Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

TETANUS

Oleh:

Rista Nurul Fitria

20174011076

Pembimbing:

dr. Widodo Raharjo, Sp.PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA SALATIGA

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

TETANUS

Disusun oleh:
Nama: Rista Nurul Fitria
No. Mahasiswa: 20174011076

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Senin, 08 Mei 2018

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Widodo Raharjo, Sp.PD


BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Tn. A

Usia : 64 tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Alamat : Ketapang, Susukan, Semarang

Pekerjaan : Petani Rumput

Status pernikahan : Menikah

No. RM : 18-19-391501

Tanggal Masuk RS : 26 April 2018

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama

Nyeri perut

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang laki-laki berusia 64 tahun datang ke IGD RSUD Salatiga


dengan keluhan nyeri perut HMRS. Nyeri dirasakan di seluruh lapang perut,
menjalar hingga ke seluruh badan. Keluhan lain mual (-), muntah (-),, BAB
dan BAK lancar. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien pernah tertusuk
paku di kaki kanannya saat menyiangi rumput di sawahnya sekitar 5 hari
SMRS, keluarga pasien tidak pasti dan pasien tidak ingat. Beberapa hari
setelah tertusuk kayu pasien tidak mengeluh kesakitan. Namun saat 1 hari
setelah maasuk RS, pasien mengalami kaku pada mulut, mulit sulit dibuka,
kaku seluruh otot tubuh dan kejang. Pasien juga merasa sulit bernapas dan
tidak bisa tidur.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi (+)
 Pasien memiliki riwayat DM disangkal
 Riwayat penyakit serupa disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluhan serupa disangkal
 Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien di rumah tinggal dengan istri dan anaknya. Selama ini pasien
bekerja sebagai seorang petani dan memiliki sosial ekonomi yang cukup.
Pasien adalah perokok aktif.

F. Anamnesis Sistem
Kepala leher : spasme otot leher
THT : sulit menelan dan berbicara
Respirasi : sesak nafas
Gastrointestinal : tidak ada keluhan
Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
Perkemihan : tidak ada keluhan
Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan
Kulit : tidak ada keluhan
Ekstremitas : spasme otot ekstremitas atas dan bawah

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Kesan Umum : tampak lemah
 Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
 Vital Sign

Tekanan Darah: 130/80 mmHg

Nadi : 101x/menit

Pernapasan : 31 x/menit

Suhu : 38,2 ºC

 Kepala dan Leher

Bentuk kepala : normocephali.


Wajah : simetris, deformitas (-), risus sardonikus (-), trismus (+)
atas bawah ±2 cm
Mata
 Tidak ada oedem palpebra dextra dan sinistra
 Conjungtiva anemis -/- , Sklera ikterik -/-
 Pupil isokor

Leher
 Inspeksi : Bentuk leher tidak tampak ada kelainan, tidak tampak
deviasi trakea
 Palpasi : Trakea teraba di tengah, Tidak terdapat pembesaran
limfonodi, spasme otot leher (+)

Meningeal Sign

 Kaku kuduk (+) : dagu tidak dapat menyentuh dada


 Thorax
Inspeksi
 Bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis
 Bentuk punggung melengkung/opistotonus (+)
 Tidak tampak retraksi sela iga
 Tidak terdapat kelainan tulang iga dan sternum
 Tidak terlihat spider naevi
Palpasi
 Pada palpasi secara umum tidak terdapat nyeri tekan dan tidak
teraba benjolan pada dinding dada
 Gerak nafas simetris
 Spasme otot-otot dada dan punggung

Perkusi
 Kedua hemithoraks terdengar sonor
 Batas paru-hepar dalam batas normal
 Batas kanan bawah paru-jantung pada ics 5 linea sternalis kanan,
batas kanan atas paru-jantung pada ics 3 linea sternalis kanan
 Batas kiri paru-jantung pada ics 5 linea midcavicularis kiri, batas
atas kiri paru-jantung pada ics 3 linea parasternalis kiri
Auskultasi
 Suara nafas vesikuler +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri),
reguler, ronchi +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri),
wheezing-/-(tidak terdengar dikedua lapang paru).
 BJ I, BJ II regular, punctum maksimum pada linea midclavicula
kiri ics 5, murmur (-), gallop (-), splitting (-)

Abdomen

Inspeksi
 Bentuk perut tak tampak distensi, pinggang tampak simetris dari
anterior dan posterior
 Venektasi (-), caput medusae (-)
 Umbilikus terletak di garis tengah
 Tidak tampak pulsasi abdomen pada regio epigastrika
Auskultasi
 Bising usus (+) normal
Palpasi
 Defans muskular (+)
 Nyeri tekan di seluruh lapang perut.
Perkusi
 Timpani pada semua lapang perut

Ekstermitas

Inspeksi
 Tampak bekas luka tusuk pada kaki kanan ± 0,2 cm
Palpasi
 Tidak terdapat nyeri tekan pada pedis sinistra maupun dextra
 akral hangat
 pitting edema - -
- -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil laboratorium (26 April 2018).

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN


HEMATOLOGI
Leukosit 10,2 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4,28 3,8 – 5,8 106/uL
Hemoglobin 13,8 11,5 – 16,5 g/dL
Hematokrit 40,7 37.00 – 47.00 %
MCV 94,8 85 – 100 fL
MCH 32,2 28 – 31 pg
MCHC 33,9 30 – 35 g/dL
Trombosit 189 150 – 450 103/uL
Golongan Darah A

HITUNG JENIS
Eosinofil 3,5 1–6 %
Basofil 0.4 0.0 – 1.0 %
Limfosit 13,0 20 – 45 %
Monosit 3,5 2–8 %
Neutrofil 85,4 40-75 %
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 105 <140 Mg/Dl
Ureum 66 10-50 Mg/Dl
Creatinin 1,4 0,6 – 1,1 mg/dL
SGOT 31 <31 U/L
SGPT 16 <32 U/L

V. PROBLEM
 Tetanus

VII. PENATALAKSANAAN

- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr


- Inj. Metronidazol 3x500 mg
- Inj. Omeprazol 2x40 mg
- Inj. Ondansetron 4mg
- Inj. Ketorolac 30mg
- Inj. Tetagam 3000 iu
- Inj. Valdimex
- Neurodex tab
- Amlodipin 1 x 10 mg
- Diazepam 3 x 2 mg
- Infuse Asering 500ml
- Infuse D5%
- Oksigen nasal kanul 3-4 lpm
- Pemasangan catheter urin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Tetanus
a. Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus
neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal1,2.

b. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri
ini terdapat di mana-mana, dengan habitat alaminya di tanah, tetapi dapat juga
diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani
merupakan bakteri gram posotif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan
merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang
dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha
ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan
tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai
desinfektan dan pendidihan selama 20 menit1,2,3.

c. Patofisiologi
Bakteri Clostridium Tetani terdapat di mana-mana, dan mampu
bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya
sangat kuat. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi
pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada
neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya.
Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar,
infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob
yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan
menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin adalah
neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus,
sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis1.

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin


ke susunan saraf pusat: 2,3
1. Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat,
2. Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.
Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya
terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian
ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang
merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida
tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps,
sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric
acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga
terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga
muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial
merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling
awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis
terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus
berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya
kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar
katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan
membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan
durasi penyakit ini.1,2

d. Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka
dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan
tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus
gangren, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah,
aborsi septik, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. Trauma yang
menyebabkan tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus
trauma terjadi di dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk
mencari pertolongan medis1.
1. Tetanus Generalisata
Tetanus Generalisata Tetanus generalisata merupakan bentuk yang
paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi
luka dan lebih singkat pada Tetanus berat, median onset setelah trauma
adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi
setelah 14 hari2,3.

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat
disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk
membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot
masseter menyebabkan trismus atau 'rahang terkunci'. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah
yang khas, 'risus sardonicus' dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri.
Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh
menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya
kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat
demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak
terpengaruh1,2.

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang


bersifat episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi
pada kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini
dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus
visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi
berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat
sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur tendon. Spasme yang terjadi
dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga
menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang-
ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering
diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi
dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa1.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus


generalisata, otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala
dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran
kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial
diagnosisnya mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik,
hipokalsemia, keracunan striknin, dan histeria. Akibat trauma perifer dan
sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan
rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang
berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih
mendominasi gambaran klinisnya daripada spasme. Tetapi progresi ke
tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi1.

Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus


berat yang meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan
perawatan intensif, menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan
dengan instabilitas otonomik yang nyata. Sistem saraf simpatiklah yang
paling jelas dipengaruhi. Secara klinis, peningkatan tonus simpatik
menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi. Dijumpai vasokonstriksi
yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan1.

Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain


mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis
gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure)
semua berkaitan dengan gangguan otonomik. Telah jelas adanya
keterlibatan sistem saraf simpatis. Peranan sistem saraf parasimpatis
kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nukleus
vagus, di mana pada saat yang bersamaan terpapar toksin sehingga
menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan. Hipotensi, bradikardia dan
asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal.
Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur,
ruptur otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan
rabdomiolisis1.

2. Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata


dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada
anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,
terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril.
Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan,
dan kebersihan saat mengkat dan memotong umbilikus. Onset biasanya
dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI,
iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di
antara neonatus yang terinfeksi, 90 % meninggal dan retardasi mental
terjadi pada yang bertahan hidup1.

3. Tetanus Lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dan ringan dimana


manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka.
Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan
neuromuskuler. Gejala- gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan
sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi.
Namun demikian secara umurn prognosisnya baik1,5.
4. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,
yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya
1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang
tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat
terjadi. Mortalitasnya tinggi1,5.

e. Perjalanan Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)
rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara
gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi
dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit
yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot
yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari
setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-
3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena
tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan
bisa memerlukan waktu sarnpai 4 minggu1.

f. Penegakan Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus
tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah
diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan.
Sekret luka bisa dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus, tapi kultur yang
positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin
dan menyebabkan tetanus. Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromyogram mungkin
menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan
non spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin
meningkat. Kadar antitoksi serum > 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada
kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang
terjadi pada kadar antitoksin yang protektif1.

Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat


menyebabkan trismus, seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat
distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus
hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolik dan neurologis pada
neonatal. Kondisi-kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus meliputi
meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan
abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada,
punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan
tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa tetanus2.

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang


dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang
paling sering dipakai.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett1,2,5:

Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas


generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa
disfagia

Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas,


spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang
dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.

Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generaisata, spasme


refleks berkepanjangan, fiekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan
apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan
otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah
satunya dapat menetap.

g. Komplikasi Tetanus

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti


laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi
yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari
perawatan intensif, seperti pneumonia. Pneumonia berkaitan dengan ventilator
dan aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah
berkolonisasi di orofaring. Komplikasi kardiovaskular biasanya terjadi selama
infeksi tetanus. Terdapat kerusakan sekunder hingga spesifik pada sistem saraf
otonom yang disebabkan oleh toksin tetanus. Manifestasi kardiovaskular pada
penyakit tetanus terdiri dari gangguan heart rate dan ritme, blood pressure
instability, aritmia, disfungsi miokardial dan overaktivitas simpatis. Kondisi
tersebut dimungkinkan terjadi karena aksi langsung dari toksin tetanus ke
dalam jantung, penggunaan obat-obatan untuk mengontrol rigiditas dan
spasme, dan keadaan hipersimpatetik yang diinduksi oleh kegagalan
penghambatan pelepasan katekolamin pada adrenal. Pada otot karena spasme
yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat
terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus
terutama pada anak dan orang dewasa1.

h. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada pasien dengan tetanus adalah sebagai berikut1,2:
1. Memulai terapi suportif
2. Menghentikan produksi racun di dalam luka
3. Menetralkan racun tak terikat
4. Mengontrol manifestasi penyakit
1. Memulai terapi suportif
Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Karena risiko
kejang refleks, lingkungan yang gelap dan sepi harus dijaga. Prosedur dan
manipulasi yang tidak perlu harus dihindari. Intubasi profilaksis harus
dipertimbangkan secara serius pada semua pasien dengan manifestasi klinis
sedang sampai berat. Intubasi dan ventilasi diperlukan pada 67% pasien.
Pemberian intubasi endotrakeal dapat menyebabkan laringospasme refleks
yang parah; Persiapan harus dilakukan untuk pengendalian saluran pernapasan
darurat. Teknik intubasi sekuens cepat (misalnya dengan suksinilkolin)
direkomendasikan untuk menghindari komplikasi ini. Trakeostomi harus
dilakukan pada pasien yang membutuhkan intubasi lebih dari 10 hari.
Trakeostomi juga telah direkomendasikan setelah onset kejang umum
pertama1,2.
Kemungkinan berkembangnya tetanus secara langsung berkorelasi
dengan karakteristik luka. Luka yang didapat baru-baru ini dengan tepi tajam
yang bervaskulasi dengan baik dan tidak terkontaminasi paling tidak mungkin
untuk mengembangkan tetanus. Semua luka lainnya dianggap cenderung
tetanus. Luka yang paling rentan adalah orang-orang yang sangat
terkontaminasi atau yang disebabkan oleh trauma atau gigitan tumpul. Luka
harus dijelajahi, dibersihkan dengan hati-hati dan benar1,2.
Dalam banyak kasus, luka yang bertanggung jawab atas tetanus jelas
pada saat presentasi, dimana debridemen bedah tidak memberikan manfaat
yang berarti. Jika debridement diindikasikan, sebaiknya dilakukan hanya
setelah pasien stabil. Rekomendasi saat ini adalah untuk mengeluarkan paling
sedikit 2 cm jaringan normal yang terlihat normal di sekitar pinggiran luka.
Abses harus ditoreh dan dikeringkan. Karena risiko melepaskan tetanospasmin
ke dalam aliran darah, setiap manipulasi luka harus ditunda sampai beberapa
jam setelah pemberian antitoksin1,2.

2. Eliminasi sumber toxin


Jika ada luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara
bedah. Antimikroba digunakan untuk mengurangi jumlah bentuk vegetatif C.
tetani (sumber toksin) pada luka. Selama bertahun-tahun, penisilin G
digunakan secara luas untuk tujuan ini, tapi ini bukan obat pilihan saat ini.
Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh
beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial yang bagus. Metronidazol
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap
GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin. Antimikroba lain yang telah
digunakan adalah klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, dan vankomisin.1,3,4

3. Netralisasi toksin tak terikat (Bebas)


Tetanus immune globulin (TIG) dianjurkan untuk pengobatan tetanus.
Harus diingat bahwa TIG hanya bisa membantu menghilangkan racun tetanus
yang tidak terikat saraf (toksin pada sirkulasi dan toksin pada luka yang belum
terikat). TIG tidak dapat mempengaruhi toksin yang sudah terikat pada ujung
saraf. Antibodi tidak dapat menembus sawar darah-otak.
Dosis intramuskular tunggal (IM) 3000-6000 unit umumnya
direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa, dengan sebagian dosis
disusupi sekitar luka jika dapat diidentifikasi. Organisasi Kesehatan Dunia
merekomendasikan TIG 500 unit melalui suntikan IM atau secara intravena
(IV) - tergantung pada persiapan yang tersedia - sesegera mungkin. Sebagai
tambahan, 0,5 mL vaksin tetanus yang mengandung tetanus sesuai usia (Td,
Tdap, DT, DPT, DTaP, atau tetanus toxoid, tergantung pada usia atau alergi),
harus diberikan suntikan IM di tempat terpisah. Penyakit tetanus tidak
menyebabkan imunitas; pasien tanpa riwayat vaksinasi toksoid tetanus primer
harus mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga
6-12 bulan kemudian.1,2,4

4. Pengendalian manifestasi penyakit


Benzodiazepin menjadi andalan terapi simtomatik untuk tetanus.
Diazepam adalah obat yang paling sering dipelajari dan digunakan. Obat ini
mengurangi kecemasan, menghasilkan efek penenang, dan melemaskan otot.
Lorazepam adalah alternatif yang efektif. Dosis tinggi mungkin diperlukan
(sampai 600 mg / hari). Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih lama
dari 5-10 detik, berikan diazepam IV, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam.
Vecuronium (dengan infus kontinyu) atau pancuronium (dengan injeksi
intermiten) adalah alternatif yang tepat. Midazolam 5-15 mg / jam IV telah
digunakan. Jika kejang tidak terkontrol dengan benzodiazepin, dibutuhkan
blokade neuromuskular jangka panjang1.
Phenobarbital adalah antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk
memperpanjang efek diazepam. Phenobarbital juga digunakan untuk
mengobati kejang otot yang parah dan memberi obat penenang saat agen
penghambat neuromuskular digunakan. Agen lain yang digunakan untuk
pengendalian spasm meliputi baclofen, dantrolene, barbiturat short-acting, dan
chlorpromazine. Propofol juga telah disarankan untuk mengatasi sedasi yang
terjadi.
Baclofen intratekal (IT), pelemas otot yang berpusat pada pusat, telah
digunakan secara eksperimental untuk menyapih pasien di luar ventilator dan
menghentikan infus diazepam. IT baclofen 600 kali lebih manjur daripada
baclofen oral. Suntikan IT berulang telah berkhasiat dalam membatasi durasi
ventilasi buatan atau mencegah intubasi. Laporan kasus dan rangkaian kasus
kecil menunjukkan bahwa IT baclofen efektif dalam mengendalikan kekakuan
otot, meskipun ada yang mempertanyakan hal ini1,2.
Efek baclofen dimulai dalam waktu 1-2 jam dan bertahan selama 12-
48 jam. Penghapusan paruh baclofen pada cairan cerebrospinal (CSF) berkisar
antara 0,9 sampai 5 jam. Setelah pemberian TI lumbal, rasio konsentrasi
serviks-ke-lumbar adalah 1: 4. Efek samping utama adalah tingkat depresi
kesadaran dan kompromi pernapasan1.
i. Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah
secara nyata memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan
penyebab kematian bervariasi tergantung pada fasilitas yang tersedia.
Mortalitas menurun dari 44% ke 15% setelah adanya penatalaksanaan ICU. Di
negara-negara sedang berkembang, tanpa fasilitas untuk perawatan intensif
jangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai
lebih dari 50% dengan obstruksi jalan napas, gagal napfas dan gagal ginjal
merupakan penyebab utama.1

Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian


akibat gagal nafas akut, tetapi sebagai akibatnya, pada kasus yang berat,
gangguan ototnomik menjadi lebih nampak. 40% kematian setelah adanya
perawatan intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15% akibat
komplikasi respirasi. Komplikasi penting akibat perawatan di ICU meliputi
infeksi nosokomial, terutama pneumonia berkaitan dengan ventilator, sepsis
generalisata, tromboembolisme, dan perdarahan gastrointestinal. Mortalitas
bervariasi berdasarkan usia pasien. Prognosis buruk pada usia tua, pada
neonatus dan pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval yang
pendek antara onset gejala sampai tiba di RS, dan status vaksinasi
sebelurnnya.

Terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti


Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan
kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis
dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien2,4.

Phillips score :
 <9  severitas ringan
 9-18  severitas sedang
 >18  severitas berat.
Dakar score :
 0 - 1  severitas ringan dengan mortalitas 10%
 2 - 3  severitas sedang dengan mortalitas 10-20%
 4  severitas berat dengan mortalitas 20-40%
 5 - 6  severitas sangat berat dengan mortalitas >50%

Tabel 2. Dakar score4

Faktor Dakar score


Prognosis Score 1 Score 0
Periode inkubasi <7 hari ≥ 7 hari / tidak
diketahui
Periode onset <2 hari ≥2 hari
Tempat masuk  Umbilikus Selain dari yang telah
 luka bakar disebut,
 uterus atau tidak diketahui

 fraktur terbuka
 luka operasi
 injeksi
intramuscular
Spasme Ada Tidak ada
Demam >38,4˚C <38,4˚C
Takikardi Dewasa >120 kali/menit Dewasa <120
Neonatus >150 kali/menit kali/menit
Neonatus
<150kali/menit
Tabel 3. Phillips score4

Faktor Skor
Masa Inkubasi :
 <48 jam 5
 2-5 hari 4
 5-10 hari 3
 10-14 hari 2
 >14 hari 1
Lokasi infeksi :
 Organ dalam dan umbilicus 5
 Kepala, leher, dan badan 4
 Perifer proksimal 3
 Perifer distal 2
 Tidak diketahui 1
Status proteksi :
 Tidak ada 10
 Mungkin ada atau imunisasi pada ibu
8
bagi pasien-pasien neonates
 Terlindungi >10 tahun 4
 Terlindungi <10 tahun 2
 Proteksi lengkap 0
Faktor-faktor komplikasi :
 Cedera atau penyakit yang mengancam
10
nyawa
 Cedera berat atau penyakit yang tidak
8
segera mengancam nyawa
 Ciedera atau penyakit yang tidak
4
mengancam nyawa
 Cedera atau penyakit minor 2

 ASA grade I 0
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Penegakan diagnosis tetanus didapatkan berdasarkan temuan klinis


murni, yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan hanya dapat mendukung diagnosis, tidak dapat mengkonfirmasi
diagnosis. Berdasarkan anamnesis datang ke IGD RSUD Salatiga diantar oleh
keluarganya dengan keluhan badan badan kaku sejak ± 2 hari SMRS. Kaku
yang dirasakan pasien berada pada sebagain besar anggota tubuhnya: tangan,
kaki, punggung, perut, leher dan wajah. Setelah dilakukan anamnesis lebih
lanjut, pasien mengeluhkan sulit menelan dan sesak napas sejak muncul gejala
kaku pada tubuhnya. Pasien juga mengeluh sulit mengeluarkan dahak dari
tenggorokannya. Pasien memiliki riwayat tertusuk bambu di kaki kirinya saat
bekerja 10 hari SMRS. Pasien belum pernah imunisasi tetanus.
.Berdasarkan anamnesis adanya kekakuan atau spasme pada otot wajah
dan seluruh badan dapat mengarahkan kita pada beberapa diagnosis yaitu
tetanus, peritonitis, abses retropharingeal, meningitis, dan lain-lain. Namun
adanya riwayat tertusuk bambu, dan gejala yang muncul setelah 1 minggu
kejadian tersebut menunjukan bahwa penyakitnya memiliki periode inkubasi
selama 7 hari, khas pada kasus tetanus, dimana pada 80-90% penderita, gejala
muncul 1-2 minggu setelah infeksi, periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari
(rata-rata 7 hari).
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami
trismus. Tampak otot di seluruh tubuh mengalami spasme, otot perut terlihat
kaku seperti papan (defans muscular). Spasme juga terlihat pada otot-otot
punggung, sehingga punggung pasien terlihat cekung ke dalam (opistotonus).
Adanya luka pada pedis dextra menunjukan bahwa luka tersebut menjadi port
d’entry untuk terjadinya infeksi.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa trismus, disfagia,
opistotonus, defans muscular pada otot perut, peningkatan suhu tubuh
(demam), adanya luka terbuka dengan riwayat tertusuk bambu sangat
mendukung diagnosis tetanus. Beradasarkan klasifikasi Albert pasien ini
masuk dalam kategori tetanus sedang.
Sehingga pasien ini dilakukan terapi dengan menggunakan antibiotik
metronidazole, yang merupakan antibiotik lini pertama pada kasus tetanus.
Pasien juga diberikan human tetanus immunoglobulin sebanyak 3000 unit
dengan tujuan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan yang
dihasilkan oleh clostridium tetani. Untuk pengobatan suportifnya, pasien telah
dirawat di ruang isolasi yang gelap dan tenang, di beri oksigen menggunakan
nasal canul sebanyak 3 liter/menit, pasien telah diposisikan sedemikian rupa
dan diberi diit cair untuk mencegah terjadinya aspirasi. Spasme otot dan
rigiditas diatasi secara efektif dengan pemberian obat sedasi, yaitu diazepam
dan midazolam. Pasien tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer
dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot. Wound toilet telah
dilakukan setiap hari oleh perawat dengan cara aseptis luka tusuk
menggunakan NaCl dan betadine tanpa perban.
Pada kasus ini, juga didapatkan tekanan darah pasien yang tinggi dan
pasien mempunyai riwayat hipertensi. Pasien didagnosis hipertensi grade II dan
mengkonsumsi rutin Amlodipin.
Prognosis pasien dalam kasus ini berdasarkan Phillips score
didapatkan score 17 yang termasuk dalam severitas sedang. Sedangkan
berdasarkan Dacar score didapatkan score 2 yang berarti severitas sedang dengan
mortalitas 10-20%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo, AW, Setiyohadi, B, Alwi I, dkk.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th rev. ed. Jakarta : InternaPublishing,
2009. p. 2911-2923.

2. Laksmi NKS. Penatalaksanaan Tetanus. Cermin Dunia Kedokteran (CDK)


222. 2014; 41(11): 823-826.

3. Ritarwan C. Tetanus. USU digital library. 2004. p. 1-9.

4. Surya R. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa.


Cermin Dunia Kedokteran (CDK) 238. 2016; 43(03): 199-203.

5. Tanto C and Estiasari R. Tetanus. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, dkk.


Kapita Selekta Kedokteran. 4th rev. ed. Jakarta: Media Aesculapius, 2016.
p. 982-984.

Anda mungkin juga menyukai