Anda di halaman 1dari 19

Laporan Problem Based Learning (PBL)

Blok Circulation and Oxygenation (COB)


Semester IV

ANEMIA

Oleh: (Kelompok 5)

Septiana Prabawati G1D013050


Durotul Alfiyah G1D013051
Esa Shofiantyna Putri G1D013052
Septo Kristiana G1D013054
Herdika Listya Kurniati G1D013055
Lusiana Fadilah G1D013056
Marchelina Susanto G1D013057
Athifah Nur Istiqomah G1D013058
Hilmasari Rangkuti G1D013059
Setyo Utomo G1D013060

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO

2015
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Menurut bahasa yunani, anemia adalah tanpa darah. Anemia merupakan suatu
kondisi saat jumlah sel darah merah berada di dawah normal. Sel darah merah atau
hemoglobin yang bertugas sebagai media yang membawa oksigen dari paru-paru dan
menghantarkan ke seluruh bagian jaringan tubuh. Anemia atau yang lebih dikenal di
masyarakat sebagai berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah sel hemoglobin
dalam sel darah merah mampu membawa oksigen dalam jumlah yang cukup sesuai
dengan kebutuhan tubuh.
Menurut Price, S.A., Wilson L. M. (2006), dalam penelitiannya
mengungkapkan prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria.
Dalam penelitian tersebut, ditemukan hampir enam puluh orang dari tujuh puluh dua
redponden wanita, menderita anemia dengan rentang usia antara 15 sampai dengan 35
tahun.
Kasus untuk Problem Based Learning ini membahas tentang Ny. G umur 54
tahun dirawat dibangsal penyakit dalam dengan keluhan lethargi, lesu, pandangan
kunang-kunang, nyeri kepala. Hasil pemeriksaan laboratorium mengalami pansitopeni,
dengan kadar Hemoglobin 5 gr/dl. Hasil pemeriksaan jenis sel normositik dan
normokromik belum ada hasil. Dari informasi tim medis Ny. G diduga mengalami
defisiensi besi kronis. Dari hasil diskusi bahwa Ny. G mengalami anemia. Anemia
merupakan keadaan yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin dan atau
berkurangnya jumlah sel darah merah, yang berfungsi sebagai sarana transportasi zat
gizi serta oksigen untuk proses fisiologis dan biokimia jaringan tubuh. Penyebab
anemia adalah kekurangan nutrisi, penyakit kronis dan kehilangan darah yang
berlebihan (Prawiroharjo, Sarwono.2009)

2. Tujuan
2.1. Mahasiswa mengetahui kadar Hb normal
2.2. Mahasiswa mengetahui pengertian dari pemeriksaan sel normositik dan
normokromik
2.3. Mahasiswa mengetahui pengertian anemia
2.4. Mahasiswa mengetahui klasifikasi anemia beserta penyebab dan tanda gejalanya
2.5. Mahasiswa mengetahui faktor risiko terjadinya anemia
2.6. Mahasiswa dapat menganalisis kasus yang disediakan dan memberikan
penatalaksanaan sesuai dengan jenis anemianya
2.7. Mahasiswa dapat menggambarkan patofisiologi anemia aplastik
2.8. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kasus
BAB I
ISI DAN PEMBAHASAN

1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah (eritrosit) yang berfungsi
mentranspor oksigen dari paru ke bagian tubuh yang lain. Apabila eritrosit atau Hb
mengalami penurunan karena suatu hal maka O2 yang harus diangkut keseluruh tubuh
untuk proses meta juga akan mengalami penurunan.
Kadar Hb normal berdasarkan usia antara lain : (Handayani, 2008)
1.1. Wanita dewasa : 12-16 gr/dL
1.2. Pria Dewasa : 14-18 gr/dL
1.3. Anak : 10-16 gr/dL
1.4. Neonatus : 12-24 gr/dL

Kadar Hb yang kurang dari kadar normal disebut dengan anemia.

2. Pemeriksaan normositik dan normokromik


Eritrosit dalam batas-batas normal disebut sebagai normositik. Besarnya sel
eritrosit dinyatakan dalam mikrometer kubik, dengan rentang nilai normal dari 81
hingga 96 µm3. MCV yang kurang dari 81 µm3 menunjukan sel mikrositik karena
berukuran lebih kecil dari 7 µm3 pada sediaan apus, menunjukkan sel-sel makrositik
yang berukuran lebih besar dari 8 µm3 pada sediaan apus. (Price & Wilson, 2008)
Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (mean corpuscular hemoglobin
concentration, MCHC) mengukur jumlah hemoglobin dalam 100 ml (1 dl) eritrosit
packed. Batas normal MCHC adalah 30 sampai 36 g/100 ml darah, disebut
normokromik. (Price & Wilson, 2008)
3. Anemia
Anemia adalah berkurangnya sel darah merah (SDM) dibawah dari nilai
normal, kuatitas Hb dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Anemia bukan merupakan diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patologik
yang medasar. (Price & Wilson, 2006)
4. Klasifikasi Anemia
Menurut Handayani (2008) anemia diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu :
4.1. Anemia aplastik
4.1.1. Pengertian
Anemia aplastik adalah suatu gangguan darah yang mengancam
jiwa pada sel induk di sumsum tulang, yaitu sel darah yang diproduksi
tidak mencukupi kebutuhan. (Price & Wilson, 2006)
4.1.2. Etiologi

Etiologi anemia aplastik beraneka ragam. Berikut ini adalah berbagai


faktor yang menjadi etiologi anemia aplastik.

4.1.2.1. Faktor Genetik


Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik
konstitusional dan sebagian besar diturunkan menurut hukum
mendel. Pembagian kelompok pada faktor ini adalah sebagai
berikut.
4.1.2.1.1. Anemia Fanconi
4.1.2.1.2. Diskeratosis bawaan
4.1.2.1.3. Anemia aplastik konstitusional tanpa kelainan
kulit/tulang
4.1.2.1.4. Sindrom aplastik parsial:
4.1.2.1.4.1. Sindrom blackfand-Diamond.
4.1.2.1.4.2. Trombositopenia bawaan.
4.1.2.1.4.3. Agranulositosis bawaan.

4.1.2.2. Obat-obatan dan Bahan Kimia


Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar
hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Obat yang sering
menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol.
Sedangkan bahan kimia yang terkenal dapat menyebabkan
anemia aplastik adalah senyawa benzen.

4.1.2.3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan anemia aplastik sementara
atau permanen
4.1.2.3.1. Sementara
4.1.2.3.1.1. Mononukleosis infeksiosa
4.1.2.3.1.2. Tuberkulosis
4.1.2.3.1.3. Influenza
4.1.2.3.1.4. Bruselosis
4.1.2.3.1.5. Dengue
4.1.2.3.2. Permanen
Penyebab yang terkenal ialah virus hepatitis tipe
non-A dan non-B. Virus ini dapat menyebabkan
anemia. Umumnya anemia aplastik pasca-hepatitis
ini mempunyai prognosis yang buruk.

4.1.2.4. Ideopatik
4.1.3. Manifestasi klinis
Gejala klinis anemia aplastik terjadi sebagai akibat adanya anemia,
leukopenia, dan trombositopenia. Gejala yang dirasakan berupa gejala
sebagai berikut.
4.1.3.1. Sindrom anemia: gejala anemia bervariasi, mulai dari ringan
sampai berat.
4.1.3.2. Gejala perdarahan: paling sering timbul dalam bentuk
perdarahan kulit seperti petekie dan ekimosis. Perdarahan
mukosa dapat berupa epiktaksis, perdarahan sub-konjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis melena, dan pada wanita dapat
berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam lebih jarang
dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
4.1.3.3. Tanda-tanda infeksi dapat berupa ulserasi mulut atau
tenggorokan, febris, dan sepsis.
4.1.3.4. Organomegali dapat berupa hepatomegali dan splenomegali.
4.2. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya,
sehingga kadar hemoglobin berkurang yang akan mengakibtakan kerusakan
eritosit lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya
kembali (Handayani, 2008).
Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini terbagi menjadi dua
klasifikasi (Handayani, 2008) :
4.2.1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritosit sendiri atau disebut
intrakorpuskular. Misalnya karena faktor herediter, gangguan
metabolisme dan hemoglobinopati, seperti anemia sel sabit,
methemoglobinemia.

4.2.2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritosit atau disebut


ekstrakorpuskular. Misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi,
hipersplenisme dan mikroangiopati, seperti pada purpura trombotik
trombositopenik, koagulasi intravaskular diseminata (KID).

Manifestasi klinis dari anemia hemolitik yaitu Hb < 7g/dl, gejala


hemolitiknya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek dalam
darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali,
kholelitiasis (batu empedu), dan ulkus. Kadang-kadang hemolisis terjadi secara
tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai dengan demam,
menggigil, nyeri punggung, dan nyeri lambung. Sakit kuning (jaundice) dan air
kemih yang berwarna gelap bisa terjadi karena bagian dari sel darah merah yang
hancur masuk ke dalam darah. Limpa membesar karena menyaring sejumlah
besar sel darah merah yang hancur, kadang menyebabkan nyeri perut. Hemolisis
yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu
empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah.

4.3. Anemia penyakit kronik


Anemia penyakit kronik dikenal pula dengan nama sideropenic anemia
with reticuloendothelial siderosis. Anemia penyakit kronis merupakan anemia
hipoproliferatif yang berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi kronis,
kerusakan jaringan, atau kondisi yang melepaskan sitokin proinflamasi (Price &
Wilson, 2006). Anemia penyakit kronis cadangan zat besi di dalam tulang tidak
dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru sehingga disebut anemia
penggunaan ulang zat besi.
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau
kondisi seperti infeksi kronik misalnya infeki paru, endokarditis bakteria;
inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain-lain misalnya
penyakit hati, alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik (Panjaitan, 2003).

Anemia penyakit kronik ini berkembang secara perlahan dan biasanya


ringan, anemia ini biasanya tidak menimbulkan gejala. Jika timbul
gejala, biasanya merupakan akibat dari penyakit kroniknya, bukan karena
anemianya. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai.
misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, tachkikardi, cepat lelah,
lemah, dll. Takikardi, Kuku pucat, Cafilary refil 3.
Pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik
dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut
oksigen dalam jumlah sedang, yang nantinya akan menimbulkan gejala. Pada
pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif
kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio
intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan
angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral.
Pemeriksaan laboratorium, yaitu : anemia ringan sampai dengan sedang,
dimana hemoglobinnya sekitar 7-11 gr/dL.b. Gambaran morfologi darah tepi:
biasanya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik
ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik.
Pemeriksaan sumsum tulang normal, Hematokrit 25-30%.

4.4. Anemia defisiensi besi


Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
(depleted iron stirage) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang (Ganong, 2010).
Anemia defisiensi besi disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi,
gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Perdarahan
menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun.
Keadaan ini desebut iron depleted state atau negative iron balance ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi pada usus dan pengecatan
pada sumsum tulang negatif sehingga MCV <80 fl dan MCH <30 fl. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit. Defisiensi besi secara terus menerus akan menimbulkan
anemia hipokromik mikrositer ditandai dengan besi serum <50 mg/dl, TIBC >350
mg/dl, saturasi transferin <15%, feritin serum <20 mg/l.

Menurut Ganong (2010) dan Sudoyo (2006), gejala klinis khas pada ADB antara
lain:

4.4.1. Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
4.4.2. Atropi Papil Lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
4.4.3. Stomatitis Angularis (Cheilosis) : ada keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4.4.4. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
4.4.5. Atropi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklorhidria (tidak adanya
asam lambung)

4.5. Anemia megaloblastik


Anemia megaloblastik adalah kelainan pematangan nukleus atau
peningkatan fraksi sel darah merah muda yang besar (retikulosit) dengan jumlah
Hb meningkat dalam sitoplasm (Ganong, 2010). Sel terutama yang terkena adalah
sel yang pertukarannya (turn over) cepat, terutama sel prekursor hematopoetik
dan sel epitel gastro-intestinal (Sudoyo, 2006).

Menurut Ganong (2010), sebagian besar anemia megaloblastik


disebabkan oleh defisiensi kobalamin (Vit B12) dan/atau asam folat. Beberapa
bentuk anemia dapat terjadi akibat gangguan Absobsi atau metabolism folat
atau kobalamin (Vit. B12). Akibatnya sintesis DNA akan dihambat dan siklus
sel jadi diperlambat selama eritropoesis. Namun sintesis ,hemoglobin di
sitoplasma berlangsung terus dan tidak mengalami perubahan sehingga ukuran
eritroblast membesar (megaloblast) serta menjadi terlalu besar, dan eritrosit
yang oval akan masuk kedalam darah (Megalosit : MCV > 100fL).
Pembentukan granulosit dan megakariosit juga terganggu. Selain penundaan
proliferasi, anemia juga dicetuskan oleh kerusakan dini megaloblast di sumsum
tulang (peningkatan eritropoesis yang tidak efisien) karena pemendekan masa
hidup megalosit yang masuk dalam darah. Penyebab lain makrositosis adalah
hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme dan anemia aplastik.
Apusan darah memperlihatkan anisitosis mencolok dan poikilositosis disertai
makrovalosit yaitu, eritrosit yang mengalami hemoglobinisasi penuh, besar,
oval dan khas untuk anemia megaloblastik. Anemia megaloblastik ditandai oleh
eritropoesis yang tidak efektif. Gangguan absorbsi atau metabolism folat akan
menghambat sintesis

DNA, dan Eritropoesis. Asupan folat yang sedikit dari makanan (<
50µg/hari, pemasakan yang lama dapat merusak kandungan folat)
Menurut Ganong (2010) dan Sudoyo (2006),gejala klinis anemia
megaloblastik antara lain:
4.5.1. Defisiensi kobalami : gangguan neurologis
4.5.2. Gangguan gastrointestinal dapat timul gejala: kehilangan nafsu makan,
penurunan berat badan, mual dan sembelit
4.5.3. Pasien mungkin diikuti sariawan dan sakit pada lidah
4.5.4. Tanda-tanda anemia
4.5.5. Gangguan Neurologis : parastesi tangan dan kaki, kehilangan memori
selanjutnya jika keadaan memberat dapat mempengaruhi gaya berjalan,
kebutaan akibat atropi nefron optikus dan gangguan kejiwaan
5. Faktor risiko anemia
5.1. Rendahnya asupan gizi pada makanan
Makanan yang kekurangan atau tidak memiliki zat besi, asam folat (folat), dan
vitamin B12 dapat menyebabkan tubuh Anda tidak membuat sel darah merah
yang cukup. Zat besi merupakan mineral penting untuk pembuatan sel darah
merah.
5.2. Gangguan kesehatan usus kecil atau operasi yang berkenaan dengan usus kecil
5.3. Kehamilan
Selama 6 bulan pertama kehamilan, bagian cair darah perempuan meningkat
lebih cepat dibandingkan jumlah sel darah merah. Ini mencairkan darah dan
dapat menyebabkan anemia.
5.4. Menstruasi
Pada saat menstruasi seorang wanita bisa kehilangan darah dalm jumlah yang
besar. Apabila nutrisi yang didapattidak adekuat untuk mengkompensasinya
maka bisa terjadi anemia.
5.5. Kondisi kronis seperti gagal ginjal kronis
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang
mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi
eritropoietin adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah,
terutama sel darah merah. (Baradero et all, 2009). Apabila ginjal mengalami
kegagalan kronis maka produksi hormon tersebut juga akan mengalami
penurunan dan berlanjut ke penurunan sel darah merah serta Hb.
5.6. Infeksi tertentu seperti gangguan pada darah dan autoimun, terkena racun kimia,
dan menggunakan beberapa obat yang berpengaruh pada produksi sel darah
merah dan menyebabkan anemia. Risiko lain adalah diabetes, alkohol dan orang
yang menjadi vegetarian ketat dan kurang asupan zat besi atau vitamin B-12
pada makanannya.
6. Analisa kasus PBL
Analisis kasus yang sudah dilakukan oleh kelompok ditentukan bahwa jenis
anemia yang terjadi pada kasus Ny. G umur 54 tahun adalah anemia aplastik.
Berdasarkan tanda dan gejala serta data pemeriksaan yang telah dilakukan
menunujukan bahwa anemia pada Ny. G adalah anemia aplastik. Hasil dari
pemeriksaan laboratorium ditemukan pansitopeni. Pansitopeni adalah penurunan
eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pansitopeni merupakan ciri khas dari anemia aplastik.
Walaupun, didalam kasus disebutkan bahwa diduga mengalami defisiensi besi kronis.
Akan tetapi, pada anemia defisiensi besi tidak ditemukan adanya pansitopeni. Sehingga
pentalaksanaan yang akan dilakukan pada pasien sesuai dengan jenis anemia yang
diderita oleh pasien.
Menurut Mansjoer (2009) tujuan utama dari pentalaksanaan anemia ini adalah
pengobatan yang disesuaikan dengan etiologinya. Berbagai teknik pengobatan yang
dapat dilakukan seperti:

6.1. Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan trombosit,
berikan darah segar atau platelet concentrate.
6.2. Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk
mencegah timbulnya infeksi.
6.3. Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat
trombositopenia berat.
6.4. Androgen, seperti fluokrimesteron, testoteron, metandrostenolon, dan nondrolon.
Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan
hati, dan amenore.
6.5. Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Saran penggunaan pada
pasien > 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang pada
pasien yang telah mendapat transfusi berulang.
6.6. Transplantasi sumsum tulang.

Menurut pendapat lain, yakni Billota (2011) mengklasifikan terapi pada anemia
aplastik sebagai berikut:

6.1. Secara umum


6.1.1. Eliminasi penyebab yang dapat diidentifikasi.
6.1.2. Langkah-langkah tindakan cepat dan tepat, seperti transfusi SDM
kemasan, trombosit, dan histokompatibilitas eksperimental leukosit cocok
antigen.
6.1.3. Bantuan pernapasan dengan oksigen.
6.1.4. Pencegahan infeksi dari cuci tangan sering sampai aliran terfilter.
6.1.5. Diet seimbang.
6.1.6. Tindakan kewaspadaan neutropenik, bila tepat
6.2. Pengobatan
6.2.1. Antibiotik
6.2.2. Agens penstimulasi sumsum tulang, seperti eritropoiten dan faktor
penstimulasi-koloni, seperti filgrastim dan sargramostim.
6.2.3. Imunosupresan
6.2.3.1. Kortikosteroid, seperti metilprednisolon.
6.2.3.2. Globulin antitimosit.
6.2.3.3. Siklosporin.
6.3. Pembedahan
Transplantasi sumsung tulang (untuk aplasia berat dan pasien yang
memerlukan SDM konstan.
7. Patofisiologi

Depresi Sumsum Tulang Belakang

Mengganggu sel perkuser

Pansitopeni

Anemia Aplastik

Trombosit Eritrosit Granulosit

Risiko Perdarahan Hb Risiko Infeksi

O2

Sirkulasi O2 ke
Jaringan

Metabolisme Suplai darah ke Otak Iskemia

Energi Metabolisme Anaerob Kunang-Kunang Nyeri

Kelelahan Penumpukan
Asam Laktat ATP

Lemah Lelah
8. Asuhan Keperawatan
8.1. Analisa Data
Data Problem Etiologi
DO: Keletihan Anemia
-Pansitopeni
-Hemoglobin 5 gr/dl

DS:
-Lethargi
-Lesu
-Pandangan kunang-
kunang
-Nyeri kepala
DO: Risiko Infeksi Leukopenia
-Pansitopeni (granulosit
menurun)
-Hemoglobin 5 gr/dl

DS:
-Lethargi
-Lesu
-Pandangan kunang-
kunang
-Nyeri kepala
DO: Risiko Perdarahan Trombositopenia
-Pansitopeni (Trombosit
menurun)
-Hemoglobin 5 gr/dl

DS:
-Lethargi
-Lesu
-Pandangan kunang-
kunang
-Nyeri kepala
8.2. Rencana Keperawatan

TUJUAN DAN
DIAGNOSA
KRITERIA HASIL INTERVENSI (NIC) RASIONAL
KEPERAWATAN
(NOC)
Dx: Keletihan NOC: Endurance NIC: Energy Management
berhubungan
dengan anemia Intervensi :
Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor dan catat pola dan 1. Klien akan cepat pulih dari
Batasan keperawatan selama 3x24 jumlah tidur pasien keletihannya jika tidur dengan
Karakteristik: jam, diharapkan kelelahan 2. Monitor intake nutrisi yang nyenyak dan waktu yang tidak
a. Lethargi pasien akan teratasi dengan adekuat sebentar.
b. Lesu kriteria hasil: 3. Ajarkan tehnik dan 2. Supaya kadar hb dapat
c. Nyeri manajemen aktivitas untuk meningkat dan keletihan
kepala Indikator aw akh mencegah kelelahan berkurang
al ir 4. Jelaskan pada pasien 3. Agar klien mengetahui apa
1. Level 2 5 hubungan kelelahan dengan saja aktivitas yang bisa
Oksigen proses penyakit dilakukakan tanpa membuat
darah 5. Kolaborasi dengan ahli gizi keletihan
2. Hb 2 4 tentang cara meningkatkan 4. Agar pasien paham dan bisa
3. Lethargi 2 4 intake makanan tinggi energi ikut serta memperbaiki
4. Keletihan 2 5 6. Catat aktivitas yang dapat keadaannya
meningkatkan kelelahan 5. Untuk mengkompensasi
7. Anjurkan pasien melakukan anemia yang dialami klien
yang meningkatkan relaksasi 6. Supaya aktivitas tersebut dapat
(membaca, mendengarkan dihindari sementara sampai
musik) klien mampu
8. Tingkatkan bed rest dan 7. Agar klien rileks
pembatasan aktivitas 8. Mencegah kelelahan yang
9. Batasi stimulasi lingkungan berlanjut
untuk memfasilitasi relaksasi 9. Menciptakan lingkungan yang
damai agar klien dapat
beristirahat dengan tenang
untuk memulihkan
keadaannya.
Dx: Risiko Infeksi NOC: Immune Status NIC : Infection Protection
Dengan faktor risiko Risk Control Intervensi
leukopenia
Setelah dilakukan asuhan 1. Pertahankan teknik aseptif
keperawatan selama 3x24 jam, 2. Batasi pengunjung bila
diharapkan klien tidak perlu
mengalami infeksi dengan 3. Cuci tangan setiap sebelum
kriteria hasil: dan sesudah tindakan
keperawatan
Indikator Aw akh 4. Gunakan baju, sarung
al ir tangan sebagai alat
1. Jumlah Sel 2 4 pelindung
darah putih 5. Tingkatkan intake nutrisi
2. Klien bebas 4 5 6. Monitor tanda dan gejala
dari tanda dan infeksi sistemik dan local
gejala infeksi 7. Monitor sel darah putih
3. Menunjukkan 3 5 8. Inspeksi kulit dan membran
kemampuan mukosa terhadap
untuk kemerahan, panas, drainase
mencegah 9. Monitor adanya luka
timbulnya 10. Dorong masukan cairan
infeksi 11. Ajarkan pasien dan
4. Klien mampu 3 5 keluarga tanda dan gejala
menjelaskan infeksi
faktor risiko 12. Kaji suhu badan pada
dari pasien setiap 4 jam
lingkungan/pe
rilaku
personal
5. Klien Mampu 3 5
memodifikasi
gaya hidup
untuk
mencegah
infeksi
Dx: Risiko NOC: Blood Coagulation NIC: Bleeding Precaution Rasional
perdarahan
dengan faktor Setelah dilakukan asuhan Intervensi :
risiko keperawatan selama 3x24 jam, 1. Pertahankan bed rest 1. Meminimalkan kesempatan
diharapkan tidak terjadi 2. Kolaborasi dalam pemberian klien untuk cidera yang
Trombositopenia perdarahan dengan kriteria hasil: produk darah (platelet atau dapat membuat perdarahan
fresh frozen plasma) 2. Meningkatkan jumlah
3. Lindungi klien dari trauma platet dalam tubuh
Indikator aw akh yang dapat menyebabkan 3. Luka kecil akan
al ir perdarahan menyebabkan perdarahan
1. Jumlah 2 4 4. Hindari pemberian aspirin yang hebat dan
platelet atau antikoagulan lainnya membahayakan
2. Pembekuan 3 5 5. Anjurkan pasien untuk 4. Akan memperparah
Darah meningkatkan intake keadaan karena darah
3. Hematokrit 2 4 makanan yang banyak semakin tidak bisa
mengandung vitamin K membeku
6. Hindari terjadinya konstipasi 5. Untuk meningkatkan
dengan menganjurkan untuk konsentrasi trombosit dan
mempertahankan intake pembekuan darah
cairan yang adekuat dan 6. Konstipasi dapat menjadi
pelembut feses faktor risiko terjadinya
perlukaan didaerah anus
adan bisa mengakibatkan
perdarah
BAB III

KESIMPULAN

Setelah dilakukan pembahasan mengenai kasus anemia di atas dapat disimpulkan


bahwa, kadar hemoglobin Ny. G rendah karena kadar normal hemoglobin wanita dewasa
adalah 12-16 gr/dl. Pemeriksaan normositik merupakan pemeriksaan untuk mengetahui ukuran
sel, sedangkan pemeriksaan normokronik bertujuan untuk mengetahui bentuk sel. Anemia
adalah berkurangnya sel darah merah (SDM) dibawah dari nilai normal, kuatitas Hb dan
volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Anemia dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya anemia aplastik, anemia
hemolitik, anemia penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik. Faktor risiko
anemia meliputi, rendahnya asupan gizi pada makanan, penyakit kronis, gangguan kesehatan
usus kecil atau operasi yang berkenaan dengan usus kecil, kehamilan, hormon, mestruasi,
kondisi kronis seperti kanker, gagal ginjal atau kegagalan hati, faktor keturunan.
Penatalaksanaan anemia aplastik diantaranya, transfusi darah, mengatasi komplikasi (infeksi)
dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid dan androgen, imunosupresif, transplantasi
sumsum tulang.
Terapi pada anemia aplastik secara umum diantaranya, mengeliminasi penyebab yang
dapat diidentifikasi, langkah-langkah tindakan cepat dan tepat, seperti transfusi SDM kemasan,
trombosit, dan histokompatibilitas eksperimental leukosit cocok antigen, memberikan bantuan
pernapasan dengan oksigen, melakukan pencegahan infeksi dari cuci tangan sering sampai
aliran terfilter, diet seimbang, tindakan kewaspadaan neutropenik. Pengobatannya meliputi,
pemberian antibiotik, agens penstimulasi sumsum tulang, seperti eritropoiten dan faktor
penstimulasi-koloni, seperti filgrastim dan sargramostim, imunosupresan. Pembedahan
transplantasi sumsung tulang (untuk aplasia berat dan pasien yang memerlukan SDM konstan.
Diagnosa pada kasus diatas adalah keletihan berhubungan dengan anemia, risiko infeksi
berhubungan dengan faktor risiko leukopenia.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Billota, K. A. J. (2011). Kapita selekta penyakit dengan implikasi keperawatan. Jakarta: EGC
Baradero, M., Dayrit, M. W. & Siswadi, Y. (2009). Seri asuhan keperawatan klien gangguan
ginjal. Jakarta : EGC

Ganong,W.F dan McPhee, S.J. (2010). Patofisiologi penyakit pengantar menuju kedokteran
klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC
Handayani, W. dan Haribowo, A. S. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta : Salemba Medika.
Mansjoer, A. (2007). Kapita selekta kedokteran edisi 7. Jakarta: EGC
Panjaitan, suryadi. 2003. Beberapa aspek anemia penyakit kronik pada lanjut usia. Bagian
ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas sumatra utara. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6338/1/D0300606.pdf [ Accessed 11
maret 2015 ].
Price, S. A. & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Ed 6.
Jakarta: EGC
Sudoyo, A., et all. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Buku Kedokteran FK UI

Anda mungkin juga menyukai