Anda di halaman 1dari 5

Pandangan Norma dan Etik dalam ISLAM Mengenai STEM SEL

Penelitian menggunakan stem cell atau yang lebih dikenal dengan istilah “Stemcell
research” merupakan metode terbaru dalam bidang kedokteran dan biologi yang pada dasarnya
dilakukan untuk menemukan solusi terbaik dalam mengobati berbagai penyakit yang sulit dicari
obatnya seperti leukimia, Alzheimer, diabetes, dan penyakit Parkinson. Namun karena stemcell
research menggunakan “manusia atau bagian dari manusia” sebagai bahan dasarnya, metode
tersebut menyebabkan timbulnya pro dan kontra, terutama dari segi moral dan etika. Islam,
sebagai agama yang berdasarkan kepada moral dan etika yang tinggi, tentu saja tidak dapat
melepaskan diri dari perbedaan pendapat tersebut. Pandangan Islam mengenai Stemcell Research
dapat menjadi masukan dan panutan yang sangat berharga bagi perkembangan stemcell research
tersebut dan juga menghilangkan keraguan bagi pemeluknya yang bekerja atau berhubungan
dengan stemcell research ataupun yang mempunyai penyakit yang membutuhkan pengobatan
melalui stemcell research tersebut.

Kontroversi mengenai stemcell research umumnya berkisar kepada segi moral dan etika,
karena stemcell research menggunakan organ atau jaringan manusia sebagai bahan dasarnya.
Umumnya kontroversi tersebut berkisar pada penggunaan embryonic stemcells karena harus
merusak atau membunuh (mengurbankan) embrio (cabang bayi) dalam proses pengambilannya.
Kalangan yang kontra dengan embryonic stemcell research berpendapat bahwa membunuh
“calon” manusia untuk kepentingan stemcell research tersebut tidak dibenarkan secara moral.

Kelompok yang pro dengan embryonic stemcell research terbagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu:

1. Kelompok yang mendukung stemcell research secara total dan menilai bahwa
embryonic stemcells tidak mempunyai nilai moral. Kelompok ini mendukung semua bentuk
stemcell research dan cara mendapatkan stemcells tersebut.

2. Kelompok yang memberikan nilai moral kepada embryonic stemcells namun


menganggap bahwa manfaat yang didapatkan dari stemcell research tersebut jauh lebih besar
dari “pengorbanan” yang dilakukan. Kelompok ini umumnya lebih hati-hati dan lebih
menyarankan penggunaan “sisa” embryo dari klinik bayi tabung sebagai sumber bahan penelitin
tersebut. Mereka memperkirakan bahwa ratusan ribu embryo tidak terpakai tersimpan di

Halaman 1
berbagai klinik bayi tabung. Banyaknya sisa embryo tersebut dikarenakan dalam proses
pembuatan bayi tabung biasanya 10 sampai 12 sel telur yang dibuahi, tetapi hanya 3 atau 4 saja
yang ditanam di dalam kandungan. Sebagian besar sisa embryo tersebut umumnya akan dibuang,
hanya sebagian kecil saja digunakan oleh pasangan lain yang menginginkan anak. Dengan
demikian penggunaaan sisa embrio tersebut sebagai bahan stemcell research dianggap lebih baik
daripada dibuang sia-sia. Sebagian dari mereka juga menyarankan pembuatan embrio melalui
SCNT dan kemudian memanen embrio tersebut sebagai bahan stemcell research.

Bagi kelompok yang kontra, embrio buatan melalui SCNT maupun sisa embrio dari
klinik bayi tabung tetap merupakan “calon manusia” yang tidak boleh dibunuh atau dirusak.
Namun umumnya mereka tidak tahu apa sebaiknya yang dilakukan terhadap sisa embrio dari
klinik bayi tabung yang sudah harus dibuang karena sudah terlalu lama atau tak ada tempat
penyimpanannya lagi.

Penggunaan adult stemcells sebagai bahan stemcell research tidak menimbulkan


kontroversi karena proses pengambilan adult stemcells tersebut tidak bertentangan dengan moral
dan etika kemanusiaan. Namun sebagain besar peneliti stemcell research kurang tertarik dengan
penggunaan adult stemcells tersebut sebagai bahan penelitian mereka karena sel atau jaringan
yang terbentuk dari adult stemcells tersebut sangat terbatas. Dari segi pengobatan, adult
stemcells dianggap lebih baik karena umumnya diambil dari penderita sendiri sehingga tidak ada
masalah dengan penolakan ketika ditransplantasikan ke tubuh penderita tersebut. Salah satu
contohnya adalah pengobatan leukimia dengan jalan transplantasi sumsum tulang belakang.
Salah satu kelemahan penggunaan adult stemcells untuk pengobatan adalah waktu yang cukup
lama yang dibutuhkan untuk menumbuhkan stemcells tersebut agar cukup saat transplantasi.
Waktu yang lama tersebut terkadang menjadi terlambat bagi penderita yang sudah sangat parah.
Sumsum tulang belakang dapat pula didonorkan dari keluarga atau orang lain, namun resiko
penolakan dari tubuh penderita sangat besar yang dapat membahayakan si penderita tersebut.

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan moral dan etika. Selain itu, Islam adalah
agama yang berdasarkan pada akal, seperti sabda nabi bahwa tiada agama bagi yang tiada
berakal. Sebagai agama yang berdasarkan akal tersebut, Islam sangat mendukung ilmu
pengetahuan dengan menganjurkan pemeluknya (muslimin dan muslimah) untuk terus
mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dimulai dari usia yang sangat dini (dalam ayunan)

Halaman 2
sampai mati. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah SAW membuat penawaran pembebasan
terhadap kaum kafir yang tertawan dengan syarat mereka mengajar ilmu membaca dan menulis
bagi kaum muslimin yang banyak masih buta huruf pada saat itu. Selain itu, ayat AlQur’an yang
pertama diturunkan, yaitu Iqra, memerintahkan agar umat Islam mendalami ilmu dengan
membaca ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauliyah (AlQur’an) maupun ayat-ayat kauniyah
(alam). Selanjutnya, banyak sekali ayat-ayat AlQur’an yang memerintahkan manusia untuk
berfikir dan mempelajari ilmu pengetahuan yang Allah SWT tunjukkan, termasuk ilmu
pengetahuan berhubungan dengan makhluk hidup (misalnya penciptaan, tingkah laku,
pertumbuhan, dan sebagainya). Tidak terkecuali tentunya dengan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan stemcell research, apalagi di dalam ilmu tersebut terkandung manfaat yang
sangat besar bagi berjuta umat manusia yang mengalami penderitaan akibat sakit yang tiada
berkesudahan dan sulit dicari obatnya.

Walaupun tidak secara gamblang dinyatakan di dalam AlQur’an mengenai stemcell


research, namun sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, stemcell research mendapat kedudukan
yang mulia dalam pandangan Islam. Islam mewajibkan umatnya untuk mempelajari ilmu
tersebut secara mendalam sebagai pengabdian dan pengakuan terhadap kekuasaan Allah
(Habluminallah) dan juga sebagai bentuk tanggung jawab terhadap sesama manusia
(hamblumminannaas). Namun sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
agama Islam juga tidak melupakan nilai moral dan etika dalam penelitian tersebut. Karena belum
ada hukum Islam yang mengatur mengenai Stemcell research, maka masalah ini akan
menimbulkan pro dan kontra pada banyak ulama dan ahli fiqh terutama pada penggunaan
embryonic stem cells. Secara hukum, penggunaan embryonic stem cells lebih dekat dengan
hukum menggugurkan kandungan yang “diharamkan” menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada Musyawarah Ulama tahun 1972 dan Musyawarah Nasional (Munas) MUI tahun
1983. Namun Fatwa MUI tersebut ada pengecualiannya yaitu memperbolehkan menggugurkan
kandungan apabila kandungan tersebut membahayakan si ibu atau membawa penyakit menular
yang berbahaya. Karena pengguguran kandungan untuk tujuan riset (stemcell research) sangatlah
berbeda dengan pengguguran kandungan dengan alasan kesehatan, maka diperlukan hukum atau
dalil tersendiri untuk memutuskan boleh tidaknya stemcell research dengan menggunakan
embryonic stemcell dari hasil menggugurkan kandungan. Tidak disangsikan lagi, hukum tersebut
akan menimbulkan perdebatan yang cukup alot antara kubu yang pro dan kontra stemcell

Halaman 3
research. Apapun keputusannya, stemcell research dengan menggunakan embryonic stemcell
kemungkinan besar akan terus berlanjut.

Pemanfaatan janin yang mengalami keguguran atau janin “sisa” hasil pembuahan bayi
tabung untuk kepentingan stemcell research mungkin tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Janin tersebut lebih berguna daripada dibuang secara sia-sia. Pemanfaatan tersebut dapat juga
menjadi ibadah bagi pelakunya karena digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Khusus
mengenai bayi tabung, fatwa MUI memperbolehkan asal sel telur dan sperma untuk membuat
bayi tersebut adalah dari kedua orang tua yang sah menurut hukum Islam, sehingga janin sisa
tersebut dapat digunakan untuk kepentingan stemcell research.

Islam adalah agama yang sederhana dan mudah dimengerti dan diamalkan oleh umat
manusia. Dalam Islam, niat merupakan sesuatu yang sangat fundamental. Dengan demikian, niat
dalam melaksanakan stemcell research tersebut sangat menentukan baik buruknya stemcell
research. Apabila stemcell research digunakan untuk membantu umat manusia, misalnya
menyembuhkan manusia dari berbagai penyakit, maka kegiatan tersebut adalah sangat baik.
Sebaliknya, apabila digunakan untuk kejahatan (misalnya menciptakan monster yang
mengganggu umat manusia), maka kegiatan tersebut sangat berlawanan dengan ajaran Islam dan
wajib untuk ditentang. Selanjutnya, cara pengambilan dan penggunaan embryonic stemcell untuk
stemcell research tersebut perlu diperhitungkan pula dalam pembuatan fatwa tersebut. Apakah
cara pengambilan tersebut disamakan dengan pembunuhan (pengorbanan/sacrifice) atau tidak?
Kalaupun boleh “digugurkan” atau “dikurbankan”, batasan umur berapa janin tersebut boleh
digugurkan? (Note: embryonic stemcell diambil dari janin yang masih sangat muda, sekitar 4 s/d
dibawah 3 bulan). Banyak kalangan yang berpendapat bahwa sebelum ditiupkan ruh ke dalam
janin tersebut (sekitar hari ke 40), maka janin tersebut belum merupakan “manusia”, sehingga
mengambil janin dibawah usia tersebut tidak dianggap sebagai pembunuhan. Karena perbedaan
tersebut, maka sangatlah baik lagi apabila tokoh-tokoh Islam, misalnya Majelis Ulama Indonesia
(MUI), mengatur atau mengeluarkan fatwa mengenai stemcells research tersebut termasuk cara
mendapatkan embryonic stemcells yang tidak bertentangan dengan moral dan etika Islam. Aturan
dan fatwa tersebut dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk membuat peraturan mengenai
stemcell research, dan sekaligus acuan buat kaum muslim yang terlibat dalam penelitian tersebut.
Sebelum menerbitkan fatwa tersebut, ada baiknya agar MUI mempelajari lebih jauh mengenai

Halaman 4
stemcell research, mencari masukan serta mengambil nasehat dari ahli-ahli biologi atau
kedokteran yang terlibat dalam penelitian tersebut. Sehingga, fatwa dari MUI tersebut dapat
menjadi arahan moral dan etika yang sangat berharga bagi pelaksanaan stemcell research. Perlu
diperhitungkan pula bahwa fatwa tersebut tidak bertentangan atau membatasi perkembangan
ilmu pengetahuan karena apabila hal ini terjadi, maka “religion against science” dapat timbul di
dunia Islam yang nota bene adalah pendukung dan penganjur ilmu pengetahuan. Wallahu’alam
bisssawab!

Halaman 5

Anda mungkin juga menyukai