TINJAUAN FARMAKOLOGI
Lisinopril merupakan senyawa yang memiliki efek menurunkan tekanan darah dengan
mekanisme menghambat kerja dari angiotensin-converting enzyme (ACE). ACE berperan
penting dalam produksi angiotensin II yang berfungsi mengatur keseimbangan tekanan darah.
ACE tersebar di banyak jaringan dan juga terdapat di berbagai macam sel, dan terpusat di sel
endotelial sehingga produksi tertinggi dari angiotensin II berada di pembuluh darah, bukan di
ginjal (Wells dkk., 2008).
I.2 Indikasi
Semua tingkat hipertensi; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard
pada pasien yang secara hemodinamik stabil (Aberg,2009). Pengobatan hipertensi tingkat
sedang hingga berat. Dapat digunakan sendiri atau bersama dengan obat antihipertensi
lainnnya. Pengobatan payah jantung kongestif sebagai terapi tambahan disamping diuretik dan
bila perlu dengan digitalis (Wells dkk, 2008).
I.4 Farmakokinetik
I.4.1 Absorpsi
Lisinopril diabsorpsi dengan baik di saluran pencernaan. Lisinopril saat diabsorpsi tidak
terpengaruh oleh makanan. Pemberian dosis tunggal per oral mula kerja obat tercapai dalam
satu jam, puncak konsentrasi dalam serum tercapai setelah 7 jam dan berlanjut selama 24 jam
(Medscape, 2018).
I.4.2 Distribusi
Lisinopril memliki sifat berikatan dengan protein sebesar 25% dan memiliki Vd 124 L
(Medscape,2018).
I.4.3 Metabolisme
Lisinopril tidak dimetabolisme dihati (Medscape,2018).
I.4.4. Ekskresi
Lisinopril memiliki waktu paruh selama 12 jam dengan renal klirens sebesar 106 ml/menit
total klirens 250 ml/menit dan diekskresi kan dalam bentuk yang tidak berubah dalam urin
(Medscape, 2018).
Dewasa: Hipertensi :
Lisinopril tidak boleh diberikan pada orang yang sensitif terhadap lisinopril. Pada
penderita yang secara historis dapat menyebabkan angioedema sebagai akibat pengobatan
sebelumnya dengan obat penghambat ACE (MIMS,2015).
Hipotensi dapat muncul menyertai ACE Inhibitor, terlihat pada kelompok tertentu.
Udema Angioneorotik pada muka, tungkai, bibir, lidah, laring pernah dilaporkan walau
jarang pada penderita yang diobati dengan lisinopril. Pada kasus ini, lisinopril harus
dihentikan segera sampai pembengkakan hilang. Bila pembengkakan berlanjut ke muka
dan bibir, keadaan ini dapat mereda denga sendirinya.
Udema Angioneorotik disertai udema laring dapat mematikan.
Reaksi hipersensitifitas seperti urtikaria telah dilaporkan.
Efek samping umum ringan lainnya bersifat sepintas yaitu pusing, sakit kepala, letih dan
diare, batuk, ruam kulit, palpitasi, ortostatik, nyeri dada, takikardia, nyeri abdomen, mulut
kering, hepatoseluler, diaforesis, uremia, oliguria, disfungsi ginjal dan gagal ginjal akut
(MIMS,2015).
I.8 Interaksi Obat
Bila diberikan diuretik yang boros kalium cenderung terjadi hipokalemia. Jangan
diberikan bersama anti inflamasi analgetik non steroid terutama indometasin karena dapat
mengurangi khasiat lisinopril. Jangan diberikan pada penderita gagal ginjal karena lisinopril
dapat menaikkan kadar kalium plasma. Pemberian lisinopril bersama suplemen kalium atau
diuretik hemat kalium tidak dianjurkan, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal, karena
dapat berakibat pada peningkatan kadar kalium serum yang nyata (MIMS,2015).
BAB II
ASPEK KIMIA DAN PREFORMULASI
II.1 Tinjauan Umum Zat Aktif dan aspek Kimia
1. Nama obat : Lisinopril
2. Struktur :
1. Natrium Klorida
Identifikasi zat aktif Flunarizin HCl dalam sediaan Larutkan 25 mg zat dalam 2 ml
metanol P dan tambahkan 0,5 ml air P. Masukkan ke dalam tabung reaksi lalu tambahkan 0,2 g
kalium dikromat P dan 1 ml asam sulfat P. Tempatkan strip kertas saring yang mengandung
larutan difenilkarbazid P di atas mulut tabung reaksi. Kertas akan berubah dari violet ke merah.
Kertas tidak boleh kontak dengan kalium dikromat (Council of Europe, 2004).
2. Natrium Hidroksida
Identifikasi zat aktif Flunarizin HCl dalam sediaan Larutkan 25 mg zat dalam 2 ml
metanol P dan tambahkan 0,5 ml air P. Masukkan ke dalam tabung reaksi lalu tambahkan 0,2 g
kalium dikromat P dan 1 ml asam sulfat P. Tempatkan strip kertas saring yang mengandung
larutan difenilkarbazid P di atas mulut tabung reaksi. Kertas akan berubah dari violet ke merah.
Kertas tidak boleh kontak dengan kalium dikromat (HOPE ed 6th, 2009).
3. Sodium Metabisulfit
Natrium metabisulfit merupakan kristal tidak berwarna, prismatik atau putih bubuk kristal
putih cream yang memiliki bau belerang dioksida dan rasa asam, asin Natrium metabisulfit
mengkristal dari air dingin sebagai hidrat berisi tujuh molekul air. Natrium metabisulfit
merupakan antimikroba pengawet; antioksidan. Natrium metabisulfit juga memiliki aktivitas
antimikroba, yang merupakan terbesar pada pH asam, dan dapat digunakan sebagai pengawet
dalam persiapan seperti sirup. Dalam industri makanan dan dalam produksi anggur. Natrium
metabisulfit demikian juga digunakan sebagai antioksidan, antimikroba pengawet dan
antibrowning agen. Natrium metabisulfit biasanya berisi sejumlah kecil natrium sulfite dan
natrium sulfat. Pada paparan udara dan kelembaban, Natrium metabisulfit perlahan teroksidasi
untuk natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. Penambahan asam kuat padatan membebaskan
sulfur dioksida. Dalam air, Natrium metabisulfit segera dikonversi ke natrium (Nap) dan ion
bisulfit (HSO3). Wadah dan penyimpanan tertutup baik, dilindungi dari cahaya, ditempat yang
dingin dan kering (HOPE ed 6th, 2009).
4. Benzil Alkohol
Benzil alkohol merupakan zat tidak berwarna dan berminyak cair dengan bau aromatik
yang samar dan tajam, pembakaran rasa. Nama lain benzil alkohol adalah Benzylicus alkohol;
benzenemethanol; a-hydroxytoluene; phenycarbinol; phenymethanol; a-toluenol. Benzil alkohol
digunakan sebagai antimikroba, pengawet, disinfektan, pelarut. Benzil alkohol adalah
antimikroba penngawet yang digunakan dalam kosmetik, makanan, dan berbagai macam
formulations farmasi termasuk oral maupun parenteral pada konsentrasi sampai 2.0% v/v.
Dalam kosmetik kosmetik hingga 3.0% v/v dapat digunakan sebagai pengawet. Konsentrasi
5.0% atau lebih sebagai solubilizer. Benzil alkohol 10% v/v dimanfaatkan dalam beberapa
parenteral (HOPE ed 6th, 2009).
5. Asam Hidroklorida
Asam klorida merupakan zat tidak berwarna, fuming larutan hidrogen klorida, dengan
bau menyengat. Sinonim : Salicylicum hydrochloridum concentratum chlorohydric asam; asam
klorida pekat. Asam klorida digunakan secara meluas sebagai penambah keasaman, dalam
berbagai persiapan makanan dan obat (HOPE ed 6th, 2009).
6. Aqua Pro Injeksi
Cairan jernih tidak berbau dan tidak berasa. Sinonim air steril untuk injeksi. Berkhasiat
sebagai pelarut. Disimpan dalam wadah dosis tunggal, dari kaca atau plastic, tidak lebih besar
dari 1L (HOPE ed 6th, 2009).
II.3 Metode Analisis Sediaan
II.3.1 Identifikasi zat aktif Lisinopril dalam sediaan
Lisinopril 1 mg/mL dibuat menggunakan pelarut metanol, sedangkan larutan FDNB 1
mg/mL dibuat dengan pelarut asetonitril. Dapar borat 0,125 M yang mengandung KCl 0,125 M
dibuat dengan menimbang H3BO3 dan KCl yang sesuai dan dibuat pada pH yang diinginkan
(dibuat pH 8; 8,5; 9,0; 9,5; 10,0; 10,5; 11,0; dan 11,5) dengan menambahkan NaOH 1,0 M
sejumlah tertentu secara hati-hati hingga pH yang diinginkan tercapai. pH larutan yang diperoleh
diukur menggunakan pH meter (Ririn,dkk 2016).
Optimasi parameter UPLC pada penetapan kadar lisinopril melalui derivatisasi dengan
FDNB: (Ririn,dkk 2016).
1. Pembuatan fase gerak dengan komposisi hasil optimasi : Fase gerak terdiri dari dapar asetat
pH 3,5 pada kadar 0,01 M : ACN : MeOH pada perbandingan 70:20:10, 70:15:15 dan
70:10:20 (v/v/v) pada laju alir 0,3 mL/menit dilakukan optimasi, selanjutnya dilakukan
optimasi pH (3,5; 4,5; dan 5,5) pada fase gerak optimum. Setelah itu dilakukan optimasi laju
air (0,2 ; 0,3 dan 0,4 mL/menit) pada komposisi fase gerak dan pH optimum. Selain itu
dilakukan optimasi mol ratio FDNB / lisinopril dan waktu derivatisasi dilanjutkan uji
kesesuaian sistem.
2. Preparasi sampel untuk uji akurasi dan presisi: Plasma yang digunakan diperoleh dari Palang
Merah Indonesia (PMI), disimpan pada temperatur -20˚C sampai siap dianalisis. Sampel
plasma 250 µL, dicampur dengan 250 µL lisinopril yang dispiked (kadar akhir lisinopril 5-100
ng/mL), divortex 10 detik, di deproteinasi dengan asetonitril 750 µL dengan vortex 20 detik
dan disentrifus 5000 rpm 10 menit. Supernatan diambil 250 µL, ditambahkan dapar borat 200
µL dan FDNB sejumlah tertentu sesuai dengan jumlah mol ratio terpilih dan dilakukan
derivatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan. Hasil derivatisasi disaring dengan penyaring
milipore 0,2 µm dan diukur dengan UPLC pada גmaksimum lisinopril-DNB. Dari data yang
diperoleh dibuat kurva linier kadar lisinopril terhadap luas area (Mv) lisinopril-DNB.
3. Uji kesesuaian sistem: dilakukan untuk memastikan keefektifan sistem operasional pada hasil
optimasi yang dilakukan. Uji yang dilakukan dengan cara membuat larutan lisinopril kadar
kecil (25 ng/mL) dan besar (45 ng/mL) masing-masing 6 replikasi, lalu dilakukan derivatisasi,
dan kemudian hasil diinjeksikan pada UPLC.
Validasi metode analisis meliputi selektivitas, linearitas, dan batas deteksi serta batas
kuantitasi, ketepatan (accuracy) dan ketelitian (repeatability) (Ririn,dkk 2016).
BAB III
PENGEMBANGAN FORMULA
(MIMS, 2015).
BAB IV
MANUFAKTUR DAN QC
Pola r dapat digunakan untuk bahan yang berasal dari herbal (ekstrak) yang digunakan
sebagai bahan awal, di mana
r = 1,5 √N
Pola pengambilan sampel bahan pengemas harus memperhatikan hal-hal seperti jumlah
yang diterima, mutu yang dipersyaratkan, sifat bahan (misalnya bahan pengemas primer,
dan/atau bahan pengemas cetak), metode produksi dan pengetahuan tentang pelaksanaan
sistem Pemastian Mutu di pabrik pembuat bahan pengemas berdasarkan audit. Jumlah sampel
yang diambil hendaklah ditentukan secara statistik dan disebutkan dalam pola pengambilan
sampel (BPOM, 2012).
Pengambilan sampel bahan awal dan bahan pengemas primer hendaklah minimal
dilakukan di dalam ruang pengambilan sampel yang setara dengan Kelas kebersihan jenis
proses produksi dan dilengkapi dengan dust extractor. Pengambilan sampel hendaklah di
bawah laminar air flow (LAF) dengan kelas kebersihan minimal sama dengan jenis proses
produksi (BPOM, 2012).
IV.2.3 Pengujian
a. Uji Kejernihan dan Warna
Uji kejernihan memiliki tujuan untuk memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih
dan bebas pengotor. Prinsip uji kejernihan dan warna di mana wadah-wadah dalam kemasan
akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari wadah dari samping dengan latar belakang hitam
untuk menyelidiki pengotor berwarna putih dan latar belakang putih untuk menyelidiki pengotor
berwarna. Hasil memenuhi syarat apabila tidak ditemukan pengotor dalam larutan (Farmakope
Indonesia, 1995).
b. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan pH untuk mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Prinsip pemeriksaan pH cairan uji menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi
(Farmakope Indonesia, 1995).
e. Uji Kebocoran
Tujuan dari uji ini untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan
volume serta kestabilan sediaan. Prinsipnya untuk cairan bening tidak berwarna wadah takaran
tunggal yag masih panas setelah selesai disterilkan, dimasukkan ke dalam larutan metilen biru
0,1%. Jika ada wadah yang bocor makan larutan metilen biru akan masuk ke dalam karena
perubahan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan dalam wadah akan
berwarna biru. Untuk cairan berwarna dilakukan dengan posisi terbalik, wadah takaran tunggal
ditempatkan di atass kertas saring atau kapas. Jika terjadi kebocoran, maka kertas saring atau
kapas akan basah. Hasil yang sesuai apabila pada pada cairan bening tidak berwarna wadah
tidak menjadi biru dan pada cairan berwarna kertas sarig atau kapas tidak basah (Farmakope
Indonesia, 1995).
f. Uji Sterilitas
Tujuan uji sterilitas untuk menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi
syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi. Prinsipnya
adalah menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada
inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi dalam medium Tioglikonat
cair dan Soybean Casein Digest prosedur uji dapat menggunakan teknik inokulasi langsung ke
dalam media pada 30-35oC selama tidak kurang dari 7 hari. Hasil yang baik didapatkan apabila
Tahap Pertama: Memenuhi syarat uji jika pada interval waktu tertentu dan pada akhir periode
inkubasi, diamati tidak terdapat kekeruhan atau pertumbuhan mikroba pada permukaan, kecuali
teknik pengujian dinyatakan tidak absah. Jika ternyata uji tidak absah, maka dilakukan pengujian
Tahap Kedua. Tahap Kedua: Memenuhi syarat uji jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba
pada pengujian terhadap minimal 2 kali jumlah sampel uji tahap (Farmakope Indonesia, 1995).
h. Uji Pirogen
Tujuan uji ini adalah untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi. Prinsipnya adalah pengukuran kenaikan
suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara IV dan ditujukan untuk sediaan yang dapat
ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 mL/kg bb dalam
jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Hasil sesuai apabila setiap penurunan suhu dianggap
nol. Sediaan memenuhi syarat bila tak seekor kelinci pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5º atau
lebih. Jika ada kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5º atau lebih lanjutkan pengujian
dengan menggunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci masing-
masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5º atau lebih dan jumlah kenaikan suhu maksimum 8
ekor kelinci tidak lebih dari 3,3º sediaan dinyatakan memenuhi syarat bebas pirogen
(Farmakope Indonesia, 1995).
i. Kandungan Zat Antimikroba
Tujuan dari uji ini adalah menentukan kadar pengawet terendah yang masih efektif dan
ditujukan untuk zat-zat yang paling umum digunakan untuk menunjukkan bahwa zat yang tertera
memang ada, tetapi tidak lebih dari 20% dari jumlah yang tertera di etiket. Prinsipnya adalah
penentuan kandungan zat antimikroba menggunakan kromatografi gas atau polarografi
(Farmakope Indonesia, 1995).
a. Frekuensi
1. Validasi Awal (Initial Validation)
Validasi Awal terdiri dari 3 bets validasi proses aseptis berurutan dengan jumlah minimum
5000 ampul.
Validasi Awal harus dilakukan apabila:
- ada proses baru
- ada mesin baru
- setelah perubahan kritis pada proses atau peralatan
- setelah modifikasi kritis pada sistem HVAC atau LAF filling hood
2. Revalidasi Periodik (Periodic Revalidation )
Revalidasi Periodik dilakukan tiap 6 bulan dengan 1 bets (jumlah ampul minimum 5000).
3. Keadaan Khusus
Setelah kegiatan perawatan ruangan yang besar risikonya terhadap sterilitas ruangan
(contoh: pengecatan ruangan) atau overhol mesin: ”Validasi Awal” (dengan 3 bets berurutan)
sebelum fasilitas digunakan kembali.
c. Prosedur
Perintah untuk melaksanakan Validasi Proses Aseptis diturunkan ke Bagian Produksi
menggunakan Manufacturing Order sesuai Penerbitan Manufacturing Order sesuai
nomor batch
Larutan steril TSB yang sudah dibuat diinkubasikan pada suhu 20 - 30°C selama minimal
5 hari di dalam inkubator. Catat suhu inkubasi setiap hari. Setelah 5 hari inkubasi amati
apakah larutan tetap jernih.
Bila larutan tetap jernih, lakukan pengisian sesuai ”Catatan Pengolahan Bets” yang telah
disiapkan untuk Validasi Proses Aseptis.
Selama proses pengisian Kepala Bagian Validasi mencatat aktivitas Operator Pengisian
melalui jendela Ruang Pengisian di koridor (Kelas D).
Gunakan udara tekan yang dilewatkan melalui filter 0,2 µm sebagai pengganti
penggunaan gas N2 karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Lakukan inkubasi larutan sisa pengisian (100 ml). Masukkan larutan yang tersisa pada
tubing ke dalam kolf dan inkubasikan kolf selama 14 hari pada suhu 20 - 30°C di dalam
inkubator. Catat suhu inkubasi tiap hari.
Setelah semua ampul diisi, inkubasikan ampul selama 14 hari: Sebelum inkubasi semua
ampul dibalik balik agar seluruh permukaan terbasahi larutan media, Inkubasi 7 hari
pada suhu 20 - 25°C, amati apakah terjadi kekeruhan, catat, balik balikkan ampul dan
Inkubasikan selama 7 hari berikutnya pada suhu 30 - 35°C
Lakukan monitoring suhu inkubasi secara kontinu dengan data logger. Lampirkan hasil
monitoring pada Catatan Pengolahan Bets.
Lakukan inspeksi visual terhadap semua ampul hasil pengisian pada hari ke 7 dan hari
ke 14 inkubasi. Amati dan catat jumlah ampul yang keruh.
Setelah seluruh ampul diinspeksi oleh Operator Inspeksi Visual, Inspektur Pengawasan
Mutu melakukan pemeriksaan AQL pada ampul hasil inspeksi tersebut pada hari ke 7
dan hari ke 14.
Lakukan terhadap ampul yang keruh (yang terinfeksi) pemeriksaan identitas bakteri/
jamur yang tumbuh pada ampul sesuai Metode Identifikasi Bakteri & Jamur sesuai nomor
batch
Lakukan Growth Promotion Test dan catat hasilnya (gunakan 300 ampul steril yang telah
diinkubasi selama 14 hari) sesuai Protap Growth Promotion Test sesuai nomor batch
Susun Laporan Validasi Proses Aseptis.
f. Tindakan Perbaikan
1. Validasi Awal
Apabila ampul yang tercemar dari 1 bets melebihi Batas Waspada, segera lakukan
investigasi. Bila tidak ditemukan penyimpangan lakukan tambahan 1 bets.
Apabila ampul yang tercemar dari 1 bets melebihi Batas Bertindak, langsung hentikan
kegiatan validasi. Setelah penyebab cemaran diketahui, ulangi kembali “Kualifikasi Awal”.
2. Revalidasi Periodik
Apabila jumlah ampul yang tercemar melebihi Batas Waspada, dan penyebab dari cemaran
diketahui, segera lakukan perbaikan. Lakukan 1 bets tambahan.
Apabila penyebab dari cemaran tidak diketahui atau hasil dari Validasi Proses Aseptis yang
kedua di atas Batas Waspada, lakukan kembali Validasi Awal (Initial Validation) (3 bets).
g. Hasil Produksi dan Validasi Proses Aseptis yang Tidak Memenuhi Syarat
Apabila hasil validasi proses aseptis tidak memenuhi persyaratan, harus dilakukan
pengkajian (assessment) terhadap pengaruh dari hasil validasi pada sterilitas hasil produksi
(dimulai dari setelah Validasi Proses Aseptis terakhir yang memenuhi persyaratan).
IV.5 Pengemasan
IV.5.1 Kemasan Sekunder
IV.6 Penyimpanan
Sediaan injeksi lisinopril disimpan dalam wadah tertutup rapat, simpan pada suhu
ruangan yaitu 25-27OC (British Pharmacopea, 2009).
BAB V
REGULASI DAN PERUNDANGAN
V.1 Registrasi
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang
“Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat”, injeksi lisinopril 5ml ini termasuk dalam registrasi
baru kategori 2 yaitu Obat Copy.
Tata laksana registrasi berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. HK.00.05.3.1950 untuk memperoleh izin edar terdiri dari:
1. Registrasi obat diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan.
2. Registrasi obat dilakukan dalam dua tahap, yaitu pra-registrasi dan penyerahan berkas
registrasi.
3. Penyerahan berkas registrasi dilakukan dengan menggunakan formulir registrasi dan disket,
dilengkapi dengan dokumen-dokumen penunjang sesuai ketentuan yang berlaku Prosedur
registrasi obat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu :
1. Pra-registrasi
a. Dokumen administratif yang dibutuhkan untuk pra-registrasi baru adalah
- Surat pengantar
- Sertifikat dan dokumen lain
- Dokumen pertimbangan penetapan jalur
- Dokumen obat terkait paten (jika perlu)
b. Dokumen mutu yang dibutuhkan untuk pra-registrasi adalah :
- Ringkasan dokumen mutu
- Informasi tentang bahan bersumber hewan yang digunakan dalam proses pembuatan
- Nama, alamat lengkap dan negara dari produsen yang terlibat dalam seluruh proses
pembuatan zat aktif
- Alur dan uraian proses pembuatan dari bahan baku sampai obat
- Hasil analisis bets bahan baku zat aktif dan obat
- Drug Master File dari produsen zat aktif untuk zat aktif yang belum pernah digunakan
untuk produksi obat yang disetujui di Indonesia
- Protokol validasi proses
- Protokol validasi metoda analisa
- Protokol uji stabilitas obat
- Data ekivalensi
- Site Master File (SMF) industri farmasi di luar negeri yang belum mempunyai produk
dengan persyaratan sama yang disetujui beredar di Indonesia
c. Dokumen nonklinik (jika perlu)
d. Dokumen klinik (jika perlu)
2. Registrasi
Penyerahan dokumen registrasi terdiri atas :
a. Kelengkapan dokumen administratif dan informasi produk
- Dokumen administratif
- Informasi produk dan penandaan
b. Kelengkapan dokumen mutu
c. Kelengkapan dokumen nonklinik
d. Kelengkapan dokumen klinik Pihak yang mengajukan pendaftaran obat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
- Memiliki izin industri farmasi
- Memiliki sertifikat CPOB yang masih berlaku sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan
yang diregistrasi
*) Jalur evaluasi untuk injeksi lisinopril 5 ml adalah 100 hari kerja, karena injeksi lisinopril 5 ml
termasuk kategori obat copy.
V.2 Penandaan Sesuai Undang-Undang
a. Obat Keras
Injeksi Lisinopril 5ml termasuk ke dalam daftar obat keras (G). Obat keras adalah obat
yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Berdasarkan SK Menkes No.
193.Kab/B VII/71 tanggan 21 Agustus 1971 tentang “Peraturan Pembungkusan dan Penandaan
Obat” dan Surat Edaran Dirjen POM No 4266/AA/II/86 tanggal 26 Agustus 1986 tentang “Tanda
Khusus Obat Keras (Daftar G)”, maka penandaan khusus obat keras pada wadah, leaflet atau
brosur sediaan injeksi Lisinopril 5ml harus sama atau mendekati sama dengan contoh tanda
khusus dibawah ini
Disertai dengan kalimat “Harus dengan resep dokter” sesuai dengan SK Menkes RI No.
197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977 untuk mengendalikan dan mengawasi peredaran obat
keras.
0518 43 01
2. Dosis yang dianjurkan adalah 5 ml per hari setelah atau sebelum makan dan jangan melebihi
dosis yang dianjurkan.
3. Lisinopril sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak usia di bawah 6 tahun karena belom
teruji keamanannya
4. Sebaiknya ditanyakan pasien yang memiliki alergi terhadap lisinopril atau obat jenis ACE
inhibitor lainnya.
5. sebaiknya tidak diberikan kepada pasien yang memiliki gangguan penyakit ginjal,
skleroderma, diabetes, lupus, angiodema, aterosklerosis
6. Perhatikan efek samping yang muncul seperti pusing, sakit kepala, tekanan darah rendah,
batuk, kelelahan, ruam kulit, nyeri dada, mual muntah, diare, hiperkalamia, penyakit ginjal. Jika
muncul, hentikan konsumsi obat dan konsultasikan kepada dokter.
INJEKSI LISINOPRIL
Lisinopril 5 ml
Lisinopril 10 ml
KOMPOSISI
FARMAKOLOGI
Data memperlihatkan efeknya tidak lenyap selama terapi jangka panjang. Peninggian tekanan
darah secara tiba-tiba tidak terjadi bila pengobatan dengan penghambatan ACE dihentikan
secara mendadak.
Penderita payah jantung kongestif yang diobati dengan lisinopril mendapat keuntungan
khususnya dari pengurangan beban hulu ( pre load) dan beban hilir (after load) dari jantung,
yang terlihat sebagai peningkatan curah jantung, tanpa disertai refleks takikardia.
INDIKASI
- Pengobatan hipertensi tingkat sedang sampai berat dapat dipergunakan sendiri atau
bersama dengan obat antihipertensi lain.
- Pengobatan payah jantung kongestif sebagai terapi tambahan disamping diuretika dan
bila perlu dengan digitalis
KONTRAINDIKASI
EFEK SAMPING
- Hipotensi
- Oedema angioneurotik pada muka, tungkai, bibir, lidah, glottis, dan atau larynx pernah
dilaporkan (jarang)
- Oedema angioneurotik yang disertai oedema larynx yang berbahaya. Bila ada
keterlibatan lidah, glottis atau larynx, cenderung menjadi penyumbatan saluran udara
- Reaksi hipersensitifitas berupa urtikaria
- Pusing, sakit kepala, letih dan diare, batuk, neusea, ruam kulit, palpitasi, hipotensi,
ortostatik, nyeri dada, lelah (tidak sering).
PERINGATAN / PERHATIAN
ATURAN PAKAI
Bila mungkin dosis diuretiknya harus dikurangi sebelum pengobatan dimulai. Tekanan darah
dan fungsi ginjal harus dimonitor dengan ketat, baik sebelum maupun selama pengobatan.
Timbulnya hipotensi pada dosis awal Lisinopril tidak mengeyampingkan titrasi dosis berikutnya
sesudah hipotensi dikoreksi kembali.
Bila pada awal terapi tidak ada gejala hipotensi atau setelah hipotensi diatasi, dosis harus
dinaikkan secara perlahan-lahan, tergantung pada respon penderita sampai diperoleh dosis
pemeliharaan yang diberikan sekali sehari dalam dosis tunggal
Titrasi dosis ini dapat dilakukan dalam waktu 2-4 minggu atau lebih cepat lagi bila ada keluhan
fdan gejala sisa payah jantung.
KEMASAN
LISINOPRIL INJEKSI
Dus berisi 4 strip @ 5 ampul
Reg.No. : DKL 18 212 657 15 A I
Diproduksi oleh :
PT. FARMA
Jl.
Pontianak
Kalimantan Barat, Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Dipiro, JT., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzake, Barbara G. Wells, L.,
Michael Posey, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Sixth Edition, The
Mc Graw-Hill Companies, USA.
3. Anonim. 2015. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 15, 2015/2016. Jakarta:
Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide).
5. Brittain, H.G. (1999). Analytical profiles of drugs substances and excipients (Volume 26).
California: Academic Press.
6. Haley S., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe R. C.,
Sheskey, P. J., Queen, M. E. (Editor), London, Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Assosiation.
7. Badan POM. 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor :
HK.03.1.33.12.12.8195 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Badan POM RI, Jakarta.
8. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia , Jakarta.
9. Badan POM. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK
03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
Jakarta.
10. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman
Cara Pembuatan Obat yang Baik Aneks 1 Pembuatan Produk Steril. BPOM RI, Jakarta,
Indonesia.
11. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
BPOM. Jakarta.
12. Council of Europe, 2004. European Pharmacopeia Fourth Edition. Council Of Europe,
Strasbourg.
13. Rowe C Raymond, 2009, HOPE 6th Edition, Washington; Pharmaceutical Press and
American Pharmacists.
14. Ririn Sumiyani,