Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir
(membran mukosa) hidung.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder
akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis
simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan
jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai
pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:


1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang
hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum. [ 3,4,5 ]
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.[ 3,4,5 ]
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os
etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)
kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.[ 3,4,5 ]

2
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media,
superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.[ 3,4,5 ]
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.[ 3,4,5 ]
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,
tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut
saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.[3,4,5]

3
Gambar 1. Anatomi hidung

Kompleks ostiomeatal (KOM )


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait. [ 3 ]

Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari

4
cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a. palatine
mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai
nama yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial. [ 3,4,6 ]

Gambar 2. Vaskularisasi hidung

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n.
Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus superfisialis mayor
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Fungsi penghidupan berasal dari n. Olfaktorius. Saraf ini
turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung. [ 3,4 ]

5
Gambar 3. Persarafan hidung

Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silis ( ciliated peudostratified collumner epithelium )
dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertia berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified
collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel,
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih
tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi sel epitel skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa respratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa
dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan
yangkhas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan
tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahab pada
anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler
ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh

6
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter
oto. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam lalu ke venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.[3,4,6 ]

Sistem transpor mukosilier


Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia
dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan
kelenjar seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender terdiri dari cairan
serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma seperti
albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung
laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). [ 3 ]
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal
yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisma dari
jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG
beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan
antigen banteri. Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret
sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus
membentuk gambaran serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih kental
tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya
infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah
transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika sekret
lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek. [ 3 ]
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah dindingnya. [ 3 ]
7
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini
biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi
bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju
nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba eustachius. Transpor aktif
berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya
jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan. [ 3 ]
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid
yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada bagian
posterosuperior orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior
dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba
eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertical kea rah bawah terlebih dahulu
kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius. [ 3 ]

2.2 FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi tulang; 4) fungsi static
dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.[3,4,5]

Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah
nasorafing. Aliran udara di hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus. Udara yang
dihirup akan menglami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara
hamper jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh
palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini

8
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas. [ 3,4,5]
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b) silis, c) palut
lender. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. [ 3,4,5,7 ]

Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra
pencecep adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam
bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. [ 3,4,5,7 ]

Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan
konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum
mole turun untuk aliran udara. [ 3,4,5,7 ]

9
Gambar 4. Sistem olfaktoris

2.3 RINITIS KRONIK


2.3.1 Rhinitis Occupasional (hipertrofi)
Etiologi
Rhinitis occupasional adalah rhinitis yang timbul akibat infeksi berulang dalam
hidung dan sinus akibat dari pekerjaan terutama pekerjaan yang berhubungan dengan
polusi seperti asap dan bahan-bahan yang mengiritasi mukosa hidung dalam waktu
lama seperti asap rokok. 8
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen,
gangguan tidur dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi,
permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. 8
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi. 8

10
2.3.2 Rinitis Sika
Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,
peminum alkohol, dan gizi buruk. 8
Manifestasi Klinis
Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.
Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang disertai
epitaksis. 8
Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung. 8
2.3.3 Rhinitis Difteri
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Manifestasi klinis
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret
hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah,
terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis difteri kronik
gejalanya lebih ringan.
Terapi
Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal, dan
intramuskular.
2.3.4 Rhinitis Atrofi
Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi
kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan
hormonal, dan penyakit kolagen. 26
Manifestasi Klinis
Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung.
Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk
krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna
hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat. 26

11
Terapi
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika
berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada
perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk mengistirahatkan
mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali. 26
2.3.5 Rhinitis Sifilis
Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum. 26
Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut lainnya.
Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada rhinitis
sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi
septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang berbau. 26
Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. 26
2.3.6 Rhinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. 26
Manifestasi Klinis
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang mukopurulen
dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau ulkus, jika
mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi26
Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung. 26
2.3.7 Rhinitis Lepra
Etiologi
Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae. 26
Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan
produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya
destruksi tulang dan kartilago hidung. 26
Terapi
Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup. 26
12
2.3.8 Rhinitis Jamur
Etiologi
Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida yang
menyebabkan kandidiasis. 26
Manifestasi Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri kepala,
demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan sekret hidung
yang pekat, gelap, dan berdarah. 26
Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci
hidung. 26
2.3.9 Rinitis alergi

Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). 8

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 8

Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas


hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam
belajar maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan
komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.9
Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali
lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu

13
alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun
yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.8

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.8
Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi
problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh
penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien
datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini
dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke
dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.
Patofisilogi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari
"non-self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh
melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang
bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem
tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan
empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan
tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan
terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi
modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk
memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.10

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 8

14
Gambar 5. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 8

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan


bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 8

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,


sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

15
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 8

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 8

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 8

Gambaran histopatologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. 8

16
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal. 8

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 8

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan


Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan serta jamur.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan


Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan
kacang-kacangan.

2. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan


Misalnya: penisilin dan sengatan lebah.

3. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan


mukosa
Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member
gejala asma bronchial dan rhinitis alergi. 8

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari: 8

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.

2. Respon sekunder

17
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.
Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.

Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak
ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-
menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang
dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan
di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala
alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan
golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya
lebih sering ditemukan.

18
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 8

1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 8

1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.

2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 8
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.8 Gejala klinis

19
lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih
jarang dikeluhkan.11

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.8
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic
salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut sebagai allergic crease.8
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue). 8

Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
SorbentAssay Test). 8

20
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.8

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 8

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (³Challenge Test´).8

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan. 8

Diagnosis banding
Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:8,12

1. Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang
disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit,
kadar antibodi IgE spesifik serum).

Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari


penyebabnya, antara lain:

21
- rhinitis vasomotor
- rhinitis gustator
- rhinitis medikamentosa
- rhinitis hormonal

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)


Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-
silia) ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar
(PKS). Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan
sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di masa kanak-
kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.13

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 8
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target,
dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral. 8,11
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif). 8,11

22
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase
lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan
menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan
terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap
jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan
dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua
adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
8

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa


dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa. 8

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

23
Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat
sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila
digunakan dalam jangka waktu lama.11
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg
untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk
dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini
yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 11
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor. 8
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi

24
jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja
menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis. 8
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 8
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
membuktikan bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek
yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup
pasien. 14
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat8
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 8

25
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 8

1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.


3. Sinusitis paranasal.
2.3.10 Rinitis vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. 8 Rinitis
vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya
edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar
oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-
alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor
rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E
mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. 8,15-17
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi
sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. 8
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan
suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor
tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 8
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan
THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis
rinitis lainnya. 15
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat
dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. 16,17

26
Epidemiologi
Sebanyak 30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus
rinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.
Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade
ke 3 – 4. Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 – 21%.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 )
dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non – alergi dan hanya 5%
dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari
kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3. 17
Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,
menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor.
17
Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1
tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33
kasus ( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor
sebanyak 240 kasus ( 10,07 % ). 18
Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. 8,17
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 8,17
• obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
• faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
• faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
• faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf
simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor
terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja

27
parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang
hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan
dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang
akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti. 17
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari
selsel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi
juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi
hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai
oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. 19
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ). 19 Dengan
demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu : 16,19
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.
Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-
pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak
dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi.
Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosahidung yang non – spesifik.
Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu. 18
1. Latar belakang 15
▪ adanya paparan terhadap suatu iritan -> memicu ketidakseimbangan
sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar
pada mukosa hidung -> vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa
hidung -> hidung tersumbat dan rinore.
28
▪ disebut juga “ rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “
▪ merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan – perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan
respon terhadap protein spesifik pada zat allergennya.
▪ tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE (
IgE-mediated hypersensitivity )
2. Pemicu ( triggers ) : 20
▪ alkohol
▪ perubahan temperatur / kelembapan
▪ makanan yang panas dan pedas
▪ bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
▪ asap rokok atau polusi udara lainnya
▪ faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
▪ penyakit – penyakit endokrin
▪ obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
Gejala klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan
bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat
bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu
perubahan posisi. 8 Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan
dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 8
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post
nasal drip ). 20 Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam
2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore (
runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. 8
Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai
riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. 8,20
29
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan
zat
iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa
hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik),
tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau
berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit.
Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan
jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar
Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret
hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. 8, 20
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat. 8
Tabel 3. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor
Riwayat penyakit - Tidak berhubungan
dengan musim
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu
anak-anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin
(-)
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda – tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada
mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior
sering dijumpai
Radiologi X – Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan

30
sinus
- Umumnya dijumpai
penebalan mukosa
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Test alergi Ig E total - Normal
Prick Test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

Diagnosis banding20
1. Rinitis alergi

2. Rinitis infeksi

Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4

Riwayat terpapar allergen


Riwayat terpapar allergen
(-)
(+)
Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler
Etiologi
rangsangan spesifik terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor
psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

31
Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

Tidak membantu Membantu


Neurektomi n. vidianus
Tabel 4. Perbandingan rinitis alergi dan rinitis vasomotor

Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 8,20
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
i. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
ii. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
iii. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore
dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang
disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling
sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
iv. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
▪ Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara
elektrik (electrical cautery).
▪ Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy
of the inferior turbinate )

32
▪ Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
▪ Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection)
▪ Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
▪ Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara
diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan
pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit
dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi

Simptom Jenis terapi Prosedur

- Kauterisasi konka ( chemical atau


Obstruksi hidung Reduksi konka
electrical )
- Diatermi sub mukosa

- Bedah beku ( cryosurgery )

- Turbinektomi parsial atau total


Reseksi konka
- Turbinektomi dengan laser ( laser

turbinectomy )

- Eksisi nervus vidianus


Rinore Vidian
neurectomy - Diatermi nervus vidianus

Tabel 5. Terapi operatif terhadap rinitis vasomotor


Komplikasi20
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik
dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. 20

33
2.3.11 Rinitis medikamentosa

Definisi

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan


respons
normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor
topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan
berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rinitis
mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. [21,22]

Etiologi

Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis


yang bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan
psikosedatif . Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi
yang digunakan secara berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat
vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang normal,
dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu. Jika
tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:[3]

1. Silia rusak 5. Stroma tampak edema


2. Sel goblet berubah ukurannya 6. Hipersekresi kelenjar mukus
3. Membran basal menebal 7. Lapisan submukosa menebal
4. Pembuluh darah melebar 8. Lapisan periostium menebal

Antihipertensi Phosphodiesterase type 5 Hormon


inhibitors

34
➢ Amiloride ➢ Sildenafil ➢ Estrogen
➢ Angiotensin- ➢ Tadalafil Eksogenous
converting enzyme ➢ Vardenafil ➢ Pil kontrasepsi
inhibitors
➢ ß-blockers
➢ Chlorothiazide
➢ Clonidine
➢ Hydralazine
➢ Hydrochlorothiazide
➢ Prazosin
➢ Reserpine

Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

➢ Aspirin ➢ Chlordiazepoxide- ➢ Kokain


➢ NSAIDs amitriptyline ➢ Gabapentin
➢ Chlorpromazine
➢ Risperidone
➢ Thioridazine
Tabel 6 : Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis

35
Dekongestan Imidazolines

– Simpatomimetik :
➢ Amfetamin ➢ Klonidin
➢ Benzedrine ➢ Naphazolin
➢ Kafein ➢ Oxymetazolin
➢ Ephedrin ➢ Xylometazolin
➢ Mescalin
➢ Phenylephrin
➢ Phenylpropanolamin
➢ Pseudoephedrin

Tabel 7 : Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa

Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan
sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari golongan
simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi
kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang
berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau
penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering
dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH
hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan
obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan
menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan

36
dan rangsangan sel–sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret
yang berlebihan. 3

Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi sebagai akibat
berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur umpan balik negatif.
Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang lama, saraf simpatetik tidak bisa
berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang
ditekan. 3

Manifestasi klinis

Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamentosa tidak
jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung kelihatan kemerahan
( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret yang minimal atau udem. Selain itu
juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta
disebabkan penggunaan dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama. 3,7

Diagnosis

Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah :- 3,7

i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.

Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya yang
menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan beberapa
pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang berpotensi untuk
diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang mempunyai riwayat
rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi
untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.
3,7,21,22

37
Diagnosis banding

Diagnosis banding untuk Rinitis Medikamentosa adalah :- 21


i. Rinitis Alergi
ii. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis
iii. Polip Nasi
iv. Rinitis Non-Alergi
v. Rhinosinusitis

Penatalaksanaan

Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat penggunaan dekongentan topikal,


maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya. Pasien juga harus
diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya
bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien. 3,8,22

Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound swelling dan


kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini yaitu dengan
menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang menggunakan larutan
saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan obat tetes triamcinolon juga
membantu dalam usaha menyembuhkan pasien. 3,8,22

Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama


penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis
medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid ( triamsinolone asetat 20 mg
pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung. Glukokortikosteroid
intranasal ( semprotan deksametason sodium fosfat / budesonide ). 3,8,22

Komplikasi

Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat tetes
hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghentikan
penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang memerlukan
intervensi yang bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan
destruksi turbinasi melalui penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang
dapat terjadi adalah seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus. 8

38
Prognosis

Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan penggunaan


obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sempurna. Bagi yang tetap
menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound ini akan tetap berlangsung selagi
pasien tidak menghentikan pengobatan tersebut. 8

39
BAB III

KESIMPULAN

Rinitis adalah masalah yang signifikan dalam kesehatan individu, dan timbul dengan
gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, gatal hidung. Rinitis berkaitan dengan berbagai
penyakit antara lain rhinosinusitis, asma dan otitis media. Rinitis akut merupakan penyebab
morbiditas yang signifikan, walaupun sering dianggap sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala
rinitis akut secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien karena gejala-gejala
sistemik yang turut menyertainya, seperti fatigue, sakit kepala dan gangguan kognitif. Rinitis
akut merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri secara spontan setelah kurang lebih 12
minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan adalah bersifat simptomatik seperti
analgesic, antipiretik, nasal dekongenstan dan antihistamin. Terapi nonfarmakologi adalah
tirah baring total untuk mendapatkan istirehat yang mencukupi. Terapi khusus tidak
diperlukan, kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik
perlu diberikan.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakuakan meliputi istirehat yang cukup,konsumsi


makanan dan minuman yang sehat, olahraga teratur utuk membina system imunisasi yang
optimal. Selain itu dapat juga mengikuti program imunisasi lengkap yang dijalankan oleh
pemerintah.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis kronis
berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan
oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis
spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur). Sangat penting untuk memeriksa gejala
pada setiap pasien untuk menentukan patofisiologi yang terjadi dalam tiap rinitis dan untuk
merencanakan pengobatan sehingga bisa memudahkan pemulihan dengan efek samping yang
minimal.

40
TABEL KLASIFIKASI RHINITIS KRONIS

Etiologi Tanda dan Gejala Tatalaksana

Rhinitis polusi seperti asap pabrik, Gejala utama adalah Pengobatan yang tepat adalah
Occupasi asap rokok, serta asap sumbatan hidung, gangguan mengobati faktor penyebab
onal mobil truk dan bus. penciuman, sekret biasanya timbulnya rhinitis hipertrofi.
banyak (mukopurulen), Kauterisasi konka dengan zat
gangguan tidur, dan biasanya kimia (nitras argenti atau
sering ada keluhan nyeri asam trikloroasetat) atau
kepala. dengan kauter listrik dan bila
tidak menolong perlu
dilakukan konkotomi.

Rhinitis Penyakit ini biasanya mukosa hidung kering, krusta Pengobatan tergantung
Sika ditemukan pada orang tua biasanya sedikit atau tidak penyebabnya. Dapat
dan pada orang yang ada. Pasien mengeluh rasa diberikan obat cuci hidung.
bekerja di lingkungan iritasi atau rasa kering di
yang berdebu, panas, dan hidung dan kadang-kadang
kering. Juga pada pasien disertai epitaksis.
dengan anemia, peminum
alkohol, dan gizi buruk.

Rhinitis Rhino virus, coxsackie Terbagi menjadi 4 stadium : Simptomati :


Medika virus, Reo virus, ECHO
mentosa virus, influenza virus, 1. Stadium 1. Analgetik antipiretik
prodromal/iskemia : 2. Antihistamin
parainfluenza virus, stadium ini berlangsung 3. Ekspektoran
respiratory syncytial virus, hanya beberapa jam. 4. Dekongestan
adeno virus. Gejala berupa panas, 5. Vitamin
kering pada hidung dan
nasofaring.
2. Stadium iritasi/akut :
berlangsung selama
beberapa jam sampai
beberapa hari. Gejala
lokal berupa perasaan
kering pada nasofaring,
bersin-bersin, rinore
encer, dan obstruksi nasi.
Gejala sistemik meliputi
demam subfebris,
malaise, anoreksia, sakit
kepala.
3. Stadium stasis
vena/infeksi sekunder :
berlangsung pada hari
kedua atau ketiga. Gejala

41
berupa sekret berkurang
tetapi kental, obstruksi
nasi lebih menonjol,
gejala toksemia mencapai
puncaknya.
4. Stadium penyembuhan :
gejala subjektif dan
objektif mulai berangsur
berkurang. Penyembuhan
terjadi setelah 5-10 hari.
Rhinitis 1. Obat yang Obstruksi nasi bergantian kiri 1. Medikamentosa :
Vasomot menghambat saraf dan kanan (alternating), 2. Dekongestan :
or simpatis (simpatolitik) Rinore (mukus atau serous), pseudoefedrin,
: ergotamin, metil fenilpropanalamin
post nasal drip,bersin
dopa. 3. Antihistamin
2. Iritasi asap rokok, (jarang), dan tidak gatal pada 4. Kortikostreoid nasal spray
udara yang dingin mata, gejala memburuk pada (betametason
(ekstrim), kelembapan pagi hari karena perubahan diproprionate)
yang tinggi, bau yang suhu yang ekstrim. 2. Operatif → bedah beku,
merangsang (iritasi). elektrokauter, konkotomi.
3. Faktor endokrin :
keadaan hamil, 3. Vidian neurektomi →
hipotiroid, pubertas. pemotongan pada N.
Vidianus

Rhinitis Alergen pada pasien atopi Bersin-bersin, rinore banyak 1. Menghindari kontak
Alergi yang sudah tersensitasi dan encer, hidung tersumbat, dengan alergen penyebab
sebelumnya denganhidung dan mata gatal, dan eliminasi.
2. Medikamentosa :
alergen yang sama : debu lakrimasi.
antihistamin, dekongestan
rumah, tungau, jamur, bulu (agonis alfa adrenergik,
Gejala spesific meliputi :
hewan, susu, telur, kacang, kortikosteroid,
udang, sengatan lebah, • Alergic salute → antikolinergik untuk
kosmetik, perhiasan. menggosok hidung mengatasi rinore.
dengan punggung tangan. 3. Operatif : konkotomi jika
• Allergic crease → konka inferior hipertrofi
timbulnya garis melintang berat dan tidak berhasil
di dorsum nasi sepertiga dikecilkan dengan cara
bagian bawah akibat kauterisasi AgNO3 25%
penggosokkan hidung atau triklorasetat
yang berlangsung lama.
• Allergic shiner →
terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah
mata akibat stasis vena
yang terjadi akibat
obstruksi hidung.
Rhinitis infeksi kuman Klebsiela, Nafas berbau, ingus kental Pengobatan dapat diberikan
defisiensi Fe, defisiensi berwarna hijau, ada krusta secara konservatif dengan

42
Atrofi vitamin A, sinusitis kronis, hijau, gangguan penghidu, memberikan antibiotika
kelainan hormonal, dan Sakit kepala, dan hidung berspektrum luas, obat cuci
penyakit kolagen. tersumbat. hidung, vitamin A, dan
preparat Fe. Jika tidak ada
perbaikan, maka dilakukan
operasi penutupan lubang
hidung untuk
mengistirahatkan mukosa
hidung sehingga mukosa
menjadi normal kembali.

Rhinitis Corynebacterium Demam, toksemia, ADS (anti difteri serum),


Difteri diphteriae limfadenitis, paralisis, sekret penisilin lokal, dan
hidung bercampur darah, intramuskular.
ditemukan pseudomembran
putih yang mudah berdarah,
terdapat krusta coklat di nares
dan kavum nasi.

Rhinitis Treponema pallidum Sekret yang dihasilkan penisilin dan obat cuci
Sifilis merupakan sekret hidung.
mukopurulen yang berbau,
perforasi septum.

Rhinitis Mycobacterium Hidung tersumbat karena antituberkulosis dan obat cuci


Tuberkul tuberculosis dihasilkannya sekret yang hidung.
osa mukopurulen dan krusta,
Tuberkulosis pada hidung
dapat berbentuk noduler atau
ulkus, jika mengenai tulang
rawan septum dapat
mengakibatkan perforasi.

Rhinitis Mycobacterium leprae Hidung tersumbat, gangguan Dapson, rifampisin, dan


Lepra bau, dan produksi sekret yang clofazimin selama beberapa
sangat infeksius. Deformitas tahun atau dapat pula seumur
dapat terjadi karena adanya hidup.
destruksi tulang dan kartilago
hidung.

Rhinitis Aspergillus yang Aspergilosis: sekret Obat anti jamur, yaitu


Jamur menyebabkan aspergilosis, mukopurulen yang berwarna amfoterisin B dan obat cuci
Rhizopus oryzae yang hijau kecoklatan(khas). hidung.
menyebabkan Mukomikosis: keluhan nyeri
mukormikosis, dan kepala, demam,

43
Candida yang oftalmoplegia interna dan
menyebabkan kandidiasis. eksterna, sinusitis paranasalis,
dan sekret hidung yang pekat,
gelap, dan berdarah.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University


School of Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-
Allergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal 21 April 2013]
2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat.
Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8

3. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com
4. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New Delhi :
Elsevier; 2011. p. 180-184
5. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11th Edition.
New York : Wiley; 2006. p. 847-850
6. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p.
32-36
7. Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd
Esition. London : Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32
8. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis.
2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
10. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngology Head and Neck
Surgery: Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
11. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
12. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 10 Januari
2011.

13. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di:


http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwm
U. Diunduh pada 10 Januari 2011.

45
14. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the
Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
Diunduh pada 8 Januari 2011.

15. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87
16. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A. Vasomotor
rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999; 108:208-10.
17. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-
Brown’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. p. 4/9/1 –
17.
18. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII,
Semarang, 28 - 30 Oktober, 1999.
19. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis :
http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/Vasorhi.htm
20. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket
Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3.

21. Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical
Immunology Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-155.
22. Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical
Immunology Journal, Volume 118, 2006 : 1017-1018.
23. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical
Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
24. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
25. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins. Philadelphia.
273-9. 2000.
26. Maran. Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

46

Anda mungkin juga menyukai