ANTI KORUPSI
( Arti Pentingnya Ratifikasi Konfensi AntiKorupsi )
Disusun Oleh
Kelompok 4
Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu
Corruptio yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran,
dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan
suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan
suap. Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan
manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia
dalam Encyclopedia of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap
sangat spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah
pemerintah semata. Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan
negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke sektor swasta,
maka definisi korupsi mengalami perluasan. Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan
yang dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik
baik politisi, pegawai negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan
cara melanggar hukum. Berpijak pada hal tersebut Transparancy International memasukan
tiga unsur korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan
keuntungan pribadi baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi
dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan
terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan
baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga
pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan
kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan materil.
Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai
sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak
pada hubungan ekonomi yang merugikan. Keengganan Singapura untuk memberikan
informasi terhadap para koruptor Indonesia yang kabur ke negara tersebut telah memanaskan
hubungan diplomasi yang selama ini terbangun dengan baik. Pendek kata, pemberantasan
korupsi tidak akan efektif jika tidak ada dukungan internasional untuk memberantasnya. Para
koruptor bisa menyimpan hasil jarahannya di negara lain, secara fisik koruptor juga dapat
hidup nyaman di negara lain. Oleh karenanya, konvensi anti korupsi lahir sebagai bentuk
keperdulian global terhadap dampak korupsi yang kian mengkhawatirkan
Semangat global untuk memerangi korupsi sejatinya sudah muncul sebelum lahirnya
konvensi antikorupsi PBB. Pada 29 Maret 1996, konvensi antikorupsi antarnegara Amerika
(The Organization of American States) atau disingkat OAS ditandatangani di Caracas,
Venezuela. Konvensi ini ditandatangani 23 dari 35 negara anggota OAS. Kini, konvensi ini
pun diberlakukan di Bolivia, Costa Rica, Ecuador, Mexico, Paraguay, Peru, dan Venezuela
yang kemudian ikut meratifikasinya.
Konvensi Antikorupsi PBB pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang
harus dipatuhi para peserta antara lain :
1. Para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang
pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas, dan
mengkoordinasikan kebijakan antikorupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat,
dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakkan hukum, pengelolaan
urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan
akuntabilitas di sektor publik.
2. Membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan
antikorupsi yang diadopsi oleh Konvensi Antikorupsi.
3. Melakukan perbaikan dalam sistim birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang
menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
4. Setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para
pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan
fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik.
5. Membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan
publik, dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, peran peradilan yang bersih
dalam pemberantasan korupsi.
6. Melakukan pencegahan korupsi di sektor swasta yang mengedepankan transparansi,
sistim akunting dan pelaporan. Ketujuh, melaksanakan pelibatan masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Selanjutnya, negara peserta Konvensi Antikorupsi juga harus melakukan usaha
pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk
pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, ahli dan
korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja
sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan
sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi
dalam penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas
korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis,
ekstradisi,pengembalian aset ( asset recovery ), dan sebagainya.
Yang patut disayangkan, meskipun Indonesia sudah menandatangani Konvensi
Antikorupsi PBB pada 18 Desember 2003, hingga kini Indonesia belum meratifikasi
konvensi tersebut. Seharusnya sebagai negara yang paling parah dalam perihal korupsinya,
Indonesia tidak perlu berpikir dua kali untuk tidak atau meratifikasinya.Karena dengan
meratifikasi konvensi tersebut, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan antara lain :
1. Indonesia telah menunjukan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat
Internasional dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat
Internasional (studi PERC 2005 dan TI 2005) selama ini masih menganggap
Indonesia adalah negara terkorup sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat
berinvestasi yang menguntungkan.
2. Dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia dapat menerapkan standar
internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal framework dan
strateginya. Jikapun ada usaha-usaha untuk memperdayai agenda pemberantasan
korupsi dengan melumpuhkan berbagai peraturan antikorupsi, dunia Internasional
dapat mendesak Indonesia untuk mengamandemennya sebagaimana pernah dilakukan
pada UU pencucian uang.
3. Indonesia dapat mendesak dunia Internasional untuk melakukan kerjasama
pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan upaya ekstradisi
koruptor, penerapan mutual legal assistance, asset recovery dan sebagainya. Meskipun
ada usaha dari pemerintah melalui mekanisme komunikasi government to government
sebagaimana sedang dilakukan kepada Singapura, Swiss, Cina dan Hongkong untuk
mengembalikan harta negara yang dilarikan ke luar negeri, namun usaha tersebut
tidak dalam kerangka payung hukum internasional sehingga efektifitasnya menjadi
tidak bisa diandalkan. Dengan demikian, sesusungguhnya tidak ada alasan bagi
Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi konvensi antikorupsi.