Anda di halaman 1dari 16

BAGAIMANA BUDAYA DAN KELAS SOSIAL

MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN


PAPER
PERILAKU KONSUMEN

Dosen Pengampu :
Widayat, Dr., M.M

Oleh :

Novanda Eka Dian Rosita

201510160311153

VIII PIL B

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


2018
Abstrak

Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk


membuat keputusan pembelian. Perilaku konsumen dapat dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu budaya dan kelas sosial. Kehidupan manusia tidak terlepas dari
kegiatan budaya. Kegiatan pemasaran tidak terlepas dari bagian budaya manusia.
Pemasar menggunakan budaya sebagai dasar analisis konsumen, dan keputusan
strategi perusahaan, karena budaya menjadi landasan manusia, dalam bertindak,
bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat. Kelas sosial dibutuhkan oleh
pemasar untuk menganalisa perilaku konsumen dalam membeli produk
berdasarkan keinginannya. Konsumen akan memilih produk berdasarkan kelas
sosialnya.

Kata kunci : Perilaku Konsumen, Budaya, Kelas Sosial


PENDAHULUAN

Adanya globalisasi ekonomi dan semakin pesatnya perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi saat ini, menyebabkan semakin berkembangnya pula
dunia industri. Globalisasi menyebabkan tidak adanya batas antara suatu negara
dengan negara lain, sehingga akan membuka peluang pasar bagi produk yang
berasal dari dalam negeri ke pasar internasional dan begitu pula sebaliknya akan
membuka peluang masuknya produk global kedalam pasar domestik.

Saat ini produsen tidak hanya berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan


serta keinginan konsumen disatu negara melainkan diberbagai negara. Hal ini tentu
saja menjadi sebuah keuntungan sekaligus tantangan, dimana hal tersebut
menguntungkan karena produsen dapat memperluas pangsa pasar mereka serta
meningkatkan penjualan produk mereka yang tentu saja akan berdampak kepada
kenaikan profit atau laba perusahaan.

Sedangkan tantangan harus dihadapi oleh para pemasar yaitu dimana mereka
harus bisa mengetahui serta memahami perilaku konsumen yang ada disetap
negara. Perilaku konsumen menjadi dasar yang sangat penting dalam pemasar
membuat strategi pemasaran dan periklanan. Perilaku konsumen merupakan
perilaku yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Oleh sebab itu pemasar perlu
melakukan riset terhadap perilaku konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumen tersebut.
Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen salah satunya yaitu
budaya. Kebudayaan adalah faktor penentu keinginan dan perilaku seseorang yang
paling mendasar, dengan kata lain faktor budaya merupakan faktor paling utama
dalam perilaku pengambilan keputusan dan perilaku pembeliaan. Budaya disetiap
negara tentunya berbeda-beda, hal tersebutlah yang menyebabkan perilaku
konsumen disuatu negara akan berbeda dengan perilaku konsumen dinegara lain.

Oleh sebab itu, sangat perlu bagi pemasar terutama pemasar internasional
mengenal, memahami, serta mencari tahu kebudayaan negara-negara yang akan
menjadi pasar bagi produk mereka. Dengan mengetahui kebudayaan negara-negara
tersebut, maka pemasar akan dapat memahami bagaimana perilaku konsumen
dinegara tersebut. Selain faktor budaya, faktor lain yang dapat mempengaruhi
perilaku konsumen yaitu kelas sosial, karena konsumen akan membeli produk
berdasarkan dengan kelas sosialnya.

PEMBAHASAN

Konsumen memiliki keberagaman yang menarik untuk dipelajari,


konsumen merupakan suatu individu yang terdiri dari berbagai latar belakang
budaya, usia, pendidikan, serta keadaan sosial ekonomi. Oleh sebab itu, sangatlah
penting untuk mempelajari bagaimana konsumen berperilaku dan faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi perilaku tersebut. Perilaku konsumen merupakan suatu
perilaku yang ditunjukkan melalui pencarian, pembelian, penggunaan,
pengevaluasian, dan penentuan produk atau jasa yang mereka harapkan dapat
memuaskan kebutuhan mereka (Anoraga,2004:223).

Menurut Mowen (2002:6) perilaku konsumen merupakan sebuah studi


tentang unit pembelian (buying unit) dan proses pertukaran yang melibatkan
perolehan, konsumsi dan pembuangan barang, jasa, pengalaman serta ide-ide.
Sedangkan menurut Kotler (2002) perilaku konsumen mempelajari bagaimana
individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, memakai serta
memanfaatkan barang, jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka memuaskan
kebutuhan dan hasrat mereka.

Faktor utama yang mempengaruhi pembelian yaitu: kebudayaan, sosial,


kepribadian dan kejiwaan. Faktor kebudayaan meliputi budaya, sub budaya, dan
kelas sosial. Sedang faktor sosial meliputi kelompok referensi, keluarga, serta
peran dan status. Serta faktor kepribadian meliputi: usia, dan tahap siklus hidup,
pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri. Faktor
Kejiwaan meliputi: motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan pendirian
(Kotler,2005:202).

Faktor kebudayaan merupakan faktor yang memiliki pengaruh sangat


penting, paling luas serta paling dalam terhadap perilaku konsumen. Oleh karena
itu pemasar harus dapat mengetahui serta memahami peran yang dimainkan oleh
budaya, sub-budaya dan kelas sosial terhadap perilaku konsumen. Budaya dapat
dibagi kedalam 3 (tiga) hal yaitu Budaya, Sub Budaya dan Kelas Sosial
(Kotler,2002).

Dalam bahasa Inggris, budaya atau kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari kata Latin Colere, yang berarti mengolah, mengerjakan dan memelihara
ladang. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia. Akan tetapi dalam perkembangannya kata ini mengalami perluasan arti
sehingga budaya tidak hanya terkait dengan aspek jasmani namun juga rohani.
Assael (1999) mendefinisikan budaya sebagai value, tradisi, norma, kebiasaan,
seni, sejarah dan pranata dari sekelompok orang.

Memahami budaya membantu kita dalam memahami bagaimana seseorang


menginterpretasikan lingkungan mereka. Budaya dapat membentuk nilai pribadi,
nilai kelompok, serta sikap. Budaya memberikan panduan umum untuk berperilaku
dan bertindak dalam situasi tertentu yang diterima oleh masyarakat. Budaya
mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dan bersosialisasi dengan anggota yang
lain dalam suatu masyarakat (Rokeach, 1973). Budaya merupakan alat yang ampuh
untuk membangun motivasi, gaya hidup, dan pilihan produk (Tse, et al., 1989).
Setiap kebudayaan terdiri dari sub-budaya – sub-budaya yang lebih kecil
yang memberikan identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk para
anggotanya. Banyak sub-budaya yang membentuk segmen pasar penting dan
pemasar sering merancang produk dan program pemasaran yang disesuaikan
dengan kebutuhan mereka. Sub-budaya terdiri dari :

1. Sub-Budaya Agama

Sub-Budaya agama merupakan sesuatu yang bervariasi dan pluraris serta


memiliki sifat yang pribadi sehingga membuat kelompok agama mempunyai
pengaruh penting bagi konsumsi suatu masyarakat, kelompok keagamaan
akan memperlihatkan preferensi yang spesifik. Pemasar dituntut untuk dapat
memperhatikan secara seksama preferensi yang spesifik atas barang yang
dihasilkan karena akan mempengaruhi perilaku konsumen dari sub-budaya
kelompok kagamaan yang dimaksud.

Bagi pemasar di Indonesia, dimana mayoritas penduduknya beragama


Islam mengharuskan mereka untuk mendapatkan sertifikasi halal untuk setiap
produk yang berhubungan dengan makanan. Konsumen yang beragama Islam
lebih cenderung memperhatikan kehalalan suatu produk, sebelum dia
membeli produk tersebut, seperti perusahaan yang memproduksi Ajinomoto
yang beberapa waktu lalu mempromosikan produknya secara gencar
mengenai kehalalan produknya.

Sedangkan di India yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu,


mengharuskan seorang pemasar untuk tidak memasarkan produk makanan
yang mengandung daging sapi sehingga bisa menggantinya dengan daging
ayam. Bagi pemeluk agama Budha yang tidak mengkonsumsi daging
merupakan pasar tersendiri bagi seorang pemasar, misalnya dengan membuka
rumah makan/ restoran vegetarian.

2. Sub-Budaya Geografis dan Regional


Daerah geografis suatu negara kadang mengembangkan budayanya
sendiri. Di Indonesia masyarakat perkotaan/ kota besar pada umumnya
menyukai jenis hiburan yang berhubungan dengan alam, lain halnya dengan
masyarakat yang tinggal di daerah kabupaten atau kota kecil yang lebih
memilih berlibur ke kota. Selain gaya hidup iklim juga menghasilkan suatu
inti dari nilai-nilai di dalam suatu daerah geografis. Contohnya, negara-
negara yang memiliki musim dingin atau bersalju seperti Korea Selatan
sehingga perusahaan harus menyesuaikan produk apa yang sesuai untuk di
pasarkan di daerah tersebut, misalnya baju/ pakaian hangat(sweater).

Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung saat ini masyarakat lebih
memilih menggunakan mobil dengan ukuran kecil, yaitu mobil dengan nama
Karimun dan Daihatsu dengan merek Ceria. Untuk wilayah Indonesia bagian
timur khususnya daerah Papua yang masyarakatnya secara ekonomi masih
kurang dibandingkan dengan masyarakat daerah lain, maka jenis kendaraan
roda dua akan lebih diminati.

3. Sub-Budaya Usia

Kelompok usia dapat juga dianalisis sebagai sebuah sub-budaya karena


sering memiliki nilai dan perilaku yang berbeda, namun pemasaran harus
berhati-hati dalam mensegmen konsumen jika didasarkan pada usia mereka
yang sebenarnya, karena sebagian konsumen dewasa merasa mereka masih
muda, sebaliknya ada pula konsumen remaja yang menganggapdirinya sudah
dewasa, hal semacam diatas dapat ditemukan misalnya dalam pernyataan”
saya merasa masih muda”, “saya tidak menyadari bahwa saya sudah tua” atau
“saya merasa sudah cukup dewasa”, pernyataan seperti di atas membuat
seorang pemasar harus menganalisis “usia subjektif” atau “usia kognitif”
(usia yang dianggap sebagai usia yang dapat bagi diri pribadi seseorang),
namun tetap mengtamakan usia kronologi atau usia nyata.

4. Sub-Budaya Jenis Kelamin


Untuk beberapa tujuan pemasaran, perbedaan jenis kelamin mungkin
cukup signifikan untuk memandang kedua jenis kelamin sebagai suatu sub-
budaya yang berbeda. Kepemilikan produk dipandang oleh sebagian pria
sebagai cara untuk mendominasi dan mengungkapkan kekuasaan atas orang
lain dan membedakan dirinya dari orang lain. Wanita sebaliknya, cenderung
menilai tinggi barang yang dimiliki dapat memperkuat hubungan personal
dan sosial. Sebagian pemasar melihat bahwa sangat bermanfaat untuk
mengembangkan strategi pemasaran yang berbeda untuk sub-budaya pria dan
wanita. Misal: Samsung yang mengeluarkan produk handphone yang diberi
nama SamsungQueen A-400 yang dkhususkan untuk wanita dan Samsung
Blue Cool yang dikhususkan untuk pria.

Schiftman, et al (1995) menyatakan bahwa budaya ada untuk memuaskan


kebutuhan manusia. Budaya menawarkan perintah, petunjuk, dan arahan dalam
semua fase pemecahan persoalan manusia dalam memuaskan kebutuhan fisiologi,
personal dan kebutuhan sosial. Sebagai contoh budaya menyediakan aturan
mengenai kapan akan makan, di mana akan makan, dan apa yang tepat untuk
dimakan pada saat pagi, siang dan malam, dan apa yang harus disiapkan untuk pesta
ulang, piknik, ataupun pesta pernikahan. Kebiasaan ini tentu saja akan berimplikasi
pada produk apa yang laku dan dapat ditawarkan pada ke pasar.

Sebagai contoh masyakarat Indonesia sangat suka dengan kopi di pagi hari,
minum teh sepanjang hari ataupun meminum air putih dan teh setelah makan.
Sebaliknya akan terasa aneh bagi masyarakat meminum minuman bersoda di pagi
hari. Juga dengan kebiasaan makan bubur atau nasi di pagi hari, yang juga belum
tergantikan dengan makanan sereal di pagi hari yang biasanya dilakukan oleh orang
Barat. Perusahaan teh Sosro, adalah pemasar yang baik karena mampu membaca
kebiasaan masyarakat Indonesia yang peminum teh, dengan menawarkan teh yang
bisa dibawa kemanamana dengan teh botolnya ataupun teh kotaknya.

Kepercayaan, nilai-nilai, dan kebiasaan akan diikuti selama mereka


memberikan kepuasan kepada anggota masyarakat. Ketika standar atau aturan
tertentu tidak lagi dapat memuaskan anggota masyarakat tersebut, maka hal itu
dapat dimodifikasi ataupun digantikan sehingga standar budaya menjadi lebih
sejalan dengan kebutuhan pada saat ini. Sehingga budaya secara perlahan namun
secara terus-menerus meresap dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam konteks budaya, produk perusahaan dan jasa dapat dipandang secara
tepat memberikan solusi bagi individu atau masyarakat atas kebutuhan hidup
mereka atau atas sesuatu yang mereka inginkan. Apabila produk atau jasa yang
ditawarkan pemasar tidak lagi dapat diterima karena nilai dan dan kebiasaan yang
terkait dengan produk tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan manusia dalam
masyarakat, maka pemasar harus melakukan revisi produk yang ditawarkan.

Perubahan nilai budaya dimungkinan dalam pola perilaku konsumsi dan


bagaimana konsumsi berlangsung. Contohnya saja di masyarakat Jawa, dimana
resepsi pernikahan adalah bagian yang kental dengan nuansa budaya, terlihat
terdapat perubahan dalam cara penyajian makanan. Di kota besar seperti Jakarta,
Surabaya dan Bandung resepsi dengan model standing party sudah banyak
dilakukan.

Pada masa lalu, model resepsi seperti ini susah untuk diterima karena makan
dengan cara berdiri dianggap tidak sopan. Namun sekarang dengan perkembangan
zaman, dimana masyarakatnya semakin menghargai waktu, dan makan sambil
berdiri tidak diangap sebagai keanehan sehingga model standing party dianggap
paling praktis dan cukup menghemat waktu. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat
cukup menerima nilai-nilai kepraktisan sejalan dengan modernisasi yang semakin
membudaya.

Levi-strauss (1980), menerangkan bahwa manusia memiliki kesanggupan


untuk menciptakan simbol, mengorganisasikan segala pengalamannya, serta
mengatur serta menyusunnya dalam sistem tanda-tanda. Pemasar menggunakan
simbol sebagai alat untuk menyampaikan citra produk (image product) dan
karakteristik produk. Mereka akan mengkomunikasikan simbol melalui cara verbal
dan non verbal. Verbal termasuk dalam hal ini adalah iklan atau informasi melalui
televisi, internet dan majalah. Komunikasi Non verbal adalah penggunaan simbol
seperti gambar, warna, bentuk, tekstur yang memberikan makna tambahan bagi
suatu produk.

Assael (1998) memberi gambaran bagaimana nilai-nilai budaya pada


masyarakat Amerika memberikan pengaruh pada perilaku konsumen. Masyarakat
Amerika Serikat adalah masyarakat yang mempunyai karakteristik materialistik,
individualistik, semangat muda, dan menjunjung kebebasan, kemajuan dan
aktivitas. Materialisme adalah refleksi dari pemilikan benda dan kemakmuran.
Seorang yang menjunjung nilai materialistik akan berpikir bahwa ketika mereka
memiliki benda-benda maka akan memudahkan mereka mencapai tujuan mereka.
Konsumen yang memegang teguh nilai materialisme memiliki pemikiran bahwa
benda-benda yang mereka miliki sebagai pusat dari kehidupan mereka dan sebagai
sumber perolehan kebahagiaan.

Masyarakat materialistik berbeda dengan masyarakat yang religius.


Berdasarkan pemikiran bahwa suatu produk merupakan suatu representasi budaya
tertentu maka produk adalah juga alat ekspresi suatu keyakinan atau nilai kultural
tertentu. Melalui pandangan ini, kita bisa mengartikan bahwa masyarakat yang
cenderung bercirikan materialistik akan berbeda dengan masyarakat yang religius.
Masyarakat religius memberikan ruang bagi aspek di luar materi sebagai dasar bagi
pengambilan keputusan dan dasar pertimbangan.

Dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia, dimana mayoritas


beragama Islam, pada umumnya mendasarkan perilakunya pada aspek halal dan
haram. Mereka mempertimbangkan apakah benda-benda yang mereka konsumsi
dan proses konsumsi bertentangan dengan aturan agama atau tidak. Dalam
kaitannya dengan pemilikan benda-benda, maka masyarakat individualistik
cenderung menekankan status kepemilikan dan penggunaan berdasarkan basis
individu.

Sebagai contoh dalam masyarakat Amerika (AS) mobil adalah alat


transportasi individu. Sedangkan di Indonesia, mobil lebih sebagai alat transportasi
keluarga. Mobil yang laku keras di Indonesia kebanyakan mempunyai daya
tampung lebih dari 5 orang. Di Indonesia, mobil merk Colt, Suzuki Carry, Toyota
Kijang, dan terakhir mobil merek Avansa adalah merekmerek mobil dengan pangsa
pasar tertinggi di zamannya. Contoh ini memperlihatkan adanya perbedaan pola
perilaku dari masyarakat dengan budaya yang berbeda. Masyarakat AS adalah
masyarakat individualitik, sementara itu masyarakat Indonesia, adalah masyarakat
yang kolektif.

Bagi masyarakat muslim daging babi, darah, dan segala sesuatu yang
memabukan adalah haram, sehingga mereka menghindari. Demikian juga dengan
aktivitas bisnis yang mengandung judi, prostitusi (pornografi) karena bertentangan
dengan aspek religiusitas maaka akan dihindari. Sedangkan bagi masyarakat
materialis, selama kegiatan bisnis tersebut tidak berlawanan dengan hukum positif,
maka proses konsumsi dan memiliki produk-produk tersebut tidak
dipermasalahkan.

Proses pengkonsumsian makanan seperti burger, pizza, spagheti, kebab, dan


lain-lain adalah peristiwa budaya. Masyarakat tidak begitu saja melakukan tindakan
konsumsi, atau membeli produk tersebut tanpa lebih dahulu mempunyai respek
terhadap budaya yang menyertainya. Terdapat suatu fase dimana masyarakat
belajar dan mengadopsinya. Dalam kacamata budaya, produk burger, pizza adalah
simbol atau representasi budaya tertentu dalam hal ini adalah budaya barat.

Sementara produk dari barat adalah representasi dari kemajuan dan


modernisme melalui proses komunikasi pemasaran, pemasar menyampaikan pesan
dalam bentuk simbol verbal maupun non verbal. Pemasar juga menetapkan asosiasi
terhadap produk budaya tersebut. Melalui komunikasi bahasa dan budaya yang
mereka terima, individu atau masyarakat mulai belajar mengenal apa arti dari suatu
citra, dan gambar sehingga orang melakukan asosiasi tanpa berpikir lebih jauh
tentangnya. Selanjutnya berkat kemampuan yang dimiliknya konsumen sanggup
mentransformasikan pengalaman dan pengetahuannya dalam dimensi budaya,
ruang dan waktu.
Tharp dan Scott mengidentifikasi lima peran simbolik dari produk yang
menggambarkan nilai-nilai budaya:

1. Produk adalah alat untuk mengkomunikasikan status sosial. Melalui


pemilikan produk tertentu seseorang berharap status sosial mereka akan
terlihat oleh masyarakat dan pada akhirnya terdapat pengakuan akan status
tersebut. Bagi masyarakat tertentu di Indonesia, memiliki mobil dengan
merek tertentu akan meningkatkan status sosial mereka. Demikian juga
dengan pemilikan burung, bunga tertentu, ataupun pemilikan vila di
pegunungan.
2. Produk adalah alat ekspresi. Produk merefleksikan nilai yang paling
penting bagi konsumen. Pemasar menciptakan simbol dan asosiasi tertentu
yang agar produk yang mereka ciptakan mampu mewakili ekspresi jiwa
tertentu dari konsumennya. Beberapa produk ataupun merek mempunyai
personalitas seperti yang dicari oleh konsumen seperti citra kesuksesan,
pencapaian, kebebasan, individual, dan pengembangan diri. Rokok
Djarum, mencitrakan jiwa petualangan atau pemberani, sedangkan rokok
Wismilak mewakili citra rasa sukses.
3. Produk adalah alat untuk berbagi pengalaman. Seringkali keberadaan
suatu produk dapat digunakan untuk berbagi pengalaman. Melalui
makanan dan minuman, pada saat tertentu, bunga dan hadiah adalah alat
untuk berbagi pada even-event tertentu. Pada perayaan imlek orang
berbagi kue ranjang, atau pada saat hari valentine orang berbagi hadiah.
4. Produk adalah sesuatu yang hedonis. Seringkali suatu produk
merefleksikan nilai-nilai konsumen, seperti estetika, atau kualitas
sensualitas yang dapat mengakomodasi kesenangan konsumen. Produk
seperti perhiasan emas, berlian, jam, parfum, furnitur, dan kerajinan adalah
produk yang menekankan aspek hedonisme. Merek-merek tertentu dari
pakaian seperti Channel, Pierre Cardin, Gucci menekankan kemewahan
pemiliknya.
5. Produk adalah alat untuk mengenang. Produk dapat mengingatkan
konsumen pada pengalaman masa lalu. Asesoris, merchandise, photo
album dan CD adalah produk yang dapat digunakan untuk menjadi alat
kenang-kenangan. Bagi wisatawan, keberadaan merchandise sangat
penting untuk mengingat kesan wisatawan terhadap tempat yang
dikunjungi. Demikian juga dengan even/kejadian tertentu seperti
olimpiade, PON, Asian games, selalu diwarnai dengan penjualan
memoribilia sebagai alat untuk kenang-kenangan.

Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa budaya merupakan faktor


penentu paling utama dari keinginan dan perilaku seseorang. Dalam berperilaku
manusia biasanya mempelajarinya dari lingkungan sekitarnya. Sehingga nilai,
persepsi, preferensi dan perilaku antara seorang yang tinggal pada daerah tertentu
dapat berbeda dengan orang lain yang berada di lingkungan yang lain pula.
Sehingga sangat penting bagi pemasar untuk melihat pergeseran budaya tersebut
untuk dapat menyediakan produk-produk baru yang diinginkan konsumen. Terlebih
bagi pemasar internasional yang harus bisa memahami perilaku konsumen yang
berbeda-beda disetiap negara.

Selain faktor budaya, kelas sosial juga merupaakan faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku konsumen. Kelas sosial adalah pembagian masyarakat
yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun secara heirarkis dan yang
anggotanya menganut nilai-nilai, minat dan perilaku yang serupa. Kelas sosial tidak
hanya mencerminkan penghasilan tetapi juga indikator lain seperti pekerjaan,
pendidikan dan tempat tinggal. Kelas sosial merupakan lapisan sosial yang dimiliki
oleh individu maupun sekelompok orang yang bisa terlihat lebih tinggi atau lebih
rendah dari konsumen lainnya. Biasanya kelas sosial terlihat pada pekerjaan,
penghasilan, pendidikan, kehormatan, kekuasaan konsumen.

Dengan mengetahui kelas sosial konsumen, pemasar dapat mengidentifikasi


kebutuhan konsumen serta perilaku sosialnya. Biasanya kelas sosial terlihat pada
pekerjaan, penghasilan, pendidikan, kehormatan, kekuasaan konsumen. Dengan
mengetahui kelas sosial konsumen, pemasar dapat mengidentifikasi kebutuhan
konsumen serta perilaku sosialnya. Menurut Dharmmesta dan Handoko (2013),
masyarakat pada pokoknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu :

1. Golongan Atas Yang termasuk dalam kelas ini antara lain: pengusaha-
pengusaha, pejabatpejabat tinggi.
2. Golongan Menengah Yang termasuk dalam kelas ini antara lain: karyawan
instansi, pemerintah, pengusaha menengah.
3. Golongan Rendah Yang termasuk dalam kelas ini: buruhburuh pabrik,
pegawai rendah, tukang becak, dan pedagang kecil.

Teori Engel, dkk (1994) yang menjelaskan bahwa kelas sosial tidak langsung
ditentukan oleh pendapatan. Hal yang menentukan kelas sosial, yaitu:

1. Pekerjaan
2. Prestasi Pribadi
3. Interaksi
4. Pemilikan
5. Orientasi Nilai
6. Kesadaran Kelas

Kelas sosial dibutuhkan oleh pemasar untuk menganalisa perilaku konsumen


dalam membeli produk berdasarkan keinginannya. Konsumen akan memilih
produk berdasarkan kelas sosialnya. Semakin tinggi klasifikasi kelas sosial
seseorang, semakin tinggi pula selera produk yang dipilihnya melihat dari kualitas
produk yang lebih baik, kemasan, corak apalagi tidak memikirkan harga. Berbeda
dengan konsumen yang memiliki klasifikasi kelas sosial menengah dan rendah.
Konsumen seperti ini cenderung melihat harga daripada corak, kualitas maupun
kemasannya.
KESIMPULAN

Perilaku konsumen merupakan suatu perilaku yang ditunjukkan melalui


pencarian, pembelian, penggunaan, pengevaluasian, dan penentuan produk atau
jasa yang mereka harapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Perilaku
konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktornya yaitu faktor
budaya.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari kegiatan budaya. Kegiatan pemasaran


tidak terlepas dari bagian budaya manusia. Pemasar menggunakan budaya sebagai
dasar analisis konsumen, dan keputusan strategi perusahaan, karena budaya
menjadi landasan manusia, dalam bertindak, bersikap dan bertingkah laku dalam
masyarakat. Dalam berperilaku manusia biasanya mempelajarinya dari lingkungan
sekitarnya. Sehingga nilai, persepsi, preferensi dan perilaku antara seorang yang
tinggal pada daerah tertentu dapat berbeda dengan orang lain yang berada di
lingkungan yang lain pula. Sehingga sangat penting bagi pemasar untuk melihat
pergeseran budaya tersebut untuk dapat menyediakan produk-produk baru yang
diinginkan konsumen. Terlebih bagi pemasar internasional yang harus bisa
memahami perilaku konsumen yang berbeda-beda disetiap negara.

Selain faktor budaya, kelas sosial juga merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku konsumen. Kelas sosial adalah pembagian masyarakat
yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun secara heirarkis dan yang
anggotanya menganut nilai-nilai, minat dan perilaku yang serupa. Biasanya kelas
sosial terlihat pada pekerjaan, penghasilan, pendidikan, kehormatan, kekuasaan
konsumen.Kelas sosial dibutuhkan oleh pemasar untuk menganalisa perilaku
konsumen dalam membeli produk berdasarkan keinginannya. Konsumen akan
memilih produk berdasarkan kelas sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai