Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

Identitas Pasien
• Nama : Ny. F
• Umur : 31 tahun
• Alamat : Jl. Bintan Raya No. 162 RT 05/16 Kelurahan Aren Jaya Kec. Bekasi
Timur
• Pendidikan : S1
• Pekerjaan : Swasta
• No.RM : 2017-7812**
• Tanggal msk : 29 Desember 2017

Anamnesis

Keluhan Utama : G1P0A0 H 34 Mg HAP susp PPT

Pasien wanita 31 tahun G1P0A0 H 34 minggu datang ke RSUD Pasar Rebo dengan keluhan
keluar darah segar dari vagina pada pukul 19.30. Pasien mengaku 2x ganti pembalut. Perut
terasa mulas tidak dirasa, keluar cairan berwarna bening dari vagina tidak ada. Pada pukul 12.00
pasien mengeluh perut seperti tertarik dan terasa kencang. Sebelumnya pasien juga mengeluh
adanya perdarahan pervaginam sekitar 1 bulan yang lalu. HPHT pasien lupa

Riwayat penyakit dahulu: alergi obat penisilin, ambroxol, dan sangobion, alergi makanan
seafood, asma (-) DM (-) penyakit autoimun (-), kejang (-), Hipertensi (-), Batuk lama (-)

Riwayat kehamilan dan persalinan

No. Usia Tempat dan Jenis BBL Jenis ASI Umur Penyulit
kehamilan penolong persalina kelamin Eksklusi sekarang
n (kg) f

1 Hamil ini ­ ­ ­ ­ ­ ­

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Compos Mentis

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Berat badan : kg

Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36,5

Kepala : Conjungtiva Anemis(-)/(-), Sklera Ikterik (-)/(-)

Leher : Tiroid: tidak ada pembesaran kelenjar tyroid

KGB : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Payudara : Putting menonjol, ASI (-)

Thorak : Cor : S1 S2 Murni Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo: VBS Kanan=Kiri,Rhonchi (-)/(-), Wheezing (-)/(-)

Abdomen : Cembung Lembut

TFU : 26 cm

Leopold I : Bokong

Leopold II : Punggung Kanan

Leopold III : Kepala

Leopold IV : Konvergen

Denyut Jantung Janin : 133 reguler

Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan

Ekstremitas : Edema (-)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah

Hb : 8,6 g/dL Trombosit : 313 ribu/uL

Hematokrit : 24 SGOT/SGPT : 18 / 9 U/L

Eritrosit : 3.3 juta/uL Ureum : 22 mg/dL

Leukosit : 16 ribu/uL Kreatinin : 0, 58 mg/dL

PT / INR : 9,9 detik / 0,92 HbsAg : Non reaktif

APTT : 28,3 detik Anti HIV : Non reaktif


Diagnosis Primer

G4P3A0 H 34 Mg HAP

Diagnosis Sekunder

Plasenta Previa Total

Rencana tindakan
SC
Terapi
Adalat Oros 1x1
Dexamethasone 4x6 mg
Ferofort 1x1
PERDARAHAN PADA KEHAMILAN ATERM

A. Definisi

Perdarahan kehamilan lanjut atau yang sering dikenal sebagai Hemoragia Antepartum
(HAP) adalah perdarahan dari saluran genitalia yang terjadi setelah kehamilan 24 minggu
dan sebelum persalinan janin. Namun, masih terdapat teori yang berbeda mengenai batas
minggu kehamilan lanjut jika dilihat dari berat janin dan kemungkinan hidupnya janin diluar
uterus. Pada umumnya perdarahan pada kehamilan lanjut jauh lebih berbahaya dibanding
perdarahan pada kehamilan muda atau abortus. Perdarahan antepartum yang berbahaya
umumnya disebabkan oleh kelainan plasenta (plasenta previa, solusio plasenta), sedangkan
perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta (pada umumnya kelainan serviks)
cenderung tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada perdarahan antepartum perlu dipikirkan
terlebih dahulu apakah kemungkinan perdarahan bersumber dari kelainan plasenta.3

Tidak ada definisi yang konsisten mengenai tingkat keparahan dari perdarahan
antepartum, namun Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG)
mengklasifikasikan tingkat keparahan HAP menjadi3 :

1. Spotting – noda, bercak darah yang ditemukan pada celana dalam atau pembalut

2. Minor Haemorrhage – perdarahan kurang dari 50mL

3. Major Haemorrhage – perdarahan 50-1000 mL, dengan tidak adanya tanda-tanda syok

4. Massive Haemorrhage – perdarahan lebih dari 1000 mL dan/atau tanda-tanda syok

B. Epidemiologi

Beberapa kejadian dilaporkan perdarahan pada pertengahan sampai awal trimester ketiga.
Lipitz dan kawan-kawan melaporkan bahwa 4 dari 65 wanita dengan perdarahan diantara 14
minggu sampai 26 minggu disebabkan oleh plasenta previa atau solusio plasenta dan 3 dari
65 janin meninggal. The Canadia Perinatal Network mengatakan 806 wanita dengan
perdarahan diantara kehamilan 22 minggu dan 28 minggu. Solusio plasenta 32%, plasenta
previa 21% dan perdarahan servikal 6.6%. Dinyatakan secara jelas bahwa perdarahan pada
trimester kedua dan ketiga disebabkan oleh kurangnya diagnosis saat kehamilan. Frekuensi
perdarahan antepartum kira- kira 3% dari seluruh persalinan. Di RS Tjipto Mangunkusumo
dilaporkan 14.3% dari seluruh persalinan.4

C. Penyebab

Perdarahan antepartum yang berbahaya dan paling sering ditemui umumnya bersumber
pada kelainan plasenta (70%), lesi lokal pada saluran kelamin (25%), dan sisanya penyebab
yang tidak diketahui (5%).3

Tabel 1. Penyebab perdarahan antepartum

Pada kasus perdarahan antepartum, perlu dipikirkan kemungkinan penyebab yang lebih
bahaya terlebih dahulu, yaitu perdarahan dari plasenta seperti plasenta previa dan solusio
plasenta, karena merupakan kemungkinan dengan prognosis terburuk dan terberat yang
memerlukan penatalaksanaan gawat darurat segera.

D. Pencegahan

Pada kasus perdarahan antepartum, pencegahan dapat dilakukan bersama oleh ibu hamil
dan tenaga kesehatan. Ibu hamil disarankan untuk menjalani pola hidup sehat yang baik dan
menjauhi merokok dan penggunaan obat-obat narkotika karena meningkatkan resikonya
perdarahan. Asuhan antenatal yang teratur juga perlu dijalani agar kondisi baik dari ibu dan
janin dapat diobservasi dengan baik dan ditangani segera jika ditemukan kelainan. Peran
tenaga kesehatan seperti bidan dan dokter juga sangat penting untuk menilai apakah butuh
penanganan segera pada ibu dan janin yang mengalami perdarahan antepartum. Riwayat
yang perlu ditanyakan secara detail pada kasus perdarahan antepartum adalah,
perdarahannya, nyeri perut dan faktor- faktor resiko dari perdarahan antepartum.

E. Diagnosis

1. Anamnesis :

 Perdarahan. Perlu diketahui banyak, warna, konsistensi, dan karakteristik perdarahan.

 Nyeri perut. Perlu diketahui letak, waktu terjadinya, frekuensi, berat dan durasi nyeri.
Jika terdapat kontraksi juga perlu dibedakan.
 Tonus uterus. Uterus yang lunak, dan tidak nyeri menunjukkan kesan sebagai
perdarahan dari saluran kelamin dan vasa previa. Jika timbul uterus yang keras
seperti papan menunjukkan solusio plasenta.

 Faktor pencetus. Perlu ditanyakan faktor pencetus seperti aktivitas seksual


sebelumnya dan trauma.

2. Pemeriksaan fisik. Tekanan darah, nadi, pernafasan, temperatur, saturasi oksigen dan
tingkat kesadaran perlu diobservasi. Pada palpasi dan Leopold, dicari letak posisi bayi
dan tonus uterus.

3. Pemeriksaan dalam. Pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan jika diagnosis plasenta
previa telah disingkirkan karena dapat mencetus perdarahan yang lebih parah.
Pemeriksaan dalam berfungsi untuk mencara letak perdarahan, pembukaan dan
kematangan serviks.

4. Pemeriksaan laboratorium. Pada kasus perdaharan, perlu dilakukan tes laboratorium Full
Blood Count, koagulasi, 4 unti Cross-matched, Apt test, golongan darah dan rhesus. Jika
pada wanita dengan rhesus negatif, disarankan untuk dilanjuti dengan pemeriksaan tes
Kleihauer. Apt Test berfungsi untuk membedakan apakah perdarahan berasal dari ibu atau
janin.

5. Pemeriksaan Ultrasound. Ultrasonografi sangat membantu untuk mengecek letak posisi


plasenta pada kasus dengan curiga plasenta previa. Selain itu USG juga dapat mengecek
kondisi, berat janin sesuai dengan usia kehamilan.

F. Tatalaksana

Tatalaksana Inisial :

1. Periksa Airway, Breathing, Circulation (ABC), tatalaksana emergensi.

2. Tanda-tanda vital dan skala nyeri.

3. Estimasi banyaknya kehilangan darah.


4. Periksa kondisi janin dengan kardiotokograf dan doppler untuk menghitung
denyut jantung janin.

Tatalaksana resusitasi jika ibu diindikasikan mengalami tanda-tanda vital yang tidak
stabil karena perdarahan :

1. Pasang akses IV ukuran besar 16 gauge.

2. Monitoring saturasi O2 dan beri oksigen sesuai kondisi.

3. Mengambil darah dan lakukan pemeriksaan darah rutin, koagulasi, cross- match,
Apt test, golongan darah dan rhesus, serta Kleihauer Test jika rhesus negatif pada
ibu.

4. Pemberian cairan untuk mengganti total perdarahan.

5. Pemberian analgesik jika terdapat keluhan nyeri yang hebat.

6. Pemasangan kateter urin untuk memonitor urin output.

7. Persiapan ruang operasi jika diperlukan segera.

8. Memberitahu dokter anastesia, hamatologis dan anak.

Gambar 2. Algoritma penanganan awal keluar darah pervaginam pada kehamilan lanjut
 PLASENTA PREVIA

Definisi

Plasenta previa adalah plasenta yang ada didepan jalan lahir sebagaimana kata “previa”
berasal dari kata prae yang artinya didepan dan vias yang art inya ja la n. Secara definisi,
plasenta previa ada lah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikian rupa
sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. Implantasi plasenta yang
normal adalah plasenta yang berimplantasi pada dinding depan atau belakang uterus di daerah
fundus uteri. Plasenta previa cukup sering dijumpai dan pada tiap perdarahan antepartum
4
kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan. Klasifikasi

Menurut letak plasenta melekat, plasenta previa dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu5 :

1. Plasenta previa totalis/komplit : adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium


uteri internum.

2. Plasenta previa parsialis : adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum

3. Plasenta previa marginalis : adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir
ostium uteri internum

4. Plasenta letak rendah : adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
uterus demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak < 2cm dari
ostium uteri internum. Jarak yang >2 cm dianggap plasenta letak normal.
Gambar 3. Tipe-tipe plasenta previa Parsialis

Dari klasifikasi plasenta previa tersebut, perlu diketahui bahwa hanya plasenta previa totalis
yang sama sekali tidak dapat melahirkan pervaginam.

Epidemiologi

Menurut data kelahiran pada tahun 2003 di Amerika Serikat, plasenta previa ditemukan sebesar 1
dari 300 persalinan dan lebih banyak ditemukan pada kehamilan dengan paritas tinggi dan usia di
atas 30 tahun. Di Parkland Hospital, insiden plasenta previa ditemukan sebesar 1 di antara 390
pada lebih dari 280.000 persalinan yang terjadi antara tahun 1998 hingga 2006. Sedangkan di
Indonesia, plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 di antara 200 presalinan. Pada beberapa
Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7% hingga dengan 2,9%.
Tingkat insiden plasenta previa yang jauh lebih tinggi dibanding negara maju disebabkan oleh
karena masih banyaknya angka perempuan hamil dengan paritas tinggi.6

Etiologi

Belum diketahui secara pasti penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah uterus,
mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah uterus
tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, akibat dari proses radang atau
atrofi.7

Berikut beberapa faktor resiko pada plasenta previa :

1. Tingginya usia ibu : Semakin lanjut usia ibu semakin meningkatkan resiko terjadinya
plasenta previa. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki resiko 1,1% untuk
mengalami plasenta previa, dibandingkan dengan wanita berusia kurang dari 35 tahun
yang memiliki resiko 0,5%.

2. Multiparitas : Kemungkinan terjadinya plasenta previa meningkat lebih dari 8x lipat pada
perempuan dengan angka paritas lebih dari empat kali. Semakin jarak antar kehamilan
pendek atau singkat, akan meningkatkan resiko terjadinya plasenta previa karena plasenta
yang baru berusaha mencari tempat untuk mengimplantasi selain dari bekas plasenta
sebelumnya.

3. Kehamilan ganda : Terdapat studi yang melaporkan angka kejadian plasenta previa 40%
lebih tinggi pada kehamilan ganda dibandingkan dengan kehamilan janin tunggal.
Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa
menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah uterus sehingga menutupi
sebagian atau seluruh ostium uteri internum.

4. Riwayat kelahiran Caesar : Riwayat kelahiran Caesar meningkatkan resiko terjadinya


plasenta previa. Pada penelitian tahun 2006 terhadap 30.132 perempuan, insiden
terjadinya plasenta previa ditemukan sebesar 1,3% pada populasi yang memiliki riwayat
satu kali kelahiran Caesar, dan 3,4% pada mereka yang pernah menjalani dua kali atau
lebih kelahiran Caesar.

5. Merokok : Perempuan perokok memiliki resiko yang tinggi untuk me nga la mi p lase nta
pre via. Res iko nya te rjad inya p lase nta pre via meningkat 2x lipat pada perempuan
yang merokok. Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok
menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Yang mungkin
terkait, terganggunya vaskularisasi desidua, akibat perubahan atropik atau peradangan.

Gambaran Klinis

Gejala yang paling menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus yang keluar melalui
vagina tanpa adanya rasa nyeri. Selain itu darah yang keluarh melalui vagina umumnya berwarna
merah segar. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan
pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri, perdarahan akan kembali berulang tanpa
sesuatu yang jelasdan bertambah leih banyak dibanding pertama. Pada plasenta letak rendah,
perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan.

Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah uterus, maka pada palpasi abdomen sering
ditemui bagian terbawah janin yang masih tinggi di atas simfisis. Bagian terendah janin yang
tinggi disebabkan oleh tidak dapat nya bagian janin yang dapat masuk ke pintu atas panggul
karena plasenta yang menutupi ostium uteri internum.

Pada perempuan dengan plasenta previa, sering dapat ditemukan kelainan letak janin. Pada
pemeriksaan lepolod, umumnya ditemukan letak janin tidak dalam letak memanjang dikarenakan
janin yang tidak dapat berotasi leluasa karena adanya hambatan oleh plasenta yang terletak di
bagian bawah uterus. Selain itu pada plasenta previa, palpasi abdomen tidak akan membuat ibu
merasa nyeri dan tidak tegang yang membedakan plasenta previa dengan solusio plasenta.6
Diagnosis

1. Anamnesis. Terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada ibu mengenai
perdarahan, seperti sejak kapan, banyak, warna, konsistensi, dan karakteristik dari
perdarahan. Informasi mengenai nyeri seperti letak, sejak kapan, frekuensi, dan
keparahan nyeri juga dapat memperkuat diagnosis. Beberapa pertanyaan seperti faktor
pencetus, misalnya aktivitas seksual sebelumnya dan trauma juga dapat membantu
menyingkirkan diagnosis yang lain.

2. Pemeriksaan luar. Biasa dapat ditemukan posisi terendah janin yang masih tinggi dan
kelainan letak janin melalui pemeriksaan Leopold. Selain itu, pada palpasi perut perlu
diinterpretasikan apakah perut terasa lunak atau tegang dan keras yang sering ditemukan
pada solusio plasenta.

3. Pemeriksaan dalam. Pada ibu janin dengan curiga plasenta previa tidak boleh dilakukan
pemeriksaan dalam karena akan mencetus perdarahan yang lebih banyak. Oleh karena
itu, pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan di kamar operasi dengan segala persiapan
rencana Caesar jika diind ika s ika n unt uk Sect io Secar ea pada p lase nta p re via tot a
lis. Pemeriksaan dalam berfungsi untuk mengetahui sumber dari perdarahan dan juga tipe
dari plasenta previa.

4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG). USG telah menjadi diagnosa gold st andard pada dia
gnosa p lase nt a pre via. Tra nsabdo mina l US G memberikan kepastian diagnosis
plasenta previa dengan ketepatan tinggi hingga 96-98%. Transvaginal USG juga memiliki
tingkat ketepatan diagnosis yang tinggi hingga mencapai 98-100%. Selain kedua jenis
USG terseb ut, terdapa t tra nsp er ine a l US G ya ng j uga dapa t me mba nt u
menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan 90%.

5. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI juga dapat dipergunakan untuk
mendeteksi kelainan pada plasenta termasu plasenta previa. Namun MRI kalah praktis
jika dibandingkan dengan USG, terlebih dalam suasana yang mendesak. Selain itu,
karena masalah harga dan tidak banyak pusat kesehatan yang memiliki MRI, USG tetap
menjadi alat diagnosa yang dipilih.8

Komplikasi

Komplikasi pada ibu :


1. Anemia oleh karena pembentukan segmen rahim yang terjadi secara ritmik, maka
pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak,
dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia
bahkan syok.

2. Kelainan pada perlekatan plasentaPlasenta previa sering diasosiasikan dengan kelainan


pada perlekatan plasenta, seperti plasenta akreta, inkreta dan perkreta. Oleh karena
plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim yang bersifat tipis menyebabkan
jaringan trofoblas menjadi lebih mudah untuk invasi menerobos ke dalam miometrium
bahkan perimetrium. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang pernah seksio
sesarea.

3. PerdarahanServiks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat
potensial untuk robek dan disertai oleh perdarahan yang banyak. Oleh karena itu, harus
sangat berhati-hati pada semua tindakan manual.

Komplikasi pada janin :

1. Kelainan letakPada plasenta previa lebih sering terjadi kelainan letak janin, hal ini
memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.

2. Kelahiran prematur dan gawat janinKelahiran prematur dan gawat janin sering tidak
terhindarkan sebagian oleh karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan
dalam kehamilan belum aterm. Pada kehamilan <37 minggu dapat dilakukan
amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian kortikosteroid
untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi. Asfiksia yang bisa
disebabkan oleh plasenta yang terlepas terlalu awal dan adanya kompresi dari tali pusat.
Kematian janin di dalam rahim disebabkan oleh hipovolemia maternal dan syok.

Tatalaksana

1. Tatalaksana Umum :

a. Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCL 0,9% atau
Ringer Laktat).

b. Lakukan penilaian jumlah perdarahan.


c. Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea tanpa
memperhitungkan usia kehamilan.

d. Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur,
pertimbangkan terapi ekspektatif

2. Tatalaksana Khusus :

a. Terapi Konservatif, agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis
dilakukan secara non-invasif.

b. Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.

c. Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.

d. Berikan tokolitik bila ada kontraksi : MgSO4 4g IV dosis awal dilanjutkan 4g


setiap 6 jam, atau Nifedipin 3x20mg/hari. Pemberian tokolitik dikombinasikan
dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.

e. Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60mg selama 1
bulan.

f. Pastikan tersedianya sarana transfusi.

g. Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, ibu
dapat dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi
perdarahan.

Syarat terapi ekspektatif :

a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti dengan atau tanpa
pengobatan tokolitik.

b. Belum ada tanda impartu

c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam kadar normal)

d. Janin masih hidup dan kondisi janin baik

Terapi Aktif
 Rencanakan terminasi kehamilan jika :

a. Usia kehamilan cukup bulan

b. Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi kelangsungan
hidupnya (misalnya anensefali)

c. Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang usia
kehamilan

 Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi
kepala, maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam
masih dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan engan seksio sesarea.

 Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari
tempat plasenta : a. Jahit lokasi perdarahan dengan benang.

b. Pasang infus oksitosin 10 unit pada 500 mL cairan IV (NaCL 0,9% atau Ringer Laktat) dengan
kecepatan 60 tetes/menit.

c. Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai, seperti ligasi arteri
dan histerektomi.
Gambar 4. Guideline tatalaksana plasenta previa.

SOLUSIO PLASENTA

Definisi

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari
tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya yakni
sebelum anak lahir. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini yaitu abruptio placentae, ablatio
placentae, dan accidental hemorrhage. Beberapa studi menyebutkan solusio plasenta ditegakkan
bila terdapat perdarahan pada usia kehamilan di atas 24 minggu dan sebelum kelahiran, namun
secara definitif diagnosisnya baru bisa ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada
permukaan maternal plasenta. Solusio plasenta jauh lebih berbahaya dibanding plasenta previa
bagi ibu hamil dan janinnya.6
Klasifikasi

Klasifikasi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta4 :1. Solusio plasenta totalis,
plasenta terlepas seluruhnya.2. Solusio plasenta parsialis, plasenta terlepas sebagian.3. Ruptura
sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas. Klasifikasi solusio plasenta
menurut bentuk perdarahan6 :

1. Solusio plaseta dengan perdarahan keluar (revealed hemorrhage). Biasanya perdarahan


yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap
di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikaslis dan keluar
melalu vagina.

2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage). Ada kalanya,


perdarahan tersebut tidak akan keluar melalui vagina dan tersembunyi di dalam uterus jika,
bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim, selaput ketuban
masih melekat pada dinding rahim, perdarahan masuk ke dalam kanton gketuban setelah
selaput ketuban pecah karenanya, dan bagian terbawah janin umumnya kepala menempel
ketat pada segmen bawah rahim.

Gambar 5. Tipe-tipe solusio plasenta

Epidemiologi

Frekuensi diagnosis solusio plasenta bervariasi karena perbedaan kriteria tetapi frekuensi rata-
rata yang dilaporkan adalah 1 dalam 200 kelahiran. Dalam basis data mengenai 15 juta kelahiran
miliki National Centre For Health Statistic melaprokan insiden solusio plasenta dalam kelahiran
bayi tunggal sebanyak 1 diantara 160 kelahiran. Namun, seiring ddengan berkurangnya jumlah
perempuan dengan paritas tinggi yang melahirkan dan semakin baniknya transportasi darurat
serta tersedianya asuhan antenatal, frekuensi solusio plasenta menurun hingga mencapai sekitar 1
diantara 830 kelahiran.9

Etiologi

Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian,
beberapa hal tersebut dibawah ini diduga merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada
kejadiannya, antara lain10 :

1. Riwayat solusio plasenta sebelumnya. Hal yang sangat penting dan menentukan
prognosis ibu dnegan riwayat solusio plasenta adalah resiko berulangnya lebih tinggi
dibanding yang tidak memiliki riwayat tersebut. Resiko relatif 10-25%.

2. Faktor kardiorenovaskuler. Glomerulo nefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma


preeklampsia dan eklampsia meningkatkan resiko ibu mengalami solusio plasenta.
Sebuah studi, menemukan bahwa pada setengah kasus solusio plasenta berat, seluruh
wanita tersebut menderita hipertensi kronik.

3. Faktor usia ibu. Peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan peningkatan
umur ibu, hal ini karena semakin tua umur ibu, semakin tinggi juga frekuensi hipertensi
kronik.

4. Faktor trauma. Trauma yang dapat terjadi antara lain karena dekompresi uterus pada
hidramnion dan gemeli. Selain itu, juga dapat dicetus dengan tarikan pada tali pusat
yang pendek akibat pergerakan janin, versi luar atau tindakan pertolongan. Trauma
langsung juga dapat mencetuskan terjadinya solusio plasenta.

5. Leiomioma uteri. Dapat menyebabkan resiko solusio plasenta apabila plasenta


berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.

6. Faktor merokok dan penggunaan kokain. Kedua zat tersebut dapat meningkatkan
tekanan darah ibu, menyebabkan dinding plasenta menjadi tipis, dan vasospasme
pembuluh darah uterus yang dapat berakibat terlepasnya plasenta.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau luas
permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio
plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa nyeri perut
dan uterus tegang terus menerus mirip his partus prematurus.9

1. Solusio plasenta ringanLuas p las e nta ya ng ter lepas t idak sa mpa i 25%, ata u ada ya ng
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya <250 mL. Tumpahan
darah yang keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang
banyak. Gejala- gejala perdarahan sulit dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang
kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.

2. Solusio plasenta sedang

Luas plasenta yag terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai separuhnya (50%).
Jumlah darah yang keluar 250-1000mL. Umumnya perdarahan darah terjadi keluar dan kedalam
bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus
menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.

3. Solusio plasenta beratLuas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang
keluar telah mencapai 1000mL atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi keluar dan kedalam
bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk
disertai syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal
ginjal yang ditandai pada oliguria biasanya telah ada.

2.3.6 Diagnosis

1. Anamnesis. Pada anamnesis, umumnya dapat ditemukan nyeri perut yang bersifat tiba-tiba dan
diikuti dengan perdarahan pervaginam yang bersifat banyak, terdapat gumpalan darah
dan berwarna kehitaman. Pergerakan anak mulai hebat awalnya kemudian terasa pelan
dan akhirnya berhenti, selain itu pasien sering merasa pusing, lemas, pucat. Riwayat
trauma juga perlu diperhatikan.

2. Pemeriksaan luar. Pasien dapat terlihat tanda-tanda syok, seperti pucat, sianosis, gelisahh dan
berkeringat dingin. Pada saat palpasi TFU terkadang tidak sesuai dengan usia kehamilan,
uterus tegang dan keras seperti papan, nyeri tekan dan sulit mengenali bagian janin.

3. Pemeriksaan dalam. Pada saat pemeriksaan dalam, serviks dapat telah terbuka atau masih
tertutup, sedangkan plasenta juga dapat teraba menonjol dan tegang pada pemeriksaan.
4. Pemeriksaan laboratorium. Pada cek lab darah rutin, biasa dapat ditemukan Hb yang menurun.
Periksa golongan darah dan lakukan cross- match test karena sering terjadi kealinan
pembekuan darah hipofib r ino ge ne m ia.

5. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG). Pada USG dapat ditemukan seperti daerah terlepasnya
plasenta, darah, tepian plasenta dan posisi janin.

2.3.7 Komplikasi

1. Syok perdarahan. Perdarahan pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali
dengan dilakukan persalinan segera. Umumnya, perdarahan yang terjadi sangat banyak
dan hebat menyebabkan ibu mengalami syok perdarahan yang hebat.

2. Gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipo vo le mia kare na pe rdara ha n ya
ng te rjad i. Hipo vo le mi aka n menyebabkan perfusi ginjal terganggu dan membuat
terjadinya nekrosis tubuli ginjal. Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat dari nekrosis
tubuli dan korteks ginjal.

3. Kelainan pembekuan darah. Biasa hal ini disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Kadar
fibrinogen plasma akan menurun akibat dari terjadinya perdarahan yang hebat sehingga
fungsi pembekuan darah akan terganggu.

4. Apople uteroplacenta. Biasa disebut sebagai Uterus Couvelaire. Hal ini dapat terjadi akibat
dari perdarahan yang terjadi hingga ke dalam otot-otot uterus, ligamentum latum yang
menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan wana uterus akan berubah menjadi biru
keunguan.

Tatalaksana

 Pada kasus solusio plasenta tidak boleh ditatalaksana pada fasilitas kesehatan dasar, harus
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

 Jika terjadi perdarahan hebat dengan tanda-tanda syok pada ibu, lakukan persalinan segera :

a. Jika pembukaan serviks lengkap, lakukan persalinan dengan ekstraksi vakum

b. Jika pembukaan serviks belum lengkap, lakukan persalinan dengan seksio sesarea.
 Waspadalah terhadap kemungkinan perdarahan pascasalin.

 Jika perdarahan ringan atau sedang dan belum tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ) :

a. DJJ normal, lakukan seksio sesarea

b. DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal, pertimbangkan
persalinan pervaginam

c. DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah, pecahkan ketuban
dengann kokher : Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
Jika serviks kenyal, tebal dan tertutup, lakukan seksio sesarea.

d. DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180x/menit), lakukan persalinan
pervaginam segera, atau seksio sesarea bila persalinan pervaginam tidak
memungkinkan.

 Beri transfusi darah sesuai kebutuhan ibu, bila terjadi perdarahan hebat dengan tanda-tanda
syok dan kelainan pembekuan darah.

RUPTUR UTERI

Definisi

Ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 2, komplit dan inkomplit. Yang dimaksud dengan ruptura
uteri komplit ialah keadaan robekan pada uterus dimana telah terjadi hubungan langsung antara
rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritonemum viserale dan kantong ketuban keduanya
ikut ruptur dengan demikian janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar kontraksi terakhir
rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen. Pada ruptur uteri inkomplit
hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh peritonemum viserale. Pada keadaan yang
dmeikian janin belum masuk kedalam rongga peritoneum. Ruptura uteri baik yang terjadi dalam
masa hamil atau dalam persalinan merupakan suatu kasus emergensi bagi ibu maupun janin.
Dalam keadaan ruptur uteri, sejumlah besar janin atau hampir tidak ada janin yang dapat
diselamatkan, dan sebagian besar dari ibu tersebut meninggal akibat perdarahan atau infeksi.4

Klasifikasi

Klasifikasi ruptur uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut4 :


1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil :

3. Pembedahan pada miometrium: seksio sesarea atau histerektomi, histerorafia,


miomektomi yang sampai menebus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada kornua
uterus atau bagian interstisial, metroplesti.

4. Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau sonde pada penanganan
abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada
kehamilan sebelumnya.

5. Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian uterus yang tidak berkembang.

2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan :

 Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat dan terus-menerus, pemakaian kantong
gestasi atau ruang amnion seperti lartuan garam fisiologik atau prostaglandin,
perforasi dengan kateter pengukur tekanan intrauterin, trauma luar tumpul atau tajam,
versi luar, pembesaran uterus yang berlebih misalnya hidramnion dan kehamilan
ganda.

Gambar 6. Ruptur Uterus

 Dalam periode intrapartum: versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi


bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah
uterus, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual
plasenta.

 Cacat rahim yagn didapat: plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas
gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidarus inkarserata.
Epidemiologi

Pada suatu studi dari India, ruptur uteri adalah penyebab dari 9,3 % dari kematian ibu
hamil. Ruptur uteri sering ditemukan pada wanita dengan riwayat operasi seksio
sesarea sebelumnya. Studi dari Kanada menemukan terdapat kenaikan resiko untuk
terjadinya ruptur uteri pada wanita dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya sebesar
0,56%. Namun, ruptur uterus sangat jarang terjadi pada bekas seksio sesarea dengan
metode Low Segment Cesarean Sectio dan terjadi kurang dari 1% pada wanita yang
6
melahirkan pervaginam dengan bekas seksio sesarea. 2.4.4 Etiologi Terdapat
11
beberapa penyebab dari ruptur uteri, yakni :

1. Ruptur nya jaringan parut bekas seksio sesarea, miomektomi, riwayat kuretase.

2. Disfungsi persalinan (partus lama, distosia)

3. Induksi atau akselerasi persalinan yang distimulasi berlebihan

4. Grande multipara

Gambaran Klinis

Pada ibu hamil yang mengalami ruptur uteri, karena perdarahan yang hebat, biasa
ditemukan tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat, pucat anemis, tanda-tanda
hipovolemia. Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan pervaginam. Gejala yang
paling sering ditemukan adalah nyeri perut hebat yang dapat berkurang setelah ruptur terjadi.
Pada palpasi juga ditemukan bentuk uterus yang abnormal dengan kontur tidak jelas, selain itu
terdapat nyeri tekan dinding perut. Pada pemeriksaan Leopold, bagian-bagian janin mudah
dipalpasi. Selain itu, tanda khas seperti lingkaran konstriksi patologis (Bandl’s Ring) sering
ditemukan.6

Diagnosis

1. Anamnesis, pada anamnesis akan ditemukan riwayat nyeri perut yang hebat pada awal
kontraksi uterus dan semakin menurun diikuti dengan menghilangnya kontraksi uterus.
Perdarahan bisa atau tidak terjadi. Tanda-tanda gelisah, pucat, keringat dingin, dan muntah-
muntah sering ditemukan.
2. Pemeriksaan luar, akan ditemukan tekanan darah yang menurun, nadi yang lemah dan cepat.
Pada pemeriksaan abdomen, akan ditemukan gambaran Bandl’s Ring, dan nyeri tekan pada
perut yang hebat. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, maka teraba bagian-bagian janin
langsung di bawah kulit perut. Selain itu, akan ditemukannya tanda-tanda janiin dari
kardiotokograf dan DJJ yang semakin menurun atau meningkat.

Gambar Bandl’s Ring

3. Pemeriksaan dalam, kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah dapat dengan mudah
didorong ke atas, dan disertai keluarnya darah pervaginam. Jika rongga uterus sudah kosong,
dapat diraba robekan pada dinding rahim dan teraba usus, omentum dan bagian-bagian janin.
Dinding perut dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari-jari tangan dalam sehingga ujung
jari-jari tangan luar mudah untuk teraba.

Komplikasi

Berikut beberapa komplikasi yang sering ditemukan pada ruptur uteri :

1. Kematian maternal Terdapat beberapa penyebab dari ruptur uteri yang mengancam nyawa
ibu hamil, yang paling sering adalah perdarahan hebat dan terjadi secara cepat. Perdarahan
yang hebat akan menurunkan sirkulasi darah kepada ibu hamil dan menybabkan syok
perdarahan. Selain itu, ibu yang mengalami ruptur uteri juga memiliki resiko tinggi
terjadinya emboli cairan amniom dan infeksi karena ruptur uteri.

2. Kematian janinPada kasus ruptur uteri menyebabkan hampir pastinya kematian janin.
Ruptur uteri yang terjadi secara tiba - tiba dan perdarahan hebat, menyebabkan sirkulasi
darah dan oksigen ke janin akan menurun secara cepat dan terjadi gawat janin dan
meninggal sebelum dapat diberian penanganan.

Tatalaksana

1. Tatalaksana umum :

a. Berikan oksigen

b. Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena


(NaCL 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan

c. Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan plasenta

2. Tatalaksana khusus :

d. Jika uterus dapat diperbaiki dengan resiko operasi lebih rendah daripada
histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus
(histerorafi). Tindakan ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan
menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.

e. Jika uterus tidak dapat diperbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan
memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin diperlukan.

VASA PREVIA

Definisi

Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam selaput ketuban dan
melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai ke dalam insersinya tali pusat.
Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati pembukaan serviks robek atau pecah dan
vaskular janin itupun ikut terputus.4
Epidemiologi

Keadaan seperti vasa previa sangat jarang ditemukan, dilaporkan kira-kira 1 dalam 5.000
kehamilan. Perdarahan antepartum pada vasa previa menyebabkan angka kematian janin yang
tinggi (33 hingga 100%).12

Etiologi

Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban yang berada di depan
ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut berasal dari insersio velamentosa dari tali pusat
atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus aksesorius).

Insersio velamentosa adalah insersi tali pusat pada selaput janin, dan sering terjadi pada
kehamilan ganda. Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan dengan plasenta oleh selaput
janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan
kelainan perkembangan plasenta.

Faktor resiko antara lain pada plasenta bilobata, plasenta suksenturiata, plasenta letak rendah,
kehamilan pada fertilisasi in vitro, dan kehamilan ganda terutama triplet. Semua keadaan ini
berpeluang lebih besar bahwa vaskular janin dalam selaput ketuban melewati ostium uteri.
Secara teknis keadaan ini dimungkinkan pada dua situasi yaitu pada insersio velamentosa dan
plasenta suksenturiata.11

Gambaran Klinis

1. Perdarahan dapat timbul mulai pada usia kehamilan di atas 24 minggu

2. Darah yang keluar berwarna merah segar


3. Tidak disertai atau dapat disertai nyeri perut dan kontraksi uterus

4. Perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak
maka dengan cepat bunya DJJ janin akan menjadi buruk

Diagnosis

Pada kasus vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat diduga jika pada saat
antenatal dilakukan USG dengan Color Doppler yang dapat memperlihatkan adanya pembuluh
darah pada selaput ketuban di depan ostium uteri internum. Selain itu juga dapat dilakukan tes
APT (Kleihauser-Betke) yang adalah uji pelarutan basa hemoglobin. Karena darah janin yang
tahan terhadap suasana alkali maka jika darah tersebut berasal dari janin, maka eritrosis tersebut
tidak akan pecah dan campuran akan tetap berwarna merah, namun jika darah tersebut berasal
dari ibu, maka eritrosit akan pecah dan campuran berubah wrna menjadi coklat. Pemeriksaan
yang terbaik adalah dengan elektroforesis.

Diagnosis dapat dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput ketuban dan plasenta, namun
seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan
yang terjadi sudah berdampak fatal bagi janin.12

Tatalaksana

Penatalaksanaan vasa previa sangat bergantung pada status janin. Bila ada keraguan tentang
viabilitas janin, perlu ditentukan terlebih dahulu umur kehamilan, berat janin, maturitas paru dan
pemantauan kondisi janin dengan USG dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan cukup matur,
dapat dilakukan seksio sesarea segera namun bila janin sudah meninggal atau imatur, dilakukan
persalinan pervaginam.

Anda mungkin juga menyukai