Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH DISKUSI KASUS

LABORATORIUM ILMU FARMASI

DIABETES MELITUS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:
Andri Adma Wijaya
209.121.0057

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RUMAH SAKIT DR. MOEWARDI SURAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Makalah Diskusi Kasus
Laboratorium Ilmu Farmasi yang berjudul “Diabetes Melitus” ini dapat
terselesaikan sesuai harapan.
Tujuan penyusunan diskusi kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai
permasalahan penyakit khususnya dalam aspek farmakoterapinya. Penyusun
menyampaikan terima kasih kepada pembimbing kami atas segenap waktu, tenaga
dan pikiran yang telah diberikan kepada kami selama proses pembuatan makalah
diskusi kasus ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah diskusi kasus ini belumlah sempurna.
Untuk itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi
perbaikan makalah ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun
ucapkan terima kasih.
Semoga makalah diskusi kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca
serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di
bidang kedokteran.

Surakarta, Januari 2016


Penyusun

Andri Adma Wijaya

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................... i


Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................. iii
Bab I : Pendahuluan
Pendahuluan ........................................................................................... 1

Bab II : Tinjauan Pustaka


Definisi Diabetes Mellitus ...................................................................... 2
Klasifikasi ............................................................................................... 2
Patofisiologi ............................................................................................ 4
Gejala Klinis ........................................................................................... 7
Diagnosis Diabetes Mellitus .................................................................. 9
Komplikasi.............................................................................................. 10
Penatalaksanaan ..................................................................................... 11
Prognosa ................................................................................................. 26

Bab III : Stimulasi Kasus


Identitas Pasien ....................................................................................... 27
Anamnesis Sistem dan Pemeriksaan Fisik ............................................. 28
Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 29
Resume .................................................................................................. 29
Diagnosis ............................................................................................... 30
Tujuan Terapi ....................................................................................... 30
Terapi ..................................................................................................... 30
Pembahasan Obat .................................................................................. 31

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) memiliki prevalensi yang terus


meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi
6,3%. Sementara itu, jumlah penderita diabetes di Indonesia berdasarkan
perkiraan World Health Organization (WHO), akan mengalami kenaikan dari 8,4
juta jiwa pada 2000 menjadi 21,3 juta jiwa pada 2030, sehingga menjadikan
Indonesia berada pada urutan ke-4 di dunia.1
Diabetes adalah penyakit yang penderitanya kian berkembang dari waktu
ke waktu sehingga banyak peneltian dilakukan mengenai pencegahan, penanganan
dan pengobatan setiap komplikasi yang ada. Pengobatan tersebut dipusatkan pada
beragai mekanisme dasar yang menyebabkan kerusakan ginjal, mata dan saraf.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian komplikasi, kadar gula tinggi untuk
waktu lama menyebabkan perubahan kimiawi yang mengarah pada retinopati,
nefropati dan neuropati. Para ahli telah menciptakan sejenis bahan kimia untuk
mempengaruhi proses ini dan mungkin pengobatan jangka panjang.1
Pengobatan yang tepat akan mencegah sama sekali DM. Pemahaman
terhadap penyebab diabetes telah bertambah pesat selama beberapa dekade
terakhir ini meski masih terus dipelajari. Terutama belum mengerti apapemicu
rusaknya sel-sel beta kecil yang memproduksi insulin di pankreas.Gen-gen yang
mempengaruhi penderita terhadap kerusakan ini masih diteliti, tetapi apa yang
mengendalikan dan bagaimana awal kerusakannya secara tepat masih belum
jelas.2
Beberapa hal yang sangat penting untuk dilakukan guna mengurangi risiko
timbulnya masalah akibat diabetes adalah dalam hal pengobatan dan pemahaman
lebih baik tentang penyakit ini. Hal ini telah banyak memberi manfaat dan
harapan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI DIABETES MELLITUS

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin1.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 1

II. KLASIFIKASI
Klasifikasi petiologis diabetes mellitus menurut Assosiasi Diabetes
Amerika / American Diabetes Association (ADA) tahun 2005 adalah sebagai
berikut :
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.4
1. Melalui proses imunologik
2. Idiopatik
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi mulai dan yang predominan retensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
retensi insulin.4
C. Diabetes Mellitus Tipe Lain
1. Defek gentik fungsi sel beta :
a. Kromosom 12,HNF-lα (dahulu MODY 3)

2
b. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
c. Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)
d. Kromosom 13, insulin prmoter factor-1 (IPF-1. dahulu MODY4)
e. Kromosom 17, HNF-lβ (dahulu MODY5)
f. Kromosom 2, neuro D1(dahulu MODY 6)
g. DNA Mitochondria
h. Lainnya4
2. Defek gentik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,leprechaunism,
sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
3. Penyakit eksokrin pankreas :pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik,hemokromatosis, pankreatopati
fibrokalkulus. Lainnya.
4. Endokrinopati : akromegali, sindrom cruhsing, feokromositoma,
hipertiroidisme stomatostationoma, aldosteronoma, lainnya.
5. Karena obat / zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, agonis beta adrenergik, tiazid,
dilantin. interferon alfa. lainnya.
6. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
7. Imunologi (jarang) : sindrora "Stiff-man", antibodi anti reseptor
insulin, lainnya.
8. Sindroma genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter,sindrom
Turner, sindrom. Wolfram’s, ataksia Friedreic’s, Chorea Hungtington,
sindrom Laurence-Moon-Biedl,distrofi miotonik, porfiria, sindrom
Prader Willi, lainnya
D. Diabetes Kehamilan
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes
Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul
selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau
temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan
umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.

3
III. PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS
A. Diabetes Mellitus Tipe I
Pada diabetes mellitus tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikenlia puasa terjadi akibat produksi glukosa
yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disiropan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya, glukosa tersebut
muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia).2
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori,
gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.3
B. Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis,
ditandai adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh yang
berupa tingginya kadar gula darah (hiperglikemia). Hal ini terjadi karena
insulin tubuh tidak dapat bekerja secara efektif, dan atau tubuh (sel ß
pankreas) tidak mampu menghasilkan hormon insulin yang memadai.
Dengan demikian, kelainan patologi yang mendasari yang terjadi pada
penderita diabetes adalah resistensi insulin, meningkatnya produksi
glukosa oleh hati, terganggunya sekresi insulin. Pada dasarnya defek
primer pada DM tipe 2 masih controversial, banyak ahli di lapangan yang
menganggap DM tipe 2 merupakan peran dari resistensi insulin10. Pada

4
awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula
darah, mengakibatkan sel beta pankreas mensekresikan insulin lebih
banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini, toleransi
glukosa dapat masih normal, dan suatu saat akan terjadi gangguan dan
menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi
diabetes12.
Selanjutnya, bila keadaan resistensi insulin bertambah berat,
disertai beban glukosa terus menerus, sel beta pankreas lama kelamaan
tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah.
Terlebih, peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa
oleh otot dan lemak mempengaruhi kadar gula darah puasa dan
pospandrial yang menjadi karakteristik DM tipe 2. Akhirnya, sekresi
insulin oleh sel beta pankreas menurun dan terjadi hiperglikemia.
Penderita biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer
terhadap insulin.12
Dalam perjalanan terjadi DM tipe 2, sel beta pankreas pada
awalnya mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan sensitifitas
terhadap insulin. Mekanisme adaptasi ini diduga melalui peningkatan
proses neogenesis, atau pembentukan sel sel baru. Atau, terjadi
peningkatan kelompok sel beta menjadi hipertrofi, atau mungkin akan
terjadi kehilangan sel beta melalui proses apoptosis bahkan terjadi
nekrosis. Pada keadaan terakhir ini, sel beta sudah tidak mampu
mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah.12
Kemampuan peningkatan sekresi insulin untuk mencegah
timbulnya DM tipe 2 sangat tergantung dari kapasitas adaptasi sel-B
pankreas—tempat produksi dan sekresi hormon insulin—untuk
memelihara peningkatan konsentrasi insulin. Individu yang gagal
mempertahankan hiperinsulinemia akan mengalami kegagalan toleransi
glukosa dan nantinya berkembang menjadi DM Tipe 2. 12
Disfungsi sel beta dalam sekresi insulin, merupakan salah satu dari
4 gangguan metabolik pada penderita DM tipe 2. Gangguan metabolik lain

5
adalah obesitas, kegagalan aksi insulin dan peningkatan glukosa endogen
(EGO). Kenyataannya, disfungsi sel beta, kegagalan aksi insulin dan
obesitas merupakan substansi gangguan metabolic utama yang terjadi pada
individu sebelum terdiagnosa menderita DM tipe 2, yang berpengaruh
dalam perkembangan toleransi glukosa normal (NGT) sampai terjadi
gangguan toleransi glukosa (IGT). 12
Pada penelitian cross-sectional, individu dengan IGT umumnya
lebih sering ditemukan pada keadaan obes dan resistensi insulin dibanding
pada individu NGT. Sedangkan pada IGT, EGO menggambarkan
gangguan produksi glukosa dari organ hepar tidak terjadi peningkatan.
Kegagalan sekresi insulin pada IGT sebagai penyebab terjadi peningkatan
glukosa darah, masih sering dipertanyakan. Beberapa penelitian
mengemukakan, terdapat respon yang rendah pada awal sekresi yang
terjadi pada beberapa menit setelah diberikan glukosa, baik intravena mau
pun oral pada insididu IGT dibanding pada NGT. 12
Respon awal sekresi insulin yang rendah, merupakan tahap awal
perkembangan diabetes pada individu yang mempunyai factor risiko.
Meski demikian, dapat ditemukan juga keadaan sekresi insulin yang
normal bahkan meningkat pada NGT mau pun IGT. Hal yang sama juga
didapatkan adanya respon sekresi insulin fase akhir yang rendah atau lebih
tinggi pada IGT dibanding NGT. Hal ini menjadi menarik, dalam upaya
menggambarkan patogenesis DM mellitus tipe 2 dan menjelaskan,
mengapa terdapat individu dengan IGT yang tidak berkembang menjadi
DM tipe 2.12
Disfungsi sel α pankreas juga memainkan peranan utama dalam
perkembangan toleransi glukosa yang tidak normal. Baik pada IGT
maupun DM tipe 2, penekanan sekresi glukagon setelah makan
diperlambat dan dikurangi; peningkatan level glukagon pada populasi ini
dibandingkan dengan populasi normal. Demikian juga, setelah makan
malam penekanan produksi glukosa hepar melemah pada IGT dan DM tipe
2. Kelemahan ini sebagian berhubungan dengan resistensi insulin hepar;

6
sebuah kajian yang menggunakan pemasukan glukosa bertahap
menunjukan peningkatan level insulin, produksi glukosa hepar menurun
pada orang yang sehat, level insulin yang lebih tinggi dibutuhkan untuk
mencapai efek yang sama pada pasien dengan DM tipe 2. 12
Hal ini sudah diperkirakan bahwa glukagon bertanggung jawab
untuk menaikan produksi glukosa hepar hingga 75%. Ketika level
glukagon gagal untuk turun, diikuti oleh penumpukan sisa produksi
glukosa hepar. Saat diikuti dengan pengambilan glukosa yang berkurang di
jaringan perifer menyebabkan resistensi insulin, hasilnya berupa
hiperglikemi. 12

IV. GEJALA KLINIS


Gejala dan tanda-tanda penyakit diabetes mellitus dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu gejala akut dan gejala kronik.
A. Gejala Akut
Gejala penyakit DM pada setiap orang tidak akan selalu sama, akan
tetapi gejala yang sering muncul atau pada umumnya sering timbul dengan
tidak menutup kemungkinan akan timbul gejala lain:
1. Pada permulaan gejala yang timbul meliputi antara lain sebagai berikut:
a. Banyak Makan ( Polifagia )
Perasaan lapar pada pasien penyakit gula disebabkan oleh
ketidakmampuan sel untuk mengambil gula dari dalam darah dan
memakainya guna untuk menghasilkan Energi. Sel- sel yang
kelaparan dengan gula yang banyak yang terdapat didalam darah
akan terus- menerus memberikan sinyal atau akan memerintahkan
kepusat rasa lapar didalam otak ingin makan sehingga pasien terus
merasa lapar sekalipun makanan yang masuk kedalam usussnya
melimpah atau banyak.
b. Banyak Minum ( Polidipsia )

7
Pada pasien diabetes kadar gula darah dapat naik hingga
mencapai nilai yang cukup tinggi. Kadar yang lebih tinggi dari 200
mg % yang akan menyebabkan darah menjadi “ kental “.
Salah satu akibat adalah rasa haus yang diderita pasien
sehingga membuatnya untuk minum banyak guna mengencerkan
darah yang kental itu. Disamping itu juga, frekuensi kencing yang
sering dan banyak yang akan memperbesar kehilangan cairan
melalui ginjal sehingga menambah rasa haus yang besar yang
diderita oleh orang yang menderita diabetes mellitus.
c. Banyak Kencing ( Poliuria )
2. Bila keadan tersebut tidak dapat terobati lama kelamaan timbul gejala
yang disebabkan oleh kurangnya insulin dan bukan polifagia, polidipsi
dan poliuria ( 3P ) melainkan hanya polidipsia dan poliuria ( 2P )
dengan beberapa keluhan sebagai berikut ;
a. Nafsu makan mulai berkurang ( tidak polifagia lagi ) bahkan
kadang- kadang disusul dengan mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/dl
b. Banyak minum
c. Banyak kencing
d. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 4-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu)
e. Mudah lelah
f. Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual bahkan penderita
akan jatuh koma ( tidak sadarkan diri ) dan disebut koma diabetic.
Koma diabetik adalah koma pada diabetis akibat kadar glukosa
darah terlalu tinggi, biasanya melebihi 600 mg/dL.
B. Gejala Kronik
Kadang- kadang diabetisi tidak menunjukan gejala akut tetapi
penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau
beberapa tahun mengidap penyakit DM. gejala ini disebut gejala kronik

8
atau menahun. Gejala kronik ini yang paling sering membawa diabetis
berobat pertama kali.
Gejala kronik yang sering timbul adalah sebagai berikut :
a. kesemutan
b. gangguan penglihatan mata kabur biasanya sering ganti kasa mata
c. kulit terasa panas atau seperti tertusuk –tusuk jarum
d. gatal disekitar kemaluan terutama wanita
e. keputihan
f. terasa tebal dikulit, sehingga kalau berjalan seperti berjalan diatas
bantal dan kasur.
g. kram, leleh dan mudah mengantuk
h. gigi mudah goyah dan mudah lepas
i. Kemampuan seksual menurun bahkan impotent
j. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau berat badan bayi lebih dari 4 kg.

V. DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.4
A. Pemeriksaan penyaring3
1. Usia 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2. yang disertai
faktor risiko:
- Kebiasaan tidak aktif
- Turunan perama dari orang tua dengan DM
- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir > 4000 gram, atau
riwayat DM gestasional
- Hipertensi (>140/90 mmHg)
- Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl

9
- Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis
lain yang terkait dengan resistensi insulin
- Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya
- Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian
dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TGO) standar.
B. Diagnosis diabetes mellitus2
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM sebagai berikut:
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagi dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvac pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tigacara:
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL.
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/ dL.
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
≥200 mg/ dL.
TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air. 7

VI. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS


A. Komplikasi akut2:
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
2. Hiperosmolar non ketotik (HONK)

10
3. Hipoglikema
B. Komplikasi kronis2:
1. Makroangiopati yang melibatkan:
a. pembuluh darah jantung
b. pembuluh darah tepi
c. penyakit arteri perifer sering terjadi pada diabetes,biasanya
terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudiacatio, meskipun
sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan
kelainan yang pertama kali muncul.
d. Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati
a. Retinopati diabetik
b. Nefropati diabetik
3. Neuropati
a. Yang tersering dan paling penting adalah neuropati
perifer,berupa hilangnya sensasi distal. Adanya neuropati
berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi
b. Gejala lain yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri dan lebih terasa nyeri di malam hari.
c. Semua diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
4. Gabungan
Kardiopati : penyakit jantung koroner, kardiomiopati
5. Rentan infeksi
6. Kaki diabetik
7. Disfungsi ereksi

VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya
kualitas hidup pasien diabetes, yaitu :
1. Jangka pendek4 :

11
a. Hilangnya keluhan dan tanda DM
b. Mempertahankan rasa nyaman
c. Tercapainya target pengendalian glukosa
2. Jangka panjang4 :
a. Tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit seperti
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
b. Tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas dini DM
Untuk tujuan tersebut dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku.
Pilar penatalaksanaan DM antara lain:
1. Penatalaksanaan DM non farmakologis
a. Edukasi4
Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan
harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan motivasi. Edukasi tersebut meliputi pemahaman
tentang :
1) Penyakit DM
2) Makna dan perlunya pengendalian serta pemantauan DM
3) Penyulit DM
4) Intervensi non farmakologis dan farmakologis
5) Hipoglikemia
6) Masalah khusus yang dihadapi
7) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang
berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi

12
yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
b. Terapi gizi medis
Merawat penyakit diabetes dengan berdiet berarti mengikuti
suatu pola makan yang sehat dibandingkan diet yang sulit atau yang
bersifat membatasi.Cara ini berlaku bagi setiap penderita diabetes
tanpa memperhatikan jenis yang dimiliki, dan untuk sebagian
penderita diabetes tipe II cukup dengan mengontrolnya.Namun, pada
penderita diabetes tipe I, perlu mempelajari keseimbangan makanan
dengan suntikan insulin agar bisa tercapai kontrol terbaik pada
tingkat gula darah.4
Diet ini menekankan perlunya mencapai atau
mempertahankan berat badan ideal dan menekankan prinsip-prinsip
dasar makanan sehat, dalam hal ini bermakna makanan yang
memiliki perpaduan yang baik serta mengurangi makanan yang
buruk bagi kesehatan.4
Kontribusi makanan yang diperlukan dalam makanan
penderita diabetes adalah :
1) Dua per lima bagian makanan sebaiknya mencakup makanan
yang mengandung zat tepung, lebih disukai dari varietas berserat
tinggi.
2) Dua per lima bagian makanan sebaiknya mencakup
sayuran/salad maupun buah-buahan.
3) Seperlima sisanya sebaiknya mencakup makanan yang
mengandung protein, seperti daging, ikan, telur, kacang-
kacangan, atau keju.
Lebih dari separuh kasus pasien diabetes tidak dapat
mengikuti pola diet mereka. Alasannya banyak sekali, tetapi angka
kegagalan ini dapat dikurangi dengan menghindari kerumitan yang
tidak perlu dan memberikan penjelasan mengenai prinsip-prinsip diet
kepada setiap pasien.4

13
Komposisi diet yang dianjurkan untuk penderita DM
berulang kali mengalami perubahan.Mula-mula mengacu pada diet
DM di negara barat dengan komposisi karbohidrat rendah, sekitar
40-50% dari total energi (diet A). Namun, saat ini dianjurkan
persentase karbohidrat lebih tinggi sampai 60-70% dari total
kebutuhan energi atau disebut juga diet B. Disamping anjuran
mengenai karbohidrat, protein dan lemak, dianjurkan pula
pemakaian karbohidrat kompleks yang mengandung banyak serat
dan rendah kolesterol. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi: karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan
lemak20-25%.4
Makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75%
masih memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol
disarankan < 300 mg/hari.Diusahakan lemak berasal dari sumber
asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid), dan
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak
jenuh.Jumlah kandungan serat sekitar 25 g/hari, diutamakan serat
larut.Pasien diabetes dengan hipertensi perlu mengurangi konsumsi
garam.Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Pemanis buatan
yang tak bergizi yang aman dan dapat diterima untuk digunakan
pada pasien DM termasuk yang sedang hamil adalah : sakarin,
aspartam, acesulfame potassium dan sucralose.4
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, ada tidaknya stres akut dan kegiatan jasmani.Untuk penentuan
status gizi, dapat dipakai Body Mass Indeks (BMI) dan rumus Broca.
BMI dihitung dengan rumus BMI = BB(kg)/TB(m2). Klasifikasi
BMI:
1) BB kurang <18,5
2) BB normal 18,5-22,9
3) BB lebih >23,0
- Dengan risiko 23,0-24,9

14
- Obes I 25,0-29,9
- Obes II >30
Untuk menghitung kebutuhan kalori dapat dipakai rumus
Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB –100)-10%.
c. Latihan jasmani6
Latihan jasmani akan meningkatkan aliran darah,
menyebabkan kapiler banyak terbuka, sehingga reseptor insulin
banyak tersedia. Olahraga teratur yaitu 3-4 kali dalam seminggu,
selama kurang lebih 30-45 menit. Diantaranya jalan kaki, bersepeda,
jogging, ataupun renang.
Manfaatnya:
1) Memperbaiki kepekaan terhadap insulin
2) Menurunkan kadar gula darah
3) Menurunkan berat badan
4) Menurunkan kadar kolesterol jelek
5) Meningkatkan kadar kolesterol baik
6) Memperbaiki elastisitas jaringan tubuh
7) Meningkatkan kebugaran tubuh
2. Penatalaksanaan DM farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah
belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani.
a. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )4
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
1) Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik
dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.1
a) Sulfonilurea
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus
(DM) tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan
sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes
dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah

15
terjadi gangguan pada sekresi insulin.Sulfonilurea sering
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya
untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.1
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea
adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada
ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada
reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan
permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca
tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan
menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.1
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel
beta pankreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan.Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien
yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi
insulin.Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes
mellitus tipe 1.1
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa
darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan
dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa
dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang
jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar
glukosa darah yang cukup bermakna.1
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl,
Sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis
kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl.Bila
glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal

16
yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam
sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat
yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada
waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi
terbesar.1
b) Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR)
dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea
tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.1
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid
(derivat fenilalanin)kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui
metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali
sehari.1
2) Golongan Insulin Sensitizing
a) Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai
adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi
yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme
tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena
itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali
sehari kecuali dalam bentuk extended release.1
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis
laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
>1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki)
atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta
harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.1
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa
darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan

17
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan
makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan
diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu
paruh 2,5 jam.1
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi
tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak
dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat
antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan
berat badan.1
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini
merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai
cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis
maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.1
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah
dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes,
berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien
DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan
pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai
dosis maksimal.1
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat
dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang
sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea
lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin.
Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin
dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.1

18
Karena kemampuannya mengurangi resistensi
insulin, mencegah penambahan berat badan dan
memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang
gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat
merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak
berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau
obat anti diabetik lain.1
b) Glitazone
Merupakan obat yang juga mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione) merupakan
agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma
(PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti
jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid,
diferensiasi adiposit dan kerja insulin.1
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi
tertinggi ter jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak
mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi
pioglitazone.1
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8
mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari)
memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl
dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo.
Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis
sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion

19
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan
faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidak
digunakan sebagai obat tunggal.1
3) Penghambat Glukoneogenesis
a) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping juga
memperbaiki ambilan perifer.Terutama dipakai pada
diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >
1,5) dan hati, serta pasien – pasiendengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual.Untuk mengurangi efek samping tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.1
4) Penghambat Alfa Glukosidase (acarbose)
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja
enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan
demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.1
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada
saluran pencernaan.Acarbose mengalami metabolisme di dalam
saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim

20
pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada
orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.1

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi


Oral3:
1) Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.
2) Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam).
3) Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan
adanya interaksi obat.
4) Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal
baru beralih kepada insulin.
5) Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Cara pemberian OHO3:
1) OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis hampir maksimal
2) Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan
3) Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
4) Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
5) Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
6) Acarbose : bersama suapan pertama makan
7) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
b. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan3:
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik

21
4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7) Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
8) Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
1) Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
2) Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
3) Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
4) Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
5) Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin3
1) Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
2) Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin
yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin
c. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
respon kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan
kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO
tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi harus dipilih
dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula
diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan
klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih
terapi kombinasi dengan tiga OHO.3

22
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja
sedang / panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.3
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi
dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya.3
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hpoglikemik oral
dihentikan dan diberikan insulin saja.3

Tabel 1. Golongan OHO3


Golongan Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan
Utama A1C
Meningkatkan sekresi insulin BB naik,
Sulfonilurea hipoglikemia 1,5 – 2 %
Meningkatkan sekresi insulin BB naik,
Glinid hipoglikemia 1,5 – 2 %
Menekan produksi glukosa hati Diare, dyspepsia,
& menambah sensitifitas asidosis laktat
Metformin terhadap insulin 1,5 – 2 %
Penghambat Menghambat absorpsi glukosa Flatulens, tinja
glukosidase α lembek 0,5 – 1,0 %
Menambah sensitifitas terhadap Edema
Tiazolidindion insulin 1,3%
Menekan produksi glukosa hati, Hipoglikemia,
Insulin stimulasi pemanfaatan glukosa BB naik Potensial
sampai normal

23
Tabel 2. Macam OHO di Indonesia3

Golongan Generik Mg/tab Dosis Lama Frek/ Waktu


Harian Kerja hari
Klorpropamid 100-250 100-500 24-36 1
Glibenklamid 2,5 – 5 2,5 - 15 12-24 1–2
Sulfonilurea Glipizid 5 – 10 5 – 2- 10-16 1–2 Sebelum
Glikuidon 30 30 - 120 6-8 2–3 makan
Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1
Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3
Nateglinid 120 360 - 3
Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4-8 24 1 Tdk
bergantung
Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal
makan
Penghambat Acarbose 50-100 100-300 3 Bersama
glukosidase α suapan
pertama
Biguanid Metformin 500-850 250- 6-8 1-3 Bersama/ses
3000 udah makan

24
Tabel 3.Insulin di Indonesia3
Nama Buatan Efek Puncak Lama Kerja
Cepat 2-4 jam 6-8 jam
Actrapid Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4-12 jam 18-24 jam
Insulatard Novo Nordisk (U-40&U-100) Novo
Monotard Human Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1-8 jam 14-15 jam
Mixtard 30 Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang
Lantus Aventis Tidak ada 24 jam
Bentuk Penfill untuk Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100
Maxtard 30 Human 100
Bentuk Penfill untuk Humapen Ergo adalah :
Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70
Bentuk Penfill untuk Optipen adalah :
Lantus

25
Tabel 4. Algoritma Penatalaksanaan3

VIII. PROGNOSIS DIABETES MELLITUS


Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan
hidup seperti orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal
ginjal kronis, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.

26
BAB III
SIMULASI KASUS

I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. D
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kepanjen, Malang
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
B. Keluhan Utama: sering buang air kecil
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh sering buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu.
Keluhan ini semakin mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Keluhan ini
sering muncul pada malam hari ketika pasien tertidur, sehingga pasien
tidak dapat tertidur dengan nyenyak. Pasien juga mengeluh walaupun
sering kencing tetapi pasien sering kali merasa haus dan lapar. Pasien juga
sering merasa letih dan lemas, meskipun sudah makan banyak. Selain itu,
pasien merasakan kaki dan tangannya terasa sering kesemutan. Karena
mengganggu aktivitas pasien, maka pasien memeriksakan diri ke
Poliklinik RS.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
E. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga
Riwayat DM : (+) ayah pasien
Riwayat hipertensi : disangkal

27
Riwayat asma : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat minum minuman keras : disangkal
3. Riwayat olah raga teratur : disangkal
G. Riwayat Gizi
Pasien sehari makan tiga kali, dengan nasi 2-21/2 centong nasi
dengan lauk pauk tempe, tahu, sayur, kadang-kadang dengan ikan, telur,
daging, atau ayam. Penderita jarang makan buah-buahan.
H. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang laki-laki umur 44 tahun, seorang petani.
Saat ini penderita tinggal bersama istri. Istri sebagai ibu rumah tangga.
Mempunyai tiga orang anak yang semuanya bekerja di luar Malang.
Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.

II. ANAMNESIS SISTEM dan PEMERIKSAAN FISIK


Keluhan utama : sering buang air kecil
1. Kulit : dalam batas normal
2. Kepala : dalam batas normal
3. Mata : dalam batas normal
4. Hidung : dalam batas normal
5. Telinga : dalam batas normal
6. Mulut : dalam batas normal
7. Tenggorokan : dalam batas normal
8. Sistem respirasi : dalam batas normal
9. Sistem kardiovaskuler : dalam batas normal
10. Sistem gastrointestinal : mudah haus, mudah lapar
11. Sistem musculoskeletal : lemas
12. Sistem genitourinaria : sering buang air kecil pada malam hari
13. Ekstremitas atas dan bawah : kesemutan
14. Status neurologis : kesemutan

28
15. Status gizi : BB=60 kg, TB=170 cm  BMI=20,7 kg/ m2
(normoweight)
16. Tanda Vital :TD :120/80 mmHg
Nadi :100x/mnt
RR :20x/mnt
Suhu :36,6°C

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
29/05/12 Satuan Rujukan

Hb 13 g/dl 12-15,6
Hct 39 % 33-45
AL 12,4 103 /  L 4,5-14,5
AT 229 103 /  L 150-450
AE 4,40 106/  L 4,10-5,10
GDS 229 mg/dl 80-110
GDP 196 Mg/dL 70-110

IV. RESUME
Pasien mengeluh sering buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu. Hal
tersebut semakin mengganggu aktivitas sehari-harinya. Keluhan ini sering
muncul pada malam hari ketika pasien tertidur, sehingga pasien tidak dapat
tertidur dengan nyenyak. Pasien sering kali merasa haus dan lapar. Pasien
juga sering merasa lemas (+), kesemutan di kedua ekstremitas (+), dan berat
badan menurun (+). Riwayat penyakit keluarga kencing manis (+) pada ayah.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80, nadi 100x/mnt,
RR 20x/mnt, suhu 36,6°C, BMI 20,7 kg/m2 (normoweight). Laboratorium
didapatkan Hb= 13 g/dl, Hct= 39%, Trombosit = 229, Eritrosit= 4,40 106/ 
L, Leukosit: 12,4 x103 /  L, GDS= 229 mg/dl, GDP= 196 mg/dL.

29
V. DIAGNOSIS
Diabetes Mellitus tipe 2

VI. TUJUAN TERAPI


Menurunkan kadar gula darah sehingga dapat mengurangi gejala-
gejala yang dikeluhkan pasien.

VII.TERAPI
A. Non Farmakologis
1. Edukasi kepada pasien mengenai penyakit Diabetes mellitus dan
komplikasinya
2. Edukasi kepada pasien untuk mengkonsumsi makanan rendah gula
dan kalori
3. Edukasi kepada pasien untuk meningkatkan aktivitas fisik dan
melakukan latihan jasmani
B. Farmakologis
RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Poli Klinik Interna
14 Januari 2016
Dokter : dr. Andri
R/ Glibenklamid tab mg 2,5 No. XV
∫ 1 dd tab 1 a.c
Pro : Tn. D (44 tahun)
No. RM : 384414
Alamat: Kepanjen, Malang

VIII. PEMBAHASAN OBAT


A. Peresepan

30
Pasien diedukasi, melaksanakan diet, dan latihan jasmani,
kemudian dievaluasi selama kurang lebih 4 minggu. Jika ketiga terapi
non farmakologis tersebut tidak mampu memenuhi tujuan terapi maka
diberikan intervensi farmakologis.
Intervensi farmakologis yang diberikan sesuai dengan standar
pelayanan medik ilmu penyakit dalam yang ada di rumah sakit yaitu
golongan sulfonilurea atau penghambat Glukosidase alfa.
Sulfonilurea merupakan obat yang digunakan sebagai terapi
farmakologis pada awal pengobatan DM, karena mempunyai efek
utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Dosis
pemberian sulfonilurea khususnya Glibenklamid 2,5 mg adalah 1-2 x
pemberian per hari.
R/ Glibenklamid tab mg 2,5 No. XV
∫ 1 dd tab 1 a.c
Pro : Tn. M (60 tahun)
Kemudian dievaluasi 2-4 minggu kemudian bila tujuan terapi
tidak tercapai ditambahkan satu macam obat dari golongan biguanid.
R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
∫ 1 dd tab 1 a.c
R/ Metfomin tab mg 500 No. XXI
∫ 3 dd tab 1 d.c
Pro : Tn. M (60 tahun)
Evaluasi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jika tetap
tidak ada respon terapi, diberikan kombinasi dengan golongan
penghambat glukosidase α .
R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
∫ 1 dd tab 1 a.c (sebelum makan)
R/ Acarbose tab mg 50 No. XXI
∫ 3 dd tab 1 d.c (bersama suapan pertama)
R/ Metfomin tab mg 500 No. XXI
∫ 3 dd tab 1 d.c

31
Pro : Tn. D (44 tahun)
Evaluasi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jika tetap
tidak ada respon terapi, diberikan kombinasi 3 macam OHO dengan
insulin injeksi subkutan.
R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
∫ 1 dd tab 1 a.c
R/ Acarbose tab mg 50 No. XXI
∫ 3 dd tab 1 d.c
R/ Metfomin tab mg 500 No. XXI
∫ 3 dd tab 1 d.c
R/ Insulin reguler injeksi 100 ui
Cum spuit insulin injeksi
∫ imm
Pro : Tn. D (44 tahun)

B. Glibenklamid
Glibenklamid merupakan obat antidiabetik oral golongan
sulfonilurea generasi II yang potensi hipoglikemiknya lebih besar
dibandingkan golongan sulfonilurea generasi I (tolbutamid, tolazamid,
asetoheksimid, dan klorpropamid)11.
1. Mekanisme Kerja
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin
secretagogeus, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-
sel β Langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya
dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel β yang
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan
membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++
akan masuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan
terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan
peptida-C. Kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens

32
insulin di hepar. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang
besar dapat menyebabkan hipoglikemia.11
2. Farmakodinamik
Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat
daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk
melakukan jadwal makan yang ketat. Glibenklamid efektif dengan
pemberian dosis tunggal.
3. Farmakokinetik
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga
dapat diberikan per oral. Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke
seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada
protein plasma terutama albumin (70-99%).
Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif
menunjukkan bahwa, glibenklamid diserap sangat baik. Mula kerja
(onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60
menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah
tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam
setelah pemberian, kadar dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%.
Masa kerja sekitar 15-24 jam. Metabolisme glibenklamid
sebagian besar berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus
sikloheksil yang menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas
sedang dan beberapa metabolit inaktif. Metabolit utama (M1)
merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit kedua
(M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit
lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang
diakumulasi, hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal,
sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama
tinja.
Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah
panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian
dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam.

33
4. Kontra Indikasi
a. Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO
golongan sulfonilurea lainnya
b. Porfiria
c. Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma
d. Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita
gangguan fungsi hati dan ginjal, gizi buruk.
e. Pengobatan tunggal pada DM juvenil
f. DM dengan kehamilan
g. Alkoholisme akut
5. Efek Samping
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan
dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan
gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa
mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung. Gangguan
susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia
dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia,
trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi
walau jarang sekali. Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak
tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau
ginjal atau pada lansia. Hipoglikemia sering diakibatkan oleh obat-
obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang. Golongan
sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.
6. Interaksi Obat
Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik; Analgetika
(azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain): meningkatkan efek
sulfonilurea; Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-
kadang mengganggu toleransi glukosa; Antagonis Hormon:
aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme OHO; Oktreotid
dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO; Antihipertensi
diazoksid: melawan efek hipoglikemik; Antibakteri (kloramfenikol,

34
kotrimoksasol, 4-kuinolon, sulfonamida dan trimetoprim):
meningkatkan efek sulfonilurea; Antibakteri rifampisin:
menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat metabolisme);
Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik;
Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar plasma
sulfonilurea; Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek
hipoglikemik sulfonilurea; Hormon steroid: estrogen dan
progesterone (kontrasepsi oral) antagonis efek hipoglikemia ;
Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai
efek aditif terhadap OHO; Penyekat adrenoreseptor beta :
meningkatkan efek hipoglikemik dan menutupi gejala peringatan,
misalnya tremor; Penghambat ACE: dapat menambah efek
hipoglikemik; Urikosurik: sulfinpirazona meningkatkan efek
sulfonilurea.
7. Parameter Monitoring
Kadar glukosa darah puasa : 80-120mg/dl; Kadar hemoglobin A1c
: <100mg/dl; Gejala hipoglikemia.
8. Bentuk Sediaan
Kaptab 5 mg, Tablet 2,5 dan 5 mg, Tablet Ss 5 mg.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganiswarna S (2000). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi


FK UI. Hal: 467-481.
2. Mansjoer A, et al. (2001). Kapita selekta kedokteran edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006). Konsensus Pengelolaan
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang.
4. Powers CA (2005). Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th. North
America: Medical Publishing Division Mc Graw-Hill.
5. Soegondo S (2006). Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal :1852-1863.
6. Suyono S (2007). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta:
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Slamet S., Sarwono W., Sidartawan S., Pradana S., Imam S., Gatut S., Jose
R.L.B., Ermita I.I., Endang B (2005). Penatalaksanaan Diabetes
Terpadu.Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, pp: 22,35-8,40.
8. Tastekin D., Atasaver M., Adiguzel G., Keles M., and Tastekin A (2006).
Hypoglicemic effect of artemisisa herba alba in experimental hyperglicemic
rats. Bull Vet Inst Pulawy 50, 235-238.
9. Baxter JD, Young WF, Webb P (2003). Cardiovascular Endocrinology:
Introduction. Endocrine Reviews 24(3):253–260
10. Lippincott wiliams and wilkins (2002). Pathophysiology Made Incredibly
Easy. Springhouse. Philadeplhia.
11. Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI (2007). Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. pp: 490-91.
12. Aldini FD (2010). Keunggulan Inhibitor DPP-4 sebagai Terapi Diabetes
Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Karya
Ilmiah.

36

Anda mungkin juga menyukai