Disusun Oleh:
Wihdatul Ummah
N 111 16 005
Pembimbing Klinik:
dr. Faridnan, Sp.An
2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5
Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai
sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai
rasio tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi – Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
µm). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
2.6 Hubungan antara ventilasi – perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit
pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7
2.7 Transpor O2 dalam darah
O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan:
secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai
oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible,
dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai
hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang
ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah.
Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2).7
Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya
sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport
seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam
keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat
dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon
monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk
mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan
memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata
dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah
dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.
Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke
darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh.6
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25%
O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan
HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada
darah arteri.7
- Alat
- Iritasi lokal dan
dibersihk
kekeringan mukosa (bila
an setiap
kecepatan
25 - Simpel, hari.
aliran>4L/menit) pada
29 nyaman, murah, Evaluasi
1 aliran tinggi, pasien
33 pasien dapat luak
2 tidak nyaman dan harus
37 makan dan akibat
3 digunakan bersama
1. Nasal 41 minum tekanan
4 sistem
Kanula 45 di telinga
5 humidifikasi/pelembaban
- Tidak ada dan pipi.
6 .
resiko - Aliran
- Tidak efektif untuk
menghirup >6 liter
oksigen konsentrasi tiggi.
CO2 kembali tidak
- Oksigen yang
akan
diberikan tidak
menamba
konsisten.
h FiO2
- Peningkatan - Aliran
aliran ke <5L/meni
- Harus ditutup ke
10L/menit bisa t
wajah dengan kuat dan
2. Sungku meningkatkan menyebab
>5 ketat : panas dan terasa
p muka 35-50 konsentrasi kan
(5-15) mengikat
sederhana oksigen 50% peningkat
- Tidak praktis untuk
- lebih murah an
jangka waktu lama
dibanding resistensi
masker lain terhadap
pernapas
an.
-
Kemung
kinan
CO2terku
mpul
dalam
masker
dan
pernapas
an ulang
bisa
terjadi.
Aliran
oksigen
harus
terus
- FiO2 yang
3. sungku 6-10 diberikan
lebih tinggi pada
p muka L/menit untuk
aliran yang lebih
dengan (sistem ini memastik
rendah Resiko atelektasis dan
kantong re dapat an
5-15 - Katup toksisitas oksigen
breathing menyedia kantung
memberikan (pemakaian yang lama)
kan fraksi senantias
ruang untuk
oksigen a terisi
CO2 keluar dari
40-70%) sepertiga
masker
atau
separuh
pada saat
inspirasi.
- Diutamakan
untuk pasien
rawat inap
- Konsentrasi
60-80
10 oksigen tinggi
(tergantu
tanpa Kantong
ng aliran
dibutuhkan harus
4. Non- oksigen Lebih mahal dibanding
intubasi diisi
rebreathing dan tipe nasal kanul dan simple
- Pasien sebelum
mask pernapas mask
menghirup dipasang
an)
udara yang kaya ke pasien
10-12 oksigen dari
95
kantung dan
bukan dari
udara yang
tersisa.
Konsentrasi - Resiko atelektasis dan toksisitas
5. Sungku
4 24-28 oksigen akhir oksigen (pemakaian lama)
p muka
6 31 dapat dimonitor - Harus dipasang dengan ketat
venturi
8 35-40 dengan lebih - Tidak dapat mengalirkan oksigen
10 50 ketat dan lebih konsentrasi tinggi dengan fleksibel
tepat
- Meningkatkan O2
- Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai
6. Head
konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah
box 5
penumpukan CO2
6 >7
- Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk
7
mencegah rebreathing CO2
7. Continu
e Positive
airway 2-10 dengan
- Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif
pressure(C konsentrasi
pada inspirasi dan ekspirasi
PAP) 21-100%
KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. RH
Umur : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ds. Soni
Tanggal masuk : 05/05/2018
Tanggal pengambilan data :11 /06/2018
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan Thorax
a. Paru - paru :
Inspeksi : simetris bilateral, retraksi (-), massa(-)
Palpasi : nyeri tekan (-), Vokal Fremitus kanan=kiri,
ekspansi dinding dada simetris
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 murni, regular, murmur (-)
5.Abdomen
Inspeksi : kesan datar, tampak kencang (+)
Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun
Perkusi : hipertimpani semua regio
Palpasi : nyeri tekan semua regio, defans muskular (+), hati, lien,
dan ginjal tidak dapat dinilai
6.Ekstremitas
Suhu akral hangat, edema tidak ada, turgor melambat, CRT <3 detik
7. Genitalia
Dalam batas normal
D. PENANGANAN DI UGD (TANGGAL 05 MEI 2018)
- Pasang IV Line abocath 18 G IVFD RL 20 tpm (sejak pukul 23.00)
- Inj.ketorolac 1amp/8jam/iv
- Konsul dokter bedah : persiapkan operasi besok siang
- Pasien puasa 8 jam pre-operatif
- Keadaan umum dalam batas normal
- Persetujuan tindakan anestesi dan operasi
- Persiapan darah 2 kantong
- USG abdomen (hasil terlampir)
- Periksa DL, CT,BT,HbSAg
DIAGNOSA :
Hasil Satuan
KIMIA DARAH
Foto Thorax:
Data Anestesia
1. Jenis anestesi : Anestesi Regional
2. Teknik anestesi : Spinal
3. Lama operasi : 13.00 – 15.00 (2 jam)
4. Anestesiologi : dr. A. Donny Tandiarrang, Sp.An
5. Ahli Bedah : dr. Ikhlas, Sp.B
6. Infus : 1 line di tangan kiri
a. Intraoperatif
160
140
120
100
80 sistol
diastol
60
nadi
40
20
Jumlah medikasi
- Bunascan 0,5% 10 mg
- Dexametason 10 mg
- Ondancentron 4 mg
- Ranitidin 50 mg
- Asam tranexamat 250 mg
- Efedrin 10 mg
TERAPI CAIRAN :
BB : 70 kg
EBV : 70 cc/kg BB x 70 kg = 4900 cc
Pemberian Cairan
Cairan masuk :
- Pre operatif : RL 500 cc
- Durante operatif :
o Kristaloid RL 1500 cc
- Total input cairan : 2000 cc
Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 100 cc
Jumlah perdarahan:± 100 cc
% perdarahan/EBV :100/4.900 x 100% = 2,04 %
- Urin out put : ± 80 cc
PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB =
70 kg adalah :(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam (2640 cc/jam)
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x
110 = 880 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = -380 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 70 kg = 560 cc
4. Cairan defisit darah selama operasi ( Darah = 100 ml x 3 = 300 ml )
Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi = (110 x 2 ) + 380 + 560 + 300
= 1.460ml
b. Cairan masuk :
Kristaloid : 1500 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk :1500 ml
c. Keseimbangan kebutuhan:
A. Post Operatif
1. Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
3. Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan
analgetik.
TD: 110/70 mmHg
Nadi : 96 x/menit
RR: 20 x/menit
GCS E4V5M6, KU baik
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus kali ini, dilakukan tindakan bedah berupa laparotomi
explorasi untuk mencari penyebab dari peritonitis, dan didapatkan perforasi dari
appendisitis dan dilakukan appendiktomi. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan
pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang
untuk menentukan status fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk
ASA II, karena pasien mengalami peritonitis yang menyebabkan gangguan
sistemik sedang yang bila penanganan terlambat akan menyebabkan sepsis. Pasien
juga mengalami gangguan fisiologik yaitu dehidrasi sedang yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan baik dari muntah maupun terjadinya pengeluaran cairan di
peritoneum.
Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal. Hal ini dipilih karena
pasien akan dilakukan laparotomi dimana pasien telah dipuasakan untuk
menghindari aspirasi, pasien tidak memiliki riwayat infeksi pada tempat suntikan
(tidak ada kuntraindikasi untuk dilakukan anastesi spinal) dan pembedahan
dilakukan pada ekstremitas bawah tubuh.
Tahap selanjutnya dilakukan induksi Agen anestetik lokal yang digunakan
dalam kasus adalah bupivakain 0,5% 10 cc yang disuntikkan. Agen lain yang
digunakan untuk blokade adalah bupivakain 0,5%. Bupivakain secara kimia dan
farmakologisnya mirip dengan lidokain. Toksisitasnya setara dengan tetrakain.
Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal
tanpa vasokontriktor adalah 2,5 mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai
3,2 mg/kgBB. Durasi kerja obat mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat
mencapai 4-8 jam dengan vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai
dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan
kristaloid secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat
pula pemberian cairan kristaloid sebanyak 500cc sebelum pemberian anestesi
spinal untuk mencegah terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke
dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek
kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10
kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic,
sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian
disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan
tekanan darah.
TERAPI CAIRAN
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat
berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas
seseorang.Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga
ketiga.Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular
dan kompartemen ekstraselular. Selanjutnya kompartemen ekstraselular dibagi
menjadi cairan intravaskular dan interstisial.
Jaringan (40%)
Cairan
Tubuh (100%) Intraselular
(40%) 60 Plasma darah
Cairan Tubuh
(60%) 100 (5 %) 10
Cairan
Ekstraselular
(20%) 40
Cairan Interstitial
(15 %) 30
1. Penatalaksanaan Preoperatif
Pada pasien ini terjadi dehidrasi akibat perubahan volume yang
diakibatkan muntah yang dialami > 5 kali sebelum masuk rumah sakit.
Muntah tersebut masih dialami sehari setelah masuk rumah sakit. Gejala
klinis yang muncul pada pasien yaitu lemas, capillary refill time 3 detik,
mukosa membrane kering, pernafasan, nadi dan turgor meningkat, mata
cekung, dan output urin menurun, sehingga dapat dikategorikan sebagai
dehidrasi derajat sedang.
2. Durante Operatif
Input yang diperlukan selama operasi
a. Cairan Maintanance (M) : Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB
= 70 kg adalah :(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam (2640
cc/jam)
b. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8
x 110 = 880 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = -380 ml
c. Stress Operasi Besar : 8 cc x 70 kg = 560 cc
d. Cairan defisit darah selama operasi ( Darah = 100 ml x 3 = 300
ml)
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30
menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan haemodinamik post
operasi. Selain itu pasien diberikan antibiotik profilaksis berupa antibiotik
spectrum luas Cefotaxim 1 gr/iv dan antibiotik gram negatif Metronidazole 500
mg; antiemetic berupa ondansetron 4 mg/iv; H2 reseptor bloker Ranitidine 50
mg/iv; dan analgetik Ketorolac 30 mg.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 70 mmHG, nadi 96 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit
DAFTAR PUSTAKA
1. AARC CPG, 2010, “AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy for
Adults in the Acute Care Facility”.
2. Astowo, Pudjo, 2010, “Terapi oksigen”, Ilmu Penyakit Paru. Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Jakarta: FK UI.
3. Ganong, F. William, 2009, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20, Jakarta: EGC.
4. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2010, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”,
edisi 9, Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk Praktis
Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
5. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2010, “Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
6. Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2010, “Emergency Medicine: Oxygen
Therapy”, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No.
7. South Durham Health Care NHS, 2000, “Guideline for the Management of
Oxygen Therapy”.
8. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2010, “Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.