Anda di halaman 1dari 39

BAB I

TINJAUAN FARMAKOLOGI

I.1 Golongan Obat Berdasarkan Farmakologi Terapi

Lisinopril merupakan senyawa yang memiliki efek menurunkan tekanan darah dengan
mekanisme menghambat kerja dari angiotensin-converting enzyme (ACE). ACE berperan
penting dalam produksi angiotensin II yang berfungsi mengatur keseimbangan tekanan darah.
ACE tersebar di banyak jaringan dan juga terdapat di berbagai macam sel, dan terpusat di sel
endotelial sehingga produksi tertinggi dari angiotensin II berada di pembuluh darah, bukan di
ginjal (Wells dkk., 2008).

I.2 Indikasi

Semua tingkat hipertensi; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard
pada pasien yang secara hemodinamik stabil (Aberg,2009). Pengobatan hipertensi tingkat
sedang hingga berat. Dapat digunakan sendiri atau bersama dengan obat antihipertensi
lainnnya. Pengobatan payah jantung kongestif sebagai terapi tambahan disamping diuretik dan
bila perlu dengan digitalis (Wells dkk, 2008).

I.3 Mekanisme Kerja

Tindakan penghambat kompetitif dari angiotensin-converting enzyme (ACE) yaitu


mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, vasokonstriktor kuat; menghasilkan
tingkat angiotensin II yang lebih rendah yang menyebabkan peningkatan aktivitas renin plasma
dan penurunan sekresi aldosteron; Mekanisme CNS juga dapat terlibat dalam efek hipotensi
sebagai angiotensin II meningkatkan aliran keluar adrenergik dari CNS; kallikreins vasoaktif
dapat menurun dalam konversi ke hormon aktif oleh inhibitor ACE, sehingga mengurangi
tekanan darah (DIH, edisi 17). Selain itu juga menyebabkan peningkatan kadar bradikinin di
plasama sehingga tekanan darah turun (Wells dkk, 2008).

I.4 Farmakokinetik
I.4.1 Absorpsi
Lisinopril diabsorpsi dengan baik di saluran pencernaan. Lisinopril saat diabsorpsi tidak
terpengaruh oleh makanan. Pemberian dosis tunggal per oral mula kerja obat tercapai dalam
satu jam, puncak konsentrasi dalam serum tercapai setelah 7 jam dan berlanjut selama 24 jam
(Medscape, 2018).
I.4.2 Distribusi
Lisinopril memliki sifat berikatan dengan protein sebesar 25% dan memiliki Vd 124 L
(Medscape,2018).
I.4.3 Metabolisme
Lisinopril tidak dimetabolisme dihati (Medscape,2018).
I.4.4. Ekskresi
Lisinopril memiliki waktu paruh selama 12 jam dengan renal klirens sebesar 106 ml/menit
total klirens 250 ml/menit dan diekskresi kan dalam bentuk yang tidak berubah dalam urin
(Medscape, 2018).

I.5 Dosis dan Cara Pemberian

I.5.1. Dosis (MIMS, 2015)

Dewasa: Hipertensi :

- Dosis awal, oral 10 mg sekali sehari


- Dosis pemeliharaan, 10-20 mg sekali sehari
- Dosis ini dapat ditingkatkan sesuai respon klinik maksimum 40 mg
sehari.
- Bila penderita diobatti dengan diuretik, terapi dapat dimulai setelah
diuretik dihentikan selama 2-3 hari
- Pada penderita yang pemberian diuretik nnya tidak dapat dihentikan
dianjurkan dengan memberikan dosis awal lisinopril 5 mg
- Penderita hipertensi renovaskular dapat memperlihatkan respon yang
berlebihan terhadap lisinopril. Sebab itu dianjurkan dosis awal 2,5 – 5
mg kemudian dapat di sesuaikan dengan respon tekanan darahnya.

Payah jantung kongestif:


- Dosis awal,oral 2,5 mg perhari, dosis dapat disesuaikan dengan
respon klinisnya.
- Dosis pemeliharaan, oral 5-20 mg diberikan sekali sehari dalam dosis
tunggal
- Dosis pada penderita insufisiensi ginjal, berdasarkan bersihan
kreatinin:

Bersihan kreatinin Dosis awal


<70 >30 ml/menit 5-10 mg/hari
<30 >10 ml/menit 2,5-5 mg/hari
<10 ml/menit 2,5 mg/hari

Anak-anak: Tidak dianjurkan penggunaan pada anak-anak.


I.5.2. Cara Pemberian
Hipertensi : Dosis inisial : 2,5 mg/hari

Dosis pemeliharaan : 10-20 mg/hari, maksimum 40 mg/hari


 Pada penderita yang sebelumnya menggunakan antihipertensi diuretik, sebaiknya
dihentikan dulu 2-3 hari sebelum terapi dengan lisinopril.
Payah jantung: 2,5 mg/hari
 Bila mungkin dosis diuretiknya harus dikurangi sebelum pengobatan dimulai tekanan
darah dan fungsi ginjal harus dimonitor dengan ketat, baik sebelum maupun selama
pengobatan.
 Timbulnnya hipotensi pada dosis awal lisinopril tidak mengeyampingkan titrasi dosis
berikutnya sesudah hipotensi dikoreksi kembali.
 Bila pada awal terapi tidak ada gejala hipotensi atau setelah hipotensi diatasi, dosis
harus dinaikkan perlahan-lahan, tergantung pada respon penderita sampai diperoleh
dosis pemeliharaan yang diberikan sekali sehari dalam dosis tunggal.
 Titrasi dosis ini dapat dilakukan dalam waktu 2-4 minggu atau lebih cepat lagi bila ada
keluhan dan gejala sisa payah jantung (MIMS, 2015).

I.6 Kontra Indikasi

Lisinopril tidak boleh diberikan pada orang yang sensitif terhadap lisinopril. Pada
penderita yang secara historis dapat menyebabkan angioedema sebagai akibat pengobatan
sebelumnya dengan obat penghambat ACE (MIMS,2015).

I.7 Efek Samping dan Toksisitas

 Hipotensi dapat muncul menyertai ACE Inhibitor, terlihat pada kelompok tertentu.
 Udema Angioneorotik pada muka, tungkai, bibir, lidah, laring pernah dilaporkan walau
jarang pada penderita yang diobati dengan lisinopril. Pada kasus ini, lisinopril harus
dihentikan segera sampai pembengkakan hilang. Bila pembengkakan berlanjut ke muka
dan bibir, keadaan ini dapat mereda denga sendirinya.
 Udema Angioneorotik disertai udema laring dapat mematikan.
 Reaksi hipersensitifitas seperti urtikaria telah dilaporkan.
 Efek samping umum ringan lainnya bersifat sepintas yaitu pusing, sakit kepala, letih dan
diare, batuk, ruam kulit, palpitasi, ortostatik, nyeri dada, takikardia, nyeri abdomen, mulut
kering, hepatoseluler, diaforesis, uremia, oliguria, disfungsi ginjal dan gagal ginjal akut
(MIMS,2015).
I.8 Interaksi Obat

Bila diberikan diuretik yang boros kalium cenderung terjadi hipokalemia. Jangan
diberikan bersama anti inflamasi analgetik non steroid terutama indometasin karena dapat
mengurangi khasiat lisinopril. Jangan diberikan pada penderita gagal ginjal karena lisinopril
dapat menaikkan kadar kalium plasma. Pemberian lisinopril bersama suplemen kalium atau
diuretik hemat kalium tidak dianjurkan, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal, karena
dapat berakibat pada peningkatan kadar kalium serum yang nyata (MIMS,2015).
BAB II
ASPEK KIMIA DAN PREFORMULASI
II.1 Tinjauan Umum Zat Aktif dan aspek Kimia
1. Nama obat : Lisinopril
2. Struktur :

3. Nama Kimia : (S)-1-(N(2)-(1-Carboxy-3-phenylpropyl)-L-lysyl)-L-proline

4. Struktur Molekul : C12H31N3O5

5. Berat Molekul : 405.4879


6. Pemerian : Serbuk kristal berwarna putih atau hampir putih.
7. Kelarutan : Larut di air, praktis tidak larut dalam alkohol dehidrasi dan aseton, larut
sebagian dalam metil alkohol.

8. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, simpan pada suhu ruangan.

(British Pharmacopeiea, 2009).


II.2 Analisis Bahan Baku
II.2.1 Zat Aktif (Lisinopril)
a. Identifikasi
Spektrofotometri Inframerah

Identifikasi senyawa lisinopril menggunakan spektrofotemetri inframerah diperoleh dalam


pelet potasium bromida menggunakan spektrofotometer perkin-elmer model 281-B. Ikatan-
ikatan yang diperoleh merupakan karakteristik spektrum lisinopril (Brittain, H.G, 1999).
b. Penetapan Kadar
Titrasi Potensiometri
Lisinopril dapat ditentukan kadarnya dengan tirtasi potensiometri dengan NaOH berair
dan asam perklorat non-air. Tirtrasi NaOH dilakukan dengan potensiometri di mana NaOH 0.1N
karbonat bebas hingga satu titik akhir menggunakan kombinasi elektroda. Lisinopril juga dapat
ditentukandengan Asam Perklorat 0.1N dalam asam asetat ke satu titik akhir. Sistem elektroda
kaca (seperti model metrohm EA 107 vs elektroda perak/perak klorida dengan model metrohm
EA 432 diisi dengan perklorat litium 0,1N dalam asam asetat glasial (Brittain, H.G, 1999).

II.2.2 Bahan Tambahan/Eksepien

1. Natrium Klorida
Identifikasi zat aktif Flunarizin HCl dalam sediaan Larutkan 25 mg zat dalam 2 ml
metanol P dan tambahkan 0,5 ml air P. Masukkan ke dalam tabung reaksi lalu tambahkan 0,2 g
kalium dikromat P dan 1 ml asam sulfat P. Tempatkan strip kertas saring yang mengandung
larutan difenilkarbazid P di atas mulut tabung reaksi. Kertas akan berubah dari violet ke merah.
Kertas tidak boleh kontak dengan kalium dikromat (Council of Europe, 2004).
2. Natrium Hidroksida
Identifikasi zat aktif Flunarizin HCl dalam sediaan Larutkan 25 mg zat dalam 2 ml
metanol P dan tambahkan 0,5 ml air P. Masukkan ke dalam tabung reaksi lalu tambahkan 0,2 g
kalium dikromat P dan 1 ml asam sulfat P. Tempatkan strip kertas saring yang mengandung
larutan difenilkarbazid P di atas mulut tabung reaksi. Kertas akan berubah dari violet ke merah.
Kertas tidak boleh kontak dengan kalium dikromat (HOPE ed 6th, 2009).
3. Sodium Metabisulfit
Natrium metabisulfit merupakan kristal tidak berwarna, prismatik atau putih bubuk kristal
putih cream yang memiliki bau belerang dioksida dan rasa asam, asin Natrium metabisulfit
mengkristal dari air dingin sebagai hidrat berisi tujuh molekul air. Natrium metabisulfit
merupakan antimikroba pengawet; antioksidan. Natrium metabisulfit juga memiliki aktivitas
antimikroba, yang merupakan terbesar pada pH asam, dan dapat digunakan sebagai pengawet
dalam persiapan seperti sirup. Dalam industri makanan dan dalam produksi anggur. Natrium
metabisulfit demikian juga digunakan sebagai antioksidan, antimikroba pengawet dan
antibrowning agen. Natrium metabisulfit biasanya berisi sejumlah kecil natrium sulfite dan
natrium sulfat. Pada paparan udara dan kelembaban, Natrium metabisulfit perlahan teroksidasi
untuk natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. Penambahan asam kuat padatan membebaskan
sulfur dioksida. Dalam air, Natrium metabisulfit segera dikonversi ke natrium (Nap) dan ion
bisulfit (HSO3). Wadah dan penyimpanan tertutup baik, dilindungi dari cahaya, ditempat yang
dingin dan kering (HOPE ed 6th, 2009).
4. Benzil Alkohol
Benzil alkohol merupakan zat tidak berwarna dan berminyak cair dengan bau aromatik
yang samar dan tajam, pembakaran rasa. Nama lain benzil alkohol adalah Benzylicus alkohol;
benzenemethanol; a-hydroxytoluene; phenycarbinol; phenymethanol; a-toluenol. Benzil alkohol
digunakan sebagai antimikroba, pengawet, disinfektan, pelarut. Benzil alkohol adalah
antimikroba penngawet yang digunakan dalam kosmetik, makanan, dan berbagai macam
formulations farmasi termasuk oral maupun parenteral pada konsentrasi sampai 2.0% v/v.
Dalam kosmetik kosmetik hingga 3.0% v/v dapat digunakan sebagai pengawet. Konsentrasi
5.0% atau lebih sebagai solubilizer. Benzil alkohol 10% v/v dimanfaatkan dalam beberapa
parenteral (HOPE ed 6th, 2009).
5. Asam Hidroklorida
Asam klorida merupakan zat tidak berwarna, fuming larutan hidrogen klorida, dengan
bau menyengat. Sinonim : Salicylicum hydrochloridum concentratum chlorohydric asam; asam
klorida pekat. Asam klorida digunakan secara meluas sebagai penambah keasaman, dalam
berbagai persiapan makanan dan obat (HOPE ed 6th, 2009).
6. Aqua Pro Injeksi
Cairan jernih tidak berbau dan tidak berasa. Sinonim air steril untuk injeksi. Berkhasiat
sebagai pelarut. Disimpan dalam wadah dosis tunggal, dari kaca atau plastic, tidak lebih besar
dari 1L (HOPE ed 6th, 2009).
II.3 Metode Analisis Sediaan
II.3.1 Identifikasi zat aktif Lisinopril dalam sediaan
Lisinopril 1 mg/mL dibuat menggunakan pelarut metanol, sedangkan larutan FDNB 1
mg/mL dibuat dengan pelarut asetonitril. Dapar borat 0,125 M yang mengandung KCl 0,125 M
dibuat dengan menimbang H3BO3 dan KCl yang sesuai dan dibuat pada pH yang diinginkan
(dibuat pH 8; 8,5; 9,0; 9,5; 10,0; 10,5; 11,0; dan 11,5) dengan menambahkan NaOH 1,0 M
sejumlah tertentu secara hati-hati hingga pH yang diinginkan tercapai. pH larutan yang diperoleh
diukur menggunakan pH meter (Ririn,dkk 2016).

II.3.2 Penetapan Kadar Injeksi Lisinopril


Derivatisasi lisinopril dan penentuan panjang gelombang maksimum: larutan lisinopril
dipipet sebanyak 100,0 BL, lalu ditambahkan 500,0FLdaparborat 300,0 BL FDNB dan 2,1 mL
asetonitril. Campuran larutan dihomogenkan, lalu ditambah 100 pL HCI 0,1 N dan ditambah
asetonitril sampai 5,0 mL l,arutan yang dihasilkan diukur dengan spekkofotometer pada rentang
panjang gelombang 200-600 nm. Optimasi pH, suhu reaksi, dan waktu reaksi derivadsasi
dilakukan dengan cara tersebut di atas. Untuk optimasi mol roao FDNB/lisinopril dan waktu
kestabilan produk derivatisasi dtlakukan menggunakan UPLC. Analisis secara spektrofotomen'i
dilakukan pada kondisi optimum reaksi. Setelah didapat ‫ ג‬maksimum lisinopril'DNB, ‫ ג‬maksimum
yang diperoleh digunakan pada analisis UPLC (Ririn,dkk 2016).

Optimasi parameter UPLC pada penetapan kadar lisinopril melalui derivatisasi dengan
FDNB: (Ririn,dkk 2016).
1. Pembuatan fase gerak dengan komposisi hasil optimasi : Fase gerak terdiri dari dapar asetat
pH 3,5 pada kadar 0,01 M : ACN : MeOH pada perbandingan 70:20:10, 70:15:15 dan
70:10:20 (v/v/v) pada laju alir 0,3 mL/menit dilakukan optimasi, selanjutnya dilakukan
optimasi pH (3,5; 4,5; dan 5,5) pada fase gerak optimum. Setelah itu dilakukan optimasi laju
air (0,2 ; 0,3 dan 0,4 mL/menit) pada komposisi fase gerak dan pH optimum. Selain itu
dilakukan optimasi mol ratio FDNB / lisinopril dan waktu derivatisasi dilanjutkan uji
kesesuaian sistem.
2. Preparasi sampel untuk uji akurasi dan presisi: Plasma yang digunakan diperoleh dari Palang
Merah Indonesia (PMI), disimpan pada temperatur -20˚C sampai siap dianalisis. Sampel
plasma 250 µL, dicampur dengan 250 µL lisinopril yang dispiked (kadar akhir lisinopril 5-100
ng/mL), divortex 10 detik, di deproteinasi dengan asetonitril 750 µL dengan vortex 20 detik
dan disentrifus 5000 rpm 10 menit. Supernatan diambil 250 µL, ditambahkan dapar borat 200
µL dan FDNB sejumlah tertentu sesuai dengan jumlah mol ratio terpilih dan dilakukan
derivatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan. Hasil derivatisasi disaring dengan penyaring
milipore 0,2 µm dan diukur dengan UPLC pada ‫ ג‬maksimum lisinopril-DNB. Dari data yang
diperoleh dibuat kurva linier kadar lisinopril terhadap luas area (Mv) lisinopril-DNB.
3. Uji kesesuaian sistem: dilakukan untuk memastikan keefektifan sistem operasional pada hasil
optimasi yang dilakukan. Uji yang dilakukan dengan cara membuat larutan lisinopril kadar
kecil (25 ng/mL) dan besar (45 ng/mL) masing-masing 6 replikasi, lalu dilakukan derivatisasi,
dan kemudian hasil diinjeksikan pada UPLC.
Validasi metode analisis meliputi selektivitas, linearitas, dan batas deteksi serta batas
kuantitasi, ketepatan (accuracy) dan ketelitian (repeatability) (Ririn,dkk 2016).
BAB III
PENGEMBANGAN FORMULA

III.1 Contoh Sediaan yang Beredar di Pasaran


Tabel 1. Contoh sediaan Lisinopril yang beredar di pasaran

NO. Nama Obat Produsen Kekuatan Sediaan

1, Odace Darya -Varia Tablet 10 mg

2. Tensinop Sanbe Tablet 5 mg dan 10 mg

(MIMS, 2015).
BAB IV
MANUFAKTUR DAN QC

IV.1 Aspek-aspek CPOB yang Terkait Proses Produksi


4.1.1 Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi)
dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu
rendah atau tidak efektif. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui
suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua
departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan
mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem pemastian mutu yang didesain
secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah
didokumentasikan dan dimonitor efektivitasnya (BPOM,2012).
Bagian penjaminan mutu dan pengawasan mutu dalam suatu proses manufakturing
adalah tugas dari departemen quality di mana bertanggung jawab terhadap sistem dan tidak
terlibat langsung dalam proses produksi. Departemen quality ini dibagi ke dalam beberapa sub
departemen untuk lebih jelas dalam pembagian kerja untuk mendukung obat yang diproduksi
memiliki mutu yang baik. Adapun sub departemen terbagi menjadi 3 bagian yaitu, Quality
Assurance System, Quality Assurance Operational, dan Quality Control.
IV.1.2 Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem
pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu industri
farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang
memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung
jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta
memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Pelatihan dilakukan bagi seluruh personil yang bertugas di area
produksi, gudang penyimpanan dan laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan
petugas kebersihan). Di samping pelatihan dasar dalam teori dan praktek CPOB, personil baru
hendaklah mendapatkan pelatihan sesuai dengan tugas yang diberikan (BPOM, 2012).
IV.1.3 Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan
letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan
pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa
untuk memperkecil risiko terjadi kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta
memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan
pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan
mutu obat (BPOM, 2012).
a. Area penimbangan
Penimbangan bahan awal dilakukan di area penimbangan terpisah dimana letaknya
didalam bagian dari area penyimpanan atau area produksi agar meminimalisir kontaminasi.
b. Area produksi
Tata ruang produksi dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatan produksi dilakukan di
area yang saling berhubungan antara satu ruangan dengan ruangan yang lain mengikuti urutan
tahap produksi. Area produksi merupakan area dengan kelas kebersihan E (grey area). Alur
masuk personel dan barang ke ruang produksi dilakukan melalui jalur yang berbeda. Tiap-tiap
ruangan memiliki tekanan udara dan temperatur yang berbeda, sehingga tiap ruangan
dipisahkan oleh ruang antara. Antara koridor dan ruangan juga dibedakan tekanannya, tekanan
untuk koridor harus lebih besar disbanding ruangan, agar partikel dan kontaminan di ruangan
tidak masuk ke koridor. Partikel dan kontaminan yang ada di ruangan diserap keluar oleh Air
Handling Unit (AHU).
Permukaan dinding, lantai dan langit-langit bagian dalam ruangan di mana terdapat
bahan baku dan bahan pengemasan primer, produk antara atau produk ruahan dibuat halus,
bebas retak, tidak melepaskan partikulat serta mudah dibersihkan. Konstruksi lantai di area
pengolahan dibuat dari bahan kedap air, permukaannya rata dan memungkinkan pembersihan
yang cepat dan efisien apabila terjadi tumpahan bahan. Sudut antara dinding dan lantai di area
pengolahan berbentuk lengkungan.
c. Area penyimpanan
Tempat penyimpanan barang di gudang yaitu ruangan dengan suhu di bawah 25°C yang
terbagi atas
- Ruang penerimaan
Merupakan tempat yang digunakan untuk menerima dan menyimpan barang yang
datang. Di ruang ini terdapat pallet changer untuk menukar palet kayu (biasanya dari
vendor) dengan menggunakan palet plastik.
- Ruang penyimpanan
Untuk penyimpanan starting material (bahan baku dan bahan pengemas) dengan rak
penyimpanan starting material tersusun dan dibedakan antara penyimpanan bahan baku dan
bahan pengemas
d. Area pengawasan mutu
Laboratorium pengawasan mutu terpisah dari area produksi dengan luas ruang yang
memadai untuk mencegah campur baur. Disediakan tempat penyimpanan yang luas dan
memadai untuk sampel, baku pembanding, pelarut, pereaksi dan catatan.
e. Sarana pendukung
Ruang istirahat dan kantin dipisahkan dari area produksi dan laboratorium pengawasan
mutu. Toilet tidak boleh berhubungan langsung dengan area produksi atau area penyimpanan.
Ruang ganti pakaian berhubungan langsung dengan area produksi namun letaknya terpisah.
Letak bengkel perbaikan dan perawatan peralatan terpisah dari area produksi.
IV.1.4 Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat,
ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat terjamin
sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan untuk memudahkan pembersihan serta
perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-
hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk (BPOM, 2012).
IV.1.5 Sanitasi dan Higiene
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek
pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan
perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, bahan pembersih dan desinfeksi, dan segala
sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial
hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan
terpadu (BPOM, 2012).
Sebelum memasuki area produksi setiap personel diwajibkan mencuci tangan dengan
menggunakan sabun dan mengeringkan tangan menggunakan tissue yang telah disediakan dan
diwajibkan memakai baju dan sepatu kerja khusus. Pada pintu masuk area produksi, disediakan
hand sanitizer sebagai desinfektan untuk tangan. Personel produksi tidak boleh masuk ke ruang
pengemasan begitu pula sebaliknya untuk mengurangi kontaminan, personel ruang produksi
serta ruang pengemasan dibedakan warna bajunya. Sebelum melaksanakan proses produksi,
dilakukan pemeriksaan persiapan ruangan, mesin dan alat-alat yang telah dibersihkan,
kemudian diisi daftar pemeriksaan kebersihan ruangan dan diberikan label “Bersih” (BPOM,
2012).
IV.1.6 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan; dan
memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi
persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (BPOM, 2012).
- Melakukan pengadaan bahan awal dengan mencatat penerimaan, pengeluaran dan
jumlah bahan tersisa dengan keterangan mengenai pasokan, nomor batch/lot, tanggal
penerimaan, tanggal pelulusan, dan tanggal daluarsa. Bahan awal yang diterima,
dikarantina sampai disetujui dan diluluskan untuk pemakaian oleh kepala bagian
pengawasan mutu.
- Mencegah terjadinya pencemaran silang dengan menyediakan penghisap udara serta
menggunakan pakaian pelindung yang sesuai pada areanya dan melaksanakan
prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti efektif.
- Melakukan penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk
antara dan produk ruahan dengan kapasitas, ketelitian dan ketepatan alat timbang
yang sesuai dengan jumlah bahan yang ditimbang.
- Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang penyimpanan
hendaklah didokumentasikan dengan benar.
- Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum dipakai.
- Semua peralatan yang dipakai dalam pengolahan diperiksa sebelum digunakan.
Peralatan digunakan setelah dinyatakan bersih secara tertulis.
- Mesin pencampur, pengayak, pencetak tablet ditempatkan dalam ruang terpisah
dengan dilengkapi dengan sistem pengendali debu.
- Pengawasan selama proses
- Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke
gudang dan siap untuk didistribusikan.
IV.1.7 Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang
Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang
sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang
berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai
dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi. Pengawasan Mutu mencakup
pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan
prosedur pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan,
dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya
telah dibuktikan memenuhi persyaratan (BPOM, 2012).
IV.1.8 Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit dan Persetujuan Pemasok
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan
pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah
dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan
tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan
rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB
secara obyektif (BPOM, 2012).
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping itu, pada situasi khusus,
misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang.
Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri
hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif (BPOM, 2012).
IV.1.9 Penanganan Keluhan terhadap Produk dan Penarikan Kembali Produk
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi
kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani
semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan
kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif
(BPOM, 2012).
IV.1.10 Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang
baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah
fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara
jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya
timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi
Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas
dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting
(BPOM, 2012).
IV.1.11 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan
dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau
pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan
Penerima Kontrak harus dibuat secara jelas yang menentukan tanggung jawab dan kewajiban
masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets
produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu) (BPOM, 2012).
IV.1.12 Kualifikasi dan Validasi
Bab ini menguraikan prinsip kualifikasi dan validasi yang dilakukan di industri farmasi.
CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu dilakukan
sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan
signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat memengaruhi mutu produk
hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan
ruang lingkup dan cakupan validasi (BPOM, 2012).
1. Kualifikasi
Kualifikasi terdiri dari empat tingkatan, yaitu:
1. Kualifikasi Desain/ Design Qualification (DQ)
Kualifikasi desain adalah unsur pertama dalam melakukan validasi terhadap
fasilitas, sistem atau peralatan baru.
2. Kualifikasi Instalasi/ Instalation Qualification (IQ)
Kualifikasi dilakukan terhadap fasilitas, sistem dan peralatan baru atau yang
dimodifikasi, mencakup:
- Instalasi peralatan, pipa dan sarana penunjang sesuai dengan spesifikasi dan gambar
teknik yang didesain.
- Pengumpulan dan penyusunan dokumen pengoperasian dan perawatan peralatan dari
pemasok.
- Ketentuan dan persyaratan kalibrasi.
3. Kualifikasi Operasional/ Operational Qualification (OQ)
Kualifikasi operasional dilakukan setelah kualifikasi instalasi selesai dilaksanakan,
dikaji dan disetujui. Kualifikasi operasional hendaklah mencakup kalibrasi, prosedur
pengoperasian dan pembersihan, pelatihan operator dan ketentuan perawatan preventif.
4. Kualifikasi Kinerja/ Performance Qualification (PQ)
Performance Qualification (PQ) dilakukan untuk menjamin dan mendokumentasikan
bahwa sistem atau peralatan yang telah diinstalasi beroperasi sesuai dengan spesifikasi
yang diinginkan. Sasaran/ target PQ adalah :
- Memastikan sistem dan peralatan bekerja sesuai yang diharapkan dan dengan
spesifikasi yang diinginkan.
- Pada umumnya dilakukan dengan placebo lalu dilanjutkan dengan produk obat pada
kondisi normal, dan dilakukan 3 kali berurutan.
2. Validasi
Tahapan dalam validasi dilakukan sekitar empat tahun sekali. Jadi selama marker tidak
berubah maka tidak diperlukan validasi. Masing-masing mesin mempunyai jadwal validasi.
Validasi dilakukan tiga run dengan batch yang berbeda. Sebelum melakukan sampling,
dibuatlah suatu protocol description. Lalu, dilakukan point sampling terhadap peralatan yang
akan di validasi. Setelah itu, dibuatlah report mengenai sampling yang telah dilakukan. Adapun
yang divalidasi diantaranya adalah:
- Validasi mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang yang digunakan dalam
proses produksi injeksi lisinopril
- Validasi metode analisa yang digunakan untuk menganalisis bahan baku, produk
ruahan, produk antara hingga produk jadi
- Validasi proses produksi untuk menetapkan prosedur tetap dalam produksi injeksi
lisinopril
- Validasi proses pengemasan untuk menetapkan prosedur pengemasan yang baik dan
benar sehingga tidak mempengaruhi mutu produk obat.
- Validasi pembersihan untuk menetapkan prosedur tetap pembersihan terhadap alat-
alat yang digunakan dalam proses produksi.
IV.2 Desain IPC
IV.2.1 Bagan Proses

Gambar 1. Bagan IPC sediaan Injeksi

IV.2.2 Pengambilan Sampel


Bagian awal, tengah, dan akhir suatu proses produksi dalam suatu batch. Pengambilan
sampel bahan awal hendaklah dilakukan menurut pola di bawah ini (BPOM, 2012) :
Pola n : hanya jika bahan yang akan diambil sampelnya diperkirakan homogen dan
diperoleh dari pemasok yang disetujui. Sampel dapat diambil dari bagian manapun dari wadah
(umumnya dari lapisan atas), di mana:
n=1+√N

n = jumlah wadah yang dibuka / diambil sampel

N = jumlah wadah yang diterima


Pola p : Jika bahan homogen, diterima dari pemasok yang disetujui dan tujuan utama
adalah untuk pengujian identitas. di mana:
p = 0,4 √ N
N = jumlah wadah yang diterima

p = jumlah wadah yang dibuka/diambil sampel berdasarkan pembulatan ke atas

Pola r : Jika bahan,

- diperkirakan tidak homogen dan / atau

- diterima dari pemasok yang belum dikualifikasi.

Pola r dapat digunakan untuk bahan yang berasal dari herbal (ekstrak) yang digunakan
sebagai bahan awal, di mana

r = 1,5 √N

N = jumlah wadah yang diterima / diambil sampel

r = jumlah sampel yang diambil berdasarkan pembulatan ke atas

Pola pengambilan sampel bahan pengemas harus memperhatikan hal-hal seperti jumlah
yang diterima, mutu yang dipersyaratkan, sifat bahan (misalnya bahan pengemas primer,
dan/atau bahan pengemas cetak), metode produksi dan pengetahuan tentang pelaksanaan
sistem Pemastian Mutu di pabrik pembuat bahan pengemas berdasarkan audit. Jumlah sampel
yang diambil hendaklah ditentukan secara statistik dan disebutkan dalam pola pengambilan
sampel (BPOM, 2012).
Pengambilan sampel bahan awal dan bahan pengemas primer hendaklah minimal
dilakukan di dalam ruang pengambilan sampel yang setara dengan Kelas kebersihan jenis
proses produksi dan dilengkapi dengan dust extractor. Pengambilan sampel hendaklah di
bawah laminar air flow (LAF) dengan kelas kebersihan minimal sama dengan jenis proses
produksi (BPOM, 2012).

IV.2.3 Pengujian
a. Uji Kejernihan dan Warna
Uji kejernihan memiliki tujuan untuk memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih
dan bebas pengotor. Prinsip uji kejernihan dan warna di mana wadah-wadah dalam kemasan
akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari wadah dari samping dengan latar belakang hitam
untuk menyelidiki pengotor berwarna putih dan latar belakang putih untuk menyelidiki pengotor
berwarna. Hasil memenuhi syarat apabila tidak ditemukan pengotor dalam larutan (Farmakope
Indonesia, 1995).
b. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan pH untuk mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Prinsip pemeriksaan pH cairan uji menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi
(Farmakope Indonesia, 1995).

c. Pemeriksaan Bahan Partikulat


Pemeriksaan bahan partikulat memiliki tujuan agar injeksi termasuk larutan yang
dikonsitusi dari zat padat steril untuk penggunaan parenteral, bebas dari partikel yang dapat
diamati pada pemeriksaan secara visual. Prinsip dari pemeriksaan bahan partikulat ini di mana
sejumlah sediaan diuji filtrasi menggunakan memebran, lalu membran tersebut diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100x. Jumlah partikel dengan dimensi linier efektif 10μm atau
lebih dan sama atau lebih besar dari 25μm. Hasil yang baik apabila jumlah partikel yang
dikandung tidak lebih dari 10.000 tiap wadah yang setara atau lebih besar dari 10μm diameter
sferik efektif dan tidak lebih dari 1000 tiap wadah sama atau lebih besar dari 25μm dalam
dimensi linier efektif (Farmakope Indonesia, 1995).

d. Penetapan Volume Injeksi dalam Wadah


Tujuan penetapan volume injeksi yang dimasukkan dalam wadah agar volume injeksi
yang tidak digunakan tepat/sesuai dengan yang tertera pada penandaan. Prinsipnya adalah
penentuan volume dilakukan dengan cara mengambil sampel dengan alat suntik hipodermik dan
memasukkannya ke dalam gelas ukur yang sesuai. Hasil yang didapat sesuai apabia volume
tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu persatu (Farmakope Indonesia,
1995).

e. Uji Kebocoran
Tujuan dari uji ini untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan
volume serta kestabilan sediaan. Prinsipnya untuk cairan bening tidak berwarna wadah takaran
tunggal yag masih panas setelah selesai disterilkan, dimasukkan ke dalam larutan metilen biru
0,1%. Jika ada wadah yang bocor makan larutan metilen biru akan masuk ke dalam karena
perubahan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan dalam wadah akan
berwarna biru. Untuk cairan berwarna dilakukan dengan posisi terbalik, wadah takaran tunggal
ditempatkan di atass kertas saring atau kapas. Jika terjadi kebocoran, maka kertas saring atau
kapas akan basah. Hasil yang sesuai apabila pada pada cairan bening tidak berwarna wadah
tidak menjadi biru dan pada cairan berwarna kertas sarig atau kapas tidak basah (Farmakope
Indonesia, 1995).
f. Uji Sterilitas
Tujuan uji sterilitas untuk menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi
syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi. Prinsipnya
adalah menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada
inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi dalam medium Tioglikonat
cair dan Soybean Casein Digest prosedur uji dapat menggunakan teknik inokulasi langsung ke
dalam media pada 30-35oC selama tidak kurang dari 7 hari. Hasil yang baik didapatkan apabila
Tahap Pertama: Memenuhi syarat uji jika pada interval waktu tertentu dan pada akhir periode
inkubasi, diamati tidak terdapat kekeruhan atau pertumbuhan mikroba pada permukaan, kecuali
teknik pengujian dinyatakan tidak absah. Jika ternyata uji tidak absah, maka dilakukan pengujian
Tahap Kedua. Tahap Kedua: Memenuhi syarat uji jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba
pada pengujian terhadap minimal 2 kali jumlah sampel uji tahap (Farmakope Indonesia, 1995).

g. Uji Endotoksin Bakteri


Tujuan uji ini adalah memperkirakan kadar endotoksin bakteri yang mungkin ada dalam
atau pada bahan uji. Prinsipnya adalah pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte
Lysate (LAL), meliputi inkubasi selama waktu yang telah ditetapkan dari endotoksin yang
bereaksi dan larutan kontrol dengan pereaksi LAL dan pembacaan serapan cahaya pada
panjang gelombang yang sesuai. Hasil yang sesuai apabila bahan memenuhi syarat uji jika
kadar endotoksin tidak lebih dari yang ditetapkan pada masing-masing monografi (Farmakope
Indonesia, 1995).

h. Uji Pirogen
Tujuan uji ini adalah untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi. Prinsipnya adalah pengukuran kenaikan
suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara IV dan ditujukan untuk sediaan yang dapat
ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 mL/kg bb dalam
jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Hasil sesuai apabila setiap penurunan suhu dianggap
nol. Sediaan memenuhi syarat bila tak seekor kelinci pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5º atau
lebih. Jika ada kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5º atau lebih lanjutkan pengujian
dengan menggunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci masing-
masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5º atau lebih dan jumlah kenaikan suhu maksimum 8
ekor kelinci tidak lebih dari 3,3º sediaan dinyatakan memenuhi syarat bebas pirogen
(Farmakope Indonesia, 1995).
i. Kandungan Zat Antimikroba

Tujuan dari uji ini adalah menentukan kadar pengawet terendah yang masih efektif dan
ditujukan untuk zat-zat yang paling umum digunakan untuk menunjukkan bahwa zat yang tertera
memang ada, tetapi tidak lebih dari 20% dari jumlah yang tertera di etiket. Prinsipnya adalah
penentuan kandungan zat antimikroba menggunakan kromatografi gas atau polarografi
(Farmakope Indonesia, 1995).

j. Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba


Tujuan dari uji ini adalah menunjukkan efektifitas pengawet antimikroba yang
ditambahkan pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan dasar atau bahan pembawa berair
seperti produk parenteral yang dicantumkan. Prinsipnya adalah Pengurangan jumlah mikroba
yang dimasukkan ke dalam sediaan yang mengandung pengawet dalam selang waktu tertentu
dapat digunakan sebagai parameter efektifitas pengawet dalam sediaan. Inokulasi mikroba pada
sediaan dengan cara menginkubasi tabung bakteri biologik (Candida Albicans, Aspergillus
Niger, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus) yang berisi sampel dari inokula
pada suhu 20-25C dalam media Soybean-Casein Digest Agar (Farmakope Indonesia, 1995).

IV.3 Pemilihan Mesin Produksi


------
IV.4 Validasi Proses Produksi
Studi validasi hendaklah memperkuat pelaksanaan CPOB dan dilakukan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan. Hasil validasi dan kesimpulan hendaklah dicatat. Sebelum suatu
Prosedur Pengolahan Induk diterapkan, hendaklah diambil langkah untuk membuktikan
prosedur tersebut cocok untuk pelaksanaan produksi rutin, dan bahwa proses yang telah
ditetapkan dengan menggunakan bahan dan peralatan yang telah ditentukan, akan senantiasa
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu. Hendaklah secara rutin dilakukan
validasi dan/atau peninjauan ulang secara kritis terhadap proses dan prosedur produksi untuk
memastikan bahwa proses dan prosedur tersebut tetap mampu memberikan hasil yang
diinginkan (BPOM, 2006).
Langkah-langkah validasi proses produksi (BPOM, 2013):

a. Frekuensi
1. Validasi Awal (Initial Validation)
 Validasi Awal terdiri dari 3 bets validasi proses aseptis berurutan dengan jumlah minimum
5000 ampul.
 Validasi Awal harus dilakukan apabila:
- ada proses baru
- ada mesin baru
- setelah perubahan kritis pada proses atau peralatan
- setelah modifikasi kritis pada sistem HVAC atau LAF filling hood
2. Revalidasi Periodik (Periodic Revalidation )
 Revalidasi Periodik dilakukan tiap 6 bulan dengan 1 bets (jumlah ampul minimum 5000).
3. Keadaan Khusus
Setelah kegiatan perawatan ruangan yang besar risikonya terhadap sterilitas ruangan
(contoh: pengecatan ruangan) atau overhol mesin: ”Validasi Awal” (dengan 3 bets berurutan)
sebelum fasilitas digunakan kembali.

b. Kualifikasi Personil (Personnel Qualification)


1. Awal
Seorang Operator Pengisian harus memperoleh pelatihan menurut Program Pelatihan untuk
Personil Produksi Steril sesuai nomor batch dan pelatihan dalam pengisian validasi proses
aseptis sebanyak 3 bets berturut-turut.
2. Rekualifikasi
 Tiap Operator Pengisian harus melakukan proses pengisian dalam Validasi Proses Aseptis
minimum 1 kali per tahun.
 Operator Pengisian harus melakukan proses pengisian dalam Validasi Proses Aseptis tiap
kali setelah intervensi perbaikan mesin oleh Operator Teknik.
3. Tindakan pada Kegagalan Kualifikasi Personil
Apabila hasil dari yang dilakukan oleh seorang Operator tidak memenuhi persyaratan, maka
Operator tersebut harus mengulang 1 kali pengisian validasi proses aseptis lagi. Apabila hasil
Validasi Proses Aseptis yang kedua juga tidak memenuhi persyaratan maka Operator
tersebut tidak diperbolehkan melakukan proses pengisian dan harus diberi pelatihan kembali.
Setelah pelatihan ulang, Operator melakukan kembali pengisian Validasi Proses Aseptis dan
setelah hasilnya memenuhi syarat, Operator tersebut baru diperbolehkan untuk melakukan
kegiatan pengisian kembali.
4. Catatan Kualifikasi Personil
Kegiatan kualifikasi personil dicatat dalam formulir di Lampiran 3 Catatan Kualifikasi Personil
Pengisian oleh Kepala Bagian Validasi.

c. Prosedur
 Perintah untuk melaksanakan Validasi Proses Aseptis diturunkan ke Bagian Produksi
menggunakan Manufacturing Order sesuai Penerbitan Manufacturing Order sesuai
nomor batch
 Larutan steril TSB yang sudah dibuat diinkubasikan pada suhu 20 - 30°C selama minimal
5 hari di dalam inkubator. Catat suhu inkubasi setiap hari. Setelah 5 hari inkubasi amati
apakah larutan tetap jernih.
 Bila larutan tetap jernih, lakukan pengisian sesuai ”Catatan Pengolahan Bets” yang telah
disiapkan untuk Validasi Proses Aseptis.
 Selama proses pengisian Kepala Bagian Validasi mencatat aktivitas Operator Pengisian
melalui jendela Ruang Pengisian di koridor (Kelas D).
 Gunakan udara tekan yang dilewatkan melalui filter 0,2 µm sebagai pengganti
penggunaan gas N2 karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
 Lakukan inkubasi larutan sisa pengisian (100 ml). Masukkan larutan yang tersisa pada
tubing ke dalam kolf dan inkubasikan kolf selama 14 hari pada suhu 20 - 30°C di dalam
inkubator. Catat suhu inkubasi tiap hari.
 Setelah semua ampul diisi, inkubasikan ampul selama 14 hari: Sebelum inkubasi semua
ampul dibalik balik agar seluruh permukaan terbasahi larutan media, Inkubasi 7 hari
pada suhu 20 - 25°C, amati apakah terjadi kekeruhan, catat, balik balikkan ampul dan
Inkubasikan selama 7 hari berikutnya pada suhu 30 - 35°C
 Lakukan monitoring suhu inkubasi secara kontinu dengan data logger. Lampirkan hasil
monitoring pada Catatan Pengolahan Bets.
 Lakukan inspeksi visual terhadap semua ampul hasil pengisian pada hari ke 7 dan hari
ke 14 inkubasi. Amati dan catat jumlah ampul yang keruh.
 Setelah seluruh ampul diinspeksi oleh Operator Inspeksi Visual, Inspektur Pengawasan
Mutu melakukan pemeriksaan AQL pada ampul hasil inspeksi tersebut pada hari ke 7
dan hari ke 14.
 Lakukan terhadap ampul yang keruh (yang terinfeksi) pemeriksaan identitas bakteri/
jamur yang tumbuh pada ampul sesuai Metode Identifikasi Bakteri & Jamur sesuai nomor
batch
 Lakukan Growth Promotion Test dan catat hasilnya (gunakan 300 ampul steril yang telah
diinkubasi selama 14 hari) sesuai Protap Growth Promotion Test sesuai nomor batch
 Susun Laporan Validasi Proses Aseptis.

d. Intervensi dari Bagian Teknik


1. Intervensi pada proses simulasi yang dilakukan selama proses pengisian meliputi kegiatan
sbb:
 Membuka tutup samping bagian bawah mesin;
 Simulasi perbaikan kelistrikan (dengan cara memeriksa kekencangan koneksi kabel
beberapa komponen) di dalam panel mesin selama lebih kurang 15 menit;
 Pembersihan mekanisme mesin (hanya bagian bawah) dari sisa pelumas dengan
menggunakan lap bebas serat;
 Menutup kembali;
 Simulasi running test mesin setelah perbaikan selama lebih kurang 5 menit;
 Mengumpulkan dan menyimpan kembali perangkat dan suku cadang;
 Meninggalkan ruangan;
 Operator membersihkan mesin.
2. Dokumentasikan tiap kegiatan intervensi pada simulasi proses aseptis dalam Catatan
Pengolahan Bets.
3. Setelah intervensi, bersihkan dan sanitasi mesin pengisi dan ruangan menurut Protap
Pembersihan dan Sanitasi Ruang Steril sesuai nomor batch. Biarkan ruangan tanpa kegiatan
selama 30 menit untuk pembersihan udara. Ganti jarum dan pompa mesin pengisi dengan yang
baru dan steril.

e. Evaluasi Hasil Validasi Proses Aseptis


1. Target hendaklah dengan pertumbuhan nol dan ketentuan berikut hendaklah diterapkan:
a) Bila mengisi kurang dari 5.000 unit, tidak boleh ditemukan unit tercemar;
b) Bila mengisi 5.000 sampai dengan 10.000 unit:
 Batas Waspada : Satu (1) unit tercemar hendaklah diikuti dengan investigasi dan
pertimbangan untuk mengulang media fill;
 Batas Bertindak : Dua (2) unit tercemar merupakan pertimbangan untuk dilakukan validasi
ulang setelah investigasi;
c) Bila mengisikan lebih dari 10.000 unit:
 Batas Waspada : Satu (1) unit tercemar hendaklah dinvestigasi;
 Batas Bertindak : Dua (2) unit tercemar merupakan pertimbangan untuk dilakukan validasi
ulang setelah investigasi.
2. Hasil validasi proses aseptis melewati Batas Bertindak dan Batas Waspada : Segera lakukan
investigasi yang meliputi: evaluasi Catatan Pengolahan Bets, data monitoring ruangan, data
Personnel Monitoring (termasuk sarung tangan, dll.), sistem kritis: HVAC, filter HEPA,
compressed air/ gas, air, steam, sterilization cycle dari media, ampul, dan alat, dll.
3. Hasil validasi proses aseptis dianggap “ invalid” apabila:
 Ada kegagalan pada Growth Promotion Test;
 Alasan yang lain yang dapat menyebabkan penghentian produksi.
4. Rekapitulasi hasil Validasi Proses Aseptis

f. Tindakan Perbaikan
1. Validasi Awal
 Apabila ampul yang tercemar dari 1 bets melebihi Batas Waspada, segera lakukan
investigasi. Bila tidak ditemukan penyimpangan lakukan tambahan 1 bets.
 Apabila ampul yang tercemar dari 1 bets melebihi Batas Bertindak, langsung hentikan
kegiatan validasi. Setelah penyebab cemaran diketahui, ulangi kembali “Kualifikasi Awal”.
2. Revalidasi Periodik
 Apabila jumlah ampul yang tercemar melebihi Batas Waspada, dan penyebab dari cemaran
diketahui, segera lakukan perbaikan. Lakukan 1 bets tambahan.
 Apabila penyebab dari cemaran tidak diketahui atau hasil dari Validasi Proses Aseptis yang
kedua di atas Batas Waspada, lakukan kembali Validasi Awal (Initial Validation) (3 bets).

g. Hasil Produksi dan Validasi Proses Aseptis yang Tidak Memenuhi Syarat
Apabila hasil validasi proses aseptis tidak memenuhi persyaratan, harus dilakukan
pengkajian (assessment) terhadap pengaruh dari hasil validasi pada sterilitas hasil produksi
(dimulai dari setelah Validasi Proses Aseptis terakhir yang memenuhi persyaratan).
IV.5 Pengemasan
IV.5.1 Kemasan Sekunder

Gambar 2. Desain Kemasan Sekunder


IV.5.2 Kemasan Primer

Gambar 3. Desain Kemasan Primer


Kemasan primer untuk cairan injeksi lisinopril dipilih dalam bentuk ampul di mana tiap
wadah ampul berisi 5ml lisinopril. Ampul adalah wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah
cairannya ditentukan pemakainannya untuk satu kali injeksi (Voight, 1995).

IV.6 Penyimpanan

Sediaan injeksi lisinopril disimpan dalam wadah tertutup rapat, simpan pada suhu
ruangan yaitu 25-27OC (British Pharmacopea, 2009).
BAB V
REGULASI DAN PERUNDANGAN

V.1 Registrasi
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang
“Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat”, injeksi lisinopril 5ml ini termasuk dalam registrasi
baru kategori 2 yaitu Obat Copy.
Tata laksana registrasi berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. HK.00.05.3.1950 untuk memperoleh izin edar terdiri dari:
1. Registrasi obat diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan.
2. Registrasi obat dilakukan dalam dua tahap, yaitu pra-registrasi dan penyerahan berkas
registrasi.
3. Penyerahan berkas registrasi dilakukan dengan menggunakan formulir registrasi dan disket,
dilengkapi dengan dokumen-dokumen penunjang sesuai ketentuan yang berlaku Prosedur
registrasi obat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu :
1. Pra-registrasi
a. Dokumen administratif yang dibutuhkan untuk pra-registrasi baru adalah
- Surat pengantar
- Sertifikat dan dokumen lain
- Dokumen pertimbangan penetapan jalur
- Dokumen obat terkait paten (jika perlu)
b. Dokumen mutu yang dibutuhkan untuk pra-registrasi adalah :
- Ringkasan dokumen mutu
- Informasi tentang bahan bersumber hewan yang digunakan dalam proses pembuatan
- Nama, alamat lengkap dan negara dari produsen yang terlibat dalam seluruh proses
pembuatan zat aktif
- Alur dan uraian proses pembuatan dari bahan baku sampai obat
- Hasil analisis bets bahan baku zat aktif dan obat
- Drug Master File dari produsen zat aktif untuk zat aktif yang belum pernah digunakan
untuk produksi obat yang disetujui di Indonesia
- Protokol validasi proses
- Protokol validasi metoda analisa
- Protokol uji stabilitas obat
- Data ekivalensi
- Site Master File (SMF) industri farmasi di luar negeri yang belum mempunyai produk
dengan persyaratan sama yang disetujui beredar di Indonesia
c. Dokumen nonklinik (jika perlu)
d. Dokumen klinik (jika perlu)
2. Registrasi
Penyerahan dokumen registrasi terdiri atas :
a. Kelengkapan dokumen administratif dan informasi produk
- Dokumen administratif
- Informasi produk dan penandaan
b. Kelengkapan dokumen mutu
c. Kelengkapan dokumen nonklinik
d. Kelengkapan dokumen klinik Pihak yang mengajukan pendaftaran obat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
- Memiliki izin industri farmasi
- Memiliki sertifikat CPOB yang masih berlaku sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan
yang diregistrasi

*) Jalur evaluasi untuk injeksi lisinopril 5 ml adalah 100 hari kerja, karena injeksi lisinopril 5 ml
termasuk kategori obat copy.
V.2 Penandaan Sesuai Undang-Undang
a. Obat Keras
Injeksi Lisinopril 5ml termasuk ke dalam daftar obat keras (G). Obat keras adalah obat
yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Berdasarkan SK Menkes No.
193.Kab/B VII/71 tanggan 21 Agustus 1971 tentang “Peraturan Pembungkusan dan Penandaan
Obat” dan Surat Edaran Dirjen POM No 4266/AA/II/86 tanggal 26 Agustus 1986 tentang “Tanda
Khusus Obat Keras (Daftar G)”, maka penandaan khusus obat keras pada wadah, leaflet atau
brosur sediaan injeksi Lisinopril 5ml harus sama atau mendekati sama dengan contoh tanda
khusus dibawah ini

Disertai dengan kalimat “Harus dengan resep dokter” sesuai dengan SK Menkes RI No.
197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977 untuk mengendalikan dan mengawasi peredaran obat
keras.

b. Bungkus Luar dan Etiket

Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obar dan Makanan RI Nomor HK


03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang “Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat”, informasi
minimal yang harus dicantumkan pada rancangan kemasan bungkus luar adalah :
1. Bungkus luar
- Nama obat
- Bentuk sediaan
- Besar kemasan
- Nama dan kekuatan zat aktif
- Nama dan alamat industri pendaftar
- Nama dan alamat industri/BPF pendaftar (importir) dan produsen obat impor
- Nama dan alamat industri pendaftar dan pemberi lisensi
- Nomor izin edar
- Nomor bets
- Tanggal produksi
- Batas kadaluarsa
- Indikasi (dapat merujuk pada brosur)
- Pasologi (dapat merujuk pada brosur)
- Kontraindikasi (dapat merujuk pada brosur)
- Efek samping (dapat merujuk pada brosur)
- Interaksi obat (dapat merujuk pada brosur)
- Peringatan dan perhatian (dapat merujuk pada brosur)
- Peringatan khusus ( bila ada)
- Cara penyimpanan
- Informasi khusus
- Harus dengan resep dokter
- Lingkaran tanda khusus obat keras
2. Etiket/label
- Nama obat
- Bentuk sediaan
- Besar kemasan
- Nama dan kekuatan zat aktif
- Nama dan alamat industri pendaftar
- Nama dan alamat industri/BPF pendaftar (importir) dan produsen obat impor
- Nama dan alamat industri pendaftar dan pemberi lisensi
- Nomor izin edar
- Nomor bets
- Batas kadaluarsa
- Indikasi (dapat merujuk pada brosur)
- Pasologi (dapat merujuk pada brosur)
- Kontraindikasi (dapat merujuk pada brosur)
- Efek samping (dapat merujuk pada brosur)
- Interaksi obat (dapat merujuk pada brosur)
- Peringatan dan perhatian (dapat merujuk pada brosur)
- Peringatan khusus ( bila ada)
- Cara penyimpanan
- Informasi khusus
- Harus dengan resep dokter
- Lingkaran tanda khusus obat keras

c. Nomor Registrasi dan Nomor Batch

Nomor registrasi sediaan injeksi lisinopril 5ml adalah:

DKL 18 212 657 15 A I

D : Obar dengan nama dagang

K : Golongan obat keras

L : Produksi dalam negri (lokal)

18 : Tahun penandaan obat jadi (tahun 2018)


212 : Nomor urut pabrik di Indonesia
657 : Nomor urut obat jadi yang disetujui oleh pabrik
15 : Nomor urut sediaan
A : Kekuatan obat jadi
1 : Kemasan untuk kekuatan obat jadi tersebut (kemasan pertama)
Sediaan injeksi lisinopril dibuat oleh pabrik atau industri yang telah memenuhi
persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Nomor batch sediaan injeksi lisinopril 5 ml adalah:

0518 43 01

0518 : Bulan dan tahun produksi

43 : Kode bentuk sediaan (injeksi)

01 : Nomor urut pembuatan


BAB VI
INFORMASI OBAT

VI.1 Pelayanan Informasi Obat


Informasi yang harus disampaikan kepada pasien diantaranya:

1. Lisinopril harus diberikan dengan resep dokter.

2. Dosis yang dianjurkan adalah 5 ml per hari setelah atau sebelum makan dan jangan melebihi
dosis yang dianjurkan.

3. Lisinopril sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak usia di bawah 6 tahun karena belom
teruji keamanannya

4. Sebaiknya ditanyakan pasien yang memiliki alergi terhadap lisinopril atau obat jenis ACE
inhibitor lainnya.

5. sebaiknya tidak diberikan kepada pasien yang memiliki gangguan penyakit ginjal,
skleroderma, diabetes, lupus, angiodema, aterosklerosis

6. Perhatikan efek samping yang muncul seperti pusing, sakit kepala, tekanan darah rendah,
batuk, kelelahan, ruam kulit, nyeri dada, mual muntah, diare, hiperkalamia, penyakit ginjal. Jika
muncul, hentikan konsumsi obat dan konsultasikan kepada dokter.

VI.2 Brosur Obat

INJEKSI LISINOPRIL

Lisinopril 5 ml

Lisinopril 10 ml

KOMPOSISI

Tiap ampul Lisinopril 5 ml mengandung:

Tiap ampul Lisinopril 10 ml mengandung:

FARMAKOLOGI

Lisinopril adalah penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) dan penghambat


angiotensin II, suatu vasokonstriktor yang kuat.
Lisinopril mengatur mekanisme fisiologik yanng spesifik, yakni sistem renin-angiotensin-
aldosteron yang berperan dalam pengaturan tekanan darah. Awal kerjanya mulai dalam waktu 2
jam setelah pemberian per oral, efek puncak tercapai 7 jam setelah dosis per oral dan efek
berlanjut selama 24 jam setelah dosis tunggal harian.

Data memperlihatkan efeknya tidak lenyap selama terapi jangka panjang. Peninggian tekanan
darah secara tiba-tiba tidak terjadi bila pengobatan dengan penghambatan ACE dihentikan
secara mendadak.

Penderita payah jantung kongestif yang diobati dengan lisinopril mendapat keuntungan
khususnya dari pengurangan beban hulu ( pre load) dan beban hilir (after load) dari jantung,
yang terlihat sebagai peningkatan curah jantung, tanpa disertai refleks takikardia.

INDIKASI

- Pengobatan hipertensi tingkat sedang sampai berat dapat dipergunakan sendiri atau
bersama dengan obat antihipertensi lain.
- Pengobatan payah jantung kongestif sebagai terapi tambahan disamping diuretika dan
bila perlu dengan digitalis

KONTRAINDIKASI

- Penderita yang hipersensitifitas terhadap Lisinopril


- Penderita yang pernah mengalami angioedema dengan peghambat ACE yang lain

EFEK SAMPING

- Hipotensi
- Oedema angioneurotik pada muka, tungkai, bibir, lidah, glottis, dan atau larynx pernah
dilaporkan (jarang)
- Oedema angioneurotik yang disertai oedema larynx yang berbahaya. Bila ada
keterlibatan lidah, glottis atau larynx, cenderung menjadi penyumbatan saluran udara
- Reaksi hipersensitifitas berupa urtikaria
- Pusing, sakit kepala, letih dan diare, batuk, neusea, ruam kulit, palpitasi, hipotensi,
ortostatik, nyeri dada, lelah (tidak sering).
PERINGATAN / PERHATIAN

- Beberapa penderita hipertensi sebelumnya tidak memperlihatkan tanda-tanda penykit


ginjal mengalami peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah ketika ACE inhibitor
diberikan bersamaan dengan diuretika
- Hati-hati pemberian pada penderita yang volume cairannnya sudah terkuras oles
diuretika, diet rendah garam, dialisis, diare atau muntah karena pada penderita ini dapat
timbul gejala hipotensi setelah pemberian dosis awal
- Sebelum terapi dimulai fungsi ginjal harus dinilai pada penderita hipertensi atau payah
jantung kongestif
- Gagal ginjal pernah dilaporkan dalam hubungan dengan ACE inhibitor terutama pada
penderita payah jantung kongestif berat atau pennyakit ginjal
- Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus.
Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan atau
kelainan organ pada fetus dan neonatus, bahkan dapat menyebabkan kematian pada
fetus dan neonatus.
Apabila pada pemakaian obat ini ternyata wanita tersebut hamil, maka pemberian obat
ini harus diberikan dengan segera.
Pada kehamilan pada trimestes II dan III dapat mengakibatkan gangguan antara lain :
hipotensi, hipoplasia tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal reversible atau irreversible
dan kematian juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial, perkembangan
paru hipoplasi, kelahiran prematus, perkembangan retardasi intra uteri, patenduktus
arteriosus
- Bayi dengan riwayat dimana selama di dalam kandungan ibunnya mendapat pengobatan
ACE , harus diobservasi intensif tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oligouria dan
hiperkalemia
- Keamanan dan efektifitas pada anak-anak belum diketahui dengan pasti

ATURAN PAKAI

Hipertensi : dosis inisial : 2,5 ml/hari

Dosis pemeliharaan : 10-20 ml/hari

Pada penderita yang sebelumnya menggunakan antihipertensi diuretik, sebaiknya dihentikan


dulu 2-3 hari sebelum terapi dengan Lisinopril
Payah jantung : dosis inisial 2,5 ml/hari.

Bila mungkin dosis diuretiknya harus dikurangi sebelum pengobatan dimulai. Tekanan darah
dan fungsi ginjal harus dimonitor dengan ketat, baik sebelum maupun selama pengobatan.

Timbulnya hipotensi pada dosis awal Lisinopril tidak mengeyampingkan titrasi dosis berikutnya
sesudah hipotensi dikoreksi kembali.

Bila pada awal terapi tidak ada gejala hipotensi atau setelah hipotensi diatasi, dosis harus
dinaikkan secara perlahan-lahan, tergantung pada respon penderita sampai diperoleh dosis
pemeliharaan yang diberikan sekali sehari dalam dosis tunggal

Titrasi dosis ini dapat dilakukan dalam waktu 2-4 minggu atau lebih cepat lagi bila ada keluhan
fdan gejala sisa payah jantung.

Dosis pemeliharaan 10-20 ml/hari.

KEMASAN
LISINOPRIL INJEKSI
Dus berisi 4 strip @ 5 ampul
Reg.No. : DKL 18 212 657 15 A I

HARUS DENGAN RESEP DOKTER

SIMPAN DI BAWAH 30˚C


TERLINDUNG DARI CAHAYA

Diproduksi oleh :
PT. FARMA
Jl.
Pontianak
Kalimantan Barat, Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Dipiro, JT., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzake, Barbara G. Wells, L.,
Michael Posey, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Sixth Edition, The
Mc Graw-Hill Companies, USA.

2. Medscape, 2018, Drug, OTC, and Herbals (online),


(http://www.reference.medscape.com/drug-otc-herbals), diakses tanggal 29 April 2018.

3. Anonim. 2015. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 15, 2015/2016. Jakarta:
Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide).

4. British Pharmacopoiea Commision. 2009. British pharmacopoeia. London: The


Pharmaceutical Press.

5. Brittain, H.G. (1999). Analytical profiles of drugs substances and excipients (Volume 26).
California: Academic Press.

6. Haley S., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe R. C.,
Sheskey, P. J., Queen, M. E. (Editor), London, Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Assosiation.

7. Badan POM. 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor :
HK.03.1.33.12.12.8195 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Badan POM RI, Jakarta.

8. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia , Jakarta.

9. Badan POM. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK
03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
Jakarta.

10. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman
Cara Pembuatan Obat yang Baik Aneks 1 Pembuatan Produk Steril. BPOM RI, Jakarta,
Indonesia.

11. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
BPOM. Jakarta.

12. Council of Europe, 2004. European Pharmacopeia Fourth Edition. Council Of Europe,
Strasbourg.

13. Rowe C Raymond, 2009, HOPE 6th Edition, Washington; Pharmaceutical Press and
American Pharmacists.
14. Ririn Sumiyani,

Anda mungkin juga menyukai