Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Asma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik yang ditandai oleh
peran dari banyak sel dan elemen seluler. Peradangan ini berhubungan dengan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan episode berulang kali berupa mengi,
pendek nafas, sesak dada dan batuk yang terutama terjadi pada malam hari atau
dini hari.3
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel
National Istitute of Health (NIH) – National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI). Menurut NHLBI asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas
di mana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinophil, limposit T, makrofag,
neutrophil dan sel epitel.4
Asma adalah sindrom yang ditandai oleh obstruksi aliran udara yang
bervariasi baik secara spontan maupun dengan pengobatan spesifik. Peradangan
saluran napas kronis menyebabkan hiperresponsif napas ke berbagai pemicu, yang
menyebabkan aliran udara obstruksi dan gejala pernafasan termasuk sesak dan
mengi.5

3.2Epidemiologi

Asma merupakan masalah kesehatan dunia.Diperkirakan sebanyak 300


juta orang menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada
berbagai negara.Kejadian asma dipengaruhi factor genetik, lingkungan, umur dan
gender dan terdapat kecenderungan peningkatan insidensinya terutama didaerah
perkotaan dan industri akibat adanya polusi udara.Prevalensi di Indonesia adalah
sebesar 5 – 7 %. PBB memperkirakan disability – adjusted life years ( DALYs )
10
sebanyak 15 juta setiap tahun karena asma, yang merupakan 1% dari beban global
akibat penyakit. Mortalitas sebesar 250.000/tahun yang tidak proporsional dengan
prevalensi penyakit. Polusi menyebabkan peningkatan asma diseluruh dunia.3

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini


jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan
diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada
tahun 2025.6

3.3Etiologi1

Faktor risiko terjadinya asma

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu


(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi

genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,


alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala - gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

 pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu


dengan genetik asma,
 baik lingkungan maupun genetik masing - masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

11
Bakat yang diturunkan: Pengaruh lingkungan :
Asma Alergen
Atopi/ Alergik Infeksi pernapasan
Hipereaktiviti bronkus Asap rokok / polusi udara
Faktor yang memodifikasi Diet
penyakit genetik Status sosioekonomi

Asimptomatik atau asma Dini

Manifestasi Klinis Asma (Perubahan


ireversibel pada struktur dan fungsi jalan
napas

Gambar 8. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

Faktor pejamu

Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai


penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma,
maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip - fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi,

walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4,IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.
12
Genetik mengontrol respons imun

Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen)


mempunyai ciri dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen.
Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II
dan III dan lainnya seperti gen TNF-α. Banyak studi populasi mengamati
hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas II dan
reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15 dengan
respons terhadap alergen Amb av.

Genetik mengontrol sitokin proinflamasi

Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam


berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11,
kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-, mast cell growth factor,
insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi berkesinambungan
menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan
IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.

Faktor Risiko pada asma

Faktor Pejamu
 Prediposisi genetic
 Atopi
 Hiperesponsif jalan napas
 Jenis kelamin
 Ras/ etnik
Faktor Lingkungan Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu
dengan predisposisi asma
a. Alergen di dalam ruangan
 Mite domestic
 Alergen binatang
 Alergen kecoa
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
b. Alergen di luar ruangan
 Tepung sari bunga
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
c. Bahan di lingkungan kerja
 Asap rokok Perokok aktif
 Perokok pasif
13
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan
d. Infeksi pernapasan
 Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala - gejala asma
menetap

 Alergen di dalam dan di luar ruangan


 Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
 Infeksi pernapasan
 Exercise dan hiperventilasi
 Perubahan cuaca
 Sulfur dioksida
 Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-
obatan
 Ekspresi emosi yang berlebihan
 Asap rokok
 Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
Faktor lingkungan

Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah


penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada
awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif
dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.

3.4Patogenesis

Genetik, penelitian menunjukkan banyak gen yang terlibat pada


pathogenesis asma, dan gen yang berbeda terdapat pada etnik yang berkelainan.
Diketahui 4 kelompok pengaruh gen yang utama yang berkaitan dengan
predisposes asma yaitu terhadap produksi IgE spesifik (atopi), ekspresi
hipersponsif, produksi mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, growth factor,

14
dan penentu rasio antara respon imun Th1 dan Th2 (menurut teori hipotesis
higienis). Analisa keluarga asma mendapat adanya daerah kromosom yang terkait
dengan kepekaan asma, misalnya kecendrungan peningkatan kadar IgE total
dengan hiperesponsif bronkus, dan gen yang mengatur hiperesponsif bronkus
yang terletak dekat lokus mayor yang mengatur kadar total IgE pada kromosom
5q. Penelitian saat ini masih terus berlanjut.3
Terdapat pula gen yang terkait dengan respon terhadap terapi asma.
Misalnya variasi gen yang mengkode β adrenoreceptor terkait dengan respon yang
berbeda terhadap β2 agonist. Terdapat pula gen lain yang bersifat responsif
terhadap kortikosteriod dan penghambat leukotriene.3

3.5 Patofisiologi
Imunopatogenesis, akibat adanya faktor perangsangan dan pencetus ini
terjadi reaksi imun tipe I, II, III dan IV yang diikuti reaksi mediator, inflamasi,
kerusakan jaringan dan gejala klinik. Disebutkan bahwa pada 85% pasien
inflamasi dimulai oleh IgE (asma alergi) dan sisanya oleh proses yang independen
terhadap IgE (asma non alergi). Pada atopi paparan awal terhadap antigen
menimbulkan sensitisasi. Antigen-presenting cell (APC) seperti makrofag
menelan antigen dan mempresentasikannya kepada sel T (Th0) yang kemudian
mengalami diferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 mengeluarkan sitokin antara
lain IL4 dan IL13 yang menyebabkan sel B memproduksi IgE yang spesifik untuk
antigen tersebut.3
Pada respon dini akibat adanya paparan selanjutnya menimbulkan reaksi
Ag-Ab pada permukaan sel mastosit, yang diikuti aktivasi dari sel dan pelepasan
berbagai mediator (histamin dan heparin) serta mediator lain (prostaglandin,
leukotrin, faktor aktifasi trombosit-PAF dan bradikinin). Terjadi efek langsung
berupa bronkokonstriksi dan peningkatan hiperesponsif bronkus. Pelepasan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL6 mengaktifasi limfosit T dan B, yang
merangsang sel mastosit dan menarik eosinofil, sehingga meningkatkan proses
inflamasi.3
Respon lambat terjadi 4-12 jam setelah paparan antigen, berupa dilatasi
vaskuler dan peningkatan permiabilitas kapiler, pembentukkan edema dan

15
akumulasi sel radang. Akibat adanya aktifasi, sel eosinofil melepaskan berbagai
mediator (eosinophilic cation protein-ECP, leukotrin, prostaglandin, histamin)
yang menimbulkan bronkokonstriksi dan perpanjagan hiperesponsif bronkus.
Sekresi sitokin seperti IL3, IL4, IL5 lebih lanjut menimbulkan inflamasi yang
berkelanjutan.8 Dengan demikian proses inflamasi kronik yang kompleks pada
asma ditandai oleh adanya sel radang dan elemen seluler, perubahan struktur
saluran nafas dan peningkatan mediator.
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang
ireversibel pada saluran nafas (airway remodeling) akibat fibrosis subepitelial,
hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi
mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan
fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem,
penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif
secara parsil terhadap obat.3,8

Gambar 1.2 jalur mekanisme inflamasi saluran pernafasan pada asma (alergi dan non-
alergi) 9

16
Gambar 2. Saluran pernafasan normal dan saat eksaserbasi asma10

3.6 Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


1. Anamnesa :1
 Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
 Riwayat asma sebelumnya
 Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
 Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu
binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah, obat
– obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang kuat
 Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma

17
2. Pemeriksaan Fisik :

Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan


ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat.1
a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut
tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),
takikardia, dan pulsus paradoksus.11
b) PemeriksaanThorak4
Pemeriksaandapat mengungkapkan bahwapasien yang mengalamiserangan
asma dapat dijumpai:
 Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi
suprasternal).
 Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus.
 Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan.
 Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing.

3. Pemeriksaan Penunjang :
 Spirometri :1
- ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1< 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1≥ 12% dan ≥ 200 ml menunjukkan
reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
 Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) :1
- Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau ≥ 20% ) dengan pemberian
bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau variasi diurnal
dari APE ≥ 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis
asma
- Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau fungsi
paru dalam periode tertentu misal 1 hari (variabilitas diurnal), hari atau
bulanan.

18
Tabel 1.nilai FEV1, PEFR, MMEFR1

 Pengukuran Status Alergi11

Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat dilakukan


pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil.Uji ini
dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat dilakukan
pencegahan terarah. Umumnya dilakukan skin prick test. Namun, uji ini dapat
menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu.Sehingga konfirmasi pajanan
alergen dengan timbulnya gejala harus selalu dilakukan.
 Analisa Gas Darah11

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat.Pada fase awal


serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada
stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-
kapnea.Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 ≥ 45
mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
 Foto Thoraks11
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain
yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

19
3.7 Klasifikasi

Berdasar keadaan terkontrol asma dibagi menjadi : terkontrol, terkontrol


parsial dan tidak terkontrol.12

Tabel 2. Derajat asma berdasarkan keadaan terkontrol12


A. Penilaian Terhadap Kontrol Klinis Terkini ( sebaiknya > 4 minggu )

Tak
No. Karakteristik Terkontrol Terkontrol parsial
terkontrol

1 Gejala siang ≤ 2x/minggu > 2 x/minggu

2 Hambatan aktivitas Tidak ada ada 3 atau


lebih
Gejala malam/bangun keadaan
3 Tidak ada ada
waktu malam terkontrol
parsial
4 Perlu reliever ≤ 2 x/minggu > 2 x/minggu pada tiap
– tiap
< 80% prediksi
Fungsi paru minggu
5 normal atau hasil terbaik
(PEFR/FEV1)
(bila ada)

Tabel 3.Derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa2

3.8 Diagnosa Banding

Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang
perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas13.

20
Tabel 4.Diagnosis banding asma4
Kategori Kriteria

Penyakit penyebab sesak berulang PPOK, penyakit jantung coroner, GERD,


gagal jantung kongestif, emboli paru

Penyakit yang menimbulkan batuk Rhinitis, sinusitis, otitis, bronkiektasis

Penyakit yang sering menimbulkan PPOK, bronkiolitis obliterans, cystic


obstruksi saluran nafas fibrosis

3.9 Penatalaksanaan

GINA ( 2011 ) mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan


untuk mencapai dan mempertahankan kontrol asma :7
1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien
Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien,
dan melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang perlu
mereka kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien dapat aktif
merawat diri sendiri yaitu bila ia telah mampu :
 Menghindari faktor resiko
 Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah
ditentukan
 Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega
 Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF meter
 Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya
 Konsultasi bila diperlukan
2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha
menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya seperti diuraikan
mengenai faktor pencetus asma.Pasien tetap melakukan olah raga sesuai
kamampuannya dan bila perlu sebelum olah raga terlebih dahulu menggunakan
obat asma.
3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma
21
Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar
yang dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi kontrol/beratnya
asma, tempat perawatan dan tingkat terapi yang diberikan pada pasien yang
datang ke klinik asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut terapi pasien
ditentukan berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat pulang untuk berobat.

Gambar 3. Algoritma tata laksana asma secara umum1

4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma


Pasien kontrol 1 – 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali. Bila
adaeksaserbasi kontrol tiap 2 – 4 minggu, ditanyakan mengenai hasil kontrol asma
yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter secara benar
atau adanya masalah lain pada pasien.
Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu ditingkatkan
regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian, sedangkan bila
terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkah terapi secara
perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat mengontrol.

22
Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma
adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara berkala
sebagai respon terhadap tanda – tanda kurangnya kontrol yang ditandai oleh
gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.

Gambar 4. ACT7

23
Gambar 5. ACQ7

 Obat Asma
Obat asma dapat digolongkan menjadi pengedali (controller) dan pelega
(reliever).Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk membuat asma
dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi. Reliever adalah
obat yang digunakan bila perlu berdasar efek cepat untuk menghilangkan
bronkokontriksi dan menghilangkan gejalanya.12

Tabel 5.Obat-obatan dalam penatalaksanaan asma12

Controller Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Short acting b2 agonist (SABA) :
24
inhalasi, oral

Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik

Long acting b2 agonist (LABA) : inhalasi, Antikolinergik : Ipratropium br,


oral oxitropium

Chromolin: Sodium cromoglycate dan Teofilin


Nedocromil
Teofilin lepas lambat

Anti IgE

Antikolinergik: Tiotropium

 Obat pengendali ( Controller )11


Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk
mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses
inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada
asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang
mempunyai sifat sebagai pencegah, antara lain

a) Kortikosteroid inhalasi

Tabel 6. Obat dan Dosis Kortikosteroid Inhalansi untuk dewasa7

25
a) Kortikosteroid sistemik
b) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
c) Methylxanthine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
d) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
e) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral.Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise.Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
f) obat-obat anti alergi

26
Tabel 7.Obat-obatan pengontrol asma1

 Penghilang gejala (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,


memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk penghilang
gejala adalah.11
 Agonis beta2 kerja singkat

27
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset)
yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan
terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise-induced asthma
 Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang gejala bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain.
 Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
 Theophilin

Tabel 8.Obat-obat reliever asma1

28
 Tahapan pengobatan asma :
Tahap 1.Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat
pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien diberikan obat
penghilang gejala.Adapun yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja
singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral
SABA dan teofilin/aminofilin atau antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2
sampai dengan 5, pengobatan pengontrol teratur jika perlu.14
Tahap 2.Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang
periodik, dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi
sebelumnya, maka diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
penghilang gejala jika perlu.Alternatif pengontrol lainnya adalah anti-leukotrien
bagi pasien yang tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi dan pasien
dengan rhinitis alergika. Selain itu, dapat pula diberikan teofilin lepas lambat
kepada pasien dengan gangguan asma malam hari.14
Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2
selama kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti
kepatuhan, pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi
inhalasi dosis rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang disebut
LABACS. Alternatif lainnya sama dengan tahap 2.14
Tahap 4.Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala
pasien sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien,
komorbiditas, dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana
kortikosteroid inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi.14
Tahap 5.Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan
kortikosteroid oral dosis terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga
diharapkan dapat mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan,
memperpendek hari rawat, dan mencegah kematian.14

29
Gambar 6.Asthma management approach based on control7

3.10 Prognosis

Asma biasanya kronis , meskipun kadang-kadang masuk ke periode


panjang remisi . Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat
keparahan.Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang , asma dapat meningkatkan
dari waktu ke waktu , dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala. Bahkan
dalam beberapa kasus yang parah , orang dewasa mungkin mengalami perbaikan
tergantung pada derajat obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu dan efektivitas
pengobatan.15
Pada sekitar 10 % kasus persisten berat , perubahan dalam struktur dinding
saluran udara menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam fungsi paru-
paru , bahkan pada pasien yang diobati secara agresif .Fungsi paru-paru menurun
lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma , terutama pada mereka
yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir yang berlebihan
(indikator kontrol perlakuan buruk).Kematian dari asma adalah peristiwa yang
relatif jarang dan kematian asma yang paling dapat dicegah.Hal ini sangat jarang
30
orang yang menerima perawatan yang tepat untuk mati asma . Namun, bahkan
jika tidak mengancam nyawa , asma dapat melemahkan dan menakutkan . Asma
yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah dan bekerja , serta
kegiatan sehari-hari.15

31

Anda mungkin juga menyukai