Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PENDAHULUAN
A. Latara Belakang
Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia
telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga
saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati
rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat
eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.
Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan
agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang
peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama.
Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan
hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen.
Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah adanya
transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum
nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan
agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya
mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan
supremasi hukum secara massif.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-
ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan
pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya
suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan
agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan
rasa keadilan di masyarakat. Satu hal yang sangat riskan dalam konteks ini
adalah masalah ekonomi syari’ah yang penanganannya belum maksimal
dan sebelum tahun 2016 belum ada regulasi yang mengatur secara langsung
terkait penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Indonesia, walaupun
pada tahun 2008 Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA Nomor 8
tahun 2008 kemudian kewenangannya dicabut lagi melalui SEMA Nomor
8 Tahun 2010 dan memberikan kewenangan pemeriksaan perkaraekonomi
syari’ah tersebut kepada peradilan umum.
Regulasi yang ditunggu-tunggu segenap aparatur peradilan agama
itu kini telah terbit. Pada 22 Desember 2016, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
ditetapkan Ketua MA Hatta Ali. Regulasi tersebut berlaku sejak ditetapkan.
MA mengeluarkan Perma 14/2016 setelah mempertimbangkan
signifikannya perkembangan dunia usaha yang menggunakan akad-akad
syariah. Faktanya, tidak sedikit terjadi sengketa di antara para pelaku
ekonomi syariah.
MA menyadari, masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian
sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun sayangnya,
ketentuan hukum acara yang ada saat ini, baik dalam HIR maupun RBg,
tidak membedakan tata cara pemeriksaan antara nilai objek materiil yang
jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian perkaranya memerlukan
waktu yang lama.
sesungguhnya yang menjadi substansi lembaga peradilan agama
secara yuridis, yaitu menjadi wadah bagi penyelesaian perkara-perkara
hukum, terutama bagi umat muslim yang mendambakan keadilan yang
hakiki. Segalanya kembali pada lembaga peradilan agama itu sendiri untuk
senantiasa menjaga independensinya dan menjadi pilar bagi penegakan
supremasi hukum di Indonesia.
Namu dalam kehidupan masyarakat belum bantak yang
mmengetahui apa itu sengketa ekonomi Syariah serta tata cara beracara
dalam sengketa ekonomi Syariah. Dari sini penulis mencoba membahas
mengenai Ketentuan Umum Beracara Dalam Sengketa Ekonomi
Syariah
B. Rumusan masalah

1. Apa dasar hokum beracara dalam penyelesaian sengketa ekonomi


Syariah
2. Bagaimana kuasa menurut hokum ?
3. Bagaimana perlindungan terhadap konsumen?
4. Bagaimana gugatan class action ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hokum Beracara Dalam Perkara Sengketa Ekonomi Syariah


Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa
ekonomi syariah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada
lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54
UUPA. Oleh karena itu, berikut ini sumber hukum formil penyelesaian sengketa
ekonomi syariah, yaitu:

1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Ketentuan Hukum Acara ini


diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang
berada di Jawa dan Madura;
2. Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg). Ketentuan Hukum
Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing
yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka
Landraad. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan
Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam
UUPA.
3. Bugerlijke Wetbook (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya buku ke IV tentang
Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang
diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal
7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Selain itu pula,
peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam
Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur
dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman
dalam praktek Peradilan Indonesia.
4. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv). Hukum Acara
yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang
berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht.
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal
banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar
Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo
UU No. 5 Tahun 2004 jo, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 yang
memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan
kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 jo, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan
Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di
lingkungan Pradilan Umum tersebut.
9. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
10. Peraturan MA (Perma) No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah

B. Kuasa Menurut Hukum


Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoording atau legal
mandatory (legal representative). Artinya, undang-undang menetapkan bahwa
seseorang atau badan hukum dengan sendirinya menurut hukum berhak bertindak
mewakili orang atau badan hukum tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.
Bagi orang yang berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut
hukum, kehadirannya sebagai wakil atau kuasa tidak memerlukan surat kuasa
secara tertulis (bijzondereschriftelijke machtiging, power of attorney) dari
pemerintah atau instansi yang bersangkutan.

Berikut di bawah ini, beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak
mewakili kepentingan perorangan atau badan hukum tanpa memerlukan surat kuasa
yaitu:
1. Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan
Menurut Pasal 15 ayat (1), Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang
(“UU Kepailitan”), dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat
kurator. Balai Harta Peninggalan atau Kurator dalam kepailitan
berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum (legal
mandatory) untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit,
dan tugas itu dilakukan berdasarkan perintah undang-undang tanpa
memerlukan suarat kuasa dari debitur.

2. atau pengurus badan hokum


Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UU PT”) sendiri menentukan, yang berhak bertindak sendiri
menurut hukum mewakili kepentingan Perseroan di dalam dan di luar
pengadilan adalah direksi, tanpa perlu memerlukan surat kuasa dari
Perseroan.
Apabila badan hukum tersebut berbentuk yayasan, maka
menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan (“UU Yayasan”), pengurus yayasan bertanggung
jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan
yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini, pembina atau pengawas tidak
bertindak sebagai legal mandatory, akan tetapi hanyalah organ pengurus
yayasan saja.
Dalam hal, apabila badan hukum berbentuk koperasi, maka
pengurus koperasi bertindak sebagai kuasa mewakili kepentingan
koperasi di dalam dan di luar pengadilan.

3. Direksi perusahaan perseroan

Perusahaan Perseroan (“Persero”) menurut Pasal 1 angka 2


Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan
Perseroan, adalah Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969
tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, yaitu berbentuk Perseroan
Terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam UU PT yang seluruh atau
sedikitnya 51% (lima puluh satu persen) saham yang dikeluarkan,
dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung. Maka,
prinsip-prinsip Perseroan Terbatas berlaku terhadap BUMN sebagai
Persero. Oleh karena itu, direksi berkedudukan sebagai kuasa menurut
hukum untuk mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa
memerlukan surat kuasa dari pihak manapun. Ketentuan kuasa menurut
hukum ini juga berlaku tidak terbatas terhadap BUMN, tetapi meliputi
Perusahaan Daerah.
4. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing

Pimpinan perwakilan perusahaan asing yang ada di Indonesia


dinyatakan sebagai legal mandatory yang disejajarkan dengan wettelijke
vertegenwoordig, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa
menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan
perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa khusus dari kantor pusat yang ada di luar negeri.
5. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik
Menurut Putusan Mahkamah Agung No. 779 K/Pdt/1992,
bahwa pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas
pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa khusus untuk itu. Maka
dalam praktik peradilan juga telah mengakui, bahwa pimpinan cabang
perusahaan domestik, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa
menurut hukum sesuai dengan batas kualitas pelimpahan wewenang
yang diberikan Perusahaan Pusat kepada cabang tersebut

C. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen
Konsumen yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau
pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan atau mereka
konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya. Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak
konsumen
2. Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara
spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih
jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya
tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh
pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang/jasa.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang/jasa
d. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskrimainatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau
penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen
yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga
kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara
tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan
curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun
1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa
konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak
konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya
siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan
hak-haknya.
3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat
dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
a. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
b. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
c. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8
ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan
alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya
kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki
pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain
tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki
itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai
berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,
cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu
rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
 Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
 Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya
kurang baik atau kurang sempurna.
 Bekas: sudah pernah dipakai.
 Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.
Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.
Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya
sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut
baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan
ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut
serta wajib menariknya dari peredaran.
4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul
dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk
yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi,
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai
dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan
pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan
memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian
konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha
dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau
tidak dimaksud untuk diedarkan ;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi
barang ;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang
dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

5. Sanksi Bagi Pelaku Usaha


a. Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
Pengembalian uang atau
Penggantian barang atau
Perawatan kesehatan, dan/atau
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah
tanggal transaksi
b. Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui
BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
c. Sanksi Pidana :
Kurungan :
 Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua
milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat
(1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
 Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima
ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16
dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang
No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
 Pengumuman keputusan Hakim
 Pencabuttan izin usaha;
 Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
 Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
 Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada
masyarakat .

D. Gugatan Class Action

1. Pengertian Gugatan Class Action


Gugatan Perwakilan Kelompok (gugatan Class Action) adalah suatu
tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka
sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak,
yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hokum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil
kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang
mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih
banyak jumlahnya. Misal: Dalam kegiatan PPK telah disepakati bahwa
suatu desa akan mendapatkan dana PPK apabila kelompok di desa tersebut
yang sudah mendapatkan pinjaman telah melunasi pinjamannya. Akan
tetapi kelompok tersebut menunggak pengembalian pinjaman sehingga
masyarakat desa tidak bisa memanfaatkan dana PPK. Karena merasa
dirugikan, anggota masyarakat dapat bersama-sama mengajukan gugatan
kepada kelompok tersebut dalam satu gugatan.
2. Mengapa gugatan Class Action digunakan?
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan
yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan
tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class
action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti
bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi
perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang
berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
3. Syarat mengajukan gugatan Class Action
Dasar hukum untuk melakukan gugatan Class Action adalah
PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan
orang banyak, sebaiknya orang banyak itu diartikan dengan lebih
dari 10 orang; sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila
gugatan dilakukan sendirisendiri atau bersama-sama dalam satu
gugatan.
b. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan
kesamaan dasar hokum (question of law) yang bersifat subtansial,
antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok; misalnya
pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama, berlangsung
dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi
yang sama, dll.
c. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara
perwakilan kelompok dan anggota kelompok; Persyaratan ini
tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyai
tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah
jenis tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya
pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya
tergantung tingkat penyakit yang dideritanya.
d. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok
merupakan perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi
beberapa persyaratan:
 harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum
dengan anggota kelompok yang diwakilinya
 memiliki bukti-bukti yang kuat;
 jujur;
 memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan
dari anggota kelompoknya;
 mempunyai sikap yang tidak mendahulukan
kepentingannya sendiri disbanding kepentingan
anggota kelompoknya; dan
 sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya
perkara di pengadilan. Surat gugatan, selain harus
memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam
Hukum Acara Perdata, harus memuat:
1. identitas lengkap dan jelas,
2. definisi kelompok secara secara rinci dan
spesifik;
3. keterangan tentang anggota kelompok;
4. posita dari seluruh kelompok;
5. jika tuntutan tidak sama karena sifat dan
kerugian yang berbeda, maka dalam satu
gugatan dapat dikelompokkan beberapa
bagian atau sub kelompok;
6. tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme
pendistribusian dan usulan pembentukan tim.

4. Bagaimana mengajukan gugatan Class Action?


Gugatan didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim
memutuskan bahwa pengajuan gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil
kelompok memberitahukan kepada anggota kelompok melalui media cetak/
elektronik, kantor pemerintah atau langsung kepada anggota kelompok. Setelah
pemberitahuan dilakukan, anggota kelompok dalam jangka waktu tertentu
diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok. Seterusnya
proses persidangan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Hukum
Acara Perdata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dasar hokum penyelesaian sengketa ekonomi Syariah diantaranya
HIR, RBg, KUHPerdata,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.,Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 jo, Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang
berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah
Agung,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2004 jo, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di
lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan
Umum tersebut, Yurisprudensi Mahkamah Agung, dan Peraturan MA
(Perma) No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah.
Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoording
atau legal mandatory (legal representative). Artinya, undang-undang
menetapkan bahwa seseorang atau badan hukum dengan sendirinya
menurut hukum berhak bertindak mewakili orang atau badan hukum
tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan
untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen
Gugatan Perwakilan Kelompok (gugatan Class Action) adalah suatu
tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka
sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak,
yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hokum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud.

Anda mungkin juga menyukai