Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

“CHOLANGITIS”
DI RUANG HCU RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Profesi Ners


Departemen Surgical

Oleh:
Amar Husni Yunji
NIM. 170070301111047

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN CHOLANGITIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Surgical


di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
Amar Husni Yunji
NIM. 170070301111047

Telah diperiksa kelengkapannya pada :


Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Perseptor Akademik, Perseptor Klinik,

( ) ( )
NIP. NIP.
A. ANATOMI FISIOLOGI

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir,


yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan
lobus kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran
kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan
kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh
jaringan ikat longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang
menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi
menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut:
1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati
di antara dua periode makan.
2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan
kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga
membantu proses pencernaan lemak.

B. Definisi
Kolangitis adalah infeksi bakteri dari saluran empedu yang terseumbat
baik secara parsiil atau total, sumbatan biasanya disebabkan dari dalam lumen
saluran empedu misalnya batu koledokus atau dari luar lumen misalnya
karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding
saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau struktur saluran empedu
(Nurman, 1999)
C. Klasifikasi
Klasifikasi kolangitis menurut Tokyo Guidelines (Wada et al, 2007):
Kriteria Mild (Grade I) Moderate (Grade Severe (Grade
II) III)
Disfungsi Organ Tidak Tidak Ya
Respon
Ya Tidak Tidak
terhadap terapi
Mild (Grade I) didefinisikan sebagai kolangitis yang dapat berespon terhadap
terapi
Moderate (Grade II) didefinisikan sebagai kolangitis yang tidak dapat
berespon dengan pengobatan dan tidak menimbulkan disfungsi organ
Severe (Grade III) didefinisikan kolangitis yang tidak dapat berespon dengan
pengobatan dan menimbulkan disfungsi organ seperti:
Kardiovaskuler: hipotensi
Saraf: penurunan kesadaran
Pernapasan: PaO2 < 300
Renal: Serum kreatinin > 2.0 mg/dl
Liver: PT-INR > 1.5
Hematology: Platelet count < 1000.000/ul

D. Etiologi
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah koledokolitiasis, obstruksi
struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bakteri memiliki
akses ke saluran bilier melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta.
Infeksi akan naik menuju duktus hepatikus menimbulkan infeksi. Peningkatan
tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier vena hepatica dan
saluran limfatik perihepatik yang akan menimbulkan bakteremia (Brunicardi et al,
2007).
Penyebab kedua kolangitisadalahobstruksi maligna dari saluran empedu
oleh karsinoma pankreas, metastasis dari tumor peri pankreas, metastasis porta
hepatis. Selainitupemakaianjangkapanjang stent biliarisseringkalidisertaiobstruksi
stent olehcairanbiliaris yang kentaldan debris biliaris yang
menyebabkankolangitis (Cameron, 1997).
E. Patofisiologi
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis
cairan empedu dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi
bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari flora
duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran
limfogen dari kandung empedu yang meradang akut (Nurman,
1999).Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada kolangitis akut yang
sering dijumpai adalah bakteri gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, Streptococcus
faecalis dan bakteri anaerob. Bakteri seperti Proteus,Pseudomonas dan
Enterobacter enterococci juga tidak jarang ditemukan (Malet, 1996).Kolangitis
terjadi akibat kombinasi dari adanya hambatan dari aliran cairan empedu yang
berlangsung lama dan terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, bakteri
akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan dapat
mengakibatkan sepsis (Nurman, 1999). Selain itu, beberapa dari efek serius
kolangitis dapatdisebabkan oleh endotoksemia yangdihasilkan oleh produk
pemecahan bakterigram negatif. Endotoksin diserap di ususlebih mudah bila
terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu yangbiasanya
mengeluarkan endotoksin sehinggamencegah penyerapannya.
Selanjutnyakegagalan garam empedu mencapaiintestin dapat menyebabkan
perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupferyang jelek dapat
menghambat kemampuanhati untuk mengekstraksi endotoksin daridarah
portal.Bilamana kolangitis tidak diobati, dapattimbul bakteremia sistemik yang
dapat menimbulkan abses hati (Malet, 1996).

F. Manifestasi Klinis
Adanya manifestasi klinis pada 54% kasus berupa Trias Charcot yaitu
demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik,
menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat
konstan (Nurman, 1999).
Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala lain seperti mual dan muntah
yang dapat mengakibatkan penurunan nafsu makan sehingga asupan nutrisi
berkurang yang dapat mengakibatkan kelelahan serta menurunnya berat badan
pada penderita kolangitis. Pasien dengan kolangitis supuratif selain menunjukkan
manifestasi klinis berupa trias charcot tapi juga menunjukkan adanya penurunan
kesadaran dan hipotensi (Cameron, 1997).

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa
Pada saat anamnesa biasanya klien mengeluh nyeri abdomen kanan atas,
perut terasa mual dan kadang pasien juga muntah. Selain itu, pada saat
anamnesa ditemukan riwayat penyakit terdahulu seperti batu kandung
empedu dan saluran empedu, pasca cholecystectomy, riwayat cholangitis
sebelumnya (Brunicardi et al, 2007)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan triad charcot yaitu berupa demam, ikterus,
dan nyeri abdomen kanan atas. Gejala lain yaitu kekakuan, pruritus, tija yang
acholis atau hypocholis, dan malaise, hepatomegali ringan, hipotensi, sepsis.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan
bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk
alkali fosfatase (GGT) dan transaminase serum (SGOT/SGPT) juga sedikit
meningkat yang menggambarkan proses kolestatik (Cameron, 1997). Pada
beberapa pasien bahkan dapat meningkat secara menyolok menyerupai
hepatitis virus akut.
4. Foto Polos Abdomen
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung empedu
atau di duktus koledokus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk
skrening, melihat keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen
(Soetikno, 2007).
5. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris
intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada
ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah
duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat
duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti
pelebaran bagian proximal.Untuk membedakan obstruksi letak tinggi atau
letak rendah dengan mudah dapatdibedakan karena pada obstruksi letak
tinggi atau intrahepatal tidak tampak pelebarandari duktus biliaris komunis.
Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstrahepatal maka ini
dapat dikategorikan obstruksi letak rendah (distal) (Soetikno, 2007).

6. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) adalah


pemeriksaan duktus billiaris dan duktus pankreatikus dengan memakai
pesawat MRI, dengan memakai heavily T2W acquisition untuk
memaksimalkan signal dari cairan yang menetap pada duktus biliaris dan
duktus pankreatikus (Soetikno, 2007).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berdasarkan derajat kolangitis (Erina et al, 2011):
a. Kolangitis grade I
Pemberian terapi medikamentosa direspon dengan baik oleh pasien. Setelah
itu, dapat dipertimbangkan untuk melakukan drainase bilier dengan
menggunakan endoskopi, perkuatneus, ataupun drainase terbuka.
b. Kolangitis grade II
Pada pasien ini tidak berespon baik dengan medikamentosa. Selain itu,
muncul tanda-tanda gagal organ. Pada pasien ini, dilakukan drainase bilier
awal dengan menggunakan endoskopi atau perkutaneus drainase. Terapi
definitif dengan menghilangkan sumber sumbatan dilakukan setelah kondisi
klien stabil.
c. Kolangitis grade III
Pada pasien ini memerlukan terapi suportif seperti ventilator, obat-obatan
inotropik,, terapi medikamentosa. Drainase bilier dilakukan secepatnya segera
setelah kondisi pasien stabil.

Penalaksnaan Konservatif
Penatalaksanaan awal kolangitis adalah terapi konservatif dimana
keseimbangan cairan dan elektrolit harus harus dikoreksi dan penggunaan
antibiotik. Antibiotik yang dipakai pada kasus ringan sampai berat adalah
cephalosporin (misalnya cefazolin, cefixitin). Pada kasus berat digunakan
aminoglikosida ditambah dengan clindamycin atau metronidazole. Saluran
empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera munkin pada
pasien dengan kondisi stabil.
Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70%) dengan kolangitis akut akan berespon
terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes
fungsi hati kembali ke normal dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak
menunjukkan perbaikan dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris
darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris
dilakukan segera secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun
perkutan. Yaitu: (Sabiston, 1968 dan Cameron, 1997).
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah
semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran
empedu dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang
dipasang pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu
berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat
mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih
dahulu (De Jong, 1997 dan Burkitt, 1996).
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil
pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan
pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter
perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter berhasil setelah
beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai
dengan penyulit (De Jong, 1997).
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalahpenghancuran batu
saluran empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang
dilengkapi dengan pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan
sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk
memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi
penghancuran yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah
gelombang kejut yang maksimum (Cameron, 1997; De Jong, 1997; Josh,
2006).
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara
sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat,
atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena
keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga
dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu
intrahepatik (De Jong, 1997; Brunicardi, 2000).
Penatalaksanaan Definitif
a. Kolesistektomi Terbuka
Merupakan operasi yang membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan
irisan pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang 12-20cm
Teknik operasi kolesistektomi terbuka
Dilakukan dengan insisi subtotal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi
yang serbs guna dalam diseksi lambung empedu dan saluran empedu.
b. Kolangiografi operatif
Dilakukan secara rutin untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang
sering mengalami anomalidan untuk menyingkirkan batu empedu yang tidak
dicurigai. Kolangiografi dilakukan mengan menggunakan kanlua kangiografi
seperti Berci Lehman dn Colangiocath. Insisi dibuat di saluran sistikus Insisi
harus cukup besar untuk memasukkan kanula Kanula dipertahankan
ditempatnya dengan hemoclip. Kemudian material kontras dimasukkan yaitu
hypaque 25%. Sistem operasi kolangiografi adalah fluorokolangiopatidengan
penguatan citra serta monitor televisi. Ini memungkinkan pengisian saluran
empedu secara lambat dan pemaparan multiple saluran sistem saat diisi.
c. Laparoskopi Kolesistektomi
Merupakan cara invasif untuk mengangkat batu empedu dengan
menggunakan teknik laparoskopi. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen,
gangguan pendarahan kehamilan.
d. Eksplorasi koledokus: eksplorasi laparoskopi duktus empedu
Umumnya sebelum tindakan operatif batu duktus empedu dideteksi dengan
kolangiografi intraoperatif mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi
setelah sfingter oddi direlaksasikan dengan glukagoN. Jika irigasi tidak
berhasil, dapat dilakuakan pemasangan kateter balon melalui duktus sisikus
dan turun ke duktus empedu.

I. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
1. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada
orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis.
Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang
menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple (De Jong, 1997).
2. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi
utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam
merupakan keluhan utama sekitar 10-15%
3. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan
peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
4. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi
atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan
anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara
melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
5. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat
mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi.
Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol.
6. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada
pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk
antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens. Refluks pada
bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif sehingga terjadi
stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak
adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier
adalah abses subp\frenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami
demam beberapa hari setelah operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan
pemakaian kateter pada pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau
drainase endoskopik adalah perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
dan sepsis.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA UMUM

A. Pengkajian
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan
penyakit lain yang menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia misal setelah
prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis.
Usia, resiko terkena cholangitis meningkat dengan bertambahnya usia.
Individu dengan usia >50 tahun
Jenis kelamin, wanita memiliki resiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pria.
Hal ini disebabkan oleh hormone estrogen yang berpengaruh terhadap
peningkatan eksresi kolestrol oleh kantung empedu
b. Keluhan utama pada penderita kolangitis, klien mengeluh demam, ikterus
dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke
belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan.
c. Riwayat penyakit
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu, contohnya
riwayat dari keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis
 Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
 Pasca cholecystectomy
 Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram
 Riwayat cholangitis sebelumnya
 Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids
memliki ciri edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier
 Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak
memiliki gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri
abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain yang dapat terjadi meliputi:
jaundice, demam, menggigil dan kekakuan.
 Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti
diabetes mellitus, hipertensi, anemia.
d. Pemeriksaan fisik
Sistem pernafasan
Inspeksi : pergerakan dinging dada simetris, pernafasan dangkal, klien
tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
Sistem kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
Sistem neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh
mual muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas,
nyeri tekan epigastrium
Sistem eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
Sistem integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
Sistem musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis
cairan empedu
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung empedu
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan
5. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan
kehilangan cairan aktif
6. Keletihan berhubungan dengan kurang energi
7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi
(ikterus)

C. Intervensi Keperawatan
1. Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis
cairan empedu
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang
Kriteria hasil:
 Tanda dan gejala infeksi berkurang/tidak ada
 Memperlihatkan personal hygiene yang adekuat
Intervensi:
 Pantau tanda dan gejala infeksi
 Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
 Pantau hasil laboratorium
 Amati penampilan praktek hygiene personal untuk perlindungan
terhadap infeksi
 Jelaskan pada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi
meningkatkan resiko terhadap infeksi
 Instruksikan untuk menjaga personal hygiene
 Ajarkan pasien dan keluarga tehnik mencuci tangan yang benar
 Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk
dan meninggalkan ruang pasien
 Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi factor dilingkungan
mereka, gaya hidup atau praktik kesehatan yang meningkatkan risiko
infeksi
 Ajarkan keluarga bagaimana membuang balutan luka yang kotor dan
sampah biologis lainnya

2. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung empedu


Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang
Kriteria hasil:
 Keadaan umum normal pasien tampak nyaman
 Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala nyeri
1-3
 Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali dating
 TTV dalam batas normal
Intervensi:
 BHSP
 Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri
 Anjurkan pasien dalam posisi nyaman
 Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam
 Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
 Observasi tanda tanda vital
 Kaji respon pasien

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan mual muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
keseimbangan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil:
 Asupan nutrisi kembali seimbang
 Pasien menunjukkan energy yang adekuat
 TTV dalam batas normal
 Mual muntah berkurang
Intervensi:
 BHSP
 Observasi tanda tanda vital
 Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering
 Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet
 Monitoring asupan gizi pasien
 Kaji respon pasien

4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam suhu
tubuh kembali normal
Kriteria hasil:
 Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman
 Tanda vital dalam bats normal
 Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh
Intervensi:
 BHSP
 Observasi tanda vital
 Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih
 Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan
ketiak
 Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
 Kaji respon pasien

5. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan


kehilangan cairan aktif
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, risiko
kekurangan volume cairan berkurang
Kriteria hasil:
 Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, HT normal
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
 Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Intervensi:
 Timbang popok/pembalut jika diperlukan
 Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
 Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
 Monitor vital sign
 Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
 Lakukan terapi IV
 Monitor status nutrisi
 Berikan cairan
 Berikan cairan IV pada suhu ruangan
 Dorong masukan oral
 Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
 Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
 Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
 Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
 Atur kemungkinan tranfusi
 Persiapan untuk tranfusi

6. Keletihan berhubungan dengan kurang energi


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,
keletihan berkurang
Kriteria hasil:
Beradaptasi dengan keletihan yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas,
ketahanan, dan status nutrisi (energy dan energy psikomotor)
Intervensi:
 Pantau bukti adanya keletihan fisik dan emosi yang berlebihan pada
pasien
 Pantau respon kardiorespirasi terhadap aktivitas missal takikardi,
disritmia, dyspnea pucat dan sesak napas)
 Pantau dan catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidurnya
 Pantau lokasi dan sifat ketidaknyamanannya atau nyeri selama
bergerak dan beraktivitas
 Tentukan persepsi pasien pada orang terdekat pasien tentang
penyebab keletihan
 Pantau asupan nutrisi untuk menjamin keadekuatan sumber energy

7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi


(ikterus)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,
integritas kulit membaik
Kriteria hasil:
 Keutuhan kulit tetap dapat dipertahankan
 Tidak ada ikterus
 Tidak ada eritema pada kulit
Intervensi:
 Kaji warna kulit tiap 8 jam
 Bersihkan kulit saat terkena kotoran
 Pantau bilirubin direk dan indirek
 Rubah posisi setiap 2 jam
 Jaga kebersihan kulit dan kelembabannya
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of


Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2007, p : 1203-1213

Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta,


1997, hal : 476-479

De Jong, Wim. 1997.Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Dorland, Newman. 2011. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

Erina, Outry Siregar Nurhayat Usman, Kiki Lukman. 2011. Pola Kuman di Duktus
Biliaris dan Test Resistensi/Sensitifitas terhadap Antimikroba pada Pasien
Ikterus Obstruktif di Duvisi Bedah Digestif , Departemen Ilmu Bedah
RSHS. Bandung: Universitas Padjajaran

Nurman, A. 1999. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J.


Kedokteran Trisakti 18 (3): 1-7

Soetikno, Rista D. 2007. Imaging Pada Ikterus Obstruksi. Bandung: Bagian/UPF


Radiologi FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin.

Wada K, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y. Miura F, Yoshida M, Mayumi T,


Strasberg S, Pitt HA, Gadacz TR, Buchler MW, BelghitiJ, de Santibanes E,
Gouma DJ, Neuhaus H, Dervenis C, Fan ST, Chen MF, Ker CG, Bornman
PC, Hilvano SC, Kim SW, Liau KH, Kim MH. Diagnostic criteria and severity
assessment of acute cholangitis. Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg. 2007; 14 (1) 52-8

Anda mungkin juga menyukai