Anda di halaman 1dari 14

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi,
yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi),
seperti predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik
pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh
alami untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan
perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan Pengendalian
alami merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan
manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh alami (Sunarno. 2008). PHT adalah
penendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan menyadarkan diri pada paktor-
faktor mortalitas alami seperti musuh alami dan cuaca serta mencari taktik
pengendalian yang mendatangkan gangguan sekecil mungkin terhadap faktor-faktor
tersebut. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan
pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan
pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak
tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan
mengakibatkan dampak samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan
petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas (Flint. 1990).
Agen hayati terbagi menjadi 2 kelopmpok yaitu: musuh alami dan biopestisida.
Musuh alami terbagi menjadi beberapa bagian yaitu parasitoid, predator, patogen
serangga, dan patogen antagonis (Nuansata. 2016).

1.2. Tujuan Prakltikum


a. Untuk mengetahui pengaruh pemberian Trichoderma dan Aspergillus dengan
kombinasi jarak tanam terhadap penyakit Sclerotium
b. Untuk mengetahui cara pembuatan dan aplikasi agen hayati.
c. Untuk mengetahui ordo serangga parasit, predator, dan paton serangga.
2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Musuh Alami


Musuh alami adalah organism ataupun mikroorganisme yang ditemukan di alam
yang dapat membunuh atau menekan pertumbuhan serangga atau penyakit,
melemahkan serangga, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada serangga, dan
mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh alami terdiri dari pemangsa atau
predator, parasitoid dan patogen. Pemangsa adalah binatang (serangga, laba-laba dan
binatang lain) yang memakan binatang lain yang menyebabkan kematian sekaligus.
Parasitoid adalah serangga yang hidup di dalam atau pada tubuh serangga lain, dan
membunuhnya secara pelan-pelan. Parasitoid berguna karena membunuh serangga
hama, sedangkan parasit tidak membunuh inangnya, hanya melemahkan. Ada
beberapa jenis tawon (tabuhan) kecil sebagai parasitoid serangga hama. Patogen
adalah penyebab penyakit yang menyerang binatang atau makhluk lain. Patogen
berguna karena mematikan banyak jenis serangga hama tanaman kopi. Ada beberapa
jenis patogen, antara lain jamur, bakteri dan virus. Musuh alami sebaiknya
dilestarikan karena mereka merupakan teman petani. Semua jenis musuh alami
membantu petani mengendalikan hama dan penyakit. Karena itu, musuh alami jangan
dibunuh atau dimusnahkan. Langkah pertama dalam hal melestarikan musuh alami
adalah: jangan menggunakan pestisida kimia. Langkah kedua menjaga berbagai jenis
tanaman, terutama tanaman berbunga, di kebun atau sekitar kebun. Jika terdapat
bermacammacam tanaman di kebun, biasanya jumlah musuh alami yang berada di
kebun juga lebih banyak. Langkah ketiga mengusahakan lingkungan yang sesuai
untuk kehidupan musuh alami tersebut (konservasi) (Simanjuntak. 2002).

2.2. Biopestisida
Biopestisida adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahan hidup. Baik
berasal dari tanaman, atau mikroorganisme. Pestisida biologi yang saat ini banyak
dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan
jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti
3

bakterisida, nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum
banyak dipakai. Keuntungan biopestisida adalah a) Menjaga kesehatan tanah dan
mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan bahan organik tanah; b) Spesies
tertentu yang digunakan aman baik sebagai musuh alami dan organisme non target; c)
Biopestisida tidak terlalu beracun seperti pestisida kimia sehingga aman untuk
lingkungan; d) Pestisida mikroba mengandalkan senyawa biokimia potensial yang
disintesis oleh mikroba, hanya dibutuhkan dalam jumlah terbatas; e) Mudah
membusuk sehingga dapat mengurangi pencemaran (Direktorat Perlindungan
Tanaman. 2000).

2.3. Patogen Antagonis


Patogen antagonis adalah semua mikroorganisme yang dapat menyebabkan
terhambatnya, disintregrasi atau matinya patogen pada tanaman, yang termasuk
kedalam patogen antagonis adalah nematoda, jamur, bakteri, dan virus. Dalam upaya
mengembangkan teknik pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan,
para peneliti berusaha memanfaatkan berbagai jenis mikroba sebagai bahan aktif
biopestisida. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan koleksi, inventarisasi, dan
preservasi mikroba sebagai sumber agen pengendali ha-yati, baik untuk keperluan
konservasi sumberdaya genetik mikroba maupun seba-gai bahan kajian untuk
mengembangkan biopestisida. Sejak tahun anggaran 2001 telah dilakukan kegiatan
penelitian untuk menginventarisasi, mengkoleksi, dan mengkarakterisasi mikroba
antagonis patogen dan agen pengendali hama. Hasil penelitian yang telah diperoleh
dan tersedia di dalam koleksi plasma nutfah mikroba Balitbiogen, Bogor, saat ini
adalah virus (Nuclear Polyhydrosis Virus, NPV), nematoda mikroba kitinolitik
(Saccharomyces cereviciae), bakteri antagonis (P. fluorescens dan Bacillus subtilis),
bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), Trichoderma spp., dan jamur patogen serangga
(JPS), dan nematoda patogen serangga (NPS) yang berjumlah lebih dari 250 isolat
(Machmud et al., 2002).
4

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum mata kuliah Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat pada dua
tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada hari Senin 18 September 2017, pukul 15:00
WIB, yang bertempat di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangka
Raya. Sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada hari Rabu 29 November 2017,
pukul 10:30 WIB, yang bertempat Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Jl. Cilik Riwut Km, 5,5 Palangka Raya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yang digunakan adalah kotak ukuran 1 m X 1 m X 1 m,
cangkul, terpal, plastik, sekop, jiregen, kompor, panci sendok, meteran, gembor,
timbangan, alat tulis, dan ember. Sedangkan bahan yang digunakan adalah 200 kg
jerami atau rumput-runputan atu serbuk gergaji, 50 kg pupuk kandang, 400 gr gula
pasir, 200 gr trasi, 300 gr kapur pertanian, 300 gr Trichoderma padat atau 0,5 L
Trichoderma cair, 500 gr Gliocladium sp, 1 L biang PGPR, dedak, basamit, bibit
daun bawang, Trichoderma, Aspergilus, patok, tali, penyedap rasa dan air
secukupnya.

3.3. Cara Kerja


3.3.1. Pengaplikasian Trichoderma dan Aspergilus
a. Menyiapkan bedengan
b. Penaplikasian kapur dolomit dan dan sterilisasi tanah dengan menggunakan
Basamit.
c. Menutup bedengan menggunakan plastik selama 7 hari
d. Membuka bedengan dan pengaturan jarak tanam
e. Pengaplikasian Trichoderma dan Aspergilus bersamaan dengan penanaman
bibit daun bawang.
5

3.3.2. Pembuatan Trichokompos


a. Menyiapkan jerami atau rumput-rumputan atau serbuk gergaji sebanyak 1 m3
dan dibagi menjadi 5 bagian.
b. Mencampurkan kapur dan pupuk kandang menjadi satu dan membaginya
menjadi 4 bagian dan bahan lainnya juga.
c. 1 bagian jerami atau rumput-rumputan atau serbuk geragaji dibuat lapisan,
membasahinya dengan air, kemudian taburi sebagian dengan pupuk kandang
dan kapur, Trichoderma padat atau cair dan dedak.
d. Selanjutnya melakukan pelapisan berikutnya dengan cara yang sama dengan
sebelumnya hingga bahan habis.
e. Setelah tersusun, lapisan ditutup dengan menbggunakan terpal dan didiamkan
selama 20 hari.
f. Pada hari ke-12, tutpnya dibuka dan selanjutnya tumpukan kompos dibalik
kemudian ditutup kembali.
g. Pada hari ke-18 tutup dibuka dan pada hari ke-20 kompos sudah dapat
digunakan.
3.3.2. Pembuatan Glikompos
a. Pupuk kandang yang sudah siap pakai diberi Gliocladium sp dalam media padat
(beras atau yang lainnya).
b. Mencampurkan kedua bahan 25 kg pupuk kandang dan 50 gr Gliocladium sp
secara merata ditempat yang teduh (tidak terkena sinar matahari), menutup
dengan plastik bening atau penutup lainnya agar menjaga kelembapan.
c. Setelah kurang lebih 7 hari atau kepadatan spora sudah mencapai 106 maka
sudah siap untuk diaplikasikan.
3.3.3. Pembuatan PGPR
a. Biang PGPR
6

 Bakteri diperoleh dari perakaran bambu, rumput gajah, atau akar tanaman
kacang-kacangan kurang lebih 100 gr.
 Membersihkan tanah di area perakaran, tetapi tidak terlalu bersih.
 Memoton akar, kemudian rendam di air bersih (ulang) 1-2 liter selama 2-4
hari.
 Menyaring hasil rendaman yang dapat digunakan sebagai biang bakteri yang
ditandai dengan airnyamenjadi keruh dan berbau masam atau busuk.
b. PGPR
 Mencampurkan 400 gr gula, 200 gr trasi, 1 kg dedak halus, 10 liter air, dan
penyedap rasa secukupnya. Kemudian merebusnya sampai mendidih selama
20 menit dihitung mulai dari saat mendidih.
 Setelah dingin masukan semua bahan kedalam jerigen dan mencampurkan 1
L biang PGPR kemudian menutup rapat.
 Buka dan kocok-kocok sehari sekali.
 Setelah 15 hari PGPR siap digunakan (ditandai dengan jerigen tidak
kembung lagi).
7

IV. PEMBAHASAN

4.1. Aplikasi Agen Hayati


Aplikasi Trichokompos akan lebih efektif bila dilakukan sejak persemaian pada
pagi atau sore hari. Dosis 2 sendok makan diberikan pada lobang tanam tanaman
tomat, cabe, mentimun, terung, dan tanaman sayuran lainnya. Dosis 0,5 k perlobang
tanam pada pisang dan tanaman buah lainnya. Aplikasi trichokompos dilakukan
sebanyak 3 kali yaitu pada saat pratanam, 2 minggu setelah tanam, dan 4 minggu
setelah tanam. Aplikasi pada tanaman berumur 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam
dapat langsung ditabur disekitar tanaman (Rahman. R. 2016).
Gliokompos memiliki fungsi ganda yaitu sebagai pupuk dan pengendali penyakit
tanaman, khususnya penyakit tular tanah. Beberapa penyakit yang dapat ditekan
dengan gliokompos adalah penyakit layu fusarium pada pisang, dan penyakit akar
gada pada kubis. Untuk tanaman pisang pengaplikasian Gliokompos diberikan
dengan dosis 5 kg/lubang tanam, sedangkan untuk tanaman sayuran seperti cabai,
tomat, kubis, kentang, dan lain-lain diberikan dengan dosis 25 gr/lubang tanam

4.2. Musuh Alami


4.2.1. Predator
Predator (pemangsa) adalah organisme yang hidup bebas dengan memakan atau
memangsa binatang lainnya. Serangga predator umumnya memangsa semua fase
(stadia) mangsanya seperti telur, larva, nympha, pupa, dan imago. Pada umumnya
predator memiliki tubuh lebih besar daripada mangsanya, meskipun tidak selalu
demikian. Pada umumnya predator memiliki banyak mangsa dan memiliki cara
makan yang bermacam-macam, tetapi pada umumnya memakan mangsanya dengan
cara mengigit-mengunyah dan menghisap cairan tubuh mangsa. Ada beberapa ordo
serangga yang anggotanya merupakan predator yaitu: ordo coleoptera, ordo
neuroptera, ordo hemiptera, ordo diptera, dan ordo hymenoptera (Nurindah. 2012).
8

4.2.2. Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga lain, khususnya serangga
hama. Secara umum dikatakan sebagai serangga yang hidup didalam tubuh hama dan
menghisap cairan tubuh hama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Parasitoid
bersifat parasitik pada fase pendewasanya sedangkan pada fase dewasa mereka hidup
bebas tidak terikat pada inang. Fase inang yang diserang parasitoid pada umumnya
adalah telur, larva, dan beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang
menyerang imago. Ada beberapa ordo serangga yang anggotanya merupakan
parasitoid yaitu: ordo coleoptera, ordo neuroptera, ordo lepidoptera, ordo diptera,
ordo strepsiptera, dan ordo hymenoptera (Nurindah. 2012).
4.2.3. Patogen Hama
Patogen serangga adalah salah satu faktor hayati yang turut serta dalam
mempengaruhi dan menekan perkembangan serangga hama. Karena mikroorganisme
ini dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama, maka patogen
disebut sebagai salah satu musuh alami serangga hama selain predator dan parasitoid
dan juga dimanfaatkan dalam kegiatan pengendalian. Beberapa patogen dalam
kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi
serangga tetapi ada banyak patogen pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi
serangga. Patogen masuk ke dalam tubuh serangga melalui dua jalan: 1) ketika inang
menelan patogen selama proses makan, dan 2) ketika patogen masuk melalui
penetrasi langsung ke kutikula serangga. Perpindahan patogen serangga dapat terjadi
dari serangga yang sakit ke serangga yang sehat (Sunarno. 2008).
a. Bakteri
Bakteri yang biasa digunakan adalah bakteri yang menghasilkan spora. Bakteri
yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang
tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri penghasil spora
merupakan bakteri yang sangat penting yang saat ini banyak digunakan sebagai
insektisida mikrobia. Contoh bakteri yang biasa digunakan adalah Bacillus popiliae
sebagai patogen dari kumbang jepang Popilie japonika dan kumbang skarabia lainya
9

- Bacillus thuringiensis sangat efektif dalam mengendaliakan larva dari ordo


Lepidoptera dan larva nyamuk.
b. Jamur
Jamur yang menginfeksi serangga disebut Jamur Entopatogenik. Saat ini telah
dikenal lebih dari 750 spesies jamur entopatogenik dan sekitar 100 genera jamur.
Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk kedalam tubuh serangga tidak melalui
saluran makanan tetapi langsung masuk kedalam tubuh melalui kulit atau integumen.
Setelah konodia jamur masuk kedalam tubuh serangga, jamur memperbanyak diri
melalui pembentukan hife dalam jaringan epicutikula, epidermis, hemocoel serta
jaringan-jaringan lainnya, dan pada akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia
jamur. Disamping itu juga ada beberapa jamur yang dapat mempengaruhi pigmentasi
serangga dan menghasilkan toksin yang sangat mempengaruhi fisiologis serangga.
Jamur Metarhizium anisopliae digunakan untuk mengendaliakan hama Oryctes
rhinoceros pada tanaman kelapa dan juga hama awereng hijau yang meyerang
tanaman padi (Sunarno. 2008).
c. Virus
Saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari
serangga antropoda. Virus-virus antropoda sebagian besar masuk dalam genera
Nucleopolyhidrovirus, Granulavirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan
Nodavirus. Diantara ke-6 genera ini jenis NPV (Nucleopolyhidrovirus) merupakan
genus terpenting karena 40 % jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk
jenus ini. Selain NPV ada jenus lain yaitu GV (Granulavirus), CPV (Cytoplasmic
Polyhidrosis Virus) dan kelompok lain yang lebih kecil jumlahnya. Larva serangga
terinfeksi oleh virus umumnya melemah pada saluran pencernaan makanan ini terjadi
sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah mengandung polyhidra. Selain itu
juga dapat masuk ketubuh serangga sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian
tubuh yang terluka, mungkin oleh serangan musuh alami (Sunarno. 2008).
10

d. Nenatoda
Disamping, virus, jamur dan bakteri juga ada banyak spesies nematoda yang
bersifat parasitik terhadap serangga hama, baik yang bersifat parasit obligat maupun
fakultatif. Dari 19 famili yang menyerang serangga Famili Mermithidae merupakan
famili yang paling banyak atau terpenting terdiri atas 50 genera dan 200 spesies.
Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga melalui
kutikula dan masuk kedalam homocoel, setelah berganti kulit beberapa kali maka
nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga, dan serangga mati sebelum atau
sesudan nematoda keluar. Keuntungan menggunakan nematoda entomopagen adalah
kemampuan mematikan inang sangat cepat, karena serangan nematoda akan
mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan
lemas terjadi penurunan aktivitas dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi merah
kecoklatan jika terserang Steinernema spp dan hitam jika terserang Heterorhabditis
spp. Contohnya adalah nenatoda Steinernema spp dapat mengendalikan hama dari
Ordo Lepidoptera dan Coleoptera (Sunarno. 2008).
4.2.4. Patogen Antagonis
Pengaplikasian Trichoderma dan Aspergilus masing-masing 10 gr dengan
kombinasi jarak tanam 20 x 25, 25 x 25, dan 30 x 25 cm. Perlakuan terbaik untuk
menekan penyakit busuk Sclerotium adalah dengan kombinasi trichoderma dan
aspergillus dengan jarak tanam 30 x 25 cm. Hal ini disebabkan kerena selain fungsi
trichoderma dan aspergillus yang dapat menekan perkembangan penyakit juga di
pengaruhi oleh jarak tanam yang digunakan. Semakin jauh jarak tanam yang
digunakan maka semakin sedikit jumlah populasi tanaman pada suatu bedengan
sehingga mengurangi kelembapan. Dengan berkurangnya kelembapan akan
menghambat pertumbuhan penyakit sclerotium dan pemberian trichoderma dan
aspergilus yang berfungsi menekan penyakit sclerotium sehingga kombinasi
keduanya menjadi lebih efektif. Sedangkankan pada perlakuan lain tidak efektif
dalam menekan perkembangan penyakit hal ini disebabkan kerena penaruh populasi
tanaman. Semakin banyak populasi tanaman pada suatu bedengan maka jumlah
11

serangan penyakit Sclerotium akan semakin tingi yang dipengaruhi oleh kelembapan
lingkungan tanaman yang mendukung perkembangan penyakit. Sedangkan pada
perlakuan kontrol kapasitas serang penyakit lebih tinggi, hal ini disebabkan kerena
tidak adanya bantuan dari agen antagonis untuk menekan pertumbuhan penyakit
sehingga hanya tergantung pada perlakuan jarak untuk mengurani perkembangan
penyakit.
12

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Pemberian Trichoderma dan Aspergillus dengan kombinasi jarak tanam 30 x 25
cm lebih efektif dalam menekan perkembanga penyakit Sclerotium dari pada
perlakuan dengan jarak tanam yang lain.
Cara membuat agen hayati adalah dengan megunakan alat-alat yaitu kotak
ukuran 1 m X 1 m X 1 m, cangkul, terpal, plastik, sekop, jiregen, kompor, panci dan
ember. Sedangkan bahan yang digunakan adalah 200 kg jerami atau rumput-runputan
atu serbuk gergaji, 50 kg pupuk kandang, 400 gr gula pasir, 200 gr trasi, 300 gr kapur
pertanian, 300 gr Trichoderma padat atau 0,5 L Trichoderma cair, 500 gr Gliocladium
sp, 1 L biang PGPR, dedak, penyedap rasa dan air secukupnya. Selanjutnya perlakuan
dan pencampuran bahan seperti pada cara kerja. Aplikasi Trichokompos akan lebih
efektif bila dilakukan sejak persemaian pada pagi atau sore hari. Dosis 2 sendok
makan diberikan pada lobang tanam tanaman tomat, cabe, mentimun, terung, dan
tanaman sayuran lainnya. Dosis 0,5 kg/lobang tanam pada pisang dan tanaman buah
lainnya. Aplikasi trichokompos dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada saat pratanam, 2
minggu setelah tanam, dan 4 minggu setelah tanam. Aplikasi pada tanaman berumur
2 minggu dan 4 minggu setelah tanam dapat langsung ditabur disekitar tanaman.
Gliokompos memiliki fungsi ganda yaitu sebagai pupuk dan pengendali penyakit
tanaman, khususnya penyakit tular tanah. Beberapa penyakit yang dapat ditekan
dengan gliokompos adalah penyakit layu fusarium pada pisang, dan penyakit akar
gada pada kubis. Untuk tanaman pisang pengaplikasian Gliokompos diberikan
dengan dosis 5 kg/lubang tanam, sedangkan untuk tanaman sayuran seperti cabai,
tomat, kubis, kentang, dan lain-lain diberikan dengan dosis 25 gr/lubang tanam.
Beberapa ordo serangga yang anggotanya merupakan parasitoid yaitu: ordo
coleoptera, ordo neuroptera, ordo lepidoptera, ordo diptera, ordo strepsiptera, dan
ordo hymenoptera. Sedangkan ordo serangga yang anggotanya merupakan predator
yaitu: ordo coleoptera, ordo neuroptera, ordo hemiptera, ordo diptera, dan ordo
13

hymenoptera. Sedangkan patogen serangga merupakan kelompok mikroorganisme


yang menyerang serangga baik anggota bakteri, jamur, virus, atau nematoda.

5.2. Saran
Pada saat praktikum lapangan hendaknya lebih spesifik mengenai cara
pembuatan agen hayati sehingga tidak hanya sekedar materi sehingga dapat
mengetahui dengan jelas bagai mana cara pembuatan dan aplikasi yang benar.
14

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Perlindungan Tanaman. 2000. Pengenalan Pestisida Nabati Tanaman


Hortikultura. Jakarta.

Flint. M. L. Dan Bosch. R. V. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Kanisius.


Yogyakarta.

Machmud, M., Jumanto, I. Manzila, M.A. Suhendar, dan M. Sudjadi. 2002. Koleksi
dan karakterisasi mikroba antagonis. Laporan Kegiatan Penelitian Tahun 2002,
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 13
hlm.

Nuansata. 2016. mengenal lebih dekat agens hayati. (http://nuansatani.com/agens-


hayati/). Diakses pada 04 Desember 2017.

Nurindah. 2012. Peranan Parasitoid dan Predator dalam Pengendalian Wereng Kapas
Amrasca Biguttula (Ishida) (Heteroptera : Ciccadellidae). J. Perspektif. Volume
11 No. 1. Hal 23-32.

Rahman. R. dan Erliyani. 2016. Pemanfaatan dan Perbanyakan Agen Hayati


Gliocladium sp. Dinas Pertanian dan Peternakan Balai Perlindungan Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Palangka Raya.

Simanjuntak. H. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. Proyek
Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat Direktorat Perlindungan
Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen
Pertanian. Jakarta.

Sunarno. 2008. Pengendalian hayati ( biologi control ) sebagai salah satu komponen
pengendalian hama terpadu (PHT). Dapat diakses pada
(https://journal.uniera.id/pdf_repository/juniera31). Diakses pada 04 Desember
2017.

Anda mungkin juga menyukai