Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Malang, 16 Mei 1985
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status Marital : Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : SMA (Tamat)
Pekerjaan Terakhir : Satpam
Alamat : Dsn. Karangkunci RT 05 RW 09 kel. Randuagung,
Singosari, Malang
Nama orang tua : Ny. S
Tanggal Pemeriksaan : 20 Desember 2017
Nomor RM : 112***

II. ANAMNESA
A. KeluhanUtama
Membakar rumah
B. Auto Anamnesa
Pasien Datang ke IGD RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
diantar oleh polisi dan keluarganya. Pasien berpenampilan tidak rapi, bau
dan kotor. Pasien datang dengan diseret dan memeganggi sapu. Roman
wajah pasien sesuai usia, pasien kurang kooperatif dengan pemeriksa,
kontak mata dengan pemeriksa minimal. Saat pasien ditanya nama,
pasien memperkenalkan diri sebagai ahmad ansori. Saat ditanya waktu,
pasien menjawab malam hari, pasien mengatakan dibawa ke RSJ Lawang

1
oleh pak polisi. Pasien tidak mengetahui sebab dibawa ke rumah sakit.
Ketika ditanya tanggal lahir dan alamat, pasien tidak menjawab. Pasien
sering terlihat komat kamit sendiri, ketika pemeriksa bertanya apakah ada
yang mengajaknya bicara pasien tidak menjawab. Pasien mengatakan ada
silikon ditangannya. Saat pemeriksa bertanya mengapa pasien membawa
sapu, pasien mengatakan untuk membersihkan orang jahat yang ingin
mencangkok hatinya secara ghaib. Ketika pemeriksa bertanya siapa
orang jahat yg mau mencangkok hatinya pasien tidak menjawab.
Pemeriksa bertanya lagi, dari mana pasien tau jika ada orang jahat yang
mau mencangkok hatinya pasien tidak menjawab, lalu pemeriksa
bertanya lagi apakah bayangan orangnya datang menghapiri pasien,
pasien menjawab saya tau sendiri hati saya mendengarnya. Setelah itu
pertanyaan pemeriksa tidak ada yang dijawab lagi, pasien hanya komat
kamit.

Hetero Anamnesa (sumber informasi: Bapak kandung pasien)


a. Riwayat Penyakit Sekarang
Sore ini pasien membakar rumah saat tidak ada orang dirumah, pasien
marah dan memukul ibunya karena tidak dibelikan rokok. Pasien
sering marah – marah tanpa sebab, pasien juga berbicara sendiri dan
ketawa sendiri sejak 2 minggu yang lalu, tidak mau mandi dan makan
sejak kurang lebih 2 bulan. Setiap hari pasien merokok terus menerus
tanpa henti dan jika ditegur oleh ibunya pasien kembali marah. Pasien
dulu pernah MRS di rsj 1 bulan dengan gejala mirip seperti ini, pasien
tidak pernah kontrol sejak keluar dari rumah sakit dan hanya
menghabiskan obat yang diberikan setelah KRS saja.
b. Gejala prodromal
Sulit tidur, bicara dan tertawa sendiri, tidak mau mandi
c. Peristiwa terkait dengan keluhan utama
Tidak ditemukan

2
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Psikiatrik:
-MRS terakhir di RSJ Radjiman Widyodiningrat pada bulan
maret 2017
-Tidak penah kontrol sejak KRS pada bulan april 2017
 Riwayat Penggunaan Napza Psikoaktif :
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol, atau narkoba. Namun pasien
kecanduan degan rokok
 Riwayat Penyakit Dahulu (Medis)
-Tidak didapatkan riwayat diabetes melitus, dan riwayat trauma
kepala.
- Tekanan darah tinggi (+)
 Riwayat kepribadian sebelumnya :
Kepribadian pasien sehari-hari adalah pendiam dan tertutup.

e. Riwayat Riwayat Kehidupan Pribadi


 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan anak
Pasien lahir cukup bulan, persalinan normal, dan ditolong oleh
dukun. Pasien mengalami perkembangan sesuai umur diusianya,
terlambat berjalan (usia 3 tahun), tidak naik kelas saat SD 4 kali.
 Riwayat sosial dan riwayat pekerjaan
Pasien mau bergaul dan banyak teman.
Sebelum sakit pasien berkerja sebagai satpam selama 5 tahun.
f. Faktor keturunan
Kakak pasien menderita gangguan jiwa
g. Faktor organik
Kejang demam usia 1 bulan – 7 bulan
f. Faktor pencetus
Minta untuk menikah namun diejek oleh ibu

III. PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Generalis:
Vital Sign

3
Tensi : 141/89 mmHg
Nadi :109x/menit
Respirasi :20 x/menit
Suhu :36,0oC
KeadaanUmum : Tampak baik, composmentis
Kepala/Leher :anemis(-/-), ikterik(-/-), sianosis (-), dispneu (-),JVP
tidak meningkat
Thorax : normochest
Cor : I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak teraba
P: tidak ada pembesaran jantung
A: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : I: Simetris, retraksi (-)
P: simetris, masa (-)
P: sonor
A: vesikuler Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : I: flat, spider nevi (-)
A: BU (+) normal
P: supel, masa (-), defans muscular (-), nyeri
palpasi (-)
P: timpani, meteorismus (-)
Ekstremitas:Akral dingin - - - edema - -
- - - -
B. Pemeriksaan Saraf
GCS : E4 V5 M6
Meningeal Sign :kaku kuduk (-)
Refleks Fisiologik :BPR +2/+2 APR +2/+2
TPR +2/+2 KPR +2/+2
Refleks Patologik :Babinski (-) / (-)
Tromer (-) / (-)
Chaddock (-) / (-)

4
C. Pemeriksaan Psikiatri:
Kesan Umum : Pasien laki-laki berpakaian tidak rapi, bau, kotor, rambut
gondrong, wajah sesuai usia, jalan diseret dan memeluk
sapu.
Kontak : Verbal (+) irrelevan, lancar, kontak mata (+) minimal
Kesadaran : Berubah kualitatif, composmentis
Orientasi : Waktu/Tempat/Orang: tidak terganggu / tidak terganggu /
tidak terganggu
Daya ingat : Tidak terganggu
Persepsi : Halusinasi auditorik (+),
Proses berpikir
Bentuk : non realistik
Arus : koheren
Isi : waham somatik
Afek/emosi : dangkal, inadekuat
Kemauan : Menurun (ADL menurun, sosial menurun, pekerjaan
menurun)
Psikomotor : Meningkat

IV. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : F20.13 (Skizofrenia Hebefrenik Episode Berulang)
Z 91.1 (Ketidak-patuhan Terhadap pengobatan)
Axis II : Ciri kepribadian tertutup
Axis III : Tidak ditemukan
Axis IV : Masalah berkaitan dengan Primary support group
Axis V : GAF Scale 20-11

5
V. TATA LAKSANA
a. Pasien Rawat Inap
b. Farmakoterapi:
 Inj. Haloperidol 5 IM
 Inj. Diazepam 10 mg IM
 PO. Haloperidol 5 mg 1-0-1
c. Psikoterapi
 Memotivasipasien agar dapatmenjalanipengobatansesuai yang
dianjurkan.
 Memotivasi pasien untuk dapat bersosialisasi dengan
lingkungan.
 Memotivasi pasien untuk bekerja.
d. Sosioterapi
 Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai keadaan pasien,
faktor pencetus, perjalan penyakit, pengobatan, komplikasi, dan
kemungkinan-kemungkinan atau prognosis kondisi pasien
 Menjelaskan dan memberi pengarahan tentang sikap dan peran
keluarga terhadap kondisi pasien
e. Spiritual
 Memotivasi untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada
Tuhan, meminta ridho atas kesembuhan pasien
 Menstimulasi dan mengajak pasien untuk turut beribadah sebisa
mungkin dan selalu berdoa.
 Memotivasi untuk terus minum obat agar ia sembuh dan bisa
bekerja.
f. Monitoring
 Selalu mengawasi pasien
 Menjauhkan dari barang-barang yang beresiko sebagai alat
untuk melukai orang lain dan bunuh diri
 Mengevaluasi perkembangan keluhanpasien
 Observasi vital sign dankeadaanumum
 Efeksampingobat

6
g. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urine lengkap, faal
hepar, faal ginjal, dan gula darah.

VI. PROGNOSIS
BAIK Buruk
Umur 32
Status pernikahan lajang
Pekerjaan Satpam
Pendidikan SMA
Kepribadian Interaksi sosial
premorbid kurang
Faktor pencetus Jelas
Faktor keturunan Ada
Onset Kronik
Jenis Hibfrenik
Gejala Gejala positif
Insight Buruk
Pengobatan Terlambat diobati

Dubia ad Malam

7
CASE REPORT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SKIZOFRENIA
A. Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock,dkk., 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok,yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa isi pikiran tidak wajar
(waham), gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), gangguan persepsi (halusinasi),
gangguan perasaan, perilaku aneh atau tak terkendali (disorganized). Gejala
negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak
bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif (Maharatih, 2010).
B. Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi
beberapa fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual
(Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah),
merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan
skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik,
seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan
Perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa
bulan (Sadock,dkk., 2003).

9
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,
yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai
tidak ada (Buchanan, 2005).
Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa atau gejala negatif yang
tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal)
dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).
C. Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui
secara pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam
menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :
1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;
bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila
kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di
seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai
berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini
(Durand & Barlow, 2007).
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-
neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa

10
skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di
bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal
terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine
yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter
lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan
(Durand & Barlow, 2007).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang
tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic
mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi
penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga pada masa kanak-kanak
memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua
terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan
anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya (Durand & Barlow, 2007).
D. Patogenesis
1. Skizofrenia dan Dopamin
Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala
skizofrenia dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya
neurotransmiter dopaminergic mengurangi gejala dari pasien dengan
skizofrenia dan meningkatkan kemampuan persepsi mereka. Pasien yang
diterapi dengan obat-obat tersebut secara terus menerus menunjukkan
penurunan munculnya halusinasi dan waham, pasien juga lebih baik dalam
mengatur kebiasaannya.
Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan.
Pertama Blokade pada neurotransmitter dopaminergik tidak sepenuhnya

11
mengurangi gejala skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia
berkurang ketika neurotransmitter dopaminergic diturunkan dengan obat
antipsikotik, level metabolit dopamin dan receptor dopamin ketika diukur
sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal. Ketiga,
peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara
sederhana dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang
yang menderita skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor
dopamin yang berlebihan di ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan
ligan radioaktif dari single-photon-emission yang tertomografi. Bagaimanapun
juga, penurunan aktivitas dopaminergik pada korteks serebral pada lobus
frontal dapat menjadi satu faktor konstribusi dalam penanganan gangguan
kognitif yang sering ditemukan pada pasien yang menderita skizofrenia. Oleh
karena itu, investigasi pada patofisiologi skizofrenia mengembangkan lebih
jauh lagi mengenai dopamin, para peniliti menggali lebih dalam mengenai
pengobatan farmakologi dari skizofrenia, yang tidak mengabaikan dopamin
sebagai target, telah memperluas bidang penyelidikan mereka termasuk
neurotransmiter yang lain.
Tidak ada lesi tunggal yang menyebabkan skizofrenia. Tapi, adanya peran
faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi dan perkembangan
otak hal tersebut juga yang dapat menyebabkan skizofrenia. Penghambatan
interneuron biasanya terjadi, hal ini dapat ditunjukan dengan adanya penurunan
jumlah dari mereka, pengeluaran enzim yang mensintesis penghambat
neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang menurun, penurunan pengeluaran
dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan somatostatin yang dilepaskan
selama neurotransmisi, dan pengurangan migrasi neuron ke korteks dari lapisan
putih otak. Sebagai tambahan pada perubahan spesifik pada interneuron,
terdapat pengurangan secara umum dari neuropil kortikal, seperti dendrit dan
akson yang mengubungkan neuron, menggambarkan proses kerusakan pada
pyramidal maupun penghambat neuron menjadi bentuk penghubung sinapsis.
Pada beberapa area dalam otak, terjadi berkurangnya jumlah total neuron
secara nyata.

12
2. Penemuan Neuropatologi
Pada penemuan secara neuropatologi, Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari
beberapa bagian otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks
temporosuperior. Dengan menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa
terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada korteks
prefrontal, yang diindikasikan dengan level dari neuronal asam amino N-
asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan otak
secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional
menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal
lateral dorsal, mungkin terus menerus dikuti dengan kehilangan penghambat
fungsi neuron.
3. Temuan genetika pada skizofrenia
Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan adanya
keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara epidemiologi,
seperti adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia antara kembar
monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari penyakit pada anak
yang diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap skizofrenia, terdapat
resiko sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia tidak terlihat sebagai
monogen, dan terdapat sejumlah kromosom locus yang nantinya akan bekaitan
terhadap penyakit yang telah bereplikasi. Polimorfim nukleotid tunggal
berhubungan dengan skizofrenia, yang beberapa telah menunjukan adanya
penurunan fungsi neural, telah ditemukan dalam gen dengan locus ini,
termasuk regulator Protein G pada kromosom 1, protein pada kromosom 6
yang berhubungan dengan struktur sinaps, faktor pertumbuhan pada kromosom
8 yang berhubungan dengan pertumbungan sinapsis, respon modulator pada
kromosom 13 yang mempengaruhi N-metil D-aspartat glutamate, sebuah
reseptor pada kromosom 15 untuk asetilkolin dan enzim pada kromosom 22
yang mempengaruhi metabolisme dopamin. Mekanisme neuronal
glutamatergik, kolinergik, dan dopaminergic dipengaruhi oleh faktor genetik
ini dan dikaitkan dengan berbagai macam aspek pada disfungsi kognitif
termasuk ketidakmampuan dalam perasaan dan pengingat.

13
Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari
patogenesis pada skizofrenia, mempunyai resiko sebanyak 30%, termasuk
kerusakan otak ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial
selama masa kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).
E. Pedoman Diagnostik
Menurut PPDGJ-III
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas atau kurang tajam) :
a. Isi Pikiran
1) ”thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun
isinya sama, namun kualitasnya berbeda.
2) ”thought insertion or withdrawl” = isi pikiran yang asing dari luar
masukke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawl)
3) ”thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b. Waham
1) ”delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar
2) ”delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
3) ”delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar
4) “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c. halusinasi auditorik
1) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien
2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara)

14
3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, mislanya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor
c. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme.
d. Gejala gejala ”negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan response emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut
dalam diri sendiri, tidak berbuat sesuatu, dan penarikan diri secara sosial.
(Maslim, 2002)

15
F. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Sebagai tambahan:
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing)
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh. Halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau passivity (delussion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar beraneka ragam, adalah yang paling khas
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif nyata/ tidak menonjol.
2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri

16
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan
atau perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati,
tertawa menyeringai, mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau,
keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
serta inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan (determination)
hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendomaninasi gambaran
klinisnya:
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan ke
arah berlawanan)
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan diri)

17
6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh dalam
posisi yang dapat dibentuk dari luar)
7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh
penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta
dapat juga terjadi pada gangguan afektif
4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia
5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis
menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan

18
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai (F 20.0 – F 20.3)
6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari
skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negatif tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak
berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya
8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9) (Maslim, 2002)

19
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Medikamentosa
Obat pertama yang efektif untuk terapi skizofrenia dikembangkan selama
tahun 1950an. Disebut obat antipsikotik konvensional atau generasi pertama.
Ada berbagai obat antipsikotik ‘konvensional’, seperti haloperidol
chlorpromazine, fluphenazine, droperidol, pimozine, sulpiride, perphenazine,
flupenthixol, zuclopenthixol, dan trifluoperazine. Kelebihan utama obat ini
adalah mengobati gejala positif skizofrenia (APA, 2004; Keith et al, 2004).
Namun, obat ini kurang efektif terhadap gejala negatif skizofrenia. Tersedia
dalam bentuk tablet, cairan, suntikan jangka pendek dan jangka panjang.
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk
berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi
pasien telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru
ini dikenal sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik generasi kedua. Obat
baru ini meliputi aripiprazole, clozapine, olanzapine, paliperidone, quetiapin,
dan risperidone (Lieberman et al, 2008). Obat ini tampaknya memiliki lingkup
efek yang lebih luas untuk gejala skizofrenia (Tandon et al, 2003). Obat ini
efektif untuk mengobati gejala positif seperti halusinasi dan delusi serta dapat
juga membantu dalam mengobati gejala negatif. Obat ini juga tersedia dalam
bentuk tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan panjang (APA, 2004).
Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian dimulai dengan “dosis
awal” sesuai “dosis anjuran”, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, “dosis optimal”
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian dosis diturunkan
setiap 2 minggu sampai ke “dosis maintenance”, dosis dipertahankan selama 6
buulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu), selanjutnya
dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) sampai dapat
dihentikan (Maharatih, dkk., 2010).
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang
lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang

20
menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan
otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam
hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku
penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak
dapat beristirahat.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki.
Kadang-kadang dokterdapat memberikan obat antikolinergik (biasanya
benztropine) bersamaandengan obat antipsikotik untuk mencegah atau
mengobati efek samping ini.Efek samping lain yang dapat timbul adalah
tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat
dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya
efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah
dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik
konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan
mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia
yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini
(Sadock, dkk.,2003; Maramis, 2009)
2. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah
didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang
diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara
lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan(Sadock dkk, 2003).
b. Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia sering
dipulangkandalamkeadaan remisi parsial, keluarga pasien skizofrenia kembali

21
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun
intensif (setiaphari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang
dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, dalam cara yang jelasmendorong
sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur
terlalu cepat. Rencanayang terlalu optimistik tersebut berasal dari
ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien
mengerti skizofrenia dan tidak berkecil hati(Sadock,dkk., 2003).
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok terorientasi
secara perilaku, psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok
efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang
memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya
paling membantu bagi pasien skizofrenia(Sadock dkk, 2003).
d. Psikoterapi individual
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di
dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali
sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap
keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas,
bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang
cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan
hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada
informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang
merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan
adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha suapan,
manipulasi, atau eksploitasi(Sadock dkk, 2003)
e. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau

22
membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar.Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus
ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung
masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan
rumahsakit harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan
pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitasharian mereka.Lamanya perawatan rumah sakit
tergantungdari keparahanpenyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi
praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan,
dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk
mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat
perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam
memperbaiki kualitas hidup. (Sadock,dkk., 2003)

H. Prognosis
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan
masih memiliki gejala sisa dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Sampai
saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang menjadi
sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya seperti usia tua, faktor pencetus yang jelas, onset akut,
riwayat sosial yang baik, menikah, riwayat sosial/pekerjaan pramorbid baik,
gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood sistem pendukung
baik, dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik.
Sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat
sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia,
system pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, sering relaps
dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk (Maramis, 2006).

23
CASE REPORT

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar
pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan
bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang
kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan
situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang
jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.
Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari
tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, dimana semakin
dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya,
semakin buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

24
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H.I., Sadock, B.J., and Grebb, J.A., 2010. Gangguan Bipolar. Jilid Satu. Editor : Dr.
I. Made Wiguna S. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Keith et al. 2004. Psychiatric Services. 55: 997-1005
American Psychiatric Association. Mood Disorders. Dalam: Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, 4th Ed, Text Revision, DSM-IV-TR, Washington DC,
2005: hal. 345-429
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maramis WF dan Maramis AA. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Pusat
Penerbitan dan Percetakan UNAIR. Airlangga University Press : Kampus C UNAIR,
Surabaya 60115.
Maslim R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. PT Nuh Jaya: Jakarta.
Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ketiga. Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. PT Nuh Jaya: Jakarta.
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku
Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Lieberman et al. 2003. Pharmacol Rev, 60: 358-403

25

Anda mungkin juga menyukai