Anda di halaman 1dari 11

I.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Dunia pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk


menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara, karena pendidikan
merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber
daya manusia, sehingga mampu bersaing dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa
lain dalam menghadapi era globalisasi. Oleh karena itu, sudah seyogyanya
pendidikan mendapat perhatian secara terus menerus dalam upaya peningkatan
mutunya. Peningkatan mutu pendidikan berarti pula peningkatan kualitas sumber
daya manusia (Santyasa, 2003). Sebagaimana Tjalla (2010) juga
menggungkapkan bahwa sumber daya manusia yang bermutu hanya dapat
diwujudkan dengan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, upaya peningkatan
mutu pendidikan merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi dalam rangka
meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa Indonesia.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat
manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi pendidikan yang intinya
untuk mengaktualisasikan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer, yaitu (1)
afektif yang tercermin pada kualitas keimanan dan ketakwaan, etika, dan estetika,
serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; (2) kognitif yang tercermin pada
kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan
mengembangkan serta menguasai teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin
pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis dan kecakapan praktis
(Depdiknas, 2005). Kesemuanya ini bermuara pada bagaimana menyiapkan anak
didik untuk mampu menjalankan kehidupan (preparing children for life). Dengan
demikian, pendidikan dalam hal ini menjadi wahana strategis bagi upaya
mengembangkan segenap potensi individu. Pendidikan dalam hal ini bertujuan
membantu anak didik untuk dapat memuliakan hidup (ennobling life) (Tjalla,
2010).
Belajar sains tidak hanya sekedar belajar informasi tentang fakta, konsep,
prinsip dan hukum dalam wujud pengetahuan deklaratif, tetapi belajar sains juga
belajar tentang cara memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja
dalam wujud pengetahuan prosedural, termasuk kebiasaan bekerja ilmiah. Oleh

1
karena itu, siswa perlu diberikan kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan
dan sikap ilmiah dalam suasana pembelajaran yang bermakna.
Salah satu kelompok mata pelajaran sains yang paling dekat dengan alam
dan formula-formula empiris adalah biologi. Santyasa (2004) menyatakan bahwa
tujuan pembelajaran sains tidak hanya menyediakan peluang bagi siswa untuk
belajar tentang fakta-fakta dan teori mapan, melainkan juga mengembangkan
kebiasaan dan sikap ilmiah untuk menemukan dan memperbaharui kembali
kemampuan penalaran dalam mengkontruksi pemahaman. Hal ini
mengimplikasikan bahwa dalam belajar biologi tidak cukup siswa itu mengerti
dan menguasai konsep, tetapi siswa harus mampu mengembangkan sikap ilmiah
dan mampu mengkontruksikan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya ke pengalaman-pengalaman baru.
Selama beberapa dekade terakhir ini, pemerintah telah melakukan
beberapa inovasi terkait upaya meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Salah
satunya adalah revisi kurikulum secara berkesinambungan. Menurut Suparno
(2006), seiring perkembangan masyarakat yang ditandai oleh perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi, tuntutan adanya reformasi pendidikan
khususnya pembaruan kurikulum yang sesuai dengan zamannya menjadi relevan.
Menjawab tuntutan tersebut, pemerintah telah menyempurnakan kurikulum 1994
menjadi kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
kemudian disempurnakan lagi dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), bahkan sekarang telah diberlakukannya Kurikulum 2013.
Pada kenyataannya, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal dari
negara-negara lainnya. Ramadhani (2012) menyatakan bahwa pendidikan di
Indonesia belum mampu memberikan hasil maksimal dan mutu pendidikan yang
masih rendah. Problematika rendahnya mutu SDM ini dapat dilihat dari The
Global Competitiveness Report 2008/2009 dari World Economic Forum yang
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-55 dari 134 negara dalam hal
pencapaian Competitiveness Index (CI) (Tjalla, 2010). Hasil penelitian United
Nations for Development Programme (UNDP) di dalam HDR 2007/2008
menempatkan Indonesia pada posisi ke-107 dari 155 negara dan di dalam HDR

2
2010/2011 menempatkan Indonesia pada posisi ke-124 dari 187 negara dalam hal
pencapaian Human Development Index (HDI) (Datakesra, 2011).
Secara umum dapat dipahami bahwa rendahnya mutu SDM bangsa
Indonesia saat ini adalah akibat rendahnya mutu pendidikan. Hal ini juga dapat
dilihat dari berbagai indikator mikro. Berkaitan dengan hasil studi Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS). TIMSS merupakan studi
yang diselenggarakan tiap empat tahun sekali. Indonesia mulai sepenuhnya
berpartisipasi sejak Tahun 1999.
Dengan demikian, perlu dilakukan reformasi pada fokus pendidikan sains
yang sesuai dengan kebutuhan siswa (Madu & Amaechi, 2012). Diperlukan
pendekatan yang memberikan proses belajar yang berarti bagi siswa, sehingga
mereka dapat memahami konsep dan dapat meningkatkan hasil belajarnya (Utari
et al., 2013). Oleh karena itu, sudah sepantasnya untuk dilakukan perubahan
strategi pembelajaran dari yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi
berpusat pada siswa (student centered).
Salah satu model pembelajaran inovatif yang mampu memfasilitasi siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri adalah model pembelajaran
learning cycle 5E (Haribhai & Dhirenkumar, 2012). Siklus belajar sebagai strategi
pembelajaran pertama kali diperkenalkan pada akhir Tahun 1960-an ketika Robert
Karplus dan rekan-rekannya mengimplementasikannya dalam kurikulum sains
(Qarareh, 2012). Pada awalnya learning cycle terdiri dari tiga fase yaitu
exploration, reaching a concept, dan application (Madu & Amaechi, 2012).
Kemudian learning cycle berkembang lebih lanjut menjadi empat fase yaitu
exploration, explanation, elaboration, dan evaluation (4E). Pada Tahun 1993, the
Biological Science Curriculum Study (BSCS) yang dipimpin oleh Rodger Bybee
mengembangkan learning cycle menjadi model pembelajaran learning cycle 5E
yang terdiri dari lima fase yaitu engagement, exploration, explanation,
elaboration, dan evaluation (Bybee et al, 2006).
Selain model pembelajaran learning cycle 5E, ada juga strategi
pengajaran yang dapat mengembangkan pemahaman konsep Biologi yaitu strategi
pengajaran peta konsep (concept mapping). Pada proses pembelajaran, peta
konsep merupakan sebuah strategi untuk memvisualisasikan struktur pengetahuan.

3
Peta konsep sangat efektif digunakan dalam pembelajaran sains,
khususnya Biologi sebab dengan peta konsep, siswa akan lebih terbantu untuk
membangun pemahamannya terhadap suatu kajian materi dan peta konsep juga
mampu membangun kemandirian belajar siswa.
Untuk memperoleh hasil belajar biologi yeng lebih optimal maka suatu
model pembelajaran inovatif learning cycle 5E berbantuan peta konsep sangat
perlu untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E) berbantuan peta konsep
dan model pembelajaran Direct Instruction (DI) memiliki karakteristik yang
berbeda. Perbedaan karakteristik di antara keduanya diduga mempengaruhi hasil
belajar Biologi siswa.

RUMUSAN MASALAH
Bagaimana penerapan model pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E)
berbantuan peta konsep?

TUJUAN
Mengetahui penerapan model pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E)
berbantuan peta konsep?

II. PEMBAHASAN

Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar 5E (Learning Cycle 5E)


Berbantuan Peta Konsep

Salah satu model pembelajaran inovatif yang mampu memfasilitasi siswa


dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri adalah pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E). Siklus
belajar sebagai strategi pembelajaran pertama kali diperkenalkan pada akhir tahun
1960-an ketika Robert Karplus dan rekan-rekannya mengimplementasikannya
dalam kurikulum sains (Qarareh, 2012). Model ini didesain khusus untuk Science
Curriculum Improvement Study (SCIS) dan memberikan hasil yang baik dalam
pengajaran sains/IPA. Pada awalnya model ini terdiri atas tiga fase pembelajaran,

4
yaitu eksploration, invention, dan discovery. Pada tahun 1980-an, Lawson
kemudian memodifikasi istilah-istilah tersebut menjadi exploration, concept
introduction, dan concept application. Pada tahun 1993, the Biological Science
Curriculum Study (BSCS) yang dipimpin oleh Rodger Bybee mengembangkan
learning cycle yang disebutnya sebagai metode kontruktivisme menjadi model
pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E) (Bybee et al., 2006).
Sesuai dengan namanya, model ini memiliki lima fase/tahap yang setiap
fasenya dimulai dengan huruf E sebagai berikut (Bybee et al., 2006; Utari et al.,
2013):
1) Engagement (engage/keterlibatan) merupakan fase saat guru mencoba
memusatkan perhatian siswa dan mengikutsertakan siswa kedalam
sebuah konsep baru dengan cara memberikan pertanyaan motivasi,
memberikan gambaran tentang materi yang akan dipelajari,
demonstrasi, atau aktivitas lain yang digunakan untuk membuka
pengetahuan siswa dan mengembangkan rasa keingintahuan siswa.
Pada fase ini guru menggali pengetahuan awal siswa untuk mengetahui
tingkat pengetahuan dan pikiran siswa mengenai konsep yang akan
dipelajari. Hal terpenting dalam fase ini adalah guru menghindari
mendefinisikan dan membuat penjelasan tentang konsep yang akan
dibahas. Guru pada fase ini menginformasikan kepada siswa mengenai
tujuan pembelajaran, serta memberikan suatu permasalahan kepada
siswa untuk dieksplorasi di tahap/fase berikutnya.
2) Exploration (eksplore/penjelajahan) merupakan fase kedua yang sering
diwujudkan dalam kegiatan laboratorium (praktikum) dan diskusi yang
dilakukan secara berkelompok. Fase ini memberikan pengalaman yang
nyata bagi siswa. Siswa diajak terlibat secara langsung pada fenomena
atau situasi yang mereka selidiki. Siswa saat berada di dalam fase ini
merancang dan melakukan eksperimen atau praktikum, melakukan
pengujian hipotesis, serta melakukan pengumpulan data/informasi
untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Siswa dilibatkan
secara fisik dan mental. Sebagai hasil dari keterlibatan mental dan fisik
mereka dalam kegiatan tersebut, para siswa akan mampu membentuk

5
hubungan, mengamati pola, mengidentifikasi variabel, dan bertanya.
Guru berperan sebagai fasilitator atau pemandu yang mengarahkan
siswa agar mampu mengeksplorasi dan menemukan jawaban atas
pertanyaan yang diberikan. Guru hanya harus membimbing siswa, tidak
berpartisipasi sepenuhnya kepada karya siswa. Hal terpenting ketika
guru membimbing adalah jika melihat kesalahan siswa maka tidak
boleh langsung memperbaikinya, tetapi harus memberikan beberapa
petunjuk atau menunjukkan beberapa cara agar siswa mengoreksi
sendiri. Sementara siswa berinteraksi satu sama lain dan tidak pasif
dalam proses ini. Mereka dengan bebas dapat mengumumkan
pendapatnya.
3) Explanation (explain/menjelaskan) merupakan fase saat perhatian siswa
difokuskan pada aspek tertentu dari pengalaman mereka pada fase-fase
sebelumnya. Siswa diberikan kesempatan untuk menunjukkan
pemahaman konsep mereka, keterampilan proses, atau perilaku. Kata
explanation berarti tindakan atau proses di mana konsep, proses, atau
keterampilan menjadi jelas dan dapat dipahami. Siswa melakukan
diskusi kelompok untuk menganalisis data/informasi yang dikumpulkan
dari kegiatan pada fase sebelumnya. Guru membimbing siswa untuk
menyampaikan hasil dari kegiatan yang telah mereka lakukan dengan
menggunakan ide dan kata-kata mereka sendiri, sehingga diharapkan
pemahaman konsep muncul dari pengalaman mereka setelah melakukan
kegiatan. Guru memberikan definisi formal dan penjelasan ilmiah.
Selanjutnya, dengan memberikan penjelasan tingkat pengetahuan dasar
kepada siswa, guru bila memungkinkan agar siswa untuk menyatukan
bersama-sama pengalaman mereka, untuk menjelaskan hasil mereka,
dan untuk membentuk konsep-konsep baru. Tujuan dari tahap ini
adalah untuk memperbaiki kesalahan dalam temuan siswa sebelum
tahap berikutnya.
4) Elaboration (elaborate/elaborasi) merupakan fase yang dapat dianggap
sebagai perpanjangan dari langkah penelitian karena adanya masalah
suplemen (penguat). Fase ini memfasilitasi siswa untuk dapat

6
menerapkan konsep yang telah mereka peroleh dari kegiatan yang telah
mereka lakukan ke dalam situasi atau masalah yang baru. Masalah baru
tersebut memiliki penyelesaian yang identik atau mirip dengan apa
yang dibahas sebelumnya. Menggunakan konsep baru yang dipelajari
dalam situasi yang berbeda atau mengulangi beberapa kali aplikasi yang
berhubungan dengan konsep yang dipelajari untuk menjadi masukan ke
dalam memori jangka panjang dan menjadi permanen. Selama fase
elaborasi, siswa dapat dilibatkan kembali dalam kegiatan diskusi dan
pencarian informasi. Siswa mengidentifikasi masalah dan
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan
permasalahan yang diberikan melalui diskusi. Siswa juga diarahkan
pada suatu proses pengambilan keputusan.
5) Evaluation (evaluate/menilai) merupakan fase saat guru mencari tahu
sejauh mana pemahaman siswa terhadap topik yang telah mereka
pelajari. Fase ini dapat diwujudkan dalam metode formal atau informal.
Guru mengajukan pertanyaan dan membuat siswa merespon secara
lisan atau tulisan. Selain itu, siswa diminta untuk mengaitkan apa yang
telah mereka pelajari, dengan situasi di kehidupan nyata. Fase ini
adalah fase di mana siswa dapat menunjukkan sikap mereka tentang
pembelajaran dan dapat merubah gaya pemikiran mereka atau perilaku.
Adapun sintaks model pembelajaran siklus belajar 5E yang diadaptasi dari
Bybee et al (2006), dan Suastra (2009) disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Sintaks Learning Cycle 5E Model

Fase Kegiatan

1. Guru memusatkan perhatian siswa.


2. Guru membangkitkan minat, motivasi dan keingintahuan
siswa mengenai materi yang akan dipelajari.
Engagement
3. Guru memfasilitasi siswa dalam menggali pengetahuan
awal melalui pemberian pertanyaan atau masalah yang
terkait dengan materi yang akan dipelajari.

7
Fase Kegiatan

1. Guru membagikan LKS, memberikan suatu permasalahan


untuk dicari solusinya oleh siswa.
2. Siswa membentuk kelompok untuk melakukan diskusi
mengenai permasalahan yang diajukan oleh guru, mencari
Eksploration
solusi/jawaban untuk permasalahan tersebut, melakukan
praktikum, melakukan pengujian hipotesis, serta
melakukan pengumpulan data/informasi.
3. Guru berperan sebagai fasilitator, memberikan bimbingan
seperlunya kepada siswa.
1. Siswa melakukan diskusi kelompok untuk menganalisis
data/informasi yang dikumpulkan dari kegiatan pada fase
sebelumnya
2. Siswa menjelaskan konsep, informasi, pengetahuan yang
mereka peroleh dari kegiatan pada fase sebelumnya
Explanation
dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri.
3. Guru memberikan klarifikasi terhadap hasil diskusi siswa.
4. Guru membantu siswa untuk menemukan kembali
informasi yang hilang atau mengganti informasi yang salah
dengan yang baru.
1. Siswa mengaplikasikan konsep, informasi, pengetahuan,
dan keterampilan yang mereka peroleh pada fase
sebelumnya ke dalam situasi atau masalah yang baru yang
Elaboration penyelesaiannya memerlukan penjelasan yang identik atau
mirip.
2. Siswa menerapkan pemahaman konsep mereka dengan
melakukan kegiatan tambahan
1. Guru melakukan umpan balik dengan memanggil kembali
ide-ide, pengetahuan atau keterampilan siswa yang telah
Evaluation
dipelajari. Umpan balik dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana pemahaman siswa terhadap topik yang telah

8
Fase Kegiatan

mereka pelajari
2. Guru melakukan evaluasi/penilaian hasil belajar.

Peta konsep merupakan suatu media grafis dua dimensi yang berfungsi
mengorganisasikan dan merepresentasikan suatu pengetahuan, biasanya berupa
beberapa gambar kotak atau lingkaran berisikan tulisan terkait mengenai konsep
yang dipelajari. Masing-masing konsep yang memiliki keterkaitan, dihubungkan
dengan garis dan diberi keterangan apa keterkaitan yang ada dalam konsep yang
dihubungi garis tersebut (Canas, 2008). Terhubungnya konsep satu dengan konsep
yang lain nantinya akan membentuk proposisi dan dengan memperluas proposisi
ini, nantinya akan terbentuk jaringan konsep-konsep yang membentuk peta dan
dalam peta tersebut terkandung makna (Mistades, 2009). Pada proses
pembelajaran, pemetaan konsep merupakan sebuah metode untuk
memvisualisasikan struktur pengetahuan (Asan, 2007). Dahar (1989)
menyebutkan beberapa ciri-ciri dari peta konsep meliputi empat hal yaitu sebagai
berikut. (1) Peta konsep atau pemetaan ialah suatu cara untuk memperlihatkan
konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang studi. (2) Suatu peta konsep
merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang studi, atau suatu bagian
dari bidang studi. Ciri inilah yang dapat memperlihatkan hubungan-hubungan
proposional antara konsep-konsep. (3) Cara menyatakan hubungan antara konsep-
konsep.
Salah satu pembelajaran yang menjadi pilihan banyak guru disekolah yang
tetap mempertahankan paradigma lama (behavioristic approach) adalah pembela-
jaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung. Meskipun sekarang ini
telah mulai diberlakukannya kurikulum 2013 yang menuntut untuk digunakannya
pendekatan kontruktivis dan scientific learning, model pembelajaran konvensional
yang berupa apersepsi, penyajian materi tahap demi tahap, ilustrasi dan contoh
soal, latihan soal, umpan balik, dan evaluasi tetap menjadi pilihan guru-guru
dalam mengajar biologi di kelas. Pembelajaran langsung adalah suatu
pembelajaran tradisional yang dilakukan tanpa adanya inovasi. Kesenjangan ini
ditunjukkan dengan adanya peran guru yang sangat dominan. Hal ini

9
menyebabkan pembelajaran langsung cenderung teacher centered yang pada
akhirnya menyebabkan siswa akan menjadi penerima pasif.
Sementara itu, terdapat suatu model pembelajaran berbasis
konstruktivisme yaitu model pembelajaran learning cycle 5E yang dapat dijadikan
suatu pilihan dalam memilih pembelajaran inovatif. Suatu pembelajaran yang
dikemas secara sistematis dalam lima tahap dengan nama setiap tahapnya selalu
diawali dengan huruf E, yaitu engagement, exploration, explanation, elaboration,
dan evaluation. Rangkaian tahap-tahap kegiatan tersebut diorganisasi sedemikian
rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai
dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. Pembelajaran tidak lagi
mengarah pada peran guru yang lebih dominan (teacher centered) melainkan yang
lebih dominan adalah peran siswa (student centered). Tidak lagi mengarah pada
product oriented tetapi mengarah pada process oriented. Pembelajaran yang
terjadi tidak lagi mendominasikan instruksi langsung dalam menyampaikan
informasi tetapi dengan pendekatan minds-on dan hands-on. Pembelajaran biologi
dengan menggunakan model pembelajaran siklus belajar 5E tentu akan menjadi
sangat bermakna. Dengan demikian, hal ini akan berpengaruh baik pada hasil
belajar biologi siswa. Peningkatan hasil belajar sebagai pencapaian siswa adalah
tentu dari suatu pembelajaran yang berkualitas.
Pembelajaran dengan learning cycle 5E berbantuan peta konsep akan
lebih mengoptimalkan ketercapaian-ketercapaian belajar siswa. Peta konsep dapat
diimplementasikan ketika siswa melakukan penyajian hasil-hasil dari proses
exploration. Dengan demikian, poin-poin penting dari materi yang dibahas akan
lebih mudah untuk didiskusikan dalam fase explanation.
Ketercapaian hasil-hasil belajar yang lebih baik tidak hanya dipengaruhi
oleh model pembelajaran yang digunakan, tetapi juga disebabkan oleh pengaruh
pengetahuan awal yang dalam hal ini berupa hasil belajar awal yang dimiliki oleh
siswa. Siswa telah membawa pengertian awal tentang segala sesuatu sebelum
mereka mulai belajar. Pengetahuan awal yang dalam hal ini disebut hasil belajar
awal memiliki pengaruh langsung dalam mengoptimalkan ketercapaian hasil
belajar

10
III. PENUTUP
Simpulan
Pembelajaran dengan learning cycle 5E berbantuan peta konsep akan lebih
mengoptimalkan ketercapaian-ketercapaian belajar siswa. Peta konsep dapat
diimplementasikan ketika siswa melakukan penyajian hasil-hasil dari proses
exploration.

11

Anda mungkin juga menyukai