Q Fever BARU
Q Fever BARU
Paper
Penyebab Q Fever
a. Pada manusia
Gejala-gejala yang timbul antara lain flu, demam yang hebat (104OF-105OF),
sakit kepala yang hebat, rasa nyeri di otot, kehilangan nafsu makan, batuk kering,
nyeri di pleuritic, nyeri di bagian dada, tenggorokan dan menggigil. Pada
pencernaan dapat menyebabkan diare, muntah-dan muntah. Demamnya
berlangsung selama 7-14 hari. Dalam perkembangannya, penyakit ini dapat
berlanjut menyebabkan sebuah penyakit pneumonia (47-63%) yang khusus, yang
dapat berakibat pada sindrom distress respirasi akut yang memerlukan pengobatan
seumur hidup. Sindrom hasil kelanjutan penyakit ini menyerang setelah 4-5 hari
terinfeksi penyakit ini. Secara khusus penyakit ini mirip dengan hepatitis (60%)
dimana mengalami gejala yang mirip yaitu demam, badan tidak enak dan
pembesaran pada hati (hepatomegaly), rasa nyeri pada bagian atas perut dan
icterus. Selain itu juga dapat menyebabkan meningoencephalitis. Presentase
kematian dari q fever ini hanya sekitar 1-2%. Bentuk kronis dari q fever ini adalah
inflamasi pada jantung (endocarditis), dimana dapat terjadi dalam jangka waktu
setelah sebulan dari infeksi berkelanjutan tadi. Kebanyakan pasien yang terserang
q fever ini sebelumnya pernah memiliki penyakit yang menyerang jantung.
Contoh orang-orang yang berisiko tinggi terkena q fever adalah orang pernah
mengalami transplantasi organ, dengan pengalaman kanker dan mereka yang
memiliki penyakit ginjal. Orang yang terkena penyakit Q kronis, 65 %
diantaranya dapat mengalami kematian. Masa inkubasi q fever ini tergantung dari
jumlah mikroorganisme yang menginfeksi pasien tersebut dan dapat bertahan
selam 20 tahun dalam tubuh manusia.
b. Pada Hewan
Infeksi pada ternak maupun hewan liar umumnya bersifat subklinik, namun
pada infeksi yang berat, C. burnetii dapat ditularkan secara transplasental ke fetus
yang dapat menyebabkan keguguran, terutama pada domba. Pada sapi disamping
terjadi keguguran dapat juga terjadi infertilitas atau gangguan kesuburan.
Sedangkan dalam penularan terhadap hewan dapat terjadi secara kontak langsung
sewaktu proses kelahiran (Fournier dkk., 1998).
Diagnosa
Uji serologis untuk mendiagnosis kedua bentuk penyakit Q fever akut dan
kronis menjadi penting mengingat memperkembang-biakan kuman di
laboratorium sangat berbahaya, memerlukan banyak waktu dan peralatan yang
memadai yakni Bio -Safety Laboratory 3. Uji imunologi berbasis enzim seperti
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) telah dikembangkan untuk
mendiagnosis Q fever (Field dkk., 2002), dan perbandingan diantara uji tersebut
dengan immunofluorescence assay (IFA) juga telah dilakukan untuk mendeteksi
antibodi terhadap C. burnetii didalam sera (Peter dkk., 1985). Didalam upaya
standardisasi diagnosis Q fever, Setiyono dkk. (2004) telah melakukan studi untuk
mengevaluasi performan kit ELISA komersial, uji IFA dan uji Western blotting
dalam mendeteksi antibodi terhadap C. burnetii di serum manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Baca, O.G. and Paretsky, D. 1983. Q fever and Coxiella burnetii: a Model for
host-parasite interaction. Microbiol. Review. 47(2): 127– 149.
Field, P.R., A. Santiago, S.-W. Chan, D.B. Patel, D. Dickenson, J.L. Mitchel, P.L.
Devine and A.M. Murphy. 2002. Evaluation of a Novel Commercial
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Detecting Coxiella Burnetii
Specific Immunoglobulin G for Q Fever Prevaccination Screening and
Diagnosis. J. Clin. Microbiol. 40: 3526−3529.
Fournier, P.E., J.M. Thomas and Raoult. 1998. Minireview: diagnosis of Q fever.
J. Clin. Microbiol. 36(7): 1823−1834.
Maurin, M. and R. Didier. 1999. Q fever. Clin. Microbiol. Rev. 12: 518−553.
Stocker, M.G.P. and P. Fiset. 1956. Phase variation of the Nine Mile and
other strains of Rickettsia burnetii. Can. J. Microbiol. 2: 310– 321.
Peacock, M.G., R.N. Philip, J.C. Williams dan R.S. Faulkner. 1983. Serological
evaluation of Q fever in humans: enhanced phase I titers of
immunoglobulins G and A are diagnostic for Q fever endocarditis. Infect.
Immun. 41: 1089−1098.
Raoult, D., T. Marrie and J. Mege. 2005. Natural history and patophysiology of Q
fever. Lancet Infect. Dis. 5(4): 219.