Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

ANTI KORUPSI
( Arti Pentingnya Ratifikasi Konfensi AntiKorupsi )

Disusun Oleh

Kelompok 4

1. Marcelina marlissa 6. Siti syam


2. Herlina 7. Eka saputra
3. Sri Rahayu 8. Nurul adeli
4. Vince terinathe 9. Carolina sounpet
5. Reni ayu Masrikat 10. Santi
11. Azan
A. Pengertian Korupsi

Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu
Corruptio yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran,
dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan
suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan
suap. Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan
manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia
dalam Encyclopedia of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap
sangat spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah
pemerintah semata. Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan
negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke sektor swasta,
maka definisi korupsi mengalami perluasan. Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan
yang dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik
baik politisi, pegawai negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan
cara melanggar hukum. Berpijak pada hal tersebut Transparancy International memasukan
tiga unsur korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan
keuntungan pribadi baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi
dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan
terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan
baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga
pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan
kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan materil.

B. Pentingnya Ratifikasi Konvensi AntiKorupsi

Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya


praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas
dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu
negara dengan negara yang lain. Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang
bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat
kebersamaan.Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam
memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik
ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun
ekonomi.

Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai
sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak
pada hubungan ekonomi yang merugikan. Keengganan Singapura untuk memberikan
informasi terhadap para koruptor Indonesia yang kabur ke negara tersebut telah memanaskan
hubungan diplomasi yang selama ini terbangun dengan baik. Pendek kata, pemberantasan
korupsi tidak akan efektif jika tidak ada dukungan internasional untuk memberantasnya. Para
koruptor bisa menyimpan hasil jarahannya di negara lain, secara fisik koruptor juga dapat
hidup nyaman di negara lain. Oleh karenanya, konvensi anti korupsi lahir sebagai bentuk
keperdulian global terhadap dampak korupsi yang kian mengkhawatirkan

Semangat global untuk memerangi korupsi sejatinya sudah muncul sebelum lahirnya
konvensi antikorupsi PBB. Pada 29 Maret 1996, konvensi antikorupsi antarnegara Amerika
(The Organization of American States) atau disingkat OAS ditandatangani di Caracas,
Venezuela. Konvensi ini ditandatangani 23 dari 35 negara anggota OAS. Kini, konvensi ini
pun diberlakukan di Bolivia, Costa Rica, Ecuador, Mexico, Paraguay, Peru, dan Venezuela
yang kemudian ikut meratifikasinya.

Di samping menandatangani konvensi, pada pertemuan di Lima, Peru, Juni 1997,


Majelis Umum OAS pun telah mengesahkan Plan Against Corruption. Dengan rencana ini,
OAS memberikan dukungan pada negara-negara anggotanya. OAS pun bekerjasama dengan
penduduk setempat dan organisasi internasional lainnya termasuk Bank Dunia, Inter-
American Development Bank, dan OECD dalam mencegah dan mengontrol korupsi.
Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam

Konvensi Antikorupsi PBB pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang
harus dipatuhi para peserta antara lain :
1. Para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang
pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas, dan
mengkoordinasikan kebijakan antikorupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat,
dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakkan hukum, pengelolaan
urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan
akuntabilitas di sektor publik.
2. Membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan
antikorupsi yang diadopsi oleh Konvensi Antikorupsi.
3. Melakukan perbaikan dalam sistim birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang
menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
4. Setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para
pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan
fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik.
5. Membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan
publik, dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, peran peradilan yang bersih
dalam pemberantasan korupsi.
6. Melakukan pencegahan korupsi di sektor swasta yang mengedepankan transparansi,
sistim akunting dan pelaporan. Ketujuh, melaksanakan pelibatan masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Selanjutnya, negara peserta Konvensi Antikorupsi juga harus melakukan usaha
pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk
pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, ahli dan
korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja
sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan
sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi
dalam penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas
korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis,
ekstradisi,pengembalian aset ( asset recovery ), dan sebagainya.
Yang patut disayangkan, meskipun Indonesia sudah menandatangani Konvensi
Antikorupsi PBB pada 18 Desember 2003, hingga kini Indonesia belum meratifikasi
konvensi tersebut. Seharusnya sebagai negara yang paling parah dalam perihal korupsinya,
Indonesia tidak perlu berpikir dua kali untuk tidak atau meratifikasinya.Karena dengan
meratifikasi konvensi tersebut, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan antara lain :
1. Indonesia telah menunjukan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat
Internasional dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat
Internasional (studi PERC 2005 dan TI 2005) selama ini masih menganggap
Indonesia adalah negara terkorup sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat
berinvestasi yang menguntungkan.
2. Dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia dapat menerapkan standar
internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal framework dan
strateginya. Jikapun ada usaha-usaha untuk memperdayai agenda pemberantasan
korupsi dengan melumpuhkan berbagai peraturan antikorupsi, dunia Internasional
dapat mendesak Indonesia untuk mengamandemennya sebagaimana pernah dilakukan
pada UU pencucian uang.
3. Indonesia dapat mendesak dunia Internasional untuk melakukan kerjasama
pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan upaya ekstradisi
koruptor, penerapan mutual legal assistance, asset recovery dan sebagainya. Meskipun
ada usaha dari pemerintah melalui mekanisme komunikasi government to government
sebagaimana sedang dilakukan kepada Singapura, Swiss, Cina dan Hongkong untuk
mengembalikan harta negara yang dilarikan ke luar negeri, namun usaha tersebut
tidak dalam kerangka payung hukum internasional sehingga efektifitasnya menjadi
tidak bisa diandalkan. Dengan demikian, sesusungguhnya tidak ada alasan bagi
Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi konvensi antikorupsi.

C. Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menjadi Hukum Nasional


1. Hubungan Internasional dan Hukum Nasional
Dalam kehidupan masyarakat internasional, ada interaksi antara hukum internasional
dan hukum nasional. Negara dalam hidup bernasyarakat membentuk hukum
internasional, sedangkan masing-masing negara memiliki hukum nasional. Perjanjian
yang di buat oleh negara masuk dalam runag lingkup hukum internasional, tetapi
untuk mengimplementasikan hukum internasional sering memerlukan perundang-
undangan nasional. Kekebalan diplomatik yang disediakan hukum internasional, tidak
ada artinya bila tidak diakui dan tidak dilindungi oleh hukum nasional.
Kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, dapat
diambil suatu aturan bahwa hukum nasional tidak mempunyai pengaruh pada
kewajiban negara di tingkat internasional, tetapi hukum internasional tidak sama
sekali meninggalkan hukum nasional. Namun untuk menentukan lebih jauh
bagaimana hukum internasional dan hukum nasional harus saling bereksistensi, serta
apa yang terjadi bila ada konflik antarkeduanya, digunakannlah teori hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional, yaitu teori monisme dan teori dualisme.
Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistim hukum yang secara keseluruhan berbeda.
Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional itu merupakan
bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya.
Berdasarkan teori monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional
herarkinya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional
tunduk pada hukum internasional dalam arti hukum nasional harus sesuai dengan
hukum internasional. Namun ada pula monisme yang menganggap hukum nasional
sejajar dengan hukum internasional. Keduanya harus sesuai dengan kaidah dan nilai-
nilai suatu sistim hukum pada umumnya.
2. Ratifikasi dan Praktiknya
Secara teori, ratifikasi merupakan persetujuan kepala negara atau pemerintah atas
penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang
di tunjuk sebagaimana mestinya. Dalam praktik modern, ratifikasi mempunyai arti
lebih daripada sekadar tindakan konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian
pernyataan formal oleh suatu negara mengenai persetujuan untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional
Suatu perjanjian internasional dinyatakan dengan ratifikasi apabila

a. Perjanjian internasional menentukan demikian secara tegas;


b. Kecuali apabila ditentukan sebaliknya, negara yang mengadakan negosiasi
menyetujui bahwa ratifikasi perlu;
c. Perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan berlaku jika sudah di
ratifikasi;
d. Kemampuan negara untuk menandatangani perjanjan internasional dengan syarat
akan berlaku bila telah di ratifikasi, tampak dalam instrumen”full powers-nya”, atau
dinyatakan demikian selama ratifikasi.

Adapun praktik ratio raifikasi sebagai berikut :

a. Negara berhak untuk mempunyai kesempatan guna meniliti kembali meninjau


kembali instrumen yang telah di tandatangani oleh utusannya sebelum negara
menjalankan kewajiban-kewajiban yang di tentukan dalam instrumen
b. Berdasarkan kedaulatannya suatu negara berhak untuk menarik diri dari partisipasi
dalam suatu perjanjian internasional apabila negara yang bersanglkutan menghendaki
demikian.
c. Sering suatu perjanjian internasioanal mengudang di lakukannya suatu amandemen
atau penyesuaian dalam hukum nasional karena prinsip demokrasi bahwa pemerintah
yang harus berkonsultasi dengan [endapat umum yang ada dalam parlemen atau
tempat lain mengenai ada tidaknya keharusan mengonfirmasi suatu perjanjian
internasional.

Anda mungkin juga menyukai