Anda di halaman 1dari 22

Halaman 122

Dehydrogenase, peroksida dan lain-lain pada M.Lepra dan basil tersebut


mampu mendapatkan kebutuhan energi secara mandiri. Prabhakaran membuat
penemuan penting bahwa M. Lepra memiliki DOPA. Dimana oksidasi DOPA and
enzim ini adalah spesifikasi tinggi untuk M.Leprae, dia tidak dapat mendeteksi
aktivitas enzim dakan 8 penelitian mycobacterium lainnya. Namun masih
diperdebatkan dalam validasi klaim Prabhakaran .

Bagian dari aktivitas oksidasi DOPA mencoba untuk identifikasi enzim


lain yang sudah terbentuk. Shetty et. Al melaporkan kehadiran dari gamma glutamil
transpeptiade dalam persiapan suspensi biopsi yang didapatkan dari penderita Lepra.
Dhople melakukan penelitian taksonomi dengan membandingkan property
biokemikal dari M. Leprae dari kelambatan tertetu dengan pertumbuhan
mycobacteria yang cepat. Uji enzim katalase di ruang bersuhu 68 C dan pH 7,
arylsuphatase dan urease. Katalase ditemukan untuk menjadi peran dalam M.Leprae,
arylsulphatase dapat mendemonstrasi dalam 14 hari dan urease tidak ditemukan.

HOST Interaksi M.Leprae

Tanda klinis dan imunologi dan asosiase hematologi, serologi dan biokemikal
berubah pada penderita Leprae yang dapat dipahami hanya dengan aspek organ
penyebab, M. Leprae dengan penjamu. 10-15 tahun yang lalu, beberapa penelitian
yang telah dilakukan untuk melihat interaksi M.Leprae terhadap sel Schwann,
makrofag, sel dendrit dan sel endoteliat yang dapat menejelaskan patogenesis dan
proses penyebaran infeksi M.Leprae.

Interaksi antara Sel Schwann dan Mekanisme Kerusakan Saraf

Mycobacterum Leprae mempunyai penjamu sel tropis yang unik didalamnya,


lebih menginfeksi dan berkembang pada sel Schwann diantara akson dari sel saraf.
Karena hal tersebut, membuktikan bahwa saraf tersebut mengalami kerusakan setelah
terinfeksi Lepra, hasil kerusakan dan kecacatan berkaitan dengan penyakit tersebut.
Penderita dengan Lepra, myelin dan non myelin dari sel schwann telah terinfeksi oleh
M.Leprae meskipun ada yang berpendapat lebih kepada sel schwann yang tidak
bermyelin. Mekanisme pada fase berat yang terikat oleh M.Leprae dengan sel schwan
telah dijelaskan. Antibodi langsung melawan polisakarida dan komponen lemak dari
penghambatan adhesi M.Leprae dengan sel schwan, saat secara langsung melawan
permukaan dan sitoplasma protein yang tidak memperlihatkan efek, indikasi hal
tersebut kumpulan M.Leprae dari sel schwann mungkin menjadi mediasi lebih dari
satu molekul permukaan sel.

Molekul penjamu laminin-2 adalah inisial target M.Leprae untuk


mencari sel Schwann. Molekul laminin terdiri dari rantai alfa 2, Beta 1 dan gama 1
yang bergantung pada sel schwann melalui resptor lamini, alfa dystroglican. Wilayah
globular dari laminin rantai alfa 2 adalah spesifikasi subunit yang dimana dari
interaksi M.Leprae. Hal tersebut berhubungan dengan sisi infeksi M.Leprae dalam
manusia yaitu sel schwan, muskulus dan plasenta dimana laminin alfa 2 terdistribusi.
Reseptor spesifik kepada M.Leprae dalam sel Schwann adalah reseptor alfa DG.
Glycolipid phenolic, molekul dinding sel M.Leprae telah menunjukkan spesifikasi
terkait dengan laminin melalui terminal trisaccharida secara in vitro. Spesifikasi
lainnya pada adhesi bakteri. Interaksi potensi dari M.Leprae dengan sel schwann.

Setelah adhesi ke permukaan sel, mereka secara perlahan memfagosit


seperti berdasarkan penelitian yang menggunakan sel schwan dan kultur saraf sel
schwan, dan beberapa protein kinase telah menunjukkan esensi saat menelan.
Penemuan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa oksidasi vesikel mengandung
radiasi mematikan pada proses normalnya. Saat oksidasi minimal ketika M.Leprae
telah berfungsi, untuk mengganggu pematangan endosit yang normal. Infeksi dari sel
schwann yang telah muncul untuk mempertahankan sel schwan daripada apoptosis.
Namun ikatan M.Leprae yang berasal dari lipoprotein menuju reseptor 2 melalui
manusia untuk mengatur hasil apoptosis.
Hal ini telah dilaporkan bahwa ikatan M.Leprae terhadap sel schwann
dalam penurunan dari sel imun, kecepatan terjadinya demyelinasi mungkin melalui
mekanisme kontak dalam dinding sel PGL 1. Respon imun pada infeksi M.Leprae
telah dijelaskan oleh Scollard. Berdasarkan laporan penelitian, hal ini terjadi bahwa
sel schwann manusia dapat mengekspresikan komplek histocompability molekul
kelas II setelah terinfeksi dengan M. Leprae dan sel schwann yang telah terinfeksi
muncul dapat menghasilkan proses antigen M.Leprae kepada CD4+ T sel. Sebagai
tambahan molekul MHC kelas II, sel Schwann manusia juga dapat mengekspresikan
MHC kelas I, adhesi molekul interseluler 1 (ICAM-1) dan permukaan molekul CD 80
terlibat dalam antigen. Saraf yang terinfeksi dengan M.Leprae juga dapat berefek
bersamaan dengan proses imunologi atau inflamasi, melalui sitokin dan kemokin.
Molekul seperti TNF alfa , proinflamasi sitokin dan oksidsi nitrit lainnya juga telah
dilaporkan bersamaan dengan apoptosis dan demyeinasi sel schwann.

Interaksi Makrofag dengan M.Leprae

Sebagai intraseluler patogrn obligat, sel penjamu utama untuk M.Leprae adalah
fagosit mononuclear atau makrofag yang dimana dapat bertahan dan bereplikasi.
Mekanisme yang mana mendestruksi dengan cara memfagosit masih belum dapat
dipahami sepenuhnya. Kemungkinan konteks dalam pembasmi oksidatif adalah:

- Kemampuan untuk memfagosit aktivitas mikrobisidal dengan menghambat


pernafasan
- Ketidakmampuan untuk menstimulasi produksi metabolism oksigen reaktif
- Prevensi dari interaksi metabolisme oksigen dengan memfagosit bacillus
- Metabolism oksigen resisten. Tidak tertatanya system antimicrobial
nonoksidatif tidak dapat dikesampingkan

Dasar biologi dari interaksi makrofag dengan M.Leprae telah di telaah oleh
Krahenbuhl dan Adams. Makrofag adalah tipe sel primitif yang ditemukan di
awal dan diakhir hidup, dan memiliki banyak fungsi, sebagai fagosit bakteri,
memproduksi sitokin, antigen dan pembasmi tumor. Penderita lepra, pengurangan
aktivitas kemotaktik telah dilaporkan, meskipun peningkatan migrasi lekosit dari
pasien LL ke antigen M.Leprae telah diobservasi di dalam tikus. Fagositosis telah
dilaporkan bahwa normal di dalam penderita lepra. Makrofag dalam jaringan
yang spesifik dan infeksi jaringan dapat melakukan peran penting dalam
pathogenesis leprosy dengan melepaskan sitokin, termasuk TNF alfa kedalam
stimulasi dengan seluruh M.Leprae dan atau komponen dinding sel dan dengan
menjembatani, sebagai antigen sel, imunitas murni dan didapat dari penjamu
dengan menghasilkan respon T sel dan B sel . Dan juga mehasilkan PGL1, saat
ditambahkan ke dalam mononuclear sel ke M.lepare, stimulasi untuk
memproduksi TNF alfa.

Makrofag dari pasien LL muncul pada M.Leprae yang


menunjukkan penurunan sintesis protein, tidak seperti pada pasieb tuberkuloid
atau pada keadaan normal. Penyembuhan dan aktivasi pasien LL mempunyai
makrofag yang cacat, tidak dapat merespon M.Leprae untuk memproduksi
superoksidasi anion, sebaliknya dengan sel normal pada orang sehat. Kultur
makrofag dari dari darah tepi pada orang sehat, pasien tuberkuloid dan pada
keadaan terapi jangka panjang, pasien LL dengan bakteri negative dapat
melepaskan hydrogen peroksida dalam stimulasi M.Leprae. Tapi makrofag dari
pasien LL degan bakteriologi positif memproduksi sedikit hydrogen peroksida
bahkan dengan dibuktikan stimulasi dari beberapa sel M.Leprae. Perbedaan
stimulasi makrofag muncul menjadi lebih spesifik pada M.Leprae. Hal ini dapat
terjadi saat beberapa factor lain berkompensasi pada M.Leprae dalam makrofag,
hydrogen peroksida mungkin tidak seberapa efektif dalam membunuh bakteri
pada pasien yang telah terinfeksi.

Interaksi dengan Sel Dendrit


Walaupun M.Leprae diketahui berada dalam sel schwan dan
makrofag, beberapa tipe sel lainnya seperti DC dan sel endotel juga muncul untuk
tinggal pada organisme. Infeksi monosit DC secara in vitro dengan asal dari
M.Leprae dapat memfagosit secara efektif M.Leprae dan DC dapat menghasilkan
spesifik antigen M.Leprae, termasuk PGL-L. Sel Langerhans, bagian dar DC
merupakan inisiasi respon imun dalam kulit, antigen yang lebih baik daripada
monosit yang berasal dari DC. Membran mayor protein telah ditemukan
mempunyai imunogenik yang tinggi. Protein ini menstimulasi DC secara
langsung dan memberikan hasil level tinggi dari aktifasi sel T ketika digunakan
untuk menekan monosit DC.

Mycobacterium Leprae dan sel endotel

Mycobacterium Leprae telah dilaporan bahwa berasa pada endotel kulit,


jaringan saraf dan mukosa hidung, indikasi sel endotel tersebut mungkin bagian untuk
tumbuh dan bereplikasi. Dasar dari penelitian menggunakan armadillo dari M.Leprae
untuk menentukan tingkat yang dimana bacilli dapat ditemukan di sel endotel,
Scollard et al. berpendapat bahwa sel endotel dalam pembuluh darah epineurial dan
perineurial dapat singgah untuk bereplikasi yang mungkin selanjutnya dapat
menginfeksi sel schwan dalam jaringan. Mereka menemukan implikasi bahwa
mekanisme M.Leprae bahwa mekanisme M.Leprae menempel pada sel endotel yang
didapatkan untuk pembentukan infeksi dan M.Leprae dapat mencari nervus perofer
melewati aliran darah.

PERUBAHAN HEMATOLOGI, SEROLOGI DAN BIOKIMIA PENDERITA


LEPROSY

Manifestasi klinik utama dari Lepra adalah: 1. Proses bakteri pada


penjamu 2. Respon imun penjamu 3. Nervus perifer merusak salah satu atau semua
proses bakteri dan respon imun dari penjamu. Leprosy menyababkan manifestasi
pada kulit dan nervus perifer yang menyebabkan deformitas dan kecacatan, hal ini
juga berefek pada beberapa organ. Penelitian khusus telah selesai mengevaluasi
perubahan pada hematologi, serologi dan biokimia darah. Beberapa penelitian
melaporkan konduksi silang klinikal spectrum leprosy dalam perubahan LL dan fase
reaksi, terutama eritema nodusum leprosum (ENL).

Keadaan Hematologi pada Leprosy

Profil hematologi telah diteliti bahwa penderita lepra dengan


perbedaan spectrum klinik, pada macam fase dari penyakitdan terapi. Hemoglobin,
pembungkus volume sel dan serum besi merupakan lebih rendah antara penderita LL
dan bukan pasien lepromatous. Level serum B12 lebih signifikan antara kelompok
lepromatous. Perubahan yang tidak signifikan telah diobservasi dalam tingkat serum
besi yang berhubungan dengan penyakit dan status terapi. Dengan naiknya beban
bakteri, terdapat kecenderungan rendahnya konsentrasi hemoglobin, kenaikan vitamin
B dan rendahnya serum folat. Perubahan hematologiseperti anemia, leukositopeni dan
trombositopeni telah dilaporkan dalam kasus florid LL dengan supresi sumsum tulang
yang disebabkan penyakit dan keabnormalitas dengan MDT untuk lepra.

Methemoglobinemia dan anemia hemolitik merupakan efek samping


terapi dapsone secara berkepanjangan. Perubahan hematologi terjadi pada pendeita
lepra yang mendapat dapsone antara pengobatan dosis tunggal (DDS group) atau
sebagai bagian dari kombinasi MDT dengan Rifampisin dan Klofazimin. Penurunan
hemoglobin pada pasien yang mendapatkan MDT sangat sering didapatkan. Deps et
al. telah melaporkan bahwa Dapson digunakan pada regimen MDT untuk penderita
lepra dengan penurunan hematocrit dan hemoglobin yang disebabkan pada hemolysis
tingkat rendah, yang dimana dapat menghasilkan anemia yang signifikan. Pada
penelitian, anemia hemolitik telah diobservasi dalam 24,7% dari pasien dalam terapi
MDT dan kejaiannya antara 3 bulan pertama dalam 51% . Pada penelitian lainnya
retikulosit telah ditemukan menjadi tunggi dalam 90% dari pasien. Eosinofilia yang
parah juga telah ditemukan. Bodi Heinz juga telah terdeteksi dalam 6,6% dari pasien.
Kelemahan tes osmotik menunjukkan reduksi pada sel yang resisten. Efek samping
hematologi dari Dapsone telah signifikan walaupun dengan dosis saat ini digunakan
untuk terapi leprosy (100 mg/hari). Rifampisin dan Klozamin, bagaimanapun jangan
menaikkan insiden dari efek selama terapi yang berkepanjangan.

Serologi pada Leprosy

Pasien dengan LL telah diteli macam antibody dan komleks imun (IC).
Peningkatan frekuensi heterofil, Hanganutziu Deicher dan Forssman antibodi telah
ditemukan di sera pada penderita LL. Frekuensi antibody pada cardiolipin merupakan
tertinggi dan frekuensi factor rematik termasuk sedang. Sirkulasi IC dibuktikan dalam
54% dan 43% dari penderita sera dengan Raji sel tes dan tes anti antibody inhibisi.
Analisis kelas immunoglobulin IC menunjukkan bahwa IgG merupakan predominan
dalam IC dari penderita dengan reaksi lepra (LR) dan igM degan pasien tanpa LR. IC
mengikat kepada berbagai macam sel dari system imun yang menghasilkan reseptor
Fc dan mungkin cepat hilang dalam sirkulasi, khususnya jika lebih banyak
bentuknya. IC mungkin dibentuk dari jaringan lain daripada darah, dimana tidak
dapat dideteksi.

Pada penelitian penderita Leprae dari Papua Nugini, serum antibody pada
kolagen manusia (anti cardiolipin antibody (ACA)) telah dideteksi dengan
hemagglutination assay, dengan berbagai macam prevalensi peningkatan titer dari 1:4
atau lebih, menurut spectrum klinik Leprosy. Gradien yang significant dari prevalensi
yang tinggi di immunodesisiensi polar pasien lepromatous (53%). Prevalensi yang
rendah pada akhir spectrum klinik tuberkuloid (9%). Hal ini tidak jelas apakah
antibody tersebut berimplikasi antara patogenensis lepra atau dalam berkepanjangan
dan intensifikasi dari reaksi inflamasi yang melibatkan kolagen dari bagian kulit,
nervus, dan membrane dasar glomerulus.

Penelitian dari prevalensi dari autoantibodi pada pasien dengan enzyme linked
immunosorbent (ELISA) telah menunjukkan bahwa SS-B (anti La) antibodi, antibody
pada mitokondria dan cardiolipin yang paling tinggi pada sera. Penelitian
mengobservasi bahwa antimitokondrial antibodi terlihat pada cirosis billier dan
antibodi antiphospholipid dengan aktifitas variable ligan pada B2GIP banyak didalam
sera pada penderita lepra. Reaksi autoantibodi dengan sel germinal testicular dari
spermatozoa telah dilaporkan berada pada lepra tipe tuberkuloid dan lepromatous.
Saat semua penelitian telah dilaporkan antibodi antispermatozoal dalam sera 39-77%
pada pasien LL dan 33-40% pada pasien tuberkuloid. Kumar dan Majumdar telah
memperlihatkan derajat positif yang rendah (23,3%) pada pasien BL/LL dengan
pemeriksaan ELISA. Maka memungkinkan pada penyakit kronis, terdapat reaksi
yang tidak terdeteksi penyebabnya pada kasus disfungsi testicular dan abnormalitas
histopatologi.

Telah dilaporkan bahwa antibodi (MMP-II) berasal dari M.Leprae


dapat menjadi diagnosis lepra. MMP-II telah dilaporkan pada sera 82-98% untuk
pasien lepra MB dan 39-48% lepra PB dari Jepang dan Indonesia.

Penelitian dari Singh et al. menunjukkan level spesifik dari keratin


antibodi antihost (AKAbs) pada pasien lepra menyilangkan spektrum dan meluas ini
berhubungan dengan manifestasi klinik dari penyakit. Tingkat AKAbs signifikan
tinggi dalam semua kelompok lepra kecuali TT/BL dalam kontak kesehatan.
Penelitian pada TT, BL, LL, T1R dan ENL memiliki dasar molekul antara
sitokeratin-10 dari keratin (protein penjamu) dan 65 kDa Heat Shock Protein (HSP)
(groEL2) M.Lepra. Hubungan positif dari tingkat antihost antibodi keratin dengan
ditemukan beberapa lesi penderita lepra.

Pasien dengan lepra MB mempunyai antibodi serum anticeramide


lebih tinggi komparasi pada lepra pausibasiler dan kontrol yang sehat. Multibasiler
mengakibatkan kerusakan saraf, menyerang myelin dan ceramide yang merupakan
sarung myelin, peran antibodi anticeramide sebagai marker kerusakan saraf harus
dieksplore.
Perubahan biokimia pada penjamu

Keterlibatan Hepar

Penelitian pada organ penderita lepra, hepar merupakan organ yang


dikhususkan untuk diobservasi. Kerterkaitan hepar berhubungan dengan jalan
pembentukan granuloma yang juga dikenal pada lepra lepromatous dan keterkaitan
hepar juga telah dilaporkan pada kasus lepra tipe TT. Penelitian sebelumnya
berdasarkan pada parameter pada fungsi liver. Meningkatkan pada turbidity tymol
dan kolesterol cephalin flokulasi dan kembalinya albumin :rasio globulin telah
dilaporkan pada sera lepra lepromatous (LL), dengan kesempatan yang minimal pada
spectrum TT. Tingkat transaminase serum pada LL ditemukan kadarnya meningkat.
Pada penelitian terkait antigenemia hepar dan hepatitis B pada penderita lepra
lepromatous. Hal ini juga dapat menurunkan albumin dan meningkat pada globulin
dengan menurunkan dengan signifikan pada ratio A:G. Serum glutamic pyruvate
transaminase (SGPT) cukup meningkat secara signifikan sampai 57,1% pada lepra
lepromatous dan 23,8% pada penderita lepra tuberkuloid.

Serum Protein

Metode yang bervariasi meliputi elektroforesis telah diteliti pada


penelitian serum protein. Hal ini cukup sulit untuk mengatur semua hasil laporan.
Total protein serum meningkat secara signifikanpada kelompok lepromatous dan
reaksi pembentukan pada lepra. Pada kondisi hiperproteinemia merupakan penyebab
utama hiperglobulinemia yang terdapat pada semua pembentukan lepra dengan
peningkatan yang progresif dari TT sampai LL dan tanda paling penting pada ENL.
Tanda terpenting pada plasma fibrinogen diobservasi pada penderita ENL saat
istirahat pada kelompok lepra yang menunjukkan peningkatan progresif yang
termasuk indicator pada TT sampai LL.
Penelitian Grupta et al. menjelaskan serum proteome dari penderita
lepra dengan reaksi ENL dan berhubungan dengan kontrol negatif. Berbeda dengan
protein yang diidentifikasi melalui matrix –assisted laser desorption ionization time
of flight MALDI-TOF dan MALDI-TOF-MS (Mass Spectrometry). Peningkatan
yang signifikan dalam salah satu siklus isoform alfa 2 pada haptoglobin telah
diobservasi pada ENL. Fenotipe Hp 0-0 telah terdeteksi dalam 21,4% dalam ENL
pada pasien yang sedang menjalani terapi. Analisis komparasi serum proteome
melalui 2-Dimensional gel electrophoresis (2DGE) mengikuti massa spectrometry
telah diketahui perbedaan ekspresi dari protein pada fase akut, alfa 1 acid
glycoprotein (AGP juga diketahui sebagai orosomukoid) di dalam sera pada penderita
lepra. Pada penderita lepra tingkat AGP yang tidak diterapi dan kasus ENL
merupakan kasus tersering daripada Lepromatous Leprosy (LL), Reversal Reaction
(RR) dan kontrol sehat. Acidic glycoforms dari AGP berbeda reaksi pada kasus ENL
yang tidak diterapi. Pada penurunan AGP menuju tingkat normal setelah terapi
dengan MDT dan talidomid. Peningkatan tingkat depende pada AGP untuk kasus
penderita LL yang progresif menuju tingkat ENL, hal ini telah divalidasi sebagai
biomarker spesifik ENL dan indicator terapi.

Keadaan Lipid

Kemampuan untuk mensintesis perbedaan lipid moieties dan distribusi yang


melewati pasma menuju jaringan seluruh tubuh yang akan diubah pada penderita
lepra. Misra et al. menemukan penurunan dalam total serum lipid, kolesterol dan
fosfolipid namun terjadi peningkatan pada serum trigliserida pada LL. Sebaliknya,
penurunan tingkat serum trigiserida pada penderita MB juga telah dilaporkan.
Sritharan et al. berpendapat bahwa penurunan dapat dijelaskan dengan terbuktinya
penurunan fungsi adrenokortikal pada penderita LL yang mungkin terlihat pada
penurunan aktifitas lipogenik dan enzim glikolitik. Insidensi yang rendah pada
atherosclerosis dan penyakit coroner pada pasien lepra berkaitan dengan elevasi
kolesterol HDL dan reduksi total kolesterol pada penderita dengan sepsis. Ahaley et
al. membuktikan tingkat serum kolesterol yang rendah pada pasien lepra. Pada
pembuktian lainnya, Gokhale dan Godbole menunjukkan tingkat lebih tinggi. Bansal
et al. menemukan peningkatan yang signifikan pada kolesterol HDL khususnya pada
penderita multibasiler. Sritharan et al. juga mengobservasi peningkatan kolesterol
HDL dan penurunan kolesterol LDL pada penderita LL aktif. Gupta e al. telah
membuktikan penurunan kolesterol LDL pada lepra, hal ini juga terjadi pada
kelompok LL. M.Leprae melalui mycobacterium yang paling dependen pada alur
metabolic penjamu, termasuk lipid. Lesi pada lepromatous lepra, terdapat ekspresi
lebih cendurung pada gen metabolism lipid, termasuk kelompok fosfolipid dan gen-
gen tersebut menghilang dari genome mycobacterium. Oksidasi fosfolipid yang
berasal dari penjamu telah dideteksi dalam makrofag dengan lesi lepromatous dan
fosfolipid oksidasi dan regulasi HDL imun dari lepra.

Keterkaitan ginjal dan fungsi ginjal

Lepra telah diketahui keterkaitan multiviseral melalui M.Leprae yang tidak


menginfeksi parenkim ginjal. Munculnya reaksi edem, proteinuria dan abnormalitas
biokimia. Keterkaitan ginjal pada lepra pertama kali diungkapkan oleh Mitsuda dan
Ogawa pada tahun 1937. Mereka mengungkapkan bahwa nefritis dan kegagalan
ginjal pada semua jenis lepra merupakan penyebab kematian pada penderita lepra.
Spektrum lepra mempunyai keterkaitan pada ginjal, hal ini lebih sering ditemukan
pada lepromatous lepra, khusunya dengan riwayat terserang reaksi tipe 2 pada
kompleks imun didalam ginjal. Pada penelitian terhadap profil ginjal pada pasien
lepra, proteinuria terlihat sekitar 20% pada pasien ketika glomerular filtration rate
(GFR) rendah pada 27% pasien. Spesimen biopsi ginjal menunjukkan berbagai tipe
dari nefritis: mesangioproliferative glomurulonephritis, membranoproliferative, dan
chronic intersitial nephritis. Mesangioproliferative glomurulonephritis adalah lesi
predominan, tanpa asam bacillus, amyloid deposit, atau granuloma. Proliferatif
glomerulonephritis dilaporkan pada pasien ENL, yang dapat menjadi bagian dari IC
didalam dinding kapiler glomerular. Pencemaran Immunofluoresensi terhadap imun
dapat dilihat pada dinding pembuluh darah dan tubulus ginjal dari glomeruli. Didalam
endapan granular glomeruli telah ditemukan mesangium yang berada pada tingkat yg
lebih tinggi dan atau mengikuti dinding kapiler. Pola dari pencemaran imun
glomerulonephritis bersifat kompleks. Keterlibatan ginjal dalam experimen hewan yg
terinfeksi lepra hampir menyerupai lepra pada manusia.

Hubungan Katabolisme Saraf

Estimasi dari hydroksiprolin dan tingkat hexosamine terhadap jaringan kulit


dari pasien dengan tipe lepra yg berbeda dan perbedaan pada fase menyatakan
peningkatan secara signifikan pada dua konstituen pada reaksi tingkat LL . Urin pada
hydroksiprolin juga diketahui meningkat secara signifikan. Cherian et al. Membawa
pengeluaran hydroksiprolin dari pasien lepra dan membuat observasi yg serupa. Hal
ini menjadi pemikiran bahwa ada kemungkinan kerusakan dari hubungan saraf
dengan reaksi fase dari LL. Naik edal. Telah mengkonfirmasi adanya kenaikan
pengeluaran dari kemih terharap hydroksiprolin pada reaksi lepra.

Fungsi Endokrin

Munculnya endokrin disebabkan oleh lepra yg telah lama dketahui namun


diabaikan, bahkan oleh spesialis. Pengabaian fungsi endokrin pada lepra telah
diperhatikan secara eksentif saat ini. Testis adalah bagian organ yg paling sering
terserang endokrin. Lepra mungkin dapat menyebabkan azospermia, kemandulan, dan
ginekomastia. Peningkatan gonadotropin telah dilaporkan dengan tingkat signifikan
rendah pada testosteron pasien lepra. Naiknya tingkat dari luteinizing hormone (LH).
Follice stimulating hormone (FSH) dan testosteron sudah dilaporkan oleh Rea.
Sebuah penelitian fungsi ovarium pada pasien wanita dengan MB lepra telah
dilaporkan meningkat pada tingkat dari LH dan FSH vis-a-vis controls. Koshy dan
Karat menginformasikan bahwa basal hipofisis-adrenal normal pada pasien LL.
Namun, respon terhadap pemberian dari metapyrone dan sinakten di indikasi
mempunyai adrenalin rendah pada pasien dengan reaksi lepra kronis. Balakrishnan et
al, meneliti secara signifikan rendahnya pada 17-ketosteroids sama seperti pada
pasien 17-hydroxycorticosteroids pada LL terhadap fase reaktif dan respon subnormal
terhadap pemberian ACTH, sugestif dari beberapa indufisiensi adrenokortikal pada
reksi lepra. Menggunakan insulin hipoglikemi dan tes stimulasi ACTH Dash et al.
Gagal mendemonstrasikan beberapa bukti dari insufisiensi korteks adrenal pada
beberapa tipe dari lepra dan pada reaksi lepra akut. Demikian banyaknya investigator
yang telah mempelajari fungsi hormon pada pasien gynecomastia, telah menemukan
adanya disfungsi adrenokortikal. Bagaimanapun pernyataan harus dibuat berdasarkan
laporan oleh Dass et al. Yg telah menginvestigasi status androgenik pada pasien lepra
dengan gynecomastia. Mereka menyadari bahwa tingkat testosteron plasma secara
signifikan dikurangi sebagaimana dengan inflamasi fibrosis degeneratif yg berubah
didalam testis.

Struktur abnormal pada tiroid, deposito amiloid, telah dilaporkan ada di


lepra, tapi dengan data dari fungsional abnormal dari kelenjar tiroid yang
kontroversial. Rolston et al dan yunam et al melaporkan bahwa tingkat serum pada
triiodothyronine (t3) dan thyroxine (t4), dan Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
pada lepra saat Garg et al. Dan kheir et al mengobservasi arti tingkat T3 dan T4 dan
tinggi rendahnya yg berarti tingkat TSH terhadap pasien lepra dapat di kontrol.
Sehgal menyadari penyerapan yodium radioaktif pada saraf thyroid pada pasien lepra.

Studi tentang status fungsional pada hormone Pituitary-Gonadal dan


hubungan dengan proses inflamasi sitokin pada lepromatous (LL/BL) dari lepra
dilaporkan secara signifikan lebih tinggi tingkatnya dari gonadotropin (LH dan FSH),
interleukin (IL). 1 beta, IL-6, TNF-alfa dan C-reactive protein (CRP) konsentrasi dan
Erytrocyte Sedimentation Rate (ESR) pada LL/BL pasien lepra dapat dikontrol. LH
dan FSH yg positif berkorelasi dengan IL-1beta, IL-6 dan TNF-alfa serta konsentrasi
CRP dan ESR. Tingkat testosteron plasma mengalami penurunan pada pasien LL/BL.
Korelasi signifikan antara gonadotropin dan testosteron dan sitokin pada pasien lepra
menunjukkan bahwa sitokin memiliki pengaruh pada testis dan memungkinkan
pathogenic yg penting pada lepra dan inflamasi yg melibatkan disfungsi reproduksi.
Hiperkalsemia dan dihidroksi abnormal 1,25 (OH) vitamimn D, parathroid hormone
(PTH) dan parathyroid hormone-related protein (PTHrP) telah dilaporkan berada di
beberapa pasien dengan borderline dan LL lepra.

Pada umumnya penyakit tulang metabolik, osteoporosis, merupakan hal


khusus pada lepra karena resiko patah tulang pada pasien yg telah memiliki lesi netral
dan keduanya tulang spesifik atau non spesifik menjadi cacat dan disabilitas.
Radiologi osteoporosis merubah apa yg telah terdeteksi hampir 40% dari pasien lepra
dan dengan pengukuran Bone Mineral Density (BMD), insidensi dari oesteporosis
mungkin lebih tinggi. Hilangnya masa tulang belakangan ini telah dilaporkan menjadi
salah satu awal pada pasien lepra.

Mineral dan elemen

Selain penelitian dari aspek fungsi perbedaan organ, pengamatan isolasi


dari beberapa konstituen darah seperti mineral pada pasien lepra juga dilakukan.
Beberapa dari mereka mengalami implikasi klinis. Penurunan secara signifikan dari
serum kalsium pada LL terlihat terkait dengan taraf lesi lepra dan durasinya. Serum
kalsium dan magnesium secara signifikan menurun pada semua tipe pada kasus lepra
dan pasien LL yang menunjukkan penurunan secara signifikan pada serum
magnesium. Pada infeksi kronis sama seperti kondisi terkait dengan estrogen yg
berlebih, terdapat peningkatan tembaga serum dan penururnan pada serum zinc.
Serupa dengan pengataman pada serum tembaga dan zinc yg telah dibuat oleh
beberapa investigator. Foster et al. telah mengatakan secara siignifikan adanya
peningkatan tingkat serum pada titanium, silicon, potasium, dan platinum. Tingkat
rendah fosfor, selenium, antimony, dan silver pada pasien lepra. Penurunan serum ion
dan total muatan pengikatan iron telah dilaporkan pada pasien LL.

Toleransi glukosa
Glucose Tolerance Test (GTT) telah dilakukan pada pasien dengan
tuberculoid, borderline, LL dan dengan beberapa reaksi lepra. Sebuah kurva normal
ditunjukkan pada kusta tuberkuloid sementara kurva toleransi glukosa datar diamati
pada batas dan LL. Namun kurva diabetes merupakan hal yg biasa pada reaksi lepra.
Puasa gula darah rendah pada LL dan cenderung menjadi sedikit tinggi pada reaksi
lepra. Juga datarnya kurva GTT telah diteliti pada beberapa durasi dan penderita yang
terinfeksi selama 7 bulan – 12 bulan ketika kurva diabetes menjadi lebih umum pada
penderita yg lebih dari 2 tahun.

Serum Enzim

Selain transaminase, yang telah mengikuti pengujian fungsi hati, sejumlah


enzim lain dalam serum juga telah diteliti pada penderita kusta. Penurunan kadar
alkali fosfatase serum, lipase dan amilase telah dilaporkan dalam batas normal. Saito
melihat peningkatan LDH, -LDG fraksi isozyme pada serum pasien seperti hati, otot
rangka, dan kulit yg kaya dengan enzim ini.

Penurunan aktifitas cholinesterase serum juga telah ditemukan pada


pasien lepra. Nilai rata-rata dari Butyryl Cholinesterase (BuChE) di sera dari semua
bentuk kusta lebih rendah daripada di sera normal, ketika masing-masing kelompok
dibandingkan dengan rata-rata normal, nilai tidak berbeda secara signifikan untuk
setiap kelompok kecuali lepra neuritik murni, sehingga berhubungan dengan BuChE.
Kerusakan saraf perlu diteliti lebih lanjut. Balakrishnan pada penelitiannya tentang
serum enzim pada reaksi tingkat dari LL. melihat peningkatan yang konsisten pada
aldolase. creatine phosphokinase,LDH dan serum glutamic osaloacetic transminase.
Pengamatan tersebut sugestif dari gangguan umum dari konsistensi jaringan pada LL
yang aktif dan khususnya fase reaktif dari LL.

Terdapat laporan tentang darah dan jaringan enzim lysosomal, viz.


lysozyme, beta-glucuronidase, dan n-acetyl beta-gocosaminidase mengkorelasikan
tingkat dengan aktivitas penyakit pada orang dewasa dan lepra anak. Peningkatan
tingkat enzim hidrolitik dalam peredaran darah bisa menjadi faktor kerusakan
jaringan dan mungkin penyebab munculnya banyak lesi yang terlihat pada lepra.

Status Oksidatif dan antioksidatif

Kumpulan Reactive oxygen species (ROS) mampu merusak


konsistensi sel pada keadaan kronik, inflamasi dan proses neurodegeneratif pada
lepra. Hal ini menyebabakan peningkatan stress oksidatif dan status oksidatif yang
rendah. Serum lipid peroxidation product (LPO), serum LDH dan enzim radikal
bebas, superoxide dismutase (SOD), katalase dan tingkat glutation antioksidan serta
total antioksidan telah diteliti pada tipe-tipe pada lepra. Tingkat produksi peroxidation
lipid, malondialdehyde (MDA) dan LDH meningkat secara signifikan pada pasien
MB dan menurun dengan kondisi perbaikan klinis selama menjalani MDT. Tingkat
serum SOD, katalase dan glutation serta total antioksidan menurun pada pasien MB,
hal ini berhubungan dengan Normal Human Volunteers (NHVs). Aktifitas radikal
bebas yang tinggi dan antioksidan yang rendah diketahui pada penderita lepra MB
yang berindikasi adanya stress oksidatif, terlepas dari masa terapi adanya terapi
antioksidan untuk lepra MB untuk mencegah teradi kerusakan jaringan. Keterlibatan
vitamin E dengan MDT menurunnya stress oksidatif dan aktfnya antioksidan pada
pasien lepra. Peningkatan signifikan dalam serum MDA pada PB dan MB telah
terlihat saat dibandingkan dengan kontrol. Saat vitamin E rendah pada MB dan PB,
vitamin C ditemukan mengalami penurunan pada MB jika dibandingkan dengan
kontrol. Hal tersebut menyatakan bahwa tingkat MDA dapat melihat prognosis, terapi
dan lepra. Tingkat LPO dan MDA telah dilaporkan meningkat pada penderita lepra
dengan hepatitis kronik, pada keadaan ini berindikasi adanya peningkatan aktifitas
radikal bebas. Konsentrasi antiproteases alfa antutrypsin (alfa1AT), alfa1-acid
glycoprotein (alfa1-GP), alfa2 macroglobulin (alfa-MG) dan haptoglobin (HP) juga
meningkat pada penderita tersebut. Derajat aktifitas hepatitis ditemukan berhubungan
dengan peningkatan antiproteases, LPO dan MDA.
Nitrit Oxide (NO) berperan dalam pathogenesis penyakit persarafan yang
telah dideteksi pada jaringan dan urin. Metabolisme NO (oroduksi akhir NO- nitirt
dan nitrat, dengan metode reduksi cadmium) meningkat pada sera multibasiler dan
reaksi lepra tipe 1 dibandingan dengan kelompok kontrol yang sehat. Hal tersebut
dapat menurun setelah menjalani terapi.

Perubahan biokima meliputi hematologi dan serologi pada efek lepra


telah diteliti selama 7 dekade terakhir dan hal tersebut telah dibahas pada bab ini.
BAB 9

Aspek Patologi Lepra

PENDAHULUAN

Lepra adalah penyakit kronis dari infeksi ringan yg disebabkan oleh


mycobacterium leprae, yang merupakan Acid Fast Bacillus (AFB). Secara klinis hal
ini muncul di berbagai macam jenis kulit dan merusak saraf secara permanen. Saat
berkembang penuh, manifestasi utama dari lepra adalah pembentukan dari granoluma
yg berbeda seperti hasil dari peradangan akut. Sebagai ruang yg menempati lesi,
granuloma ini menyebabkan banyaknya saraf utama yg rusak, kebanyakan
menyerang kulit dan saraf. Oleh sebab itu, lepra diketahui sebagai penyakit
granuloma. M. Lepra memiliki persamaan keunikan dengan saraf disekitarnya, yg
berarti menyerang di awal. Proses patogen kebanyakan dimulai dari saraf sekitarnya
dan tanda-tanda lepra lainnya, seperti kerusakan neural dengan sel schwann sebagai
target utama. Khanolkar sebagai gambaran dari lepra di awal neural. Fite
mengatakan bahwa tidak ada non-neural lepra. M.lepra tidak diketahui memiliki
toksin , dan perubahan histologi paling banyak disebabkan oleh reaksi dan
kurangnya imun, bacillus dan anti gen. Intrasel bacill dan limfosit dan fagosit
mononuclear bersama melawan dengan memepertahankan respon cell-mediated-
immune (CMI) . Sebagian besar dari kerusakan saraf utama dikarenakan
hipersensitifitas lambat dan dikarenakan lepra juga dianggap sebagai penyakit
immunologi dan patologi yang disebut sebagai immunopathologi. Proses dari
immune-pathogenesis secara singkat merujuk kepada tempat yg sesuai.
Perkembangan dari lepra secara grafis terlihat seperti empat hal yaitu genetik,
biokimia, sel, dan klinis. Histopalogi dan keikut sertaan sel bisa diketahui dengan
jangka waktu yang lama, namun pengetahuan tentang dasar mereka atau basisnya
sekarang menjadi lebih kuat. Hal ini merupakan pengetahuan ilmiah khusus dalam
bidang proses molekul atau dinamik sel, antar komunikasi dan genetik dari susunan
dari molekul yg ada.

FUNGSI HISTOPATOLOGI

Histopologi pada dasarnya menjelaskan pada saat biopsi dan untuk


kepastian proses penyakit tersebut. Secara konvensial, hal ini memerlukan
pemeriksaan dari formalin yang difiksasi parafin pada proses bagian oleh hematoxylin
dan eosin. Tidak adekuatnya metode mikroskop immunohistokimia dan
immunoelektron saat ini sehingga tersedia beberapa tambahan peralatan. Selain itu,
aplikasi dari beberapa prosedur yg didasari biologi molekuler pada bagian saraf
berubah menjadi hal rutin di beberapa laboratorium. Pengembangan ini membuat
histologi menjadi lebih informatif dan semakin berguna. Pemeriksaan ini sudah
berkontribusi dengan baik untuk mengetahui lepra dan terus menjadi salah satu pilar
utama dalam perkembangan immunopatologi. Beberapa pemeriksaan sebagai “ Gold
Standard” untuk diagnosis, biasanya menjadi diragukan. Saati ini ada beberapa
aplikasi dari histopologi yaitu:

 Konfirmasi dari diagnosis secara klinis yg diragukan atau kasus yg dicurigai,


termasuk saraf khusus dan immunohistokimia.

 Diagnosis dari keadaan reaksi, perbedaan reaksi tipe 1 dari tipe 2 serta
keadaan relaps.

 Klasifikasi akurat dari penentuan spektrum dari kasus yg terkait sebagai


tujuan dari terapi dan penelitian.

 Asumsi aktifitas penyakit, respon terhadap terapi termasuk penyembuhan

 Aplikasi terhadap teknik terkait dengan immuologi dan biologi molekuler.


Aturan pada Immunohistokimia

Pada beberapa penerapan, histologi konvensional cukup memenuhi


syarat. Namun, ada beberapa kondisi dimana pendukung prosedur lain atau teknik yg
dibutuhkan untuk mendapatkan kepastian yg lebih akurat. Beberapa hal yang perlu
diingat bahwa ada dua aspek berbeda dari diagnosis histologi lepra (1) memastikan
morfologi dan (2) mendektesi patogen. Dimana penyakit sudah berevolusi menjadi
granuloma dan toksin basil cepat terlihat, kepastian dalam diagnosis terkadang cukup
sulit. Pada tahap pregranulomatous dan ostgranulomatous tanda kardinal yg
diragukan dan negatif pada AFB. Dalam beberapa situasi diagnosa menjadi sulit.
Literatur menyebutkan untuk memastikan nilai dari biopsi terdiri dari 29-58% di awal
dan secara klinis dicurigai lepra ketika pada bagian tersebut memilki ukuran yang
cukup dan terdapat pada semua tingkat dari penyakit , sehingga ketidak pastian
diagnosis menyempit menjadi 15%. Akurasi histopatologi diagnosis didasarkan dari
kualitas bagian kulit dan fitefaco stain.

Metode peningkatan sensitifitas terhadap kedua morfologi dan patogen


terhadap histopologi saat ini semakin banyak. Teknik mentargetkan aspek morfologi
termasuk penggunaan dalam beberapa stain seperti stain saraf, morfometri kuantitatif
dan penggunaan pada bagian semi-tipis. Saat ini terdapat beberapa metode rahasia
dan spesifik untuk mendeteksi patogen atau komponen dalam contoh proses
keruskaan saraf. Teknik dari immunokimia juga dapat digunakan untuk mendeteksi
perbedaan antigen, menerapkan tiap antibodi monoclonal dan poliklonal. Beberapa
prosedur menggunakan metode immunohistokimia telah mendemonstrasikan
mikobakteri antigen pada persoalan negatif AFB pada bagian dari luka lepra. Secara
teknis keuntungan membuat penelitian tersebut menjadi mungkin untuk
menggunakan teknik dari molekuler biologi terhadap proses perkembangan saraf .
Proses hibridisasi in situ bisa digunakan untuk mendeteksi urutan patogen spesifik
asam nukleat terhadap bagian saraf. Beberapa penelitian telah dipelajaru untuk
mendeteksi prosedur adanya patogen dan berapa banyak penggunaan sistem non
radioaktif pada bagian parafin. Beberapa prosedur sudah dipelajari dalam diagnosis
terhadap awal dari gejala klinis lepra dengan baik. Prosedur dari immunohistokimia
dan hibridisasi in situ dapat dilakukan pada pengaturan histapologi, apabila biaya
reagen dapat dipenuhi.

Polymerase chain reaction (PCR) telah digunakan pada konjuksi pada


hibridisasi untuk mendeteksi asam nukleat spesifik M.lepra dengan hasil yg baik. Ini
juga memperoleh amplifikasi terhadap jenis saraf dan bahkan lebih sensitif terhadap
prosedur hibridisasi in situ. Ketika aktifitas histopatologi dikonfirmasi hanya 35%
dan 20% beurutan dari awal dan dicurigai sebagai kasus lepra, secara langsung
pemeriksaan in situ menilai positif bisa naik menjadi 70.6% dan 60%. Hasil tersebut
memastikan kelebihan dari prosedur rutinitas histopatologi.
HISTOPATOLOGI DARI BERBAGAI TIPE DARI LEPRA

Sel darah putih mengambil bagian sebagai pertahanan terhadap


mikroganisme. Tergantung dari invasi organisasi kelompok tertentu dari sel darah
putih lebih cocok pada situasi tertentu, menjadi lebih aktif dan melawan strategi
mereka sendiri. Ini menjadi manfaat terhadap perkenalan singkat sel darah putih yg
berperan menjadi peran utama melawan lepra dan bagaimana mereka melindungi atau
merusak jaringan terhadap lepra.

Anda mungkin juga menyukai