Anda di halaman 1dari 8

SYARAT-SYARAT SAHNYA SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:

َّ‫موقُوتًا ِكتاابًا ال ُمؤ ِمنِ ا‬


َّ‫ين اعلاى اكاناتَّ الص اَلَّة ا ِإن‬
“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa’: 103].
Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun
setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.
B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:

‫ِين أايُّ اها‬


َّ‫ُو ُجو اه ُكمَّ فااغ ِسلُوا الص اَلةَِّ ِإلاى قُمتُمَّ ِإ اذا آ امنُوا الذ ا‬
َّ‫ق ِإلاى اوأاي ِديا ُكم‬ ‫ِإلاى اوأار ُجلا ُكمَّ ِب ُر ُءو ِس ُكمَّ اوام ا‬
َِّ ِ‫س ُحوا ال ام اراف‬
َِّ ‫فااطه ُروا ُجنُبًا ُكنتُمَّ او ِإن ۚ ال اكعباي‬
‫ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah…” [Al-Maa-idah: 6].
Dan hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫لا‬ َّ ً ‫صَلاَّة‬
َُّ ‫للاُ ياقبا‬
َّ ‫ل‬ ‫ا‬
‫ط ُهورَّ ِبغاي َِّر ا‬
“Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci.” [1]
C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

‫فا ا‬
َّ‫ط ِ ِّهرَّ اوثِياابا اك‬
“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ال امس ِج اَّد أ ا اح ُد ُك َُّم اجا اَّء ِإ اذا‬، َّ‫ناعلاي َِّه فاليُقا ِلِّب‬، َّ‫ظر‬ ُ ‫فِي ِه اما او ِليان‬
َّ‫ اخباثًا ارأاى فاإِن‬، ُ‫سح َّه‬ ‫ض فاليام ا‬َّ ِ ‫ل ثُمَّ ِباألار‬ َِِّّ ‫ص‬
‫فِي ِه اما ِليُ ا‬.
“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka
hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis,
maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian
hendaklah ia shalat dengannya.”[2]
Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang
madzi dan berkata:

َّ‫ اذ اك ار ا‬.
َّ‫ك اواغ ِسلَّ ت ا اوضأ‬
“Wudhu’ dan basuhlah kemaluanmu.” [3]
Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

َِّ ‫ص ِلِّيَّ الد اَّم اعن‬


َّ‫ك اِغ ِس ِلي‬ ‫ او ا‬.
“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.” [4]
Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing
di dalam masjid:
‫َلً باو ِل َِّه اعلى أ ا ِريقُوا‬
َّ ‫سج‬
‫ اماءَّ ِمنَّ ا‬.
“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]
Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis,
maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya
ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -
seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat-
maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika
tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya
dan tidak wajib mengulang.
Berdasarkan hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut
melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan
badan dan berkata, ‘Kenapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka
menjawab, ‘Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun
melepasnya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan
mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah
seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik
sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan
ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.’”[6]
D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:

‫ل ِعن اَّد ِزينات ا ُكمَّ ُخذُوا آ اد اَّم با ِني ياا‬


َِِّّ ‫امس ِجدَّ ُك‬
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid…” [Al-A’raaf: 31].
Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah
dengan telanjang.
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫لا‬ َُّ ‫صَلاَّة ا للا ياقبا‬


َّ ‫ل‬ ‫ ِب ِح امارَّ ِإلَّ احائِضَّ ا‬.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali
dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]
Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr
bin Syu’aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara
marfu’:

‫ن اما‬
َّ‫سرَِّة باي ا‬
ُّ ‫الركبا َِّة ال‬
ُّ ‫ اعو ارةَّ او‬.
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]
Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lewat ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku
terlihat. Beliau bersabda:

ِّ ِ ‫ك غ‬
َّ‫اط‬ َّ‫ اعو ارةَّ الفا ِخ اَّذ فاإِنَّ فا ِخ اذ ا‬.
“Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat.” [9]
Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali
wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ ‫ اعو ارةَّ ال امرأ اَّة‬.


“Wanita adalah aurat.” [10]
Juga sabda beliau:

‫ل لَّا ا‬
َُّ ‫صَلاَّة ا للا ياقبا‬
‫بِ ِح امارَّ ِإلَّ احائِضَّ ا‬.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh)
kecuali dengan mengenakan kain penutup.” [11]
E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

َّ‫ك فا او ِِّل‬
َّ‫ام ال امس ِج َِّد شاط اَّر اوج اه ا‬ َُّ ‫فا اولُّوا ُكنتُمَّ اما او احي‬
َِّ ‫ث ۚ ال اح ار‬
َّ‫شاط ارَّهُ ُو ُجو اه ُكم‬
“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja
kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-
Baqarah: 150].
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang
buruk dalam shalatnya:

َّ‫ضو اَّء فاأاس ِب َِّع الصَلاَِّة إِلاى قُم ا‬


‫ت ِإ اذا‬ ُ ‫ل ثُمَّ ال ُو‬
َِّ ِ‫ال ِقبلا َّةا استاقب‬.
“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna.
Kemudian menghadaplah ke Kiblat…” [12]
Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan
takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu
dalam perjalanan.
Allah berfirman:

ًَّ ‫ُركباانًا أاوَّ فا ِر اج‬


َّ‫ال ِخفتُمَّ فاإِن‬
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau
tidak menghadap ke sana.”
Nafi’ berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
[13]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke
arah mana saja dan shalat Witir di atasnya. Namun, beliau tidak shalat
wajib di atasnya.” [14]
Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke
arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah,
maka dia tidak wajib mengulang.
Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan
di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu
tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing.
Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:

‫َللاَِّ اوج َّهُ فاثامَّ ت ُ اولُّوا فاأاينا اما‬


“… maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” [Al-
Baqarah: 115].”[15]
F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat
yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan)
shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan
mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk
shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan
apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama
sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini,
menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak
juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…”
Ini semua adalah bid’ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan
sanad shahih atau dha’if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh
pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap
baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan
Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428
no. 331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no.
125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375)
dan Sunan Ibni Majah (I/215 no. 655).
[8]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-
Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.
[9]. Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi
(IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995),
lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus
Sunan (XVII/6).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-
Tirmidzi (II/ 319 no. 1183).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375)
dan Sunan Ibni Majah (I/ 215 no. 655).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/36 no.
6251)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397).
[13]. Shahih: [Muwaththa’ al-Imam Malik (126/442)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (VIII/199 no. 4535).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/487 no. 700 (69))], Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (I/575 no. 1098), secara mu’allaq.
[15]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi
(I/216 no. 343), Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh
serupa, begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).
[16]. Talkhiish Shifat ash-Shalaah, karya Syaikh al-Albani, hal. 12.
[17]. Zaadul Ma’aad (I/51).

Sumber: https://almanhaj.or.id/936-syarat-syarat-sahnya-shalat.html

Anda mungkin juga menyukai