Anda di halaman 1dari 11

Pembunuhan Engeline Megawe merupakan

peristiwa kekerasan terhadap anak perempuan berusia delapan


tahun yang terjadi di Kota Denpasar, Bali pada tanggal 16
Mei 2015. Peristiwa ini menjadi populer dalam berbagai media di
Indonesia diawali dengan pengumuman[1] kehilangan anak
tersebut (semula disebut Angeline)[2] dari keluarga angkatnya
melalui sebuah laman di facebookberjudul "Find Angeline-Bali's
Missing Child".[3]
Besarnya perhatian dari berbagai pihak membuat terungkapnya
kenyataan bahwa Engeline selama ini tinggal di rumah yang tidak
layak huni[4] dan mendapat pengasuhan yang kurang baik dari
orangtua angkatnya[5] bahkan mendapatkan penyiksaan baik fisik
maupun mental.[6] Akibat sikap yang sangat tertutup dan tidak
kooperatif dari ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe (62
tahun)[7], memunculkan dugaan bahwa Engeline hilang bukan
karena diculik melainkan karena dibunuh.[8][9] bahkan sebelum
jenazahnya ditemukan.
Jasad Engeline kemudian ditemukan terkubur di halaman
belakang rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali, pada
hari Rabu tanggal 10 Juni 2015[10] dalam keadaan membusuk
tertutup sampah di bawah pohon pisang[11] setelah polisi
mencium bau menyengat dan melihat ada gundukan tanah di
sana.[12] Selanjutnya polisi menyelidiki lebih mendalam dan
menetapkan dua orang tersangka pembunuh, yaitu Agus Tay
Hamba May, pembantu rumah tangga, dan Margriet Christina
Megawe[13], ibu angkatnya.
Daftar isi
[sembunyikan]

 1Latar belakang
o 1.1Orangtua kandung
o 1.2Proses adopsi
o 1.3Pengasuhan orangtua angkat
o 1.4Hilangnya Engeline
 2Kasus hukum
o 2.1Penyidikan
o 2.2Peradilan
 3Pranala luar
 4Rujukan
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Orangtua kandung[sunting | sunting sumber]
Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007[14] di sebuah klinik di
daerah Canggu sebagai puteri dari seorang ibu bernama
Hamidah dan ayah bernama Achmad Rosyidi. Ia adalah puteri
kedua dari tiga bersaudara. Tetapi para anggota keluarga ini
kemudian tinggal terpencar karena orangtuanya bercerai setelah
melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya, Inna (13 tahun), tinggal
bersama keluarga ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi.
Sedangkan Aisyah (5 tahun), anak bungsu, tinggal bersama
neneknya di Desa Tulungrejo, Banyuwangi.[15] Sementara itu,
Engeline bersama orangtua angkatnya yang terakhir tinggal
di Sanur, Denpasar tepatnya di Jalan Sedap Malam.
Ibu kandung Engeline, Hamidah (29 tahun), adalah wanita
kelahiran Banyuwangi namun sejak usia 15 tahun sudah
merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya, ayah
kandung Engeline yang bernama Achmad Rosyidi (32 tahun),
seorang pekerja buruh bangunan, untuk kemudian menikah dan
menetap di Bali. Namun kini mereka sudah bercerai. Hamidah
sudah menikah kembali dengan seorang pemuda Bali dan
mereka sudah memiliki satu orang putera. Sekarang Hamidah
sudah tidak lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Proses adopsi[sunting | sunting sumber]
Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi
biaya persalinannya ke klinik. Saat sedang mengalami kesulitan
demikian, seseorang mempertemukan dan memperkenalkannya
dengan Margriet Christina Megawe yang menawarkan bantuan
untuk melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk
mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet datang ditemani
suaminya yang bernama Douglas Scarborough. Untuk keperluan
tersebut, Margriet mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,8 juta,
dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu dan biaya perawatan
Hamidah Rp 1 juta.[16] Maka tiga hari setelah lahir, Engeline
langsung dibawa oleh Margriet dan tidak pernah bertemu lagi
dengan kedua orangtuanya. Saat itu, anak tersebut belum diberi
nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan oleh Margriet,
mengikuti nama depan ibunya (nenek angkat
Engeline),[17]Engelina Sumilat.[18] Dalam proses adopsi ini,
Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga pihak yang
tercantum dalam surat perjanjian pengadopsian tersebut hanya
Margriet saja.[19][20]
Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui
pengadilan. Mereka hanya membuat perjanjian di notaris yang
tertulis dalam Akta Pengakuan Pengangkatan Anak Nomor 18
tertanggal 24 Mei 2007 di notaris Anne Wibowo.[16] Proses adopsi
yang tidak sesuai dengan prosedur hukum tersebut
membuat Komnas Perlindungan Anak sempat hendak
mengembalikan hak asuh Engeline kepada orangtua
kandungnya.[5]
Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah
ada klausul yang menyatakan bahwa Margriet sebagai ibu angkat
harus menyayangi Engeline sebagaimana anak kandungnya
sendiri. Namun kenyataan terakhir yang dialami Engeline jauh
berbeda, sehingga Rosyidi menyesal telah membuat perjanjian
tersebut.[21]
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga
Margriet Christina Megawe, akan menjadikan Engeline sebagai
ahli warisnya di kemudian hari. Sementara keluarga Hamidah, ibu
kandung Angeline, melepaskan semua hak waris yang melekat
pada anak tersebut. Juga disebutkan jika Engeline meninggal
maka hak waris akan menjadi milik ahli waris Margriet.[21] Selain
itu, mereka juga menyepakati agar kedua orangtua kandung
Engeline tidak menemui anak kandungnya tersebut sampai ia
berusia 18 tahun.
Pengasuhan orangtua angkat[sunting | sunting sumber]
Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan
sebagaimana anak kandung Margriet lainnya.[22] Ia mempunyai
dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline Megawe (40 tahun) dan
Christina Telly Megawe (31 tahun). Engeline tumbuh sebagai
anak ceria yang selalu berkomunikasi menggunakan bahasa
Inggris dengan Margriet.[22] Keluarga ini sempat berpindah-pindah
tempat tinggal diantaranya ke Pekanbaru, Bekasi, dan Bali. Ayah
angkat Engeline, Douglas, dikabarkan sangat menyayangi anak
angkatnya tersebut.[21]Namun kemudian Douglas meninggal
dunia pada tanggal 17 September 2008.[19] Margriet tampak
terpukul dengan kematian suami keduanya tersebut.
Dalam pengasuhan Margriet sebagai orangtua tunggal, pada
tahun-tahun terakhirnya diduga Engeline mengalami banyak
kekerasan baik secara fisik maupun mental.[23] Diketahui bahwa
ibu angkatnya tersebut menjadi seorang yang temperamental.
Dari foto-foto yang ada dan kesaksian dari guru di
sekolahnya[24] tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya
ia mengalami penurunan berat badan. Engeline juga tinggal di
rumah yang tidak layak huni, karena dikelilingi oleh kandang
ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka adalah keluarga
yang secara ekonomi berkecukupan.
Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel
lantai, membersihkan rumah, serta memberi makan binatang-
binatang peliharaan ibu angkatnya berupa ayam, anjing, dan
kucing.[24] Bila ia lupa melakukannya, maka ia pasti mendapatkan
perlakuan kasar dari ibu angkatnya.[25] Padahal jumlah ayam
yang dimiliki ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor.
Akibat tugas tersebut, ia sering datang ke sekolah dalam keadaan
baju yang lusuh serta badan dan rambut yang bau.[26] Bahkan
pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru
kelasnya di kelas 2B, Putu Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata
saat itu di rambut Angeline banyak gumpalan kotoran
ayam[24] sehingga ia harus dimandikan dan dikeramasi rambutnya
oleh Wijayanti.
Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah
menginjak kelas 2, Engeline terlihat sebagai anak yang memiliki
sifat pendiam, pemurung, lusuh, berwajah sendu, dan sering
terlambat. Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang pukul
17.00 WITA. Ia harus mempersiapkan bekal sekolahnya sendiri
dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 2 km bila
melaui jalan raya atau 1 km bila melalui pematang sawah.
Rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi seorang anak ini
mengakibatkan Engeline tampak kelelahan, tidak sehat, dan
terganggu perkembangannya.[26] Namun Engeline bersifat
tertutup dan tidak mau bercerita tentang penderitaan yang ia
alami kepada gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya ia mau
mengatakan kepada gurunya bahwa ia sering pusing di sekolah
karena belum makan. Mengenai hal ini, Margriet membela diri
bahwa Engeline memang tidak suka makan dan cuma mau
minum susu saja. Padahal ketika diberi makan di sekolah oleh
gurunya, ternyata Engeline bisa sampai menghabiskan dua piring
makanan yang disediakan.[27]
Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya -
I Ketut Ruta - sempat berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia
meminta wali kelas Engeline untuk menyampaikan niatnya
kepada Margriet. Namun Margriet melarangnya dengan alasan
Engeline mempunyai tanggung jawab berupa berbagai tugas dan
kewajiban yang harus dilakukannya di rumah.
Walaupun Margriet adalah seorang yang temperamental tetapi ia
membantah sangkaan bahwa ia sebagai ibu angkat tidak
mengasuh Engeline dengan baik apalagi sampai melakukan
kekerasan. Ia menyatakan bahwa ia menyayangi Engeline dan
anak itu pun menyayangi dia. Ia memberi berbagai tugas kepada
Engeline semata hanya untuk mendidiknya agar mandiri.[28] Ia
mengaku tidak mau dipisahkan dengan Engeline, sehingga ketika
mendengar bahwa Komnas Perlindungan Anak akan mengambil
hak asuh anaknya, ia berang dan menyatakan akan membunuh
siapapun yang akan mengambil anak itu dari sisinya.[29] Kasih
sayang Margriet kepada Engeline juga diungkapkan oleh mantan
tetangganya di Pekanbaru. Saat mereka berkunjung ke
Pekanbaru, ia melihat hubungan Margriet dengan anak
angkatnya itu selayaknya hubungan ibu dengan anak
kandungnya.[22] Pengacara Margriet, Hotma Sitompul, juga
menyatakan bahwa salah satu bukti Margriet menyayangi anak
angkatnya itu adalah pemberian nama ibu kandung Margriet
kepada anak tersebut.[30]
Hilangnya Engeline[sunting | sunting sumber]
Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan
beredarnya kabar tentang hilangnya anak tersebut. Kabar
tersebut tersebar luas antara lain akibat dibuatnya sebuah laman
di jejaring sosial facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing
Child". Laman tersebut dibuat oleh salah satu kakak angkat
Engeline yang sedang kuliah di Amerika Serikat, yaitu Christine,
pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 17.00
WITA.[31] Sementara Yvonne membuat selebaran mengenai
hilangnya Engeline.[31][32]
Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan
kehilangan tersebut.[1][33][34] Berdasarkan informasi dari Yvonne,
dikabarkan bahwa adiknya hilang saat mereka bermain di depan
rumah sekitar pukul 15.00 WITA.[1] Setelah tidak juga ditemukan
sampai pukul 18.00, maka kemudian Yvonne melaporkannya ke
polisi. Tim pencari anak hilang dari kepolisian lantas mencarinya
dari Denpasar sampai ke Banyuwangi, tampat lahir orang tua
kandungnya. Berbagai upaya dilakukan oleh polisi, seperti
mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis telepon seluler
orang tua kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan
anjing pelacak. Namun anjing tersebut tidak menemukan jejak
Engeline dan hanya berputar-putar di sekitar rumah saja.
Keluarga Engeline yang berasal dari luar Bali pun berdatangan ke
kediaman Engeline untuk membantu mencari anak tersebut.
Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga
ketuanya, Arist Merdeka Sirait, beserta dua anggota timnya
datang ke Bali untuk melakukan dialog dengan Polresta
Denpasar dan Polda Bali. Mereka juga kemudian berkunjung dan
menemui Margriet di rumahnya. Saat itu, Margriet
memperkenankan mereka untuk melihat kamar dan ruangan
dalam rumah. Dari hasil kunjungan itu, Arist berkesimpulan
bahwa selama ini Engeline tinggal di rumah yang kondisinya
sangat buruk dan tidak layak huni dengan halaman dipenuhi
kandang ayam berjumlah sekitar seratus ayam sehingga akan
membuat anak tidak bisa berkembang dengan baik.[4]KPAI juga
menyatakan maksudnya akan mengambil alih sementara hak
asuh Margriet atas Engeline, sehingga membuat Margriet
menangis histeris. Dia mengaku tidak terima, bahkan
mengancam akan membunuh siapa pun yang akan mengambil
anaknya itu karena dia menyayangi Engeline dan Engeline pun
menyayanginya.[29]
Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua
menteri Kabinet Kerja, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana
Yembise. Namun Margriet menolak menemui keduanya dan
kedua menteri itu tidak diperbolehkan memasuki rumahnya.
Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Kota Denpasar, yang merupakan perpanjangan tangan
Pemerintah Kota Denpasar yang menangani perempuan dan
anak. Mereka sudah memiliki kekhawatiran bahwa hilangnya
Angeline bukan karena diculik atau melarikan diri, tapi justru
dibunuh. Hal ini dinyatakan oleh pendamping hukum P2TP2A, Siti
Sapurah tanpa mencurigai siapa pun termasuk ibu
angkatnya.[9] Hal tersebut didasari minimnya indikasi yang
mereka temukan bahwa Engeline hilang di sekitar rumah atau
diambil seseorang. Sehingga mereka menduga bahwa Engeline
dihilangkan, dikubur atau dibunuh. Apalagi saat polisi melakukan
pemeriksaan Margriet tidak koperatif dan ada ruang di rumah
Margriet yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali orang
terdekatnya dia. Ditambah lagi karena mantan pembantu
Margriet, yaitu Agus Tay Hamba May, pernah mengatakan bahwa
satu hari sebelum dilaporkan hilang, hidung Engeline berdarah
karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan
tewas terkubur di halaman belakang rumahnya pada hari Rabu,
10 Juni 2015. Jasadnya dalam kondisi membusuk di bawah
pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama bonekanya.
Otopsi segera dilakukan di Instalasi Forensik di RSUP
Sanglah pimpinan dr Ida Bagus Putu Alit, DMF, SpF. Dari hasil
otopsi, Engeline diketahui meninggal sejak tiga minggu
sebelumnya. Di tubuh jenazah ditemukan luka-luka kekerasan
berupa memar pada wajah, leher, serta anggota gerak atas dan
bawah. Di punggung kanan jenazah ditemukan luka sundutan
rokok. Selain itu, ditemukan juga luka lilitan dari tali plastik
sebanyak empat lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena
kekerasan benda tumpul pada wajah dan kepala yang
mengakibatkan pendarahan pada otak.[35] Jasad Engeline
kemudian dimakamkan di Dusun Wadung Pal, Desa
Tulungrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi yang
merupakan kampung halaman dari ibu kandungnya.
Kasus hukum[sunting | sunting sumber]
Penyidikan[sunting | sunting sumber]
Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni
2015, Kepolisian Resor Kota Denpasar segera mengadakan
pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu Margriet (ibu angkat),
Yvonne dan Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu), dua
penghuni indekos (suami istri Rahmat Handono dan Susiani), dan
petugas keamanan (satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa
khusus oleh Margriet untuk menjaga rumah itu setelah ramainya
pemberitaan terkait Angeline.[36] Dari hasil pemeriksaan awal
tersebut, polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai
tersangka pembunuh Engeline[36] yang mengakui telah
membunuh dan memperkosa Engeline pada tanggal 16 Mei 2015
sekitar pukul 13.00 WITA, tepat pada hari hilangnya anak
tersebut, dan kemudian menguburkan jasadnya di belakang
rumah majikannya itu pada pukul 20.00 WITA.[37]
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian Daerah Bali menetapkan
ibu angkat Angeline, Margriet Megawe, sebagai tersangka dalam
kasus dugaan pelantaran anak [38] dan menempatkannya di
tahanan Mapolda Bali.
Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus pembunuhan berdasarkan tiga alat bukti,
yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti kedokteran forensik RS
Sanglah, dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh tim
forensik Polresta Denpasar, Inafis (Indonesia Automatic Finger
Print Identification System) Polda Bali, dengan bantuan Inafis
Mabes Polri. Dari bukti-bukti tersebut Margriet diduga menjadi
otak pembunuhan, dan Agus hanya membantu menguburkan
jasad Engeline.[13] Namun tim pengacara tersangka Margriet
mempermasalahkan penetapan tersangka Margriet terkait kasus
pembunuhan Engeline dan mendaftarkan gugatan praperadilan di
Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 2 Juli 2015.[39]
Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar
rekonstruksi pembunuhan Engeline di Tempat Kejadian Perkara
di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar dihadiri dua tersangka.[40]
Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan Margriet ditolak
oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Hakim tunggal Achmad Peten
Sili menilai bahwa pihak pemohon, Margriet, melalui kuasa
hukumnya, Hotma Sitompoel & Associates, tidak bisa
membuktikan dalil-dalil permohonannya bahwa termohon (Polda
Bali) dalam menetapkan tersangka (Margriet) tidak didasari
adanya alat bukti yang sah adalah argumentasi yang tidak
beralasan.[41]
Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang
pembunuhan Engeline dinyatakan sudah lengkap (P21) dan
diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar bersama dengan dua
tersangkanya untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.[42] Dalam
berkas tersebut, tertera sejumlah pasal yang disangkakan kepada
Margriet yaitu pasal pembunuhan berencana, pembunuhan,
penganiayaan mengakibatkan korban meninggal, dan
penelantaran anak.[43]
Peradilan[sunting | sunting sumber]
Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada
tanggal 22 Oktober 2015, pada sidang tersebut jaksa
menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus Tay untuk
menguburkan jasad Engeline dengan iming-iming uang, Margriet
pula yang menyuruh Agus untuk menyalakan rokok dan
menyundutkannya ke tubuh Engeline, dan hal tersebut sesuai
dengan hasil visum RSUP Sanglah Denpasar.[44] Dalam
persidangan tersebut jaksa mengungkapkan bahwa tanggaal 16
Mei 2015, Margriet memukuli Engeline berkali kali pada bagian
wajah dengan tangan kosong hingga hidung dan telinga Engeline
mengeluarkan darah. Pembunuhan Engeline kemudian
direncanakan dengan maksud untuk menghilangkan
jejak.[45] Sementara dalam persidangan tersebut Margriet
menolak tuduhan jaksa yang menyatakan bahwa dirinya yang
telah membunuh Engeline, margriet menyatakan bahwa dirinya
menyayangi Engeline sebagaimana layaknya anaknya.[46]

Anda mungkin juga menyukai