-Qur’an memuat
konsep-konsep ajaran yang berhubungan erat dengan sistem politik, sosial
dan perilaku moral.

B. PEMBAHASAN
1. EKSISTENSI INFAK DALAM AL-QUR’AN
Dalam al-Qur’an, ditemukan derivasi term-term infaq dengan
pencirian sebagai berikut: term anfaqa terdapat dalam QS. Al-Kahfi: 42, QS.
Al-Hadid: 10, Term anfaqta terdapat dalam QS. Al-anfal: 63. Term
anfaqtum terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 215, QS. Saba’: 39 dan QS.
Mumtahanah: 10. Term anfaqu terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 262, QS al-
Nisa’: 34, 39, QS alRad: 22, QS. Al-Furqan: 67, QS. Fathir: 29, QS. Al-
Hadid: 10 dan QS. Al-Mumtahanah: 10, 11. Term tunfiqu terdapat QS. Al-
Baqarah: 272, 273, QS. Ali Imran: 92, QS. Al-Anfal: 60, QS. Muhammad:
38, QS. Al-Hadid: 10 dan QS. Al-Munafiqun: 7, term tunfiquna terdapat
dalam QS. Al-Baqarah: 267, 272. Term yunfiqu terdapat dalam QS. Al-
Baqarah: 264, QS. Al-Ma’idah: 64, QS. Al-Tawbah: 98, 99, QS. An-Nahl:
75, QS. Al-Thalaq: 7. Term yunfiquna terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 3,
215, 219, 261, 262, 265, 274, QS. Ali Imran: 117, 134, QS. Al-Nisa’: 38,
QS. Al-Anfal: 3, 36, QS. Al-Tawbah: 54, 91, 92, 121, QS. Al-Hajj: 35, QS.
Al-Qashash: 54, QS. Al-Sajadah: 16, QS. Al-Syurah: 38. Term yunfiqunaha
terdapat dalam QS. Al-Anfal: 36, QS. Al-Tawbah: 34. Term anfiqu terdapat

5
dalam QS. Al-Baqarah: 190, 254, 267, QS. Al-Tawbah: 53, QS. Yasin: 47,
QS. Al-Hadid: 7, QS. Al-Munafiqun: 10, QS. Al-Taghabun: 16, QS. Al-
Thalaq: 6. Term nafqah terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 270, QS al-
Tawbah: 121. Term Mufaqatuhum terdapat dalam QS. Al-Tawbah: 54 dan
Term al-Infaq terdapat dalam QS. Al-Isra’: 100.5 Dengan demikian, derivasi
term-term infaq dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 74 kali. Akan tetapi,
tidak semua derivasi term-term infaq diatas bermakna membelanjakan harta
di jalan Allah Swt atau mendermakannya kepada orang lain. Misalnya saja;
term ‫ ينفق‬dalam QS. al-Mâidah (5): 64 bermakna “terbuka”,6 term ‫اإلنفاق‬
dalam QS. al-Isrâ’ (17):100 ber-makna “kekurangan”, term ‫ انفقوا‬dan ‫انفقتم‬
dalam QS. al-Mumtahanah (20): 10.7 Dalam sub bahasan berikut, hanyalah
dikaji ayat-ayat tentang infak dalam arti membelanjakan harta di jalan Allah
swt. atau men-dermakannya kepada orang lain.
Untuk mengetahui eksistensi ayat-ayat tentang infaq yang dimaksud,
maka terlebih dahulu disoroti klasifikasinya, apakah ia Makkiy atau
Madaniy. Disamping itu, dikemukakan pula hal-hal yang melatar belakangi
turunnya ayat yang diistilahkan dengan asbab al-nuzul al-ayah.8 Tetapi,
tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab al-nuzul.9 Karena demikian
halnya, maka tidak semua ayat-ayat tentang infaq yang dikemukakan
berikut disertai dengan asbab al-nuzulnya.

5
Term-term yang dimaksud dapat dilihat dalam Muhammad Fû’ad Abd. al-Bâqy, Al-Mu’jam al-
Mufahras Liy Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm (Cet. II; Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabiy, 1980), h. 886-887.
6
Lihat Muhammad bin ‘Âliy bin Muhammad al-Syaukâniy, Fath al-Qadîr; al-Jâmi’ Bayna Fannay al-
Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, juz I (Cet.I; Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), h. 450.
7
Uraian lebih lanjut mengenai makna-makna yang berderivasi dari term infâq, lihat al-Râgib al-
Ashfahâniy, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Cet. I; Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1412 H./1992 M.), h. 819
8
Secara etimologi kata asbâb al-nuzûl terdiri dari dua suku kata. Yakni, asbâb dan al-nuzûl. Kata asbâb
adalah bentuk jamak dari sabab, di mana kata ini berasal dari huruf sîn dan ba yang berarti memotong dan
memaki. Jadi, sabab berarti tali atau setiap sesuatu yang dapat sampai pada lainnya. Lihat Ibn Mandzur al-
Anshâriy, op. cit., jilid I; h. 440. Sedangkan kata nuzûl adalah bentuk masdar dari kata nazala-yanzilu-nuzûl
yang berarti turunnya atau jatuhnya. Lihat Ibid., jilid XI; h. 48. Jadi, asbâb al-nuzûl di sini adalah sebab-sebab
turunnya ayat dalam pengertian menunjukkan adanya hubungan kausalitas. Menurut terminologi, asbâb al-
nuzûl adalah sesuatu yang melatar belakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu
peristiwa atau menceritakan suatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang terdapat dalam peristiwa itu.
Lihat Dawud al-Attâr, Mu’jaz ‘Ulûm al-Qur’ân diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad
dengan judul Perspektif Baru Ilmu Al-Quran (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 127.
9
Demikian pendapat jumhur mufassirun sebagaimana yang dike-mukakan Abû Husain Ali bin Ahmad
al-Wahidiy al-Naysabûriy, Asbâb al-Nuzûl (t.t.: Maktabah al-Halabiy, t.th.), h. 71.

6
Adapun metode yang terpakai dalam menentukan kriteria ayat-ayat
Makkiyah dan Madaniyah dalam bahasan ini, digunakan beberapa
pendekatan, yaitu:
a. Metode al-Sumâ’iy al-Naqliy, yakni pendekatan yang dilakukan dengan
bersandar pada riwayat-riwayat yang sahih dari sahabat yang
mengeluarkan wahyu (ayat) tersebut atau dengan menyaksikan secara
langsung turunnya ayat, atau dari tabiin yang bertemu langsung dengan
sahabat dan mendengarkan bagaimana cara turunnya ayat dan di mana
tempatnya.
b. Metode al-Qiyâs al-Ijtihâdiy, yakni pendekatan yang didasarkan
kekhususan-kekhususan ayat yang ada pada ayat Makkiyah dan
Madaniyah sehingga jika didapatkan dalam surah Makkiyah yang
menjadi ke-khususan pada surah atau ayat Madaniyah, maka
ditetapkanlah bahwa surat atau ayat tersebut termasuk Madaniyah,
demikian pula sebaliknya.10 Jadi, pendekatan yang digunakan terdiri atas
dua. Yakni, naqliy dan aqliy.

2. Ayat-Ayat Makkiyah
Makkiyah adalah surah atau ayat yang diturunkan sebelum Nabi Saw
hijrah, sekalipun turunnya di luar wilayah Makkah.11 Ciri-ciri ayat-ayat
Makkiyah adalah; (1) dimulai dengan kalimat ‫ …ياأيهاالناس‬atau ‫;…يابنى آدم‬
tauhid, masalah mengandung kebanyakan (3) pendek; ayatnya-ayat (2)12
azab dan nikmat di hari kemudian serta urusan-urusan kebaikan,13 (4)
terdapat kata ‫( ; كال‬5) diawali dengan huruf-huruf “،‫ق‬،‫ ;ألمر“ ن‬kecuali surah
al-Baqarah dan Ali Imran; (6) terdapat ayat-ayat sajadah; (7) terdapat kisah-

10
Disadur dari Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits Fiy ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirur: Mansyûrat Liy al-Ashr al-
Hadîts, 1973), h. 61.
11
Lihat Muhammad Bakri Ismail, Dirâsat Fiy ‘Ulûm al-Qur’ân (Cet.I; Kairo: Dâr al-Manâr, 1991), h.
49.
12
M. Ali Hasan dan Rifa’at Syauqi Nawawi, Pengangar Ilmu Tafsir (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 100
13
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Cet.III; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 56-57.

7
kisah nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali dalam surah al-Baqarah dan
Ali Imran.14
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan ayat-ayat tentang
infak yang tergolong Makkiyah.
1. QS. al-Ra’d (13): 22
 
 
 
 
  
 

 
   
Artinya : Dan orang-orang yang shabar karena mencari keridhaan
Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-
sembunyi atau terang terangan serta menolak kejahatan
dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat
keindahan (yang baik).
Ayat di atas, diturunkan di Mekkah.15 Dengan demikian, ia
tergolong sebagai ayat Makkiyah. Kandungannya mencakup tentang
sikap orang-orang beriman dan amalan-amalan yang al-shalihat, dimana
Allah menjelaskan bahwa sikap orang beriman adalah senantiasa
bersabar dan melaksanakan ibadah wajib, yakni shalat. Adapun amalan
shaleh dalam ayat tersebut adalah menafkahkan rezeki dengan ikhlas,
baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dengan
melaksanakan amalan tersebut Allah Swt memberikan imbalan syurga
yang kelak diperoleh dihari kemudian.
Khusus amalan berinfaq dalam ayat diatas, Sa’id Hawwa
menginterpretasikannya bahwa berinfaq tidak dibatasi oleh ruang

14
Muhammad Bakri Ismâ’il, op. cit., h. 52-53.
15
Abû al-Fidâ Muhammad Ismâ’îl ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Semarang: Toha Putra, t.th.),
h. 498.

8
waktu.16 Maksudnya, amalan seperti ini boleh saja dilakukan siang atau
malam hari, atau kapan saja.
2. QS. al-Kahfi (18): 42.
 
  
   
  
 
  
  
Artinya: Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-
balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) karena biaya
yang telah dibelanjakannya untuk itu, sedang pohon anggur
itu roboh, bersama para-paranya dan dia berkata; “Aduhai
kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan
Tuhanku”.

Ayat diatas, turun di kota Mekkah yang kandungannya berkenaan


dengan penyesalan orang-orang kafir terdahulu yang dibinasakan
hartanya bahkan penyesalannya terbawa sampai di akhirat nanti.17
Karena ayat diatas merupakan pemberian masa lampau maka term infaq
didalamnya berbentuk fi’il madhi, yakni ma anfaqa.
3. QS. al-Furqân (25): 67.
  
  
   
 
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

16
Sa’îd Hawwa, Al-Asâs Fiy al-Tafsîr, jilid III (Cet.II; Mesir: Dâr al-Salâm, 1989), h. 2741

17
Lihat Ahmad Musthâfa al-Marâgit, Tafsîr al-Marâgiy, jilid VII (Mesir: Musthâfa al-Bâby al-
Halaby wa Awlâduh, 1973), h. 56.

9
Ayat di atas, juga tergolong Makkiyah18 dan ayat di atas
memberi-kan informasi bahwa dalam berinfak tidak boleh dengan cara
yang berlebih-lebihan. Demikianlah penjelasan singkat tentang infak
yang termaktub dalam ayat-ayat Makkiyah.

3. Ayat-Ayat Madaniyah
Madaniyah adalah surat atau ayat yang diturunkan sesuadah Nabi
Saw hijrah, sekalipun turunnya di luar wilayah Madinah.19 Ciri-ciri ayat-
ayat Madaniyah adalah; (1) dimulai dengan kalimat 2( ;‫ )ياأيها الذين آمنوا‬ayat-
ayatnya agak panjang; (3) kebanyakan mengandung mu’amalah dan
amalan-amalan sosial kemasyarakatan lainnya; termasuklah di sini masalah
infak yang secara substansial termasuk amalan sosial.
Menurut jumhur al-mufassirûn; semua ayat yang termaktub dalam
QS. al-Baqarah (2); Âli Imrân (3); QS. al-Nisâ (4); … QS. al-Anfâl (8);
mengungkap masalah infak. Dalam QS. al-Baqarah (2), ditemukan 15 ayat,
dalam QS. Ali Imrân (2), ditemukan 1 ayat, dalam QS. al-Nisa (4),
ditemukan 2 ayat dan dalam QS. al-Anfâl (8), ditemukan 1 ayat. Berikut ini,
dikemukakan ayat-ayat yang dimaksud.
1. QS. al-Baqarah (2): 3
 
 
 
  
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka.

18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h 558
19
Lihat Muhammad Bakri Ismail, loc. cit.

10
Ayat di atas, diturunkan secara khusus kepada orang-orang ber-
iman.20 Menurut al-Marâgiy term yunfiqûn pada ayat di atas tidak berarti
infâdz yang berarti hilang secara keseluruhan. Tetapi, infâdz di sini
berarti mencakup nafkah wajib, baik terhadap isteri, anak dan sanak
keluarga.21
2. QS. al-Baqarah (2): 215
 
   
  



 
  
   
  
Artinya: Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapa, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Ayat di atas, turun berkenaan dengan datangnya salah seseorang
sahabat dari kaum Anshâr yang bernama Umar bin al-Jumûh kepada
Nabi Saw yang menyatakan bahwa; Ya rasul! aku memiliki satu dinar,
lalu Nabi Saw menjawab nafkahkanlah untuk dirimu sendiri. Lalu ia
berkata lagi, kalau aku punya dua dinar? Nabi saw. menjawab;
nafkahkanlah sebagian untuk keluargamu. Lalu ia berkata lagi, kalau aku
punya tiga dinar? Nabi Saw menjawab: nafkahkanlah sebagian untuk
kerabatmu....22 lalu turunnya ayat ‫ … يسئلونك ماذا ينفقون‬Dari keterangan
sebab turunnya ayat ini, dapat dipahami bahwa dalam berinfak ternyata

20
Lihat Abiy al-Hasan ‘Âli bin Ahmad al-Wâhidiy al-Naysabûriy Asbâb al-Nuzûl (Jakarta: Dinamika
Berkah Utama, t.th.), h. 12
21
Al-Marâgiy, op. cit., jilid I; h. 66.

22
Uraian secara sempurna dialog di atas, dapat dilihat dalam al-Wâhidiy, op. cit., h. 40.

11
memiliki kriteria-kriteria tertentu. Dalam pengertian bahwa bagi mereka
yang berharta sedikit cukuplah ia berinfak untuk dirinya sendiri atau
keluarganya dan bagi mereka memiliki harta banyak di samping berifak
kepada keluarganya, juga kepada orang lain.
3. QS. al-Baqarah (2): 219
 
   
  
  
 
Artinya: … Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah; “yang lebih baik dari keperluan”.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berpikir.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa khamar
memiliki tahapan-tahapan tentang pengharamannya. Karena demikian
halnya, maka infak dalam ayat juga memiliki tahapan-tahapan. Yakni;
tahap I, untuk diri sendiri; tahap II, untuk keluarga; tahap III, untuk
kerabat dan seterusnya sebagaimana dijelaskan pada QS. al-Baqarah (2):
215 terdahulu.
4. QS. al-Baqarah (2): 254
 
 
   
    
    

Artinya: Hai orang-orang yang beriman belanjakanlah (di jalan Allah)
sebagian rezki yang telah kami berikan kepadamu sebelum
datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak
lagi persahabatan yang akrab dan tidak lagi syafa’at.
Ayat di atas, penulis menemukan asbâb al-nuzul-nya. Tetapi
dapat dijelaskan bahwa ayat tersebut merupakan seruan kepada orang-
orang beriman untuk berinfak. Dalam kaidah Ushul al-Tafsîr dikatakan,

12
semua seruan yang dimulai dengan kalimat ‫… ياايها الذين آمنوا‬ me-
nandakan suatu kewajiban bagi orang-orang beriman, sehingga jelaslah
bahwa ayat ini menjelaskan tentang syariat infak.
5. QS. al-Baqarah (2): 261-265 dan 267.
  
  
  
  
  
   
   
   
 
  
    
    
  
  
  
   
  
  
   
  
  
 
 
  
  
 
  
 
  
 
   
  
    
 
  
 

13
 
  
  
 
 
 
  
   
  
 
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir; seratus biji, Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurniah-Nya) lagi Maha mengetahui. Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-
nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.
Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih
baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi
Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu meng-hilankan (pahala) sedekahamu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti
orang yang me-nafkahkan hartanya karena riya’ kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpaan orang itu seperti batu licin yang
di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat,
lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan

14
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya
karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi
yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya,
maka hujan grimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu perbuat.

QS. Al-Baqarah: 267

 
  
  
  
   
 
  
  
  
  
  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicinkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.
Rangkaian ayat di atas cukup panjang dan sebab turunnya di-
klasifikasi atas dua kasus yakni;

15
1. Ayat 262-266 turun berkenaan dengan datangnya Utsmân bin ‘Affân
dan Abdurrahman bin ‘Auf, kepada Nabi saw. membawa dirham
untuk dinafkahkannya kepada pejuang yang terlibat dalam perang
Tabuk.23 Abdurrahman bin ‘Auf membawa 4.000 dirham dan berkata
ke-pada Nabi saw.; aku memiliki 8.000 dirham lalu seperduanya ini
aku per-sembahkan kepada Allah. Sedangkan Utsmân bin Affân
membawa 1.000 unta. Sikap kedermawanan kedua sahabat tersebut
disambut baik oleh Nabi saw. lalu turunlah ayat ‫الذين ينفقون اموالهم في‬
‫ … سبيل هللا‬dan se-terusnya.24
2. Ayat 267, turun berkenaan adanya ketentuan Nabi saw. tentang jumlah
zakat fitrah yang wajib dikeluarkan. Dalam situasi demikian,
datanglah seorang sahabat membawa zakatnya berupa buah tamar
yang sudah usang, lalu turunlah ayat ‫ياايها الذين آمنوا انفقوا من طيبات ما كسبتم‬
Pada ayat 261, Allah Swt menginformasikan bahwa nafkah
yang diinfakkan di jalan-Nya akan dibalas dengan imbalan pahala
yang berlipat ganda bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir dan terus ber-kembang dan berlimpa ruah. Pada ayat 262-264,
dijelaskanlah bahwa untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda
itu, hendaklah dalam berinfak tidak sertai dengan riya’.
Pada ayat 265-266, kembali dijelaskan bahwa bagi mereka yang
telah berinfak akan mendapatkan keridhaan dan baginya masih diberikan
pahala yang lebih banyak jika dibandingkan pahala yang telah diperoleh-
nya sebagaimana dalam ayat 261 di atas. Pada ayat 267, merupakan
penjelasan tentang wujud dan ciri khas harta benda yang layak untuk
dizakatkan dan diinfakkan.
6. QS. al-Baqarah (2): 270

23
Perang Tabuk terjadi pada tahun 631 M. Terjadinya perang ini sebagai jawaban Nabi saw. atas
serangan Heraclius yang terjadi di antara Madinah dan Damaskus. Ketika itu, Nabi saw. mengangkat Ali bin
Abû Thâlib sebagai panglima perang yang memimpin pasukan + 30.000 orang sahabat dan mereka berhasil
mengalahkan lawan yang jumlah jauh lebih banyak dari pasukan Islam. Uraian lebih lanjut, lihat Syed
Mahmudunnasir, Islam; Its Concepts and History diterjemahkan oleh Adang Efendi dengan judul Islam;
Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. IV; Bandung: Rosdakarya, 1994), 145-146.
24
Lihat al-Wahidiy, op. cit., h. 55.

16
  
   
   
   
 
Artinya: Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu
nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-
orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun
baginya.

Ayat di atas, merupakan motifasi bagi orang-orang beriman untuk


senantiasa berinfak secara ikhlas dalam arti menghindari sikap riya’ yang
tidak mengharap sanjungan manusia.25 Itu disebabkan, karena apa saja
yang diinfakkan Allah swt. pasti mengetahuinya dan akan membalasnya
sesuai dengan ketentuan-Nya.

7. QS. al-Baqarah (2): 272-274


  .......
   
 
   
   
   
 
 
   
   
 
 
  
  
   
   
   
 

25
Demikian penjelasan tentang kandungan ayat di atas yang dikemukakan oleh Hamka, Tafsir al-
Azhar, jus III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h.56

17
 
 
 
  
    
 
Artinya: ..............dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan
janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena
mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang
kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan
cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi;
orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena
memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Mengatahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di
malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-
terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.
Jika ayat-ayat di atas dikaitkan dengan sebab turunnya, maka
berinfak kepada kaum kafir dibolehkan. Sebagai konsekuensi dengan
turunnya ayat ini, maka yang tergolong ahlu kitab di khususnya yang
bermukim di Madinah senantiasa mendapat bantuan nafkah dari orang-
orang Islam.26 Inilah tatanan kehidupan yang Madaniy diajarkan Islam
dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi, Islam mengharapkan bahwa
prioritas utama infak adalah terlebih dahulu bagi sesama agama

26
Lihat Hamka, op. cit., h. 60.

18
khususnya mereka yang fakir sebagaimana dijelaskan dalam ayat 273-
274 yang intinya; berinfak bagi sesama agama diprioritaskan.
Terkait dengan ayat di atas dan ayat-ayat terdahulu, dapatlah
dirumuskan bahwa infak tetap diprioritaskan terlebih dahulu sesama
Islam, khususnya kepada keluarga, orang-orang fakir dan mereka yang
mem-butuhkannya. Setelah itu barulah kepada mereka yang non Islam.
Jadi, pada aspek-aspek tertentu hadis yang disabdakan Nabi saw. tidak
menjadi Mansûkh dengan adanya ayat ini.
8. QS. Âli Imrân (3): 92
  
  
   
    
 
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta
yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Setelah turunnya ayat tersebut menjadikan sahabat sangat antusias


dalam berinfak. Salah satu sahabat dari kaum Anshâr yang bernama Abû
Thalha mempunyai kekayaan satu-satunya yang amat dibanggakan
berupa kebun yang letakknya tidak jauh dari mesjid Madinah. Nabi saw.
kerap kali singgah di kebun itu dan meminum airnya yang sejuk. Karena
pengaruh ayat ini, maka Abû Thalha mem-berikan kuasa kepada Nabi
saw. untuk dinafkahkannya kepada Islam.27 Dengan melihat sikap Abû
Thalha ini, boleh jadi sebagai motifasi bagi segenap umat Islam untuk
senantiasa berinfak.
9. QS. al-Nisâ (4): 34.
  
  

27
Lihat Syihâb al-Dîn al-Sayyid Khumûd al-Alûsiy, Rûh al-Ma’âniy Fiy Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm
Wa al-Sab’u al-Matsâni, jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994 M./1414 H.), h. 318.

19
  
  
  
 
  
 
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena
Allah Swt telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian
yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shaleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada karena Allah telah memelihara (mereka) ............

Ayat di atas, turun berkenaan dengan Sa’îd bin al-Rabi’, di mana


beliau sebagai pemimpin dalam rumah tangganya sangat jarang memberi
nafkah kepada isterinya. Maka Hubaib binti Zaidan (isteri Sa’îd bin al-
Rabi’) mengadukan perihal suaminya di hadapan Nabi saw. Dalam ke-
adaan demikian turunlah ayat diatas.28
Ayat di atas bukan saja menerangkan tentang keunggulan kaum
laki-laki dalam meminpin, tetapi yang lebih penting adalah kewajibannya
untuk mencarikan nafkah bagi kelangsungan hidup keluarganya. Karena-
nya, kaum laki-laki dianggap sebagai pemimpin jika mereka mampu
membiayai kehidupan rumah tangganya.
10. QS. al-Nisa (4): 38
 
 
  
  
   
  
  
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta mereka
karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak

28
Al-Wahidiy, op. cit., h. 155.

20
beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barang siapa
yang mengambil syaitan menjadi temannya, maka syaitan itu
adalah teman yang seburuk-buruknya.
Terdapat kandungan terkait dengan ayat-ayat terdahulu yang
menerangkan tentang cara berinfak yang baik, yakni berinfak bukan
karena riya’.
11. QS. al-Anfâl (8): 3
 
 
  
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan menfakahkan
sebagian rezkinya yang Kami telah berikan kepada mereka.
Ayat di atas, turun dengan rangkaian ayat 1-4 dalam QS. al-Anfâl
(8). Yakni, banyaknya sahabat yang mati syahid dalam perang Badar29
walaupun ketika itu pasukan Islam tetap menang dan mereka berebut
dalam pembagian harta rampasan perang. Dalam kondisi demikian,
turunlah ayat ini,30 yang menerangkan bahwa harta rampasan perang
adalah milik Allah swt dan bagi mereka harus tunduk dengan ketentuan
Nabi saw dalam masalah pembagian rampasan perang. Mereka itulah
orang-orang yang beriman dengan ciri-cirinya antara lain adalah ‫ومما‬
‫ رزقناهم ينفقون‬. yaitu mereka yang menafkahkan hartanya.

4. Analisis Ayat
a. Ayat-ayat Makkiyah
ayat-ayat tentang infaq yang tergolong Makkiyah, memiliki nilai
kerohanian yang sangat mendalam bagi setiap pribadi muslim. Hal tersebut
sesuai dengan pokok kandungan Makkiyah tentang; (1) masalah keesaan
dan keimanan kepada Allah; (2) masalah ancaman dan siksaan di dunia
29
Perang Badar terjadi pada tahun 624 M. Dilatar belakangi oleh kedengkian kaum kafir Quraish di
Mekkah yang melihat kehidupan Islam di Madinah cukup maju. Dengan kedengkian kaum kafir ini, mereka
menghasut para umat Islam dan menawarkan untuk perang …. Maka terjadilah perang Badar. Uraian lebih
lanjut, lihat Mahmudunnasir, op. cit., h. 133.
30
Al-Wahidiy, op. cit., h. 155.

21
maupun di akhirat kelak; dan (3) masalah hal ihwal yang men-jalankan
ritual keagamaan. Jika ayat-ayat infak yang tergolong Makkiyah, dianalisis
secara cermat dan mendalam maka dapat dirumuskan bahwa ayat-ayat
tersebut mengandung masalah keimanan dan masalah balasan.
Dalam QS. al-Ra’ad (13): 22, dijelaskan bahwa sikap keimanan itu
meliputi; (1) sikap sabar menuntut ridha Allah ( ; ‫والذين صبروا اتبغاء (وجه هللا‬
2() mendirikan shalat (‫ ;)واقاموا الصالة‬dan (3) berinfak (‫ ومما (رزقناهم ينفقون‬.
Dikatakan demikian, karena ketiga sikap dan perilaku ini tergolong mulia
dan lahir atas dasar keimanan.31
Sikap shabar yang dimaksud adalah menghindarkan diri dari segala
macam yang diharamkan Allah Swt dan perbuatan dosa yang telah
ditentukan syari’at. Sebagai konsekuensi kesabaran ini, akan menuntun
seseorang untuk mendapat keridhaan Allah Swt. Selanjutnya adalah
melaksanakan shalat. Yakni, mendirikan shalat wajib dan sunnah sesuai
dengan ketentuan syari’at yang melipputi; ketepatan waktu dan rukun-
rukunnya. Yang terakhir adalah berinfaq terhadap keluarga, kerabat-
kerabat dari kaum fakir dn miskin serta mereka yang kesulitan finansial.
Pada QS. al-Kahfi (18): 42, disebutkan bahwa ketidak berimanan
mereka, termasuk di dalamnya enggang menafkahkan rezki ( ‫يقلب كفيه (على‬
‫ما انفق‬, mendorongnya untuk tetap terlarut-larut dalam kedurhakaan dan
tidak mampu mencapai kebahagiaan. Padahal, sudah jelas dikatakan
bahwa sikap dermawan akan mendapatkan kelapangan rezki yang ber-
muara pada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Pada QS. al-Furqân (25): 67, disebutkan bahwa dengan keimanan
seseorang ia terdorong untuk berinfak sesuai kesanggupannya, yang secara
otomatis menghindarkan dirinya dari kekikiran. Dalam hal ini, Islam
menganjurkan kepada pengikutnya agar memenuhi kebutuhan hidupnya

31
Demikian makna shabar dalam QS. al-Ra’d (13): 22. Uraian lebih lanjut lihat Sa’îd Hawwa, op. cit.,
h. 2740.

22
dengan cara yang halal.32 Dengan demikian, berinfak sesuai kesanggupan
dalam ayat di atas tertuju kepada semua orang.
Mengenai balasan bagi mereka yang berinfak, pada penghujung
ayat 22 dalam QS. al-Ra’d (13), Allah menyata-kan ‫الئك لهم عقبى الدار‬
(mereka lah yang mendapat tempat keindahan). Selanjutnya, pada
permulaan ayat dalam QS. al-Kahfi (18) Allah menyatakan ‫( واحيط بثمره‬
dan harta kekayaannya dibinasakan).
Dengan keterangan di atas, diperoleh informasi bahwa bagi mereka
yang senantiasa berinfak berinfak akan memperoleh kebahagiaan kelak,
sedangkan bagi mereka yang enggang berinfak dibinasakan hartanya. Jadi,
ayat-ayat Makkiyah di atas di samping menjelaskan bahwa wujud
keimaman seseorang adalah berinfak dan baginya diberikan kabahagiaan
kelak, dijelaskan pula bahwa mereka yang enggang berinfak akan
mendapat kecaman dan balasan berupa siksaan dari Allah swt.
Demikianlah kandungan secara global ayat-ayat Makkiyah yang me-
nerangkan tentang infak.
b. Ayat-ayat Madaniyah
Ayat-ayat infak yang tergolong Madaniyah di samping tetap
mengandung masalah keimanan dan masalah balasan sebagaimana yang
termuat dalam ayat-ayat Makkiyah terdahulu, juga mengandung masalah-
masalah teknis.
Ayat-ayat infak yang tergolong Madaniyah dan memiliki ke-
terkaitan dengan keimanan adalah; (1) QS. al-Baqarah (2): 3. Dalam ayat
ini, secara jelas menyatakan bahwa orang beriman adalah mereka yang
berinfak; 2( ;. ‫ )الذين يؤمنون … ومما رزقناهم ينفقون‬QS. al-Baqarah (2) 254 yang
secara jelas memerintahkan orang beriman untuk senantiasa berinfak ; ‫ياايها‬
3( ; ‫ )الذين آمنوا انفقوا مما رزقنكم‬QS. QS. al-Baqarah (2): 267 yang secara jelas
memerintahkan untuk berinfak dengan rezki yang baik ; ‫ياايها الذين أمنوا انفقوا‬
4( ; … ‫ )من طيبات‬QS. al-Nisâ (4): 38 secara jelas menyatakan bahwa

32
Muhammad Sa’ami, Al-Mâl Fiy Al-Qur’ân Wa al-Sunnah diterjemahkan oleh Saleh Bahabazi
dengan judul Harta dan Kedudukannya dalam Islam (Jakarta: Ama Press, 1990), h. 38.

23
seseorang yang berinfak dengan riya tidak tergolong sebagai orang
beriman ; ‫ ; والذين ينفقون اموالهم رئاء الناس وال يؤمنون‬dan (5) QS. al-Anfâl (8): 3
secara jelas menyatakan bahwa ciri-ciri orang beriman adalah mendirikan
shalat dan senantiasa berinfak; ‫إنما‬. ‫الذين يقيمون الصالة ومما رزقناهم ينفقون‬
‫ … المؤمنون‬Dari keterangan-keterangan di atas, ditemukan bahwa term-
term âmanû dan yu’minûn selalu bergandengan dengan term-term
yunfiqûn. QS. al-Baqarah (2): 254 dan 267 memerintahkan orang beriman
untuk berinfak, QS. al-Baqarah (2): 3, QS. al-Nisa (4): 38 dan QS. al-
Anfâl (3) mengemukakan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah
berinfak. Dengan demikian, diperintahkannya orang-orang beriman untuk
berinfak karena salah satu tolok ukur keimanan itu adalah berinfak.
Mengenai balasan orang-orang yang berinfak, dalam QS. al-
Baqarah (2): 262, dinyatakan bahwa balasan bagi mereka yang berinfak
adalah pahala di sisi Allah swt.; ‫ لهم اجرهم عند …ربهم‬dan pada ayat 272
dinyatakan; ‫ … إبتغاء وجه هللا‬. Balasan pahala yang dimaksud syurga yang
akan diperolehnya di akhirat nanti. Adapun balasan yang diperoleh di
dunia adalah jaminan Allah swt. terhadap mereka bahwa dengan berinfak
tidak mengakibatkan kefakiran dan kemiskinan.33 Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa dengan berinfak akan mewujudkan balasan
berupa kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa ayat-ayat
tentang infak memiliki korelasi yang sangat erat. Yakni, ayat-ayat
Makkiyah dan Madaniyah salaing ber-munâsabah34 dari segi kandungan.
Adapun masalah lain yang terkandung khusus dalam ayat-ayat
Madaniyah ini adalah masalah teknis. Yakni, dalam berinfak hendaknya
tidak sertai riya’ atau pamer harta (QS. al-Baqarah (2): 261-262); tidak
mengungkit-ngungkit kembali harta yang diinfakkan sehingga menyakit-

33
Lihat Hamka, op. cit., h. 43. Bandingkan dengan Sa’îd Hawwa, op. cit., h. 613.
34
Term munâsabah berasal dari akar kata ‫ ناسب – يناسب – مناسبة‬yang berarti kedekatan. Lihat Lihat al-
Thahit Ahmad al-Zawiy, Al-Tartîb al-Qamûs al-Muhît Ala Tariq al-Misbah al-Munîr Wa Asas al-Balagah,
juz IV (Cet.III; Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h.360. Dari aspek terminologi munâsabah al-ayah adalah ; segi-segi
hubungan antara satu kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat,
atau antara satu ayat dengan surah yang lain. Lihat Mannâ’ al-Qatthân, op. cit., h.97.

24
kan hati yang menerimnya (QS. al-Baqarah (2): 264; barang yang
diinfakkan hendaknya yang baik-baik (QS. al-Baqarah (2): 267.

5. Peranan Infaq dalam Kehidupan


Agama islam merupakan agama yang menekankan keseimbangan
dalam hidup, bukan hanya terfokus atau mementingkan hubungan seorang
hamba dengan Tuhannya (ta’abbudi), melainkan juga bersifat sosial
kemasyarakatan (ijtimaiyyah).35
Umat Islam adalah umat yang mulia, umat yang dipilih oleh Allah
untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala umat.
Tugas umat Islam adalah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur,
tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada.
Kesejahteraan menjadi salah satu prioritas utama umat Islam.
Menurut M. Ali Hasan, pada dasarnya semua orang menginginkan
kehidupan yang layak dan terpenuhi kebutuhan pokoknya. Namun
kenyataannya tidak semua orang berkesempatan menikmati hal itu karena
berbagai faktor, seperti tidak tersedianya lapangan pekerjaan, kemiskinan
atau rendahnya tingkat pendidikan.36 Melalui berbagai cara, Islam
mencoba memberikan solusi sekaligus upaya preventif dalam menghadapi
berbagai persoalan sosial dan ekonomi, seperti larangan menimbun harta
kekayaan dan imbauan berbagi kepada mereka yang membutuhkan
bantuan.
Disebalik infaq ada beberapa manfaat. Pertama, sedekah/infaq
dapat menolak bala’. Bala’ yang banyak menghantam umat manusia
diberbagai belahan dunia, tak dapat dilepaskan dari kealpaan dan kelalaian
manusia. Ada hal yang tidak kita perhatikan yaitu kesenjangan si kaya
dengan si miskin. Kesenjangan sosial ini seringkali berubah menjadi
tragedi sosial yang memilukan. Maka zakat, shadaqah, infaq merupakan
salah satu pionir ajaran Islam yang dapat membebaskan diri dari

35
Fakhruddin, Fiqih dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 193.
36
M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), hal. 1

25
serangkaian bencana. Kedua, zakat, infaq dan shadaqah bisa menjadi obat
penyakit. Tiap penyakit pasti ada obatnya. Berikhtiar menyembuhkan sakit
yang diderita merupakan usaha mulia. Dengan sedekah atau infaq yang
diniatkan untuk kesembuhan selain berguna untuk si sakit juga bermanfaat
bagi mereka yang membutuhkan. Ketiga, sedekah/infaq penyubur pahala.
Jika setiap kebaikan bernilai sedekah, bagaimana halnya dengan sedekah
itu sendiri? Allah telah menyiapkan pundi-pundi pahala untuk tiap
kebaikan, termasuk didalamnya sedekah sebagaimana yang disinggung
dalam QS. Al-Baqarah ayat 261 diatas. Keempat, sedekah/infaq
merupakan pelapang rizki. Sedekah yang kita keluarkan tidak akan
mengurangi harta kita, namun melapangkan rizki yang kita miliki.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya muslim terbesar di
dunia mempunyai peluang yang sangat besar untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya lewat zakat, infaq dan shadaqah. Akan tetapi rasa
kepedulian, dan kesadaran akan zakat, infaq dan shadaqah kepada orang-
orang yang membutuhkan belum sepenuhnya mengetuk hati mereka yang
diberikan rizki lebih dari Allah SWT. Jika rasa kepedulian itu sudah
tertanam kepada para muzakki, pastinya dengan penyaluran zakat, infaq
dan shadaqah kepada orang-orang yang membutuhkan dapat
meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Untuk meningkatkan peran dan fungsi zakat, infaq dan shadaqah
perlu dikembangkan empat prinsip, yaitu prinsip rukun Iman, prinsip
moral, prinsip manajemen, dan prinsip lembaga. Prinsip moral, rukun
iman, lembaga, dapat meningkatkan kepercayaan muzakki untuk
menyalurkan zakat, infaq dan shadaqahnya melalui lembaga-lembaga yang
ada di Indonesia. Sedangkan prinsip manajemen berfungsi
memberdayakan para mustahik, sehingga mereka tergugah untuk
meningkatkan ekonomi dan diharapkan dikemudia hari mereka dapat
menjadi muzakki. Dengan demikian keinginan pemerintah Indonesia untuk
mengentaskan kemiskinan dapat tercapai.

26
C. KESIMPULAN
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadi penderma dan
penolong bagi yang membutuhkan melaui zakat, infaq maupun shadaqah.
Bahkan, zakat dijajarkan sebagai pilar rukun Islam. Hal ini menunjukkan
bahwa menolong orang yang membutuhkan mendapat perhatian besar dalam
ajaran Islam. Sedekah/infaq sendiri mempunyai pengaruh yang sungguh luar
biasa dalam kehidupan di masyarakat.
Perhatian Islam terhadap orang yang tidak mampu begitu besar, tidak
dapat dibandingkan dengan agama manapun, baik dari segi pengarahan
maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Al Quran sebagai pedoman
kehidupan umat Islam sangat memperhatikan permasalahan ini. Di dalamnya
terdapat banyak ayat-ayat yang berisi tentang himbauan untuk memperhatikan
nasib orang-orang miskin.
Umat Islam adalah umat yang mulia, umat yang dipilih oleh Allah
untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala umat. Tugas
umat Islam adalah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan
sejahtera dimanapun mereka berada karena itu kesejahteraan menjadi salah
satu prioritas utama umat Islam.
Untuk meningkatkan peran dan fungsi zakat, infaq dan shadaqah perlu
dikembangkan empat prinsip, yaitu prinsip rukun Iman, prinsip moral, prinsip
manajemen, dan prinsip lembaga. Prinsip moral, rukun iman, lembaga, dapat
meningkatkan kepercayaan muzakki untuk menyalurkan zakat, infaq dan
shadaqahnya melalui lembaga-lembaga yang ada di Indonesia. Sedangkan
prinsip manajemen berfungsi memberdayakan para mustahik, sehingga mereka
tergugah untuk meningkatkan ekonomi dan diharapkan dikemudian hari
mereka dapat menjadi muzakki.

D. DAFTAR PUSTAKA

Abiy al-Hasan ‘Âli bin Ahmad al-Wâhidiy al-Naysabûriy Asbâb al-Nuzûl


(Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.)
Abû Husain Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naysabûriy, Asbâb al-Nuzûl (t.t.:
Maktabah al-Halabiy, t.th.)

27
Abû al-Fidâ Muhammad Ismâ’îl ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
(Semarang: Toha Putra, t.th.)

Ahmad Musthâfa al-Marâgit, Tafsîr al-Marâgiy, jilid VII (Mesir: Musthâfa al-
Bâby al-Halaby wa Awlâduh, 1973

Al-Râgib al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Cet. I; Damsyiq: Dâr al-


Qalam, 1412 H./1992 M.).

Dawud al-Attâr, Mu’jaz ‘Ulûm al-Qur’ân diterjemahkan oleh Afif Muhammad


dan Ahsin Muhammad dengan judul Perspektif Baru Ilmu Al-Quran (Cet. I;
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra,


1989)

Fakhruddin, Fiqih dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang: UIN Malang


Press, 2008).

Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits Fiy ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Mansyûrat Liy al-
Ashr al-Hadîts, 1973)

M. Ali Hasan dan Rifa’at Syauqi Nawawi, Pengangar Ilmu Tafsir (Cet.I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1988).

M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006)
Muhammad Fû’ad Abd. al-Bâqy, Al-Mu’jam al-Mufahras Liy Alfâzh al-Qur’ân
al-Karîm (Cet. II; Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabiy, 1980)

M. Hasbi Ash-Siddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Cet.III; Jakarta: Bulan Bintang,


1993)

Muhammad Bakri Ismail, Dirâsat Fiy ‘Ulûm al-Qur’ân (Cet.I; Kairo: Dâr al-
Manâr, 1991)

Muhammad bin ‘Âliy bin Muhammad al-Syaukâniy, Fath al-Qadîr; al-Jâmi’


Bayna Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, juz I (Cet.I;
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994).

Muhammad Sa’ami, Al-Mâl Fiy Al-Qur’ân Wa al-Sunnah diterjemahkan oleh


Saleh Bahabazi dengan judul Harta dan Kedudukannya dalam Islam
(Jakarta: Ama Press, 1990),
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka,
1989).

28
Sa’îd Hawwa, Al-Asâs Fiy al-Tafsîr, jilid III (Cet.II; Mesir: Dâr al-Salâm, 1989).

Syed Mahmudunnasir, Islam; Its Concepts and History diterjemahkan oleh Adang
Efendi dengan judul Islam; Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. IV; Bandung:
Rosdakarya, 1994).

Syihâb al-Dîn al-Sayyid Khumûd al-Alûsiy, Rûh al-Ma’âniy Fiy Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm Wa al-Sab’u al-Matsâni, jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994
M./1414 H.).

Yusuf Qardawi. 2004. Hukum Zakat. Jakarta : Litera Antar Nusa.


http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/384/pengertian-zakat-infak-dan-
sedekah/

http://www.alkhoirot.net/2012/08/perbedaan-zakat-infaq-dan-sadaqah.html#2

29

Anda mungkin juga menyukai