Anda di halaman 1dari 37

Refleksi Kasus Juni 2018

“TERAPI OKSIGEN PADA PASIEN POST TRACHEOSTOMI”

Disusun Oleh:
Wihdatul Ummah
N 111 16 005

Pembimbing Klinik:
dr. Faridnan, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu
esensialnya unsur ini bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak
manusia tidak mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian
adalah penurunan kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami
kerusakan yang lebih berat dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan
mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk
metabolisme tubuh.
Dua penelitian dasar di awal 1960an memperlihatkan adanya bukti
membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen
Therapy Trial (NOTT), pemberian oksigen 12 jam atau 24 jam sehari selama
6 bulan dapat memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan
genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup
mereka. Namun penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen
pada pasien-pasien hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup,
hemodinamik paru, dan kapasitas latihan. Keuntungan lain pemberian
oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor
pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik
dan pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki
metabolisme otot.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rongga thoraks


Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak
dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan
bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian
hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan
dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua
lobus.2,3

2.2 Anatomi Pulmonal


Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru
kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia
seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu lapisan tipis
kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis).2,3
Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan
tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu
bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut
sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah
suatu ruangan potensial.2
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam
rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.3
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal
ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang
cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung
mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum
mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan
kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai
tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus
bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.2
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif
intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane
pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling
tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada
selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura
melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.3
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan
keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini
kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura
normal.3

2.3 Kontrol pernafasan


Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke
dalam paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis
pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme
ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling berinteraksi.
Komponen yang berperan penting adalah pompa yang bergerak maju mundur,
disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua komponen volume-
elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding terdiri
dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan
dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks
merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pompa.4
Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga
dan sternum) merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan
volume paru dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu
proses pasif pada pernafasan tenang.4
Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari
neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan
merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan.
Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat
kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan)
karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau
penururnan pH merangsang pernafasan.3,4
Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga
merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis
pada bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka
terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2
harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai
sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.4
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru.
Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada
pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari
reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam
keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.
Mekanisme ini yang dikenal dengan nama reflex Hering-Breuer, refleks ini
tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter
seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi
baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga
merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan
dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons
dan medulla oblongata.3,4
Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf
frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama
lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika
yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.4

2.4 Kontrol pernafasan pada jalan nafas


Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan
dikontrol oleh sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada
keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan.
Persarafan parasimpatis (kolinergik – melalui nervus vagus) memberikan
tonus bronkokonstriktor pada jalan nafas.5
Rangsangan parasimpatis menyebabkan bronkokonstriksi dan
peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis
terutama ditimbulkan oleh epinefrin melalui reseptor-reseptor adrenergic-
beta2, dan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, bronkodilasi, dan
berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis mempersarafi jalan nafas, namun
hanya sedikit.5
Sekarang ini, komponen ketiga pengontrolan saraf yan telah
digambarkan disebut nonkolinergik, sistem penghambat nonadrenergik.
Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan
bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida.
Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun
kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.5

2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5
 Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
 Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus
 Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai
sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
 Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
 Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
 Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
 Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai
rasio tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
 Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
 Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi – Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
µm). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
2.6 Hubungan antara ventilasi – perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit
pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7
2.7 Transpor O2 dalam darah
O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan:
secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai
oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible,
dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai
hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang
ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah.
Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2).7
Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya
sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport
seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam
keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat
dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon
monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk
mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan
memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata
dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah
dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.
Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke
darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh.6
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25%
O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan
HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada
darah arteri.7

2.8 Penilaian Status Pernafasan


Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja
tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk
memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak faktor
lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung yang
memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan.
Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan
klinis serta interpretasi gas-gas darah.6,7
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi
pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase
kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan
O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.
Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke
jaringan pada PaO2 tertentu.6,7
2.9 Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu
intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang
terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan
lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi
fisiologis normal.8
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama
beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian
oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di
rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman
mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian
oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.8
2.9.1 Tujuan Pemberian Terapi Oksigen
Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu :
a) Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke
jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob.
b) Mempertahankan PaO2 > 60 mmhg atau SaO2 >90 % untuk
mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Menurunkan
kerja nafas dan miokard. Menilai fungsi pertukaran gas.
2.9.2 Indikasi Pemberian Terapi Oksigen
Oksigen dalam darah akan berikatan dengan hemoglobin dan akan
diedarkan ke seluruh tubuh. Apabila terjadi gangguan pada sistem
respirasi, maupun pada hemoglobin, mengakibatkan gangguan pada
jaringan.
Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia yaitu
kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di bawah level
normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Hipoksia
merupakan salah satu masalah gawat darurat karena dapat merusak organ
vital. Selain itu dapat juga mengancam kehidupan. Salah satu cara
mencegah hipoksia dengan memberikan terapi oksigen. Klasifikasi
deksriptif macam-macam penyebab hipoksia, yaitu :
a) Oksigenasi darah di dalam paru yang tidak memadai karena keadaan
ekstrinsik
- Kekurangan oksigen dalam atmosfer.
- Hipoventilasi (gangguan neuromuskular).
b) Penyakit paru
- Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau
penurunan komplians paru.
- Kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus (termasuk peningkatan ruang
rugi fisiologis atau pintasan fisiologis).
- Berkurangnya difusi membran pernapasan.
c) Pintasan vena ke arteri
d) Transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan
- Anemia atau hemoglobin abnormal.
- Penurunan sirkulasi umum.
- Penurunan sirkulasi lokal (perifer, serebral, pembuluh darah koroner).
- Edema jaringan.
e) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai
- Keracunan enzim oksidasi selular.
- Penurunan kapasitas metabolik selular untuk meggunakan oksigen,
karena toksisitas, defisiensi vitamin atau faktor-faktor lain.
Pengaruh hipoksia pada tubuh, bila cukup berat, dapat
menyebabkan kematian sel-sel seluruh tubuh, tetapi pada derajat yang
kurang berat terutama akan mengakibatkan penekanan aktivitas mental,
kadang-kadang memberat sampai koma, dan menurunkan kapasitas kerja
otot.
Keadaan lain yang menandakan kekurangan oksigen dalam tubuh
yaitu sianosis. Sianosis berarti kebiruan pada kulit, penyebabnya adalah
hemoglobin yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam
pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Sianosis terjadi pada
apabila darah arteri mengandung > 5 gram hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen dalam setiap 100 ml darah.
Suatu kondisi lain yang disebut dengan istilah dispnea, berarti
penderitaan mental yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi untuk
memenuhi kebutuhan udara. Faktor yang menyertai keadaan ini adalah :
a) Kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia
dan hipoksia (dengan porsi yang jauh lebih sedikit)
b) Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapsan untuk
menghasilkan ventilasi yang memadai
c) Orang tersebut dalam keadaan pikiran
Keadaan ini akan menjadi lebih berat karena pembentukan
karbondioksida yang berlebihan dalam cairan tubuh, akan tetapi dalam
suatu waktu kadar karbondioksida dan oksigen dalam cairan tubuh berada
dalam batas normal, namun dibutuhkan usaha bernapas yang kuat.
Keadaan inilah yang sering menimbulkan dispnea pada orang tersebut.
Ada juga suatu keadaan yang mana fungsi pernapasannya sudah kembali
normal, akan tetapi masih mengalami dispnea karena perasaannya yang
masih abnormal, disebut dispnea neurogenik atau dispnea emosional.
Faktor perkembangan yang terganggu juga merupakan suatu
indikasi yang memerlukan terapi oksigen. Misalnya pada bayi premature
berisiko terkena penyakit membrane hialin karena belum matur dalam
menghasilkan surfaktan. Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi
saluran pernafasan akut. Pada dewasa, mudah terpapar faktor risiko
kardiopulmoner. Sistem pernafasan dan jantung mengalami perubahan
fungsi pada usia tua / lansia.
2.9.3 ALAT PEMBERIAN OKSIGEN
Kecepatan
Sistem
aliran FiO2 (%
pemberian Keuntungan Kerugian Lain-lain
L/menit oksigen)
oksigen

- Alat
- Iritasi lokal dan
dibersihk
kekeringan mukosa (bila
an setiap
kecepatan
25 - Simpel, hari.
aliran>4L/menit) pada
29 nyaman, murah, Evaluasi
1 aliran tinggi, pasien
33 pasien dapat luak
2 tidak nyaman dan harus
37 makan dan akibat
3 digunakan bersama
1. Nasal 41 minum tekanan
4 sistem
Kanula 45 di telinga
5 humidifikasi/pelembaban
- Tidak ada dan pipi.
6 .
resiko - Aliran
- Tidak efektif untuk
menghirup >6 liter
oksigen konsentrasi tiggi.
CO2 kembali tidak
- Oksigen yang
akan
diberikan tidak
menamba
konsisten.
h FiO2
- Peningkatan - Aliran
aliran ke <5L/meni
- Harus ditutup ke
10L/menit bisa t
wajah dengan kuat dan
2. Sungku meningkatkan menyebab
>5 ketat : panas dan terasa
p muka 35-50 konsentrasi kan
(5-15) mengikat
sederhana oksigen 50% peningkat
- Tidak praktis untuk
- lebih murah an
jangka waktu lama
dibanding resistensi
masker lain terhadap
pernapas
an.
-
Kemung
kinan
CO2terku
mpul
dalam
masker
dan
pernapas
an ulang
bisa
terjadi.
Aliran
oksigen
harus
terus
- FiO2 yang
3. sungku 6-10 diberikan
lebih tinggi pada
p muka L/menit untuk
aliran yang lebih
dengan (sistem ini memastik
rendah Resiko atelektasis dan
kantong re dapat an
5-15 - Katup toksisitas oksigen
breathing menyedia kantung
memberikan (pemakaian yang lama)
kan fraksi senantias
ruang untuk
oksigen a terisi
CO2 keluar dari
40-70%) sepertiga
masker
atau
separuh
pada saat
inspirasi.
- Diutamakan
untuk pasien
rawat inap
- Konsentrasi
60-80
10 oksigen tinggi
(tergantu
tanpa Kantong
ng aliran
dibutuhkan harus
4. Non- oksigen Lebih mahal dibanding
intubasi diisi
rebreathing dan tipe nasal kanul dan simple
- Pasien sebelum
mask pernapas mask
menghirup dipasang
an)
udara yang kaya ke pasien
10-12 oksigen dari
95
kantung dan
bukan dari
udara yang
tersisa.
Konsentrasi - Resiko atelektasis dan toksisitas
5. Sungku
4 24-28 oksigen akhir oksigen (pemakaian lama)
p muka
6 31 dapat dimonitor - Harus dipasang dengan ketat
venturi
8 35-40 dengan lebih - Tidak dapat mengalirkan oksigen
10 50 ketat dan lebih konsentrasi tinggi dengan fleksibel
tepat
- Meningkatkan O2
- Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai
6. Head
konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah
box 5
penumpukan CO2
6 >7
- Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk
7
mencegah rebreathing CO2
7. Continu
e Positive
airway 2-10 dengan
- Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif
pressure(C konsentrasi
pada inspirasi dan ekspirasi
PAP) 21-100%

2.9.4 Algoritma Terapi Oksigen


2.9.5 Monitoring Dalam Pemberian Terapi Oksigen
Dalam pemberian terapi oksigen, monitoring merupakan hal yang
penting, agar terapi oksigen yang diberikan bisa efisien, efektif dan
optimal serta efek samping dapat seminimal mungkin. Rekomendasi
monitoring terapi oksigen, yaitu:
a) Jika memungkinkan AGD harus dilakukan sebelum terapi oksigen
diberikan.
b) AGD atau oksimetri harus dilakukan dalam waktu dua jam setelah
pemberian terapi oksigen dan FiO2 diatur sesuai kebutuhan, respon
yang adekuat adalah apabila PaO2 > 7,8 kPa (7,8 kPa ≈ 60mmHg)
atau SaO2 > 90%.
c) Pasien hipoksemik yang beresiko aritmia atau gagal napas harus
dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.
d) Pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2, AGD harus
dilakukan lebih sering untuk menilai PaO2 dan SaO2 harus
dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.
2.9.6 Menghentikan Pemberian Terapi Oksigen
Prosedur menghentikan terapi oksigen disebut penyapihan
(weaning), dapat dilakukan secara bertahap dengan menurunkan
konsentrasi oksigen selama periode waktu yang ditetapkan sambil
dievaluasi parameter klinis dan SpO2 atau dapat juga langsung dihentikan.
Awalnya penghentian oksigen dilakukan selama 30 menit dan dilanjutkan
untuk waktu yang lama, jika tidak terdapat deteriorasi, penghentian dapat
dilakukan secara total. Tanda-tanda deteriorasi, yaitu peningkatan RR
(terutama >30x/menit), penurunan SpO2, peningkatan dosis oksigen
dibutuhkan untuk memastikan SpO2 berada pada target range, rasa
mengantuk, nyeri kepala, muka kemerahan, dan tremor.
Pada pasien dengan penyakit respirasi yang kronis akan
membutuhkan oksigen dalam konsentrasi yang rendah untuk jangka waktu
yang lebih lama. Pemberian oksigen harus dihentikan apabila oksigenasi
arteri sudah adekuat dengan keadaan bernapas pada udara kamar (PaO2
>60 mmHg, SaO2 >90%). Weaning dipertimbangkan apabila pasien sudah
merasa nyaman, penyakit dasar sudah terstabilisasai, tekana darah, nadi,
frekuensi napas, warna kulit dan oksimetri dalam batas normal, serta hasil
AGD dalam batas normal.

2.9.7 Komplikasi Terapi Oksigen


 Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic
drive” untuk mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi
dapat mengurangi “drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan
dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk
menilai adanya retensi CO2.10
 Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada
neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat.
Semua terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara
berkelanjutan.10
 Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang
dapat menyebabkan penurunan pergantian gas dan atelektasis.10
BAB III

KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. RH
Umur : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ds. Soni
Tanggal masuk : 05/05/2018
Tanggal pengambilan data :11 /06/2018

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran

Riwayat penyakit sekarang


Pasien masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran post
kecelakaan lalu lintas di Bangkir sekitar pukul 10.00 wita (05/05/2018).
Pasien ditabrak truk dan terlempar +15 meter. Riwayat tidak sadarkan diri
setelah kejadian (+), mual(-), muntah (-), keluar darah dari telinga /hidung
(-/-). Pasien rujukan dari PKM. Bangkir dengan riwayat penurunan
kesadaran (GCS E1M1V1) dan terdapat perdarahan aktif pada bagian
kepala akibat luka robek.

Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat alergi (-)


- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit hati (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat penyakit hipertensi (-)

Anamnesis Tambahan Terkait Anestesi


 Riwayat operasi: Tracheostomi (07/05/2018)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Berat
Kesadaran : Coma, GCS: E4MxV1
BB : 60 kg
Vital Sign
- TD : 93/49 mmHg
- Nadi : 69 x/menit
- RR : 24 x/menit
- Suhu : 36,7C
2. Pemeriksaan Kepala
- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
refleks cahaya +/+, pupil isokor d= 3
mm, cekung (+)
- Telinga : discharge (-)
- Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum
(-),
- Mulut : sianosis (-) bibir kering (+), mukosa kering,
pembesaran tonsil (-) skor Mallampati 1

3. Pemeriksaan leher : terpasang

4. Pemeriksaan Thorax
a. Paru - paru :
Inspeksi : simetris bilateral, retraksi (-), massa(-)
Palpasi : nyeri tekan (-), Vokal Fremitus kanan=kiri,
ekspansi dinding dada simetris
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 murni, regular, murmur (-)

5.Abdomen
Inspeksi : kesan datar, tampak kencang (+)
Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun
Perkusi : hipertimpani semua regio
Palpasi : nyeri tekan semua regio, defans muskular (+), hati, lien,
dan ginjal tidak dapat dinilai

6.Ekstremitas
Suhu akral hangat, edema tidak ada, turgor melambat, CRT <3 detik
7. Genitalia
Dalam batas normal
D. PENANGANAN DI UGD (TANGGAL 05 MEI 2018)
- Pasang IV Line abocath 18 G IVFD RL 20 tpm (sejak pukul 23.00)
- Inj.ketorolac 1amp/8jam/iv
- Konsul dokter bedah : persiapkan operasi besok siang
- Pasien puasa 8 jam pre-operatif
- Keadaan umum dalam batas normal
- Persetujuan tindakan anestesi dan operasi
- Persiapan darah 2 kantong
- USG abdomen (hasil terlampir)
- Periksa DL, CT,BT,HbSAg
DIAGNOSA :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (TANGGAL 05 APRIL 2018)

Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,5 L: 14-18, P: 12-16 g/dl
Leukosit 15,1 4.000-12.000 /mm3
Eritrosit 4,37 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 42,4 L: 40-46 P: 35-47 %
Trombosit 196.000 150.000-450.000 /mm3
CT 7’30’’ 5-11(Duke) m.det
BT 4’ 1-3 (ivy) m.det

Hasil Satuan
KIMIA DARAH

Kreatinin 2,38 mg/dl


Ureum 49,9 mg/dl
GDS 113 mg/dl
AST/ GOT 67 U/L
ALT/GPT 30 U/L
ELEKTROLIT DARAH
Natrium 145 nmol/L
Kalium 4,4 nmol/L
Clorida 103 nmol/L

Foto Thorax:

Serologi : HbSAg (-)


D. DI KAMAR OPERASI
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darahAlat-alat pantau yang lain dipasang sesuai
dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
h. Kartu catatan medic anestesia
i. Selimut penghangat
Tabel 3.1 Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang


sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau


pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini
tidak digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.


S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

 Data Anestesia
1. Jenis anestesi : Anestesi Regional
2. Teknik anestesi : Spinal
3. Lama operasi : 13.00 – 15.00 (2 jam)
4. Anestesiologi : dr. A. Donny Tandiarrang, Sp.An
5. Ahli Bedah : dr. Ikhlas, Sp.B
6. Infus : 1 line di tangan kiri

a. Intraoperatif
160

140

120

100

80 sistol
diastol
60
nadi
40

20

Keterangan: mulai operasi mulai anastesi

- Perdarahan selama operasi: ± 100 cc.


- Jumlah urin selama operasi ± 100 cc
- Jumlah cairan yang diberikan selama pembedahan :
RL 1500 cc

Jumlah medikasi
- Bunascan 0,5% 10 mg
- Dexametason 10 mg
- Ondancentron 4 mg
- Ranitidin 50 mg
- Asam tranexamat 250 mg
- Efedrin 10 mg
TERAPI CAIRAN :

BB : 70 kg
EBV : 70 cc/kg BB x 70 kg = 4900 cc

a. Terapi saat di ugd seharusnya


- Oksigen nasal kanul 2lpm
- Pasang IV line
Pasien diklasifikasikan dehidrasi derajat sedang defisit8% BB := 8/100 x
70000 (gram) =5600 cc
Rehidrasi lambat: 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 8 jam
pertama kemudian 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam
kedua.
 8 jam pertama :
50% defisit cairan + rumatan :
50% defisit cairan = 50% x 5600 = 2800cc (dalam 8 jam)
= 350cc/jam
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :
(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110cc/jam
Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:
350 cc/jam + 110 cc/jam = 460 cc/jam
= 460 cc/jam x 20tetes/60 menit
= 153 tetes/menit
 16 jam berikutnya :
50% defisit cairan + rumatan :
50% defisit cairan = 50% x 5600 = 2800cc (dalam 16 jam)
= 175cc/jam
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :
(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110cc/jam
Maka, dalam 16 jam diberikan cairan sebanyak:
175 cc/jam + 110 cc/jam = 285cc/jam
= 285 x 20tetes/60 menit
= 95 tetes/menit
- Pemasangan NGT
- Pemasangan kateter urin
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan crossmatch
- Persiapan alat dan obat anestesi
- Foto toraks, foto polos abdomen, EKG
- Puasakan pasien sejak direncanakan operasi

Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : RL 500 cc
- Durante operatif :
o Kristaloid RL 1500 cc
- Total input cairan : 2000 cc
 Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 100 cc
Jumlah perdarahan:± 100 cc
% perdarahan/EBV :100/4.900 x 100% = 2,04 %
- Urin out put : ± 80 cc

PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB =
70 kg adalah :(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam (2640 cc/jam)
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x
110 = 880 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = -380 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 70 kg = 560 cc
4. Cairan defisit darah selama operasi ( Darah = 100 ml x 3 = 300 ml )

Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi = (110 x 2 ) + 380 + 560 + 300
= 1.460ml

b. Cairan masuk :
Kristaloid : 1500 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk :1500 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:

Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1500 – 1460ml = 40 ml

d. Perhitungan cairan pengganti darah :

Untuk mengganti kehilangan darah 100 cc diperlukan cairan kristaloid ±


300 cc.

A. Post Operatif
1. Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
3. Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan
analgetik.
TD: 110/70 mmHg
Nadi : 96 x/menit
RR: 20 x/menit
GCS E4V5M6, KU baik
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien pada kasus kali ini, dilakukan tindakan bedah berupa laparotomi
explorasi untuk mencari penyebab dari peritonitis, dan didapatkan perforasi dari
appendisitis dan dilakukan appendiktomi. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan
pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang
untuk menentukan status fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk
ASA II, karena pasien mengalami peritonitis yang menyebabkan gangguan
sistemik sedang yang bila penanganan terlambat akan menyebabkan sepsis. Pasien
juga mengalami gangguan fisiologik yaitu dehidrasi sedang yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan baik dari muntah maupun terjadinya pengeluaran cairan di
peritoneum.
Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal. Hal ini dipilih karena
pasien akan dilakukan laparotomi dimana pasien telah dipuasakan untuk
menghindari aspirasi, pasien tidak memiliki riwayat infeksi pada tempat suntikan
(tidak ada kuntraindikasi untuk dilakukan anastesi spinal) dan pembedahan
dilakukan pada ekstremitas bawah tubuh.
Tahap selanjutnya dilakukan induksi Agen anestetik lokal yang digunakan
dalam kasus adalah bupivakain 0,5% 10 cc yang disuntikkan. Agen lain yang
digunakan untuk blokade adalah bupivakain 0,5%. Bupivakain secara kimia dan
farmakologisnya mirip dengan lidokain. Toksisitasnya setara dengan tetrakain.
Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal
tanpa vasokontriktor adalah 2,5 mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai
3,2 mg/kgBB. Durasi kerja obat mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat
mencapai 4-8 jam dengan vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai
dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan
kristaloid secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat
pula pemberian cairan kristaloid sebanyak 500cc sebelum pemberian anestesi
spinal untuk mencegah terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke
dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek
kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10
kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic,
sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian
disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan
tekanan darah.

TERAPI CAIRAN
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat
berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas
seseorang.Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga
ketiga.Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular
dan kompartemen ekstraselular. Selanjutnya kompartemen ekstraselular dibagi
menjadi cairan intravaskular dan interstisial.

Jaringan (40%)
Cairan
Tubuh (100%) Intraselular
(40%) 60 Plasma darah
Cairan Tubuh
(60%) 100 (5 %) 10
Cairan
Ekstraselular
(20%) 40
Cairan Interstitial
(15 %) 30

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh

1. Penatalaksanaan Preoperatif
Pada pasien ini terjadi dehidrasi akibat perubahan volume yang
diakibatkan muntah yang dialami > 5 kali sebelum masuk rumah sakit.
Muntah tersebut masih dialami sehari setelah masuk rumah sakit. Gejala
klinis yang muncul pada pasien yaitu lemas, capillary refill time 3 detik,
mukosa membrane kering, pernafasan, nadi dan turgor meningkat, mata
cekung, dan output urin menurun, sehingga dapat dikategorikan sebagai
dehidrasi derajat sedang.

Gambar 2. Klasifikasi Derajat Dehidrasi


Rehidrasi cairan (dehidrasi derajat sedang): 8% x BB = 8% x 70 =
70000 (gram) =5600 cc
Rehidrasi lambat: 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 8 jam
pertama kemudian 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam
kedua.
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :(10x4) +
(10x2) + (50x1) = 110 cc/jam
Pada kasus pasien tidak dilakukan rehidrasi karena pemberian infus
dari awal masuk rumah sakit 20 tpm sehingga rehidrasi tidak mencukupi
yaitu 60cc/jam (480 dalam 8 jam pada rehidrasi awal) sedangkan pasien
membutuhkan 460 cc/jam. Pada pasien tidak dipasang kateter untuk
memantau output sehingga indikator keberhasilan resusitasi tidak dapat
diketahui. Pemasangan NGT berfungsi untuk dekompresi lambung

2. Durante Operatif
Input yang diperlukan selama operasi
a. Cairan Maintanance (M) : Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB
= 70 kg adalah :(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam (2640
cc/jam)
b. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8
x 110 = 880 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = -380 ml
c. Stress Operasi Besar : 8 cc x 70 kg = 560 cc
d. Cairan defisit darah selama operasi ( Darah = 100 ml x 3 = 300
ml)

Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi = (110 x 2 ) + 380


+ 560 + 300 = 1.460ml
Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan
larutan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan
pertimbangan berdasarkan :
a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum
pembedahan
b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit.
g. Usia penderita

Pada kasus kali ini tidak diberikan pemberian pengantian cairan


dengan darah karena kadar Hb (14,4) dan hematokrit (43,1%) sebelum
operasi stabil, sumber perdarahan teratasi, hemodinamik stabil, dan usia
penderita yang masih muda sehingga tubuh bisa dengan cepat melakukan
perbaikan.

Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30
menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan haemodinamik post
operasi. Selain itu pasien diberikan antibiotik profilaksis berupa antibiotik
spectrum luas Cefotaxim 1 gr/iv dan antibiotik gram negatif Metronidazole 500
mg; antiemetic berupa ondansetron 4 mg/iv; H2 reseptor bloker Ranitidine 50
mg/iv; dan analgetik Ketorolac 30 mg.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 70 mmHG, nadi 96 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit
DAFTAR PUSTAKA

1. AARC CPG, 2010, “AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy for
Adults in the Acute Care Facility”.
2. Astowo, Pudjo, 2010, “Terapi oksigen”, Ilmu Penyakit Paru. Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Jakarta: FK UI.
3. Ganong, F. William, 2009, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20, Jakarta: EGC.
4. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2010, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”,
edisi 9, Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk Praktis
Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
5. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2010, “Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
6. Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2010, “Emergency Medicine: Oxygen
Therapy”, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No.
7. South Durham Health Care NHS, 2000, “Guideline for the Management of
Oxygen Therapy”.
8. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2010, “Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.

Anda mungkin juga menyukai