Anda di halaman 1dari 7

Q FEVER

Paper

diajukan untuk melengkapi tugas koasistensi


Laboratorium Mikrobiologi

AKMAL SAFRIJAL SA, S.KH 1702101020011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2017
Q FEVER

Q fever adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella


burnetii (C. burnetii). Q fever pertama kali dilaporkan berjangkit di Australia
pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia hingga saat ini.
Laporan World Health Organization (WHO) berdasarkan pemeriksaan serologis
menyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada
tahun 1937, dimana dari 188 serum sapi yang diperiksa ternyata positif
mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Kaplan dan Bertagna, 1955).

Q fever bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia


atau sebaliknya. Hewan yang paling umum menjadi target Q fever adalah hewan
domestik terutama sapi, domba dan kambing. C. burnetii sangat infeksius di alam
dan dengan penyebarannya secara aerosol berpotensi untuk dipakai sebagai
senjata biologis (Raoult dkk., 2005), sehingga penanganan yang benar dan cepat
menjadi penting bila terjadi wabah.

Penyebab Q Fever

Q fever disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii, bersifat obligat


intraseluler, menyerupai bakteri gram negatif dan berukuran 0,3–1,0 µm. Kuman
C. burnetii memiliki 2 fase antigen yaitu fase I bersifat virulen (patogenik) yang
dapat diisolasi dari hewan maupun manusia yang terinfeksi di alam maupun di
laboratorium. Sedangkan fase II bersifat kurang virulen diperoleh selama
dikembangbiakan secara berseri di biakan sel atau telur tertunas (Stocker dan dan
Fiset, 1956). Fase I memiliki susunan lipopolisakarida diantaranya L-vironosa,
dihidrohidroksistrepto sa dan galaktosamin uronil (1,6)-glukosamin yang tidak
terdapat pada fase II. Hal inilah yang diduga membedakan patogenisitas diantara
kedua fase C. burnetii tersebut. Secara serologis, antibodi anti-fase I ditemukan
dengan titer tinggi hanya selama dalam bentuk penyakit yang kronis, sedangkan
antibodi anti-fase II ditemukan dominan dalam penyakit Q fever akut (Peacock
dkk., 1983).
Cara Penularan

Penyakit Q fever bersifat zoonosis dan penularan dapat terjadi melalui


kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang
terkontaminasi agen penyebeb. Q fever dapat berpotensi besar sebagai senjata
biologis karena sifatnya yang tahan terhadap lingkungan dan dapat ditransmisikan
secara aerosol (Kelley Struble, 2012). Q fever dapat terjadi dalam rute transmisi
yang bervariasi. Sapi, domba, dan kambing adalah ruminansia domestik dianggap
sebagai reservior utama dan sumber infeksi C.burnetti pada manusia.

Materi yang terkontaminasi C. burnetii melalui inhalasi seperti cairan


amnion, plasenta,wol, tanah, dan debu dapat menyebarkan agen ini melalui angin.
Transmisi secara oral juga dapat terjadi melalui bahan pangan asal hewan yang
terinfeksi seperti daging dan produknya. Transmisi lain dapat terjadi melalui
transfusi darah, transplantasi tulang, inokulasi intradermal, dan hubungan seksual
(Suryatman Wahyudi, 2009).

Adanya hewan perantara (vektor) sangat berperan dalam penyebaran


penyakit Q fever. Beberapa vektor yang telah diketahui diantaranya adalah
mamalia, burung dan arthropoda khususnya caplak. Caplak dapat sebagai
perantara pada hewan tetapi tidak pada manusia (Mauri dan Didier, 1999). Selain
hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, tikus juga merupakan hewan
perantara yang potensial dalam penularan ke manusia. Hewan mamalia betina
yang terinfeksi pada umumnya akan mengeluarkan bakteri pada urine, feses, susu
dan placenta dari fetus yang dilahirkan (Baca dan Paretsky, 1983). Pada manusia
penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah ataupun luka pada kulit.
Infeksi C. burnetii pada tenaga laboratorium terjadi secara aerosol dari udara
laboratorium yang tercemar.
Gejala Klinis

a. Pada manusia

Gejala-gejala yang timbul antara lain flu, demam yang hebat (104OF-105OF),
sakit kepala yang hebat, rasa nyeri di otot, kehilangan nafsu makan, batuk kering,
nyeri di pleuritic, nyeri di bagian dada, tenggorokan dan menggigil. Pada
pencernaan dapat menyebabkan diare, muntah-dan muntah. Demamnya
berlangsung selama 7-14 hari. Dalam perkembangannya, penyakit ini dapat
berlanjut menyebabkan sebuah penyakit pneumonia (47-63%) yang khusus, yang
dapat berakibat pada sindrom distress respirasi akut yang memerlukan pengobatan
seumur hidup. Sindrom hasil kelanjutan penyakit ini menyerang setelah 4-5 hari
terinfeksi penyakit ini. Secara khusus penyakit ini mirip dengan hepatitis (60%)
dimana mengalami gejala yang mirip yaitu demam, badan tidak enak dan
pembesaran pada hati (hepatomegaly), rasa nyeri pada bagian atas perut dan
icterus. Selain itu juga dapat menyebabkan meningoencephalitis. Presentase
kematian dari q fever ini hanya sekitar 1-2%. Bentuk kronis dari q fever ini adalah
inflamasi pada jantung (endocarditis), dimana dapat terjadi dalam jangka waktu
setelah sebulan dari infeksi berkelanjutan tadi. Kebanyakan pasien yang terserang
q fever ini sebelumnya pernah memiliki penyakit yang menyerang jantung.
Contoh orang-orang yang berisiko tinggi terkena q fever adalah orang pernah
mengalami transplantasi organ, dengan pengalaman kanker dan mereka yang
memiliki penyakit ginjal. Orang yang terkena penyakit Q kronis, 65 %
diantaranya dapat mengalami kematian. Masa inkubasi q fever ini tergantung dari
jumlah mikroorganisme yang menginfeksi pasien tersebut dan dapat bertahan
selam 20 tahun dalam tubuh manusia.

b. Pada Hewan

Infeksi pada ternak maupun hewan liar umumnya bersifat subklinik, namun
pada infeksi yang berat, C. burnetii dapat ditularkan secara transplasental ke fetus
yang dapat menyebabkan keguguran, terutama pada domba. Pada sapi disamping
terjadi keguguran dapat juga terjadi infertilitas atau gangguan kesuburan.
Sedangkan dalam penularan terhadap hewan dapat terjadi secara kontak langsung
sewaktu proses kelahiran (Fournier dkk., 1998).

Diagnosa

Uji serologis untuk mendiagnosis kedua bentuk penyakit Q fever akut dan
kronis menjadi penting mengingat memperkembang-biakan kuman di
laboratorium sangat berbahaya, memerlukan banyak waktu dan peralatan yang
memadai yakni Bio -Safety Laboratory 3. Uji imunologi berbasis enzim seperti
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) telah dikembangkan untuk
mendiagnosis Q fever (Field dkk., 2002), dan perbandingan diantara uji tersebut
dengan immunofluorescence assay (IFA) juga telah dilakukan untuk mendeteksi
antibodi terhadap C. burnetii didalam sera (Peter dkk., 1985). Didalam upaya
standardisasi diagnosis Q fever, Setiyono dkk. (2004) telah melakukan studi untuk
mengevaluasi performan kit ELISA komersial, uji IFA dan uji Western blotting
dalam mendeteksi antibodi terhadap C. burnetii di serum manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Baca, O.G. and Paretsky, D. 1983. Q fever and Coxiella burnetii: a Model for
host-parasite interaction. Microbiol. Review. 47(2): 127– 149.

Field, P.R., A. Santiago, S.-W. Chan, D.B. Patel, D. Dickenson, J.L. Mitchel, P.L.
Devine and A.M. Murphy. 2002. Evaluation of a Novel Commercial
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Detecting Coxiella Burnetii
Specific Immunoglobulin G for Q Fever Prevaccination Screening and
Diagnosis. J. Clin. Microbiol. 40: 3526−3529.

Fournier, P.E., J.M. Thomas and Raoult. 1998. Minireview: diagnosis of Q fever.
J. Clin. Microbiol. 36(7): 1823−1834.

Kaplan, M.M. and P. Ertagna. 1955. The geographical distribution of Q fever.


Bull. Wld. Health. Org. 13: 829−860.

Kelly, S. K. 2012. Q fever, e-medicine. medscape.

Maurin, M. and R. Didier. 1999. Q fever. Clin. Microbiol. Rev. 12: 518−553.
Stocker, M.G.P. and P. Fiset. 1956. Phase variation of the Nine Mile and
other strains of Rickettsia burnetii. Can. J. Microbiol. 2: 310– 321.

Peacock, M.G., R.N. Philip, J.C. Williams dan R.S. Faulkner. 1983. Serological
evaluation of Q fever in humans: enhanced phase I titers of
immunoglobulins G and A are diagnostic for Q fever endocarditis. Infect.
Immun. 41: 1089−1098.

Peter, O., G. Dupuis, W. Burgdorfer and M. Peacock. 1985. Evaluation of


complement fixation and indirect immunofluorescence tests in the early
diagnosis of primary Q fever. Eur. J. Clin. Microbiol. 4: 394−396.

Raoult, D., T. Marrie and J. Mege. 2005. Natural history and patophysiology of Q
fever. Lancet Infect. Dis. 5(4): 219.

Setioyono, A. 2004. The Development of new surveillance system for prevention


of zoonosis, especially Q fever. Post Doctoral Report Supported by the
Japan Health Sciences Foundation. Laboratory of Rickettsia and
Chlamydia, Department of Virology I, National Institute of Infectious
Diseases 1-23-1 Toyama, Shinjuku-Ku, Tokyo, Japan.

Anda mungkin juga menyukai