Bab 3
Bab 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
3.2Epidemiologi
3.3Etiologi1
11
Bakat yang diturunkan: Pengaruh lingkungan :
Asma Alergen
Atopi/ Alergik Infeksi pernapasan
Hipereaktiviti bronkus Asap rokok / polusi udara
Faktor yang memodifikasi Diet
penyakit genetik Status sosioekonomi
Faktor pejamu
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4,IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.
12
Genetik mengontrol respons imun
Faktor Pejamu
Prediposisi genetic
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu
dengan predisposisi asma
a. Alergen di dalam ruangan
Mite domestic
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts)
b. Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts)
c. Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok Perokok aktif
Perokok pasif
13
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan
d. Infeksi pernapasan
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala - gejala asma
menetap
3.4Patogenesis
14
dan penentu rasio antara respon imun Th1 dan Th2 (menurut teori hipotesis
higienis). Analisa keluarga asma mendapat adanya daerah kromosom yang terkait
dengan kepekaan asma, misalnya kecendrungan peningkatan kadar IgE total
dengan hiperesponsif bronkus, dan gen yang mengatur hiperesponsif bronkus
yang terletak dekat lokus mayor yang mengatur kadar total IgE pada kromosom
5q. Penelitian saat ini masih terus berlanjut.3
Terdapat pula gen yang terkait dengan respon terhadap terapi asma.
Misalnya variasi gen yang mengkode β adrenoreceptor terkait dengan respon yang
berbeda terhadap β2 agonist. Terdapat pula gen lain yang bersifat responsif
terhadap kortikosteriod dan penghambat leukotriene.3
3.5 Patofisiologi
Imunopatogenesis, akibat adanya faktor perangsangan dan pencetus ini
terjadi reaksi imun tipe I, II, III dan IV yang diikuti reaksi mediator, inflamasi,
kerusakan jaringan dan gejala klinik. Disebutkan bahwa pada 85% pasien
inflamasi dimulai oleh IgE (asma alergi) dan sisanya oleh proses yang independen
terhadap IgE (asma non alergi). Pada atopi paparan awal terhadap antigen
menimbulkan sensitisasi. Antigen-presenting cell (APC) seperti makrofag
menelan antigen dan mempresentasikannya kepada sel T (Th0) yang kemudian
mengalami diferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 mengeluarkan sitokin antara
lain IL4 dan IL13 yang menyebabkan sel B memproduksi IgE yang spesifik untuk
antigen tersebut.3
Pada respon dini akibat adanya paparan selanjutnya menimbulkan reaksi
Ag-Ab pada permukaan sel mastosit, yang diikuti aktivasi dari sel dan pelepasan
berbagai mediator (histamin dan heparin) serta mediator lain (prostaglandin,
leukotrin, faktor aktifasi trombosit-PAF dan bradikinin). Terjadi efek langsung
berupa bronkokonstriksi dan peningkatan hiperesponsif bronkus. Pelepasan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL6 mengaktifasi limfosit T dan B, yang
merangsang sel mastosit dan menarik eosinofil, sehingga meningkatkan proses
inflamasi.3
Respon lambat terjadi 4-12 jam setelah paparan antigen, berupa dilatasi
vaskuler dan peningkatan permiabilitas kapiler, pembentukkan edema dan
15
akumulasi sel radang. Akibat adanya aktifasi, sel eosinofil melepaskan berbagai
mediator (eosinophilic cation protein-ECP, leukotrin, prostaglandin, histamin)
yang menimbulkan bronkokonstriksi dan perpanjagan hiperesponsif bronkus.
Sekresi sitokin seperti IL3, IL4, IL5 lebih lanjut menimbulkan inflamasi yang
berkelanjutan.8 Dengan demikian proses inflamasi kronik yang kompleks pada
asma ditandai oleh adanya sel radang dan elemen seluler, perubahan struktur
saluran nafas dan peningkatan mediator.
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang
ireversibel pada saluran nafas (airway remodeling) akibat fibrosis subepitelial,
hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi
mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan
fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem,
penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif
secara parsil terhadap obat.3,8
Gambar 1.2 jalur mekanisme inflamasi saluran pernafasan pada asma (alergi dan non-
alergi) 9
16
Gambar 2. Saluran pernafasan normal dan saat eksaserbasi asma10
3.6 Diagnosa
17
2. Pemeriksaan Fisik :
3. Pemeriksaan Penunjang :
Spirometri :1
- ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1< 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1≥ 12% dan ≥ 200 ml menunjukkan
reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) :1
- Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau ≥ 20% ) dengan pemberian
bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau variasi diurnal
dari APE ≥ 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis
asma
- Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau fungsi
paru dalam periode tertentu misal 1 hari (variabilitas diurnal), hari atau
bulanan.
18
Tabel 1.nilai FEV1, PEFR, MMEFR1
19
3.7 Klasifikasi
Tak
No. Karakteristik Terkontrol Terkontrol parsial
terkontrol
Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang
perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas13.
20
Tabel 4.Diagnosis banding asma4
Kategori Kriteria
3.9 Penatalaksanaan
22
Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma
adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara berkala
sebagai respon terhadap tanda – tanda kurangnya kontrol yang ditandai oleh
gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.
Gambar 4. ACT7
23
Gambar 5. ACQ7
Obat Asma
Obat asma dapat digolongkan menjadi pengedali (controller) dan pelega
(reliever).Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk membuat asma
dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi. Reliever adalah
obat yang digunakan bila perlu berdasar efek cepat untuk menghilangkan
bronkokontriksi dan menghilangkan gejalanya.12
Controller Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Short acting b2 agonist (SABA) :
24
inhalasi, oral
Anti IgE
Antikolinergik: Tiotropium
a) Kortikosteroid inhalasi
25
a) Kortikosteroid sistemik
b) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
c) Methylxanthine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
d) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
e) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral.Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise.Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
f) obat-obat anti alergi
26
Tabel 7.Obat-obatan pengontrol asma1
27
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset)
yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan
terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise-induced asthma
Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang gejala bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Theophilin
28
Tahapan pengobatan asma :
Tahap 1.Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat
pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien diberikan obat
penghilang gejala.Adapun yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja
singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral
SABA dan teofilin/aminofilin atau antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2
sampai dengan 5, pengobatan pengontrol teratur jika perlu.14
Tahap 2.Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang
periodik, dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi
sebelumnya, maka diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
penghilang gejala jika perlu.Alternatif pengontrol lainnya adalah anti-leukotrien
bagi pasien yang tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi dan pasien
dengan rhinitis alergika. Selain itu, dapat pula diberikan teofilin lepas lambat
kepada pasien dengan gangguan asma malam hari.14
Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2
selama kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti
kepatuhan, pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi
inhalasi dosis rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang disebut
LABACS. Alternatif lainnya sama dengan tahap 2.14
Tahap 4.Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala
pasien sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien,
komorbiditas, dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana
kortikosteroid inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi.14
Tahap 5.Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan
kortikosteroid oral dosis terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga
diharapkan dapat mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan,
memperpendek hari rawat, dan mencegah kematian.14
29
Gambar 6.Asthma management approach based on control7
3.10 Prognosis
31