LABORATORIUM BIOFARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN
SECARA BOLUS INTRAVENA
I. TUJUAN
1.1.Memahami proses in vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah
pemberian obat secara bolus intravena
1.2.Mampu memplotkan data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala
logaritmik
1.3.Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang
berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena
II. PRINSIP
2.1.Kompartemen Ekstraselular
Cairan ekstraselular terdiri dari plasma dan cairan interstitial, dimana
cairan interstitial lebih banyak junlahnya (4/5 dari cairan ektraselular)
dibandingkan plasma (1/5 dari cairan intraselular). Selain itu, terdapat pula
di tempat lain tetapi jumlahnya sangat sedikit, yaitu cairan selebrospinal,
cairan intraocular, cairan sendi, cairan pericardial, cairan intrapeura, cairan
intraperitoneal, dan cairan pencernaan (Sherwood, 2013).
2.2.Kompartemen Intraselular
Dua pertiga dari total cairan tubuh berasa dalam ruang intraselular, lebih
banyak dibandungkan yang berada dalam ruang ekstraselular. Cairan
intraselular dikenal sebagai sitosol atau matriks sitoplasma, yang merupakan
cairan dengan banyak property untuk memastika proses seluler (Sherwood,
2013).
2.3.Bolus Intravena
Injeksi intravena (bolus) adalah pemberian obat dengan cara
memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena atau melalui karet selang
infus dengan menggunakan spuit. Sedangkan pembuluh darah vena adalah
pembuluh darah yang menghantarkan darah ke jantung. Injeksi intravena
bertujuan untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorpsi dari pada
dengan injeksi perenteral lain, menghindari terjadinya kerusakan jaringan
serta memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar (Ambarwati, 2009).
0.1
0
0 10 20 30 40 50
konsentrasi
5.2.Perhitungan
a. Absorbansi sampel
t Absorbansi
Rata-rata
(menit) 1 2 3
15 0.9468 0.9457 0.9453 0.9459
30 0.758 0.7649 0.7593 0.7607
45 0.858 0.855 0.8521 0.8550
60 0.6518 0.653 0.6505 0.6517
75 1.0275 1.0211 1.0232 1.0239
Rata-rata
1.2000
1.0239 y = 0.0003x + 0.8334
0.9459
1.0000 0.8550 R² = 0.0026
0.7607
0.8000
Absorbansi
0.6518
0.6000
Rata-rata
0.4000
Linear (Rata-rata)
0.2000
0.0000
0 20 40 60 80
Waktu
b. Perhitungan Kadar
15 menit 30 menit
y = 0,0137x + 0,0077 y = 0,0137x + 0,0077
0.9459 = 0,0137x + 0,0077 0.7607 = 0,0137x + 0,0077
x = 63.43 ppm x = 49.91 ppm
x = 63.43 ppm x fp x = 49.91 ppm x fp
x = 634.3 ppm x = 499.1 ppm
kadar sampel kadar sampel
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
kadar awal kadar awal
634.3µg 499.1µg
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
10000µg 10000µg
% kadar = 6.34 % % kadar = 4.99 %
45 menit 60 menit
y = 0,0137x + 0,0077 y = 0,0137x + 0,0077
0.8550 = 0,0137x + 0,0077 0.6518 = 0,0137x + 0,0077
x = 56.79 ppm x = 41.95 ppm
x = 56.79 ppm x fp x = 41.95 ppm x fp
x = 567.9 ppm x = 419.5 ppm
kadar sampel kadar sampel
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
kadar awal kadar awal
567.9µg 419.5µg
%kadar = × 100% %kadar = × 100%
10000µg 10000µg
% kadar = 5.68 % % kadar = 4.2 %
75 menit
y = 0,0137x + 0,0077
1.0239 = 0,0137x + 0,0077
x = 69.12 ppm
x = 69.12 ppm x fp
x = 691.2 ppm
kadar sampel
%kadar = × 100%
kadar awal
691.2µg
%kadar = × 100%
10000µg
% kadar = 6.91 %
15 634.3 6.452456
30 499.1 6.212757
45 567.9 6.341959
60 419.5 6.039153
75 691.2 6.538418
ln C
6.6 6.538417953
6.5 6.452455666
y = -1E-05x + 6.3175
6.4 6.341958628
ln C R² = 2E-06
6.3
6.212757238 ln C
6.2
Linear (ln C)
6.1 6.039153421
6
0 20 40 60 80
Waktu
Persamaan didapat :
y = -05x + 6.3175
Slope = -0.05
b = 6.3175
VI. PEMBAHASAN
Dalam memahami permodelan farmakokinetika, dapat dilakukan
simulasi secara in vitro. Model kompartemen satu terbuka merupakan model
yang umumnya digunakan untuk permodelan farmakokinetika. Pada praktikum
kali ini dilakukan simulasi in vitro model kompartemen satu terbuka dengan
reaksi orde ke satu. Percobaan simulasi model in vitro farmakokinetik obat
secara bolus intravena ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami proses in
vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara
bolus intravena, memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala
semilogaritmik, serta menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat
yang berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena. Dalam metode
ini, suatu wadah digambarkan sebagai kompertemen tubuh di mana obat
mengalami profil farmakokinetik dari distribusi hingga eliminasi.
Digunakannya satu wadah berfungsi sebagai ilustrasi model kompartemen satu
terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam
plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam
jaringan.
Secara garis besar, obat dapat diberikan secara ekstravaskular (di luar
pembuluh darah seperti oral, injeksi intramuskular, rektal, dsb) dan
intravaskular (langsung masuk ke dalam pembuluh darah). Pada rute pemberian
intravaskular, volume obat yang diberikan dapat diberikan dengan dua cara,
yaitu secara sekaligus atau bolus (misalnya injeksi intravena), atau secara
kontinu dengan kecepatan yang konstan (misalnya infus). Pada pemberian obat
secara intravena, di dalam tubuh obat tidak akan melalui proses absorpsi karena
obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga dapat langsung terdistribusi
ke jaringan. Sebaliknya, pada rute pemberian ekstravaskular obat akan
diabsorpsi masuk ke dalam pembuluh darah terlebih dahulu baru kemudian
didistribusikan. Parameter farmakokinetik yang dapat diukur dari percobaan ini
yaitu konsentrasi obat pada waktu 0 (C0), konstanta kecepatan eliminasi obat
(k), volume distribusi (Vd), klirens (Cl), dan waktu paruh eliminasi (t1/2).
Pemberian secara bolus intravena berarti bahwa konsentrasi obat dalam
darah pada waktu awal pemberian adalah yang tertinggi dan kemudian akan
menurun seiring dengan bertambahnya waktu dikarenakan adanya proses
distribusi. Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (IV
bolus), seluruh dosis obat akan segera masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu,
laju absorpsi obat diberikan dalam perhitungan. Injeksi bolus intravena sendiri
adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh
darah vena atau melalui karet selang infus dengan menggunakan spuit.
Sedangkan pembuluh darah vena adalah pembuluh darah yang menghantarkan
darah ke jantung. Injeksi intravena bertujuan untuk memperoleh reaksi obat
yang cepat diabsorpsi dari pada dengan injeksi perenteral lain, menghindari
terjadinya kerusakan jaringan, serta memasukkan obat dalam jumlah yang lebih
besar.
Bolus IV umumnya digunakan ketika dibutuhkan kerja yang cepat dari
obat, seperti dalam keadaan darurat, ketika obat-obatan tidak dapat dicairkan
(seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker), dan ketika tujuan terapi adalah
untuk mencapai tingkat kadar obat maksimum dalam aliran darah pasien. Bolus
IV biasanya tidak digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja
jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja paru-paru, atau edema
sistemik. Hal ini dikarenakan pasien tersebut mengalami penurunan toleransi
terhadap obat.
Pada percobaan ini, obat yang digunakan sebagai bahan uji adalah
CTM. Tahap awal dari percobaan ini dilakukan dengan pembuatan larutan baku
CTM dengan variasi konsentrasi, yaitu 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm. Larutan baku
ini digunakan untuk menentukan persamaan linier melalui kurva baku yang
akan diperoleh. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan pembuatan larutan
sampel CTM dengan konsenrasi 1 mg/ml sebanyak 5 ml. Larutan dibuat dengan
melarutkan 5 mg CTM dalam 5 ml aquades. Profil zat aktif yang digunakan
untuk dijadikan sediaan injeksi intravena harus diperhatikan, seperti data
kelarutan zat aktif, karena syarat dari sediaan injeksi ialah zat aktif harus
terdispersi secara molekular.
Model kompartemen ini harus dilakukan menyerupai keadaan tubuh
manusia yang sebenarnya. Keadaan tubuh manusia dibuat dengan cara
menyiapkan buret yang berisi aquades dan gelas beaker berisi aquades dengan
suhu 37oC. Buret yang berisi air diilustrasikan sebagai cairan yang masuk atau
dikonsumsi (intake), gelas beaker dalam simulasi ini digambarkan sebagai
pembuluh darah dan aquades 250 ml diilustrasikan sebagai darah dalam tubuh
manusia. Suhunya diatur menjadi 37oC dengan cara dipanaskan di hot plate
atau pemanas portabel spiral dan dipastikan dengan termometer agar
menyerupai suhu tubuh. Dengan demikian, beaker glass yang berisi aquades
dengan suhu 37°C menggambarkan kondisi darah ketika sediaan injeksi
intravena diadministrasikan, di mana saat diinjeksikan, konsentrasi obat adalah
yang tertinggi. Lalu CTM dimasukkan ke dalam media (aquades), di mana
CTM digambarkan sebagai zat obat dengan pemberian secara injeksi bolus
intravena. Dengan terkandungnya 5 ml CTM 1000 ppm yang ditambahkan
dalam 250 ml aquades, diperkirakan dalam akuades akan terdapat CTM dengan
konsentrasi 19 ppm.
Obat yang telah berada di dalam saluran darah akan langsung
mengalami proses eliminasi. Proses elimasi digambarkan dengan membuka
buret dan keran beaker glass, cairan yang keluar dari beaker glass ditampung di
beaker glass lainnya. Proses tersebut menggambarkan ekskresi cairan dari
dalam tubuh. Setelah obat diadministrasikan, konsentrasi dalam darah akan
berkurang per interval waktu, dan aquades yg keluar dari buret dan masuk ke
wadah penampung akan menggantikan volume aquades yg keluar dari wadah
penampung. Banyaknya cairan yang masuk dan keluar dari beaker glass harus
sama dan dilakukan pada waktu yang sama. Hal ini dilakukan karena sistem
peredaran darah manusia adalah sistem peredaran darah tertutup, sehingga
volume cairan (darah) akan konstan, di mana yang berubah adalah konsentrasi
obat dalam darah. Diambil 5 ml sampel dari gelas beaker larutan CTM dan
digantikan volume yang telah diambil tersebut dengan aquades sebanyak 5 ml
untuk mencegah penjenuhan larutan. Pengambilan cuplikan dilakukan pada
pada menit ke 15, 30, 45, 60, dan 75. Suhu larutan harus dipastikan agar tetap
berada pada 37oC. Selanjutnya dilakukan pembuatan kurva baku dengan cara
membaca absorbansi larutan baku CTM dengan variasi konsentrasi
menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 260 nm.
Setelah itu, cuplikan diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 260 nm. Berdasarkan hasil praktikum, data absorbansi di tiap
perubahan waktu mengalami penurunan dan kenaikan secara fluktuatif. Setelah
dilakukan pengukuran serapan pada sampel obat (CTM 1 mg/mL), didapatkan
nilai absorbansi untuk larutan yang diambil pada menit ke 15, 30, 45, 60, dan
75 berturut-turut adalah 0,946; 0,759; 0,855; 0,652; dan 1,024. Nilai absorbansi
tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam persamaan linier larutan baku
CTM yang diperoleh, yaitu y = 0,013x + 0,006. Dengan demikian, diperoleh
kadar (C) CTM pada tiap-tiap waktu pengambilan pada menit ke 15, 30, 45, 60,
dan 75 berturut-turut adalah 634,3; 499,1; 567,9; 419,5; dan 691,2 µg/ml. Jika
dibandingkan dengan literatur, hasil yang didapat tidak dapat dijelaskan karena
kadar yang didapatkan tidak dapat menunjukan cara kerja dari pemberian obat
secara intravena, yaitu memiliki kadar yang tinggi di awal pemberian obat
(Cp0) lalu akan mengalami penurunan hingga durasi dari obat tersebut habis
yang disebabkan adanya proses eliminasi obat dari tubuh. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya kesalahan yang disebabkan pada saat pembacaan
skala, adanya kesalahan sistematik seperti kesalahan kalibrasi, atau adanya
faktor lain, seperti pengambilan cuplikan yang tidak tepat, adanya
ketidakcampuran obat di dalam pelarut, atau adanya kesalahan metode pada
saat penentuan kadar obat dengan menggunakan spektrofotometri.
Setelah penentuan kadar obat dalam plasma di beberapa waktu, maka
dilakukan penentuan terhadap parameter-parameter lainnya. Parameter yang
digunakan adalah volume distribusi (Vd), klirens (Cl), waktu paruh (t1/2), dan
konstanta eliminasi (K). Vd merupakan faktor yang digunakan untuk
memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan
dalam kompartemen cuplikan. Tubuh dapat dianggap sebagai suatu sistem
dengan volume yang konstan. Oleh karena itu, volume distribusi untuk suatu
obat umumnya konstan. Jika konsentrasi obat dalam plasma dan volume
distribusi diketahui, maka jumlah keseluruhan obat dalam tubuh dapat dihitung.
Berdasarkan hasil percobaan, volume distribusi yang diperoleh adalah 0,095
liter. Berdasarkan literatur, nilai Vd yang kurang dari 5 L menunjukan bahwa
obat hanya mencapai sirkulasi. Klirens digunakan untuk mengukur eliminasi
obat dari tubuh tanpa mengidentifikasi mekanisme atau proses. Atau definisi
lain dari klirens adalah volume dari cairan plasma yang dibersihkan dari obat
per unit waktu. Selain itu, dapat juga dihubungkan sebagai fraksi obat yang
diubah per unit waktu. Nilai klirens dari hasil percobaan adalah 0,0109 µg
L/menit. Konstanta eliminasi digunakan untuk menentukan kecepatan dari
eliminasi obat tersebut. Hasil yang didapat dari percobaan adalah 0,115
µg/menit. Selain itu, parameter lain yang digunakan adalah waktu paruh, yaitu
waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat atau konsentrasi obat untuk
berkurang menjadi separuhnya. Waktu paruh yang didapati dari hasil percobaan
adalah 6,0261 menit.
VII. SIMPULAN
Dari praktikum kali ini kita dapat memahami proses in vivo dan perkembangan
kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara bolus intravena, mampu
memplotkan data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala logaritmik dan
menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang berkaitan dengan
pemberian obat secara bolus intravena, parameter farmakokinetik yang
didapatkan yaitu konsentrasi awal (C0) sebesar 104,91 µg, volume distribusi (Vd)
0,095 L, konstanta eliminasi (K) 0,115 µg/menit, waktu paruh (t1/2) yaitu 6,0261
menit dan clearance (Cl) 0,0109 µgL/menit.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, R,E., dan D. Wulandari. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Jogjakarta: Mitra
Cendika Press.
Handari, B.D., Djajadisastra, J., Silaban, D.R. 2006. Pengembangan Perangkat Lunak
Simulasi Komputer Sebagai Alat Bantu Dalam Analisis Farmakokinetik.
Makara Sains, 10(1) : 13-18.
Hasibuan, Poppy Anjelisa Z. 2008. Pemantauan Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis
Berganda Bolus Intravenus Terhadap Infeksi Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronis, Tesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Shargel, L. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Ed.II.
Surabaya: Airlangga University Press.
Shargel, L. 2012. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan. Jakarta: Air
Langga University
Sherwood, L. 2013. Human Physiology From Cell to System. 8th Edition. Belmont:
Books/Cole Thomson Learning.
Sriwidodo. 1985. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: PT Kalbe
Wijayanti, AD., Hakim, L., Widiyono, I. 2007. Profil Farmakokinetik Oksitetrasiklin
Hidroklorid dalam Berbagai Jaringan Tikus Spragae Dawley. Jurnal Sains
Veteran, 25 (2): 68-74
Wulansari, N. 2009. Pengaruh Perasan Buah Apel (Maulus Domestica Borkh) Fuji Rrc
Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral
Pada Kelinci Jantan, Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna. 1995. Pengantar Farmakologi, Farmakologi dan
Terapi, Edisi kelima. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
LAMPIRAN I
Alat
Vial
LAMPIRAN II
Kurva Semilogaritmik