Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN


SECARA BOLUS INTRAVENA

Selasa, 24 April 2018


Kelompok 4 Kelas B
Pukul 10.00-13.00 WIB

Nama NPM Tugas


1. Iis Nuraeni 260110150073 Prinsip, Alat Bahan
2. Ruth Anneke P 260110150074 Pembahasan
3. Asri Putri Maidi 260110150075 Data Pengamatan, Perhitungan
4. Esther Aprillia 260110150076 Pembahasan
5. Pramesthi Indah W 260110150077 Editor, Tuj, Prosedur, Simp.
6. Irfan Hadi S 260110150078 Data Pengamatan, Perhitungan
7. Lestia Anggraeni 260110150079 Teori Dasar
8. Alyanada Nurafifah 260110150081 Teori Dasar
9. Rehyan Prayogo 260110150082 Pembahasan

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN
SECARA BOLUS INTRAVENA

I. TUJUAN
1.1.Memahami proses in vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah
pemberian obat secara bolus intravena
1.2.Mampu memplotkan data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala
logaritmik
1.3.Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang
berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena

II. PRINSIP
2.1.Kompartemen Ekstraselular
Cairan ekstraselular terdiri dari plasma dan cairan interstitial, dimana
cairan interstitial lebih banyak junlahnya (4/5 dari cairan ektraselular)
dibandingkan plasma (1/5 dari cairan intraselular). Selain itu, terdapat pula
di tempat lain tetapi jumlahnya sangat sedikit, yaitu cairan selebrospinal,
cairan intraocular, cairan sendi, cairan pericardial, cairan intrapeura, cairan
intraperitoneal, dan cairan pencernaan (Sherwood, 2013).
2.2.Kompartemen Intraselular
Dua pertiga dari total cairan tubuh berasa dalam ruang intraselular, lebih
banyak dibandungkan yang berada dalam ruang ekstraselular. Cairan
intraselular dikenal sebagai sitosol atau matriks sitoplasma, yang merupakan
cairan dengan banyak property untuk memastika proses seluler (Sherwood,
2013).
2.3.Bolus Intravena
Injeksi intravena (bolus) adalah pemberian obat dengan cara
memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena atau melalui karet selang
infus dengan menggunakan spuit. Sedangkan pembuluh darah vena adalah
pembuluh darah yang menghantarkan darah ke jantung. Injeksi intravena
bertujuan untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorpsi dari pada
dengan injeksi perenteral lain, menghindari terjadinya kerusakan jaringan
serta memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar (Ambarwati, 2009).

III. TEORI DASAR


Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat dan produk obat
bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat – sifat fisiko kimia dari
produk obat dan efek farmakologik atau efek klinik (Shargel, 2012).
Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang
mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini
berarti, biofarmasetika melibatkan faktor – faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari suatu produk obat, laju pelarutan dan akhirnya
bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika absorbsi
obat, distribusi dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme) uraian distribusi
dan eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat (Shargel, 2012).
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada
pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik
tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular
umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi
sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan
protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya
didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian
dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui
organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses
ini berjalan serentak (Zunilda,.dkk, 1995).
Untuk obat yang diberikan secara injeksi intravena, semua obat akan
masuk sekaligus ke dalam sistem peredaran darah, kemudian jumlah obat dalam
darah akan menurun karena obat mengalami proses distribusi dan eliminasi
(metabolisme dan ekskresi). Untuk obat yang diberikan secara infus, kadar obat
dalam darah akan naik secara perlahan-lahan sesuai dengan kecepatan infus,
dan akan naik terus sampai infus dihentikan atau sampai suatu saat di mana
kecepatan eliminasi sama dengan kecepatan infus. Setelah infus dihentikan,
kadar obat akan turun kembali seperti halnya setelah pemberian secara injeksi
intravena. Sedangkan pada pemberian ekstravaskular (oral, rektal, dan lain-
lain), obat akan masuk ke dalam sistem peredaran darah secara perlahan-lahan
melalui suatuproses absorpsi sampai mencapai puncaknya, kemudian akan
turun (Sriwidodo, 1985).
Di dalam proses farmakokinetik obat, dikenal istilah profil
farmakokinetik fisiologi, yaitu distribusi senyawa tersebut dalam jaringan atau
organ tertentu yang diterangkan berdasarkan model fisiologis. Penentuan profil
farmakokinetis suatu obat penting karena dengan mengetahui profil
farmakokinetisnya di dalam jaringan atau organ akan diperoleh banyak
informasi yang bermanfaat terutama untuk terapi penyakit tertentu (Wijayanti,
2007).
Dalam merancang penggambaran dinamika obat di dalam tubuh dikenal
istilah model farmakokinetik. Dari model farmakokinetik dapat dikembangkan
model matematika dengan persamaan differensial sehingga dapat
menggambarkan dinamika obat di dalam tubuh. Namun, tubuh manusia terdiri
dari jaringan-jaringan yang komplesk dan sulit untuk diubah menjadi suatu
model/sistem. Dengan demikian ada suatu model yang lebih sederhana yang
dapat merepresentatifkan model tubuh yang disebut model kompartemen.
Model kompartemen ini dikenal dengan 2 macam, yaitu satu kompartemen dan
dua kompartemen (Handari, 2006).
Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai
perubahan kadar obat di dalam plasma mencerminkan perubahan yang
sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak
menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama
pada berbagai waktu. Selain itu, konsentrasi obat dalam tubuh tidak dapat
ditentukan secara langsung, tetapi dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh
seperti darah (Hasibuan, 2008).
Persamaan kinetika obat dalam darah pada pemberian bolus intravena
dengan satu dosis D yang mengikuti model satu kompartemen diberikan dengan
persamaan :
C1 = C0 e-k.t
Dimana C1 adalah kadar obat dalam waktu t, C0 adalah kadar obat pada waktu
0,k atau ke adalah konstanta kecepatan eliminasi obat.
Dengan menggunakan kadar obat pada berbagai waktu, harga C0 dan k
dapat dihitung dengan cara regresi linier setelah persamaan ditransformasikan
ke dalam nilai logaritmik :
InC1 = InC0 – k.t.
Bolus IV umumnya digunakan ketika kerja yang cepat dari obat yang
dibutuhkan, seperti dalam keadaan darurat, ketika obat-obatan yang tak dapat
dicairkan, seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker dan ketika tujuan terapi
untuk mencapai tingkat kadar obat maksimum dalam aliran darah pasien. Bolus
IV biasanya tidak digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja
jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja paru-paru, atau edema
sistemik. Pasien tersebut mengalami penurunan toleransi terhadap obat
(Wulansari, 2009)

Parameter farmakokinetik dibagi menjadi:


 Parameter primer
Merupakan parameter yang harganya dipengaruhi secara langsung oleh
variabel fisiologis, yaitu
a) Clearance (Cl)
Menunjukkan berapa banyak urin yang dikeluarkan per waktu /
kemampuan mengeliminasi (satuannya: volume/waktu). Parameter
ini dipengaruhi oleh ginjal.
Rumus :
𝐶𝑙 = 𝐾𝑒 𝑥 𝑉𝑑
Dimana :
Ke : Konstanta eliminasi
Vd : Volume distribusi
b) Volume distribusi (Vd)
Menggambarkan volume teoritis dimana obat terdistribusi pada
plasma darah.
Rumus:
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
𝑉𝑑 =
𝐶𝑝𝑜
Dimana :
Do : Dosis
Cpo : Kadar
*hanya untuk 1 kompartemen terbuka.
c) Tetapan Kecepatan absorbsi (Ka) dipengaruhi oleh enzim, luas
permukaan, fili dan fisiologi usus
 Parameter sekunder, dipengaruhi oleh parameter primer
a) Waktu paruh (t1/2)
Jika terjadi gangguan pada ginjal yang menyebabkan clearance
terganggu maka waktu paruh juga terpengaruh. Jika Clearance naik,
maka t1/2 turun -> karena obat cepet dieksresi. Jika Clearance turun,
maka t1/2 naik -> karena obat lama dieksresi.
Rumus :
0.693
𝑡1/2 =
𝐾𝑒
Dimana :
Ke : Konstanta eliminasi
b) Parameter turunan,
Parameter ini dipengaruhi oleh parameter primer, sekuinder maupun
besaran lain misalnya Area Under Curve (AUC) yang dipengaruhi
oleh Clearance. Jika fungsi eliminasi turun maka AUC akan naik
dan sebaliknya. Klirens dan Volume distribusi merupakan
parameter farmakokinetika primer yang nilainya di pengaruhi
langsung oleh variabel biologis (Shargel, 2005).

IV. ALAT DAN BAHAN


4.1.Alat
a. Beaker glass
b. Buret
c. Gelas ukur
d. Klem dan statif
e. Labu ukur
f. Neraca analitik
g. Pipet ukut
h. Pipet volume
i. Syringe
j. Spektrofotometer UV-Vis
k. Vial
l. Wadah uji in vitro
4.2.Bahan
a. Aquades
b. CTM
V. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
5.1.Data Pengamatan
a. Pembuatan Kurva Baku CTM
Pembuatan larutan stok CTM Pembuatan CTM 40 ppm
100 ppm V1 ∙ N1 = V2 ∙ N2
V = 100 mL V1 ∙ 100 ppm = 20 mL ∙ 40 ppm
C = massa/volume V1 = 8 mL
100 = massa/100
Massa CTM = 10 mg dilarutkan
dalam 100 mL aquadest
Pembuatanlarutan CTM 35 ppm Pembuatanlarutan CTM 30 ppm
V1 . N1 = V2 . N2 V1 . N1 = V2 . N2
V1 x 100 ppm = 20 mL x 35ppm V1 x 100 ppm = 20 mL x 30 ppm
V1 = 7 mL V1 = 6 mL
Pembuatanlarutan CTM 25 Pembuatanlarutan CTM 20 ppm
V1 . N1 = V2 . N2 V1 . N1 = V2 . N2
V1 x 100 ppm = 20 mL x 25 V1 x 100 ppm = 20 mL x 20 ppm
ppm V1 = 4 mL
V1 = 5 mL

b. Tabel Absorbansi Larutan Baku CTM


Konsentrasi Absorbansi Rata-Rata
1 2 3
20 0,2795 0,2793 0,2781 0,2789
25 0,3487 0,3485 0,3475 0,3482
30 0,4256 0,4256 0,4241 0,4251
35 0,4856 0,4855 0,4838 0,4849
40 0,5534 0,5555 0,55222 0,5537
Rata-Rata
0.6 0.5537
0.4849
0.5 y = 0.0137x + 0.0064
0.4251 R² = 0.9987
Absorbansi 0.4 0.3482
0.2789
0.3
Rata-Rata
0.2 Linear (Rata-Rata)

0.1

0
0 10 20 30 40 50
konsentrasi

5.2.Perhitungan
a. Absorbansi sampel
t Absorbansi
Rata-rata
(menit) 1 2 3
15 0.9468 0.9457 0.9453 0.9459
30 0.758 0.7649 0.7593 0.7607
45 0.858 0.855 0.8521 0.8550
60 0.6518 0.653 0.6505 0.6517
75 1.0275 1.0211 1.0232 1.0239
Rata-rata
1.2000
1.0239 y = 0.0003x + 0.8334
0.9459
1.0000 0.8550 R² = 0.0026
0.7607
0.8000
Absorbansi
0.6518
0.6000
Rata-rata
0.4000
Linear (Rata-rata)
0.2000

0.0000
0 20 40 60 80
Waktu

b. Perhitungan Kadar
15 menit 30 menit
y = 0,0137x + 0,0077 y = 0,0137x + 0,0077
0.9459 = 0,0137x + 0,0077 0.7607 = 0,0137x + 0,0077
x = 63.43 ppm x = 49.91 ppm
x = 63.43 ppm x fp x = 49.91 ppm x fp
x = 634.3 ppm x = 499.1 ppm
kadar sampel kadar sampel
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
kadar awal kadar awal
634.3µg 499.1µg
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
10000µg 10000µg
% kadar = 6.34 % % kadar = 4.99 %

45 menit 60 menit
y = 0,0137x + 0,0077 y = 0,0137x + 0,0077
0.8550 = 0,0137x + 0,0077 0.6518 = 0,0137x + 0,0077
x = 56.79 ppm x = 41.95 ppm
x = 56.79 ppm x fp x = 41.95 ppm x fp
x = 567.9 ppm x = 419.5 ppm
kadar sampel kadar sampel
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
kadar awal kadar awal
567.9µg 419.5µg
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
10000µg 10000µg
% kadar = 5.68 % % kadar = 4.2 %

75 menit
y = 0,0137x + 0,0077
1.0239 = 0,0137x + 0,0077
x = 69.12 ppm
x = 69.12 ppm x fp
x = 691.2 ppm
kadar sampel
%kadar = × 100%
kadar awal
691.2µg
%kadar = × 100%
10000µg
% kadar = 6.91 %

c. Table % Kadar Sampel


Waktu Kadar %kadar
(µg/ml) (%)
15 634.3 6.34
30 499.1 4.99
45 567.9 5.68
60 419.5 4.20
75 691.2 6.91
Kadar
800.0
691.2
700.0 634.3
567.9
600.0 499.1 y = 0.2289x + 552.09
Kadar 500.0 419.5 R² = 0.0026
400.0
Series1
300.0
Linear (Series1)
200.0
100.0
0.0
0 20 40 60 80
Waktu

d. Perhitungan Parameter Farmakokinetik


Kurva ln C terhadap Waktu
Waktu Kadar (µg/ml) ln C

15 634.3 6.452456
30 499.1 6.212757
45 567.9 6.341959
60 419.5 6.039153
75 691.2 6.538418
ln C
6.6 6.538417953

6.5 6.452455666
y = -1E-05x + 6.3175
6.4 6.341958628
ln C R² = 2E-06
6.3
6.212757238 ln C
6.2
Linear (ln C)
6.1 6.039153421

6
0 20 40 60 80
Waktu

Persamaan didapat :
y = -05x + 6.3175
Slope = -0.05
b = 6.3175

Konsentrasi awal Volume distribusi Konstanta eliminasi (K)


(C0) (Vd) −𝑘
𝑆𝑙𝑜𝑝𝑒 =
Cp = C0 x ekt 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 2.303
𝑉𝑑 = −𝑘
𝐶0
117.51 = C0 X 0.05µ𝑔/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 =
10000 2.303
e0.115x1 𝑉𝑑 = 𝜇𝑔
104.91 −𝑘 = 0.05µ 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 ×
117.51 = C0 x 1.12
𝑉𝑑 = 95.3197 2.303
C0 = 104.91 µg
𝑉𝑑 = 0.095 𝐿 𝜇𝑔
−𝑘 = 0.115
𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
Waktu Paruh (t1/2) Clearence (Cl)
0.693 𝐶𝑙 = 𝑉𝑑 × 𝐾
𝑡1/2 =
𝑘
𝑡1/2 𝐶𝑙
0.693 = 0.095𝐿
= 𝜇𝑔
0.115 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝜇𝑔
× 0.115
𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝜇𝑔𝐿
𝑡1/2 𝐶𝑙 = 0.0109
𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 6.0261 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡

VI. PEMBAHASAN
Dalam memahami permodelan farmakokinetika, dapat dilakukan
simulasi secara in vitro. Model kompartemen satu terbuka merupakan model
yang umumnya digunakan untuk permodelan farmakokinetika. Pada praktikum
kali ini dilakukan simulasi in vitro model kompartemen satu terbuka dengan
reaksi orde ke satu. Percobaan simulasi model in vitro farmakokinetik obat
secara bolus intravena ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami proses in
vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara
bolus intravena, memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala
semilogaritmik, serta menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat
yang berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena. Dalam metode
ini, suatu wadah digambarkan sebagai kompertemen tubuh di mana obat
mengalami profil farmakokinetik dari distribusi hingga eliminasi.
Digunakannya satu wadah berfungsi sebagai ilustrasi model kompartemen satu
terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam
plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam
jaringan.
Secara garis besar, obat dapat diberikan secara ekstravaskular (di luar
pembuluh darah seperti oral, injeksi intramuskular, rektal, dsb) dan
intravaskular (langsung masuk ke dalam pembuluh darah). Pada rute pemberian
intravaskular, volume obat yang diberikan dapat diberikan dengan dua cara,
yaitu secara sekaligus atau bolus (misalnya injeksi intravena), atau secara
kontinu dengan kecepatan yang konstan (misalnya infus). Pada pemberian obat
secara intravena, di dalam tubuh obat tidak akan melalui proses absorpsi karena
obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga dapat langsung terdistribusi
ke jaringan. Sebaliknya, pada rute pemberian ekstravaskular obat akan
diabsorpsi masuk ke dalam pembuluh darah terlebih dahulu baru kemudian
didistribusikan. Parameter farmakokinetik yang dapat diukur dari percobaan ini
yaitu konsentrasi obat pada waktu 0 (C0), konstanta kecepatan eliminasi obat
(k), volume distribusi (Vd), klirens (Cl), dan waktu paruh eliminasi (t1/2).
Pemberian secara bolus intravena berarti bahwa konsentrasi obat dalam
darah pada waktu awal pemberian adalah yang tertinggi dan kemudian akan
menurun seiring dengan bertambahnya waktu dikarenakan adanya proses
distribusi. Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (IV
bolus), seluruh dosis obat akan segera masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu,
laju absorpsi obat diberikan dalam perhitungan. Injeksi bolus intravena sendiri
adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh
darah vena atau melalui karet selang infus dengan menggunakan spuit.
Sedangkan pembuluh darah vena adalah pembuluh darah yang menghantarkan
darah ke jantung. Injeksi intravena bertujuan untuk memperoleh reaksi obat
yang cepat diabsorpsi dari pada dengan injeksi perenteral lain, menghindari
terjadinya kerusakan jaringan, serta memasukkan obat dalam jumlah yang lebih
besar.
Bolus IV umumnya digunakan ketika dibutuhkan kerja yang cepat dari
obat, seperti dalam keadaan darurat, ketika obat-obatan tidak dapat dicairkan
(seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker), dan ketika tujuan terapi adalah
untuk mencapai tingkat kadar obat maksimum dalam aliran darah pasien. Bolus
IV biasanya tidak digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja
jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja paru-paru, atau edema
sistemik. Hal ini dikarenakan pasien tersebut mengalami penurunan toleransi
terhadap obat.
Pada percobaan ini, obat yang digunakan sebagai bahan uji adalah
CTM. Tahap awal dari percobaan ini dilakukan dengan pembuatan larutan baku
CTM dengan variasi konsentrasi, yaitu 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm. Larutan baku
ini digunakan untuk menentukan persamaan linier melalui kurva baku yang
akan diperoleh. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan pembuatan larutan
sampel CTM dengan konsenrasi 1 mg/ml sebanyak 5 ml. Larutan dibuat dengan
melarutkan 5 mg CTM dalam 5 ml aquades. Profil zat aktif yang digunakan
untuk dijadikan sediaan injeksi intravena harus diperhatikan, seperti data
kelarutan zat aktif, karena syarat dari sediaan injeksi ialah zat aktif harus
terdispersi secara molekular.
Model kompartemen ini harus dilakukan menyerupai keadaan tubuh
manusia yang sebenarnya. Keadaan tubuh manusia dibuat dengan cara
menyiapkan buret yang berisi aquades dan gelas beaker berisi aquades dengan
suhu 37oC. Buret yang berisi air diilustrasikan sebagai cairan yang masuk atau
dikonsumsi (intake), gelas beaker dalam simulasi ini digambarkan sebagai
pembuluh darah dan aquades 250 ml diilustrasikan sebagai darah dalam tubuh
manusia. Suhunya diatur menjadi 37oC dengan cara dipanaskan di hot plate
atau pemanas portabel spiral dan dipastikan dengan termometer agar
menyerupai suhu tubuh. Dengan demikian, beaker glass yang berisi aquades
dengan suhu 37°C menggambarkan kondisi darah ketika sediaan injeksi
intravena diadministrasikan, di mana saat diinjeksikan, konsentrasi obat adalah
yang tertinggi. Lalu CTM dimasukkan ke dalam media (aquades), di mana
CTM digambarkan sebagai zat obat dengan pemberian secara injeksi bolus
intravena. Dengan terkandungnya 5 ml CTM 1000 ppm yang ditambahkan
dalam 250 ml aquades, diperkirakan dalam akuades akan terdapat CTM dengan
konsentrasi 19 ppm.
Obat yang telah berada di dalam saluran darah akan langsung
mengalami proses eliminasi. Proses elimasi digambarkan dengan membuka
buret dan keran beaker glass, cairan yang keluar dari beaker glass ditampung di
beaker glass lainnya. Proses tersebut menggambarkan ekskresi cairan dari
dalam tubuh. Setelah obat diadministrasikan, konsentrasi dalam darah akan
berkurang per interval waktu, dan aquades yg keluar dari buret dan masuk ke
wadah penampung akan menggantikan volume aquades yg keluar dari wadah
penampung. Banyaknya cairan yang masuk dan keluar dari beaker glass harus
sama dan dilakukan pada waktu yang sama. Hal ini dilakukan karena sistem
peredaran darah manusia adalah sistem peredaran darah tertutup, sehingga
volume cairan (darah) akan konstan, di mana yang berubah adalah konsentrasi
obat dalam darah. Diambil 5 ml sampel dari gelas beaker larutan CTM dan
digantikan volume yang telah diambil tersebut dengan aquades sebanyak 5 ml
untuk mencegah penjenuhan larutan. Pengambilan cuplikan dilakukan pada
pada menit ke 15, 30, 45, 60, dan 75. Suhu larutan harus dipastikan agar tetap
berada pada 37oC. Selanjutnya dilakukan pembuatan kurva baku dengan cara
membaca absorbansi larutan baku CTM dengan variasi konsentrasi
menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 260 nm.
Setelah itu, cuplikan diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 260 nm. Berdasarkan hasil praktikum, data absorbansi di tiap
perubahan waktu mengalami penurunan dan kenaikan secara fluktuatif. Setelah
dilakukan pengukuran serapan pada sampel obat (CTM 1 mg/mL), didapatkan
nilai absorbansi untuk larutan yang diambil pada menit ke 15, 30, 45, 60, dan
75 berturut-turut adalah 0,946; 0,759; 0,855; 0,652; dan 1,024. Nilai absorbansi
tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam persamaan linier larutan baku
CTM yang diperoleh, yaitu y = 0,013x + 0,006. Dengan demikian, diperoleh
kadar (C) CTM pada tiap-tiap waktu pengambilan pada menit ke 15, 30, 45, 60,
dan 75 berturut-turut adalah 634,3; 499,1; 567,9; 419,5; dan 691,2 µg/ml. Jika
dibandingkan dengan literatur, hasil yang didapat tidak dapat dijelaskan karena
kadar yang didapatkan tidak dapat menunjukan cara kerja dari pemberian obat
secara intravena, yaitu memiliki kadar yang tinggi di awal pemberian obat
(Cp0) lalu akan mengalami penurunan hingga durasi dari obat tersebut habis
yang disebabkan adanya proses eliminasi obat dari tubuh. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya kesalahan yang disebabkan pada saat pembacaan
skala, adanya kesalahan sistematik seperti kesalahan kalibrasi, atau adanya
faktor lain, seperti pengambilan cuplikan yang tidak tepat, adanya
ketidakcampuran obat di dalam pelarut, atau adanya kesalahan metode pada
saat penentuan kadar obat dengan menggunakan spektrofotometri.
Setelah penentuan kadar obat dalam plasma di beberapa waktu, maka
dilakukan penentuan terhadap parameter-parameter lainnya. Parameter yang
digunakan adalah volume distribusi (Vd), klirens (Cl), waktu paruh (t1/2), dan
konstanta eliminasi (K). Vd merupakan faktor yang digunakan untuk
memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan
dalam kompartemen cuplikan. Tubuh dapat dianggap sebagai suatu sistem
dengan volume yang konstan. Oleh karena itu, volume distribusi untuk suatu
obat umumnya konstan. Jika konsentrasi obat dalam plasma dan volume
distribusi diketahui, maka jumlah keseluruhan obat dalam tubuh dapat dihitung.
Berdasarkan hasil percobaan, volume distribusi yang diperoleh adalah 0,095
liter. Berdasarkan literatur, nilai Vd yang kurang dari 5 L menunjukan bahwa
obat hanya mencapai sirkulasi. Klirens digunakan untuk mengukur eliminasi
obat dari tubuh tanpa mengidentifikasi mekanisme atau proses. Atau definisi
lain dari klirens adalah volume dari cairan plasma yang dibersihkan dari obat
per unit waktu. Selain itu, dapat juga dihubungkan sebagai fraksi obat yang
diubah per unit waktu. Nilai klirens dari hasil percobaan adalah 0,0109 µg
L/menit. Konstanta eliminasi digunakan untuk menentukan kecepatan dari
eliminasi obat tersebut. Hasil yang didapat dari percobaan adalah 0,115
µg/menit. Selain itu, parameter lain yang digunakan adalah waktu paruh, yaitu
waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat atau konsentrasi obat untuk
berkurang menjadi separuhnya. Waktu paruh yang didapati dari hasil percobaan
adalah 6,0261 menit.

VII. SIMPULAN
Dari praktikum kali ini kita dapat memahami proses in vivo dan perkembangan
kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara bolus intravena, mampu
memplotkan data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala logaritmik dan
menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang berkaitan dengan
pemberian obat secara bolus intravena, parameter farmakokinetik yang
didapatkan yaitu konsentrasi awal (C0) sebesar 104,91 µg, volume distribusi (Vd)
0,095 L, konstanta eliminasi (K) 0,115 µg/menit, waktu paruh (t1/2) yaitu 6,0261
menit dan clearance (Cl) 0,0109 µgL/menit.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, R,E., dan D. Wulandari. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Jogjakarta: Mitra
Cendika Press.
Handari, B.D., Djajadisastra, J., Silaban, D.R. 2006. Pengembangan Perangkat Lunak
Simulasi Komputer Sebagai Alat Bantu Dalam Analisis Farmakokinetik.
Makara Sains, 10(1) : 13-18.
Hasibuan, Poppy Anjelisa Z. 2008. Pemantauan Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis
Berganda Bolus Intravenus Terhadap Infeksi Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronis, Tesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Shargel, L. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Ed.II.
Surabaya: Airlangga University Press.
Shargel, L. 2012. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan. Jakarta: Air
Langga University
Sherwood, L. 2013. Human Physiology From Cell to System. 8th Edition. Belmont:
Books/Cole Thomson Learning.
Sriwidodo. 1985. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: PT Kalbe
Wijayanti, AD., Hakim, L., Widiyono, I. 2007. Profil Farmakokinetik Oksitetrasiklin
Hidroklorid dalam Berbagai Jaringan Tikus Spragae Dawley. Jurnal Sains
Veteran, 25 (2): 68-74
Wulansari, N. 2009. Pengaruh Perasan Buah Apel (Maulus Domestica Borkh) Fuji Rrc
Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral
Pada Kelinci Jantan, Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna. 1995. Pengantar Farmakologi, Farmakologi dan
Terapi, Edisi kelima. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
LAMPIRAN I
Alat

Neraca analitik Beaker glass

Syringe Gelas ukur

Klem dan statif Labu ukur


Pipet Pipet volume

Syringe Spektrovotometer UV-Vis

Vial
LAMPIRAN II
Kurva Semilogaritmik

Anda mungkin juga menyukai