Anda di halaman 1dari 3

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh..

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmusshaalihaat...


Allahumma shalli ‘alaa Muhaamad, wa ‘alaa aalihi Muhamaad SAW, amma ba’d
‫ وشر االمور محدثتها وكل محدثة‬,‫فان اصدق الحديث كتاب هللا وخير الهدي هدي محمد صالهللا عليه وسلم‬
‫بدعة وكل بدعة ضاللة وكل ضاللة في النار‬

Mohon maaf kepada sebagian teman yang mulai agak sinis dengan tulisan saya
sebelumnya tentang hadits yang saya angkat. Kenapa kita harus kurang percaya
diri bila kita merasa tidak melakukan bid’ah, sedangkan dasar dari amaliyah kita
jelas. Para Kyai NU pun percaya diri membacakan dalil tersebut, namun mereka
tidak menggunakan itu untuk membid’ah-bid’ahkan orang lain.

Sebelumnya saya mohon maaf. Saya bukan orang yang ‘alim, dan saya juga masih
belajar. Apa yang saya tulis ini sekedar sedikit apa yang saya ketahui. Bila ada
salahnya, mohon diingatkan.

Pertama-tama, kita sudah familiar bukan tentang dalil-dalil niat? “innamal a’malu
binniyat”. Ini dalil pertama dari beberapa kitab-kitab fiqh. Di tulisan ini, dalil ini
saya jadikan dalil pertama.

Dalil kedua, Ada sebuah hadits dari Aisyah R.A, mengutib dari kitab “huquq wa
wajibat syara’hallahu ‘ala ibadihi”, yang ditulis oleh Syaikh Abdul Mun’im
Mushtafa Halimah, telah diterjemahkan pula oleh Ibnu Mushlih dengan judul
“Ensiklopedi Hak dan Kewajiban dalam Keluarga Muslim” penerbit Inas Media,
tahun 2008, dalam bab “Hak orang tua atas anaknya”. Rasulullah SAW bersabda:
‫ان اوالدكم هبة هللا لكم (يهب لمن يشاء اناثا ويهب لمن يشاء الذكور) فهم واموالهم لكم اذا احتجتم اليها‬
Artinya: “sesungguhnya anak kalian adalah hibah dari Allah kepada kalian. Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan
memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka mereka
dan hartanya adalah milik kalian jika menghendakinya”.
Dalil ketiga, kita tentu juga sudah familiar dengan “ketika sudah meninggal,
semua amalnya putus kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak-anak yang shalih yang mau medoakannya”

Dalil keempat, kita juga tahu tentang hadits yang intinya makan-makan di tempat
orang yang sedang berkabung itu dilarang.

Dalil kelima, kita juga familiar dengan hadits tentang takziyah dan anjuran
menghibur keluarga yang ditinggalkan

Kelima-limanya yang telah disebutkan adalah shahih.

Dalil yang keempat sering digunakan oleh beberapa saudara kita untuk
membid’ahkan tahlilan.

Bid’ah adalah perkara baru yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW.

Hal yang paling disinggung ketika tahlilan, satu, tiga, tujuh, 40, 1000 harian orang
meninggal adalah makanan di rumah orang yang sedang berkabung.

Di sini ada dua sudut pandang:


Sudut pandang pertama: jika suatu keluarga, ditinggal mati oleh salah satu atau
sebagian anggota keluarganya, kemudian ia merasa berat dan repot bila mengikuti
tradisi thalilan dengan berkatnya (makanan yang diberikan para jamaah tahlil
yang datang di rumahnya), merasa nanti mereka akan semakin berkabung, maka
hukum tahlilan di rumahnya menjadi dilarang. Saya tidak membantahnya jika dari
sudut pandang ini tahlilan menjadi bid’ah.

Sudut pandang kedua: jika suatu keluarga, ditinggal mati oleh salah satu atau
sebagian anggota keluarganya, kemudian ia menyadari hadits pertama, kedua,
ketiga, dan kelima yang telah disebutkan, ia justru merasa sangat berbahagia dan
sangat senang bila banyak orang ikut mendoakan, membacakan surah yasin (ini
ada dasarnya pula, tolong anda cari sendiri agar lebih mantap dan lebih yakin),
anak-anaknya menyadari bahwa mereka dan harta mereka adalah hadiah untuk
orang tua mereka dan shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa mereka
adalah amalan yang tidak putus bagi orang tuanya, sehingga memberikan
makanan kepada para jamaah tahlil mereka niatkan dengan ikhlas untuk hadiah
kepada orang tuanya, maka hukum tahlilan menjadi tidak makruh, tidak haram,
tidak dilarang, dan tidak bid’ah, bahkan justru dari setiap elemen amaliyahnya
menjadi sunnah.

Dari segi tahlilan sendiri, dalam tahlilan kita membaca Fatihah, Yasin, al ikhlas,
falaq, naas, kalimah-kalimah thayyibah, dan Rasulullah SAW pernah melakukan
semua itu, maka jelas bukan bid’ah.

Bila beberapa orang konsisten dengan definisi bid’ah mereka, mereka yang
mengatakan tahlilan bid’ah da’wah melalui radio dan TV, sedangkan Rasulullah
SAW tidak pernah da’wah lewat radio, maka mereka tidak konsisten dengan
bid’ah yang mereka gembar-gemborkan.

So, what is bid’ah? And when can we say that something is bid’ah?

Jawabannya, yaitu dalil yang pertama dan sudut padang. Maksudnya sudut
pandang ialah, jika engkau menganggap sesuatu sebagai bid’ah dengan suatu
dasar yang jelas, maka ia bid’ah bagimu. Jika engkau menganggap sesuatu itu
tidak bid’ah dengan dasar yang jelas, maka ia bukan bid’ah bagimu. 

Anda mungkin juga menyukai