Anda di halaman 1dari 17

Prosedur Pemeriksaan Pada Kasus Kejahatan Seksual

Magdalena Sri Febiolita 102013260


Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510. No. Telp (021) 5694-2061
Magdalena.2013fk260@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Kejahatan seksual tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai
masalah sosial yang terkait dengan masalah hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan
perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia. Peran
dokter dalam kasus kejahatan seksual yaitu sebagai ahli untuk membantu penyidik. Dokter harus
mengetahui prosedur pemeriksaan yang benar terhadap korban dan tersangka kasus kejahatan
seksual. Semua hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter akan ditulis dalam bentuk surat hasil
pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Pembuktian terhadap unsur tindak
pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan
langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.

Kata Kunci : Kekerasan seksual, Visum et Repertum, Perkosaan

Abstract
Sexual crimes are not just an issue of individuals, but is also social issues that are related
to human rights, especially in relation to the protection of all forms of torture, violence, and
neglegance of human dignity. The role of doctors in sexual crimes cases is as an expert to assist
investigators. Doctors should be aware of the proper inspection procedure against the victim
and the suspect of a sexual crime case. All examination results performed by the doctor will be
written in the form of a medical examination report called visum et repertum. Proof of the
element of sexual crime from the results of the examination contained in the visum et repertum,
determine the steps taken by the police in investigating the case.

Keywords : Sexual crimes, Visum et Repertum, Rape

1
Pendahuluan
Di Indonesia, banyak kasus kejahatan seksual yang dapat ditemukan, misalnya kejahatan
seksual terhadap anak dibawah umur atau terhadap anak yang belum siap dikawin. Kejahatan
seksual tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai masalah sosial yang
terkait dengan masalah hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala
bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia.
Peran dokter dalam kasus kejahatan seksual yaitu sebagai ahli untuk membantu penyidik.
Dokter harus mengetahui prosedur pemeriksaan yang benar terhadap korban dan tersangka kasus
kejahatan seksual. Bagaimana tanda-tanda persetubuhan, tatalaksana terhadap korban, dan
hukum-hukum di Indonesia yang berhubungan dengan kasus kejahatan seksual sangatlah penting
diketahui oleh dokter. Semua hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter akan ditulis dalam bentuk
surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan cukup penting
bagi penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang
termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam
mengusut suatu kasus perkosaan.1

Skenario
Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang baru berusia 11
tahun datang ke poliklinik anak di sebuah Rumah Sakit. Setelah berada di dalam ruang periksa
dokter, si ibu menjelaskan bahwa anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak dua hari lalu.
Dalam wawancara berikutnya dokter tidak memperoleh keterangan lain, maka dokterpun
memulai melakukan pemeriksaan fisik si anak. Pada pemeriksaan fisik dokter menemukan
robekan lama selaput dara disertai dengan erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan.
Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah terjadi “persetubuhan” beberapa
hari sebelumnya. Dokterpun lebih intensif mengorek keterangan dari si anak dan si ibu.
Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si anak telah disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah
lama dikenalnya sebagai pacar si ibu. Si ibu telah bercerai tiga tahun dengan suaminya (ayah si
anak) dan saat ini sedang menjalin hubungan dengan laki-laki lain sebagai pacarnya. Si ibu
meminta kepada dokter agar jangan membawa kasus ini ke polisi karena ia akan malu dibuatnya.

2
Ia berjanji untuk memutuskan hubungan dengan si laki-laki tersebut agar kejadian serupa tidak
terulang lagi. Dokter menilai bahwa pasien perlu dikonsultasikan kepada ahlinya.

Pengertian, Konsep, dan Batasan Anak


Anak yang baru dilahirkan sudah memiliki perlindungan dalam hukum. Dalam Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam
Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah
seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini
ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial,
kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. Sedangkan
pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum
cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.
Konsep dan batasan anak di bawah umur bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak
Anak (KHA), dimana KUHP memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun,
sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun.
Secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa
lebih tepat.

Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur


Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) jenis-jenis kekerasan yang
dialami oleh anak-anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse),
kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Kekerasan fisik
merupakan jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul dengan
kekerasan mental dan kekerasan seksual.2 Pada makalah ini akan dibahas mengenai kekerasan
seksual pada anak.
Tindak kekerasan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat menyebabkan
keadaan perasaan atau fisik menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini biasanya berupa
3
kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Keadaan
fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.
Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan yang berbeda-beda.
Perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks, dan
pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di
bawah umur.

Pemeriksaan pada Korban


Pemeriksaan medis pada korban kejahatan seksual pada dasarnya sama dengan pasien
lain, yaitu terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1
1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.
2. Anamnesis :
 Umur.
 Status perkawinan.
 Haid (siklus, HPHT).
 Riwayat penyakit kelamin dan kandungan.
 Riwayat penyakit lain.
 Riwayat bersetubuh (waktu, penggunaan alat kontrasepsi).
 Kejadian pemerkosaan (waktu, tempat, ada tidaknya perlawanan, kesadaran
korban, dan ada tidaknya kejadian penetrasi dan atau ejakulasi).
3. Pemeriksaan pakaian :
 Robekan lama / baru / memanjang / melintang.
 Kancing putus.
 Bercak darah, sperma, lumpur dll.
 Pakaian dalam rapi atau tidak.
 Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence.

4
4. Pemeriksaan badan :
 Rambut rapi atau berantakan.
 Emosi tenang atau gelisah.
 Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah.
 Tanda kekerasan : mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha
 Trace evidence yang menempel pada tubuh.
 Perkembangan seks sekunder.
 Tinggi dan berat badan.
 Pemeriksaan rutin lainnya.
5. Pemeriksaan genitalia :
 Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus.
 Adhesi labia.
 Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena
traksi labia mayor pada pemeriksaan).
 Penebalan selaput dara.
 Kulit genital semu.
 Fisura ani.
 Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna).
 Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal).
 Kongesti vena atau pooling vena.
 Perdarahan pervaginam.
Tanda-tanda diatas bersifat tidak spesifik karena juga dapat ditemukan pada
keadaan lain seperti infeksi, zat iritan, benda asing, dan sebagainya. Temuan pada
anak yang sangat krusial dalam menentukan kekerasan seksual yaitu:3,4
 Pelebaran anus (notch atau cleft) dan selaput dara di daerah posterior yang
mencapai dekat dasar.
 Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara, atau
perineum.
 Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam.
 Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai
selaput dara.
 Jaringan parut perianal.

5
6. Pemeriksaan ekstra genital
 Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh.
 Deskripsi luka.
 Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex.
 Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma.
 Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari sampel bukti dari tubuh pelaku.
 Pemeriksaan anal.
7. Pemeriksaan laboratorium3,4
 Pemeriksaan darah
 Pemeriksaan cairan mani (semen)
 Pemeriksaan kehamilan
 Pemeriksaan VDRL
 Pemerikaan serologis Hepatitis
 Pemeriksaan Gonorrhea
 Pemeriksaan HIV
 Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.

Pembuatan Visum et Repertum1


Sebelum melakukan pemeriksaan, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan
oleh seorang dokter.
1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter
harus memiliki permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus
diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban
datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa
dahulu, tetapi diminta untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada saat korban datang. Jika dokter telah memeriksa korban yang
datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa
permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk
dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh
dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter

6
tentang diri korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum
merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322).
Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum
et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan
diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et
Repertum, tetapi dalam bentuk surat keterangan medis.
2. Informed Consent
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari
pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu
korban menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang
akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, penting untuk
melakukan informed consent. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa,
maka dia berhak memberi persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya
terganggu, maka persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara terdekatnya,
atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan
dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah
orang yang berada dalam kamar pemeriksaan. Hanya dokter, perawat, korban, dan
keluarga atau teman korban apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa,
dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan.
3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan
cemas di kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-
tindakan yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan
ke pengadilan.Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat
cepat diselesaikan.
Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan
pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan
seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan
terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris
untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi
penderitaan korban. Sebagai dokter forensik pemeriksa bertugas mengumpulkan berbagai.

7
bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh
undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum.
Secara umum dokter bertugas mengumpulkan bukti adanya kekerasan, keracunan,
tanda persetubuhan, penentuan usia korban, dan pelacakan benda bukti yang berasal dari
pelaku. Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari pelaku pada tubuh atau pakaian
korban dan tempat kejadian perkara merupakan hal penting yang paling sering dilupakan oleh
dokter.
Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi
sebagai berikut :
1. Umur korban
Umur korban perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu
menentukan jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan
jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan.
Bila korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya atau umurnya, dan hal
tersebut dikuatkan oleh bukti diri (KTP,SIM dsb), maka umur dapat langsung
disimpulkan dari hal tersebut. Akan tetapi jika korban tidak mengetahui umurnya
secara pasti, maka perlu diperiksa erupsi gigi molar II dan molar III. Gigi molar II
mengalami erupsi pada usia kurang lebih 12 tahun, sedang gigi molar III pada usia 17
sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah tumbuh molar IInya, perlu dilakukan foto
ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota molar III sudah mengalami
mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum maka usianya kurang dari 15 tahun.
Kriteria haid pertama atau menarke tidak dapat dipakai untuk menentukan
umur karena usia menarke saat ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh
lebih muda dari itu.
2. Tanda kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang
menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut, dan
bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau
bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara
paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat pencekalan, dsb.
Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay" pada
persetubuhan yang "biasa" seperti luka isap (cupang) pada leher, daerah payudara atau
sekitar kemaluan, cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat orgasme), dsb.

8
Luka-luka tersebut memang merupakan kekerasan tetapi bukan kekerasan yang
dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis ini harus dinyatakan secara
jelas dalam kesimpulan visum et repertum untuk menghindari kesalahan interpretasi
oleh aparat penegak hukum. Tanpa adanya kejelasan ini suatu kasus persetubuhan
biasa, bisa disalah tafsirkan sebagai perkosaan yang dapat memperberat hukuman
pelaku.
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum
digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan juga perlu dilakukan. Hal ini
disebabkan karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja
dikategorikan sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah obat
penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ektasi), dsb.
3. Tanda persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan
tanda ejakulasi.
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil
atau belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat
menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5
sampai 7, luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir
kemaluan maupun daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur
Candida misalnya, menunjukkan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka
lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka
tersebut pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya
penetrasi.
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan,
meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah
terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma
dan komponen cairan mani. Untuk uji penyaring cairan mani dilakukan pemeriksaan
fosfatase asam. Jika uji ini negatif, kemungkinan adanya ejakulasi dapat disingkirkan.
Sebaliknya jika uji ini positif, maka perlu dilakukan uji pemastian ada tidaknya sel
sperma dan cairan mani.
Usapan lidi kapas diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit
yang menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus

9
diambil dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di
daerah luar vagina.
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan
pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan pembuatan
preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree.
Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan
pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang
terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma positif merupakan tanda pasti adanya
ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur
bagian ekor dan lehernya sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi
kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa memang kepala tersebut masih
memiliki topi (akrosom).
Adanya cairan mani dicari dengan pemeriksaan terhadap beberapa komponen
sekret kelenjar kelamin pria (khususnya kelenjar prostat) yaitu spermin (dengan uji
Florence), cholin (dengan uji Berberio), dan zink (dengan uji PAN) . Suatu temuan
berupa sel sperma negatif tapi komponen cairan mani positif menunjukkan
kemungkinan ejakulasi oleh pria yang tak memiliki sel sperma (azoospermi) atau
telah menjalani sterilisasi atau vasektomi.

Dampak perkosaan
Dampak perkosaan dapat berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan, atau timbulnya
penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir,
pencegahan dengan memberikan pil kontrasepsi serta antibiotik lebih bijaksana dilakukan
ketimbang menunggu sampai komplikasi tersebut muncul.
1. Pelaku perkosaan
Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering
dilupakan oleh dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan ke arah ini, walaupun telah
terbukti adanya kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai
pelaku pemerkosaan. Untuk mendapatkan informasi ini, dapat dilakukan pemeriksaan
kutikula rambut dan pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel
yang positif sperma atau maninya.

10
2. Dampak Bagi Korban
Dampak secara fisik yang dapat terjadi pada anak korban kekerasan seksual
adalah mengalami infeksi di saluran reproduksinya. Misalnya, mengalami keputihan
dan memar di bagian kelamin. Selain itu mereka juga sangat beresiko terhadap
penyakit menular seksual dan mengalami kehamilan. Padahal, kehamilan di usia dini
bisa membahayakan, baik bagi yang mengandung maupun janin yang dikandung.
Dengan demikian anak korban yang mengalami kehamilan membutuhkan
pengawasan medis secara intensif.
Akibat lain dari kasus kekerasan seksual adalah dampak psikologis berupa
trauma yang dialami sebagian besar korban. Bentuk trauma berbeda antara satu
korban dengan korban lainnya. Trauma ini tergantung dari usia korban serta bentuk
kekerasan yang dialami korban. Trauma dapat berupa ketakutan bertemu dengan
orang lain, mimpi buruk, atau ketakutan saat sendiri.5
3. Dampak pada lingkungan sekitar korban
Dampak lebih besar terjadi apabila lingkungan korban tidak mendukung
korban. Akibatnya, korban menjadi malu dan rendah diri. Banyak korban yang
akhirnya harus pindah dari sekolah karena selalu menjadi bahan perbincangan guru
dan teman di sekolahnya. Bahkan ada keluarga korban yang harus pindah tempat
tinggal karena dianggap telah membuat cemar lingkungan tempat tinggalnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan
seksual. Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui dukungan kepada korban dan
keluarga korban. Dukungan ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi korban dan keluarga
ketika menghadapi kasus tersebut. Anak-anak korban ini rentan terhadap infeksi dan harus
mendapatkan perawatan agar tidak mengganggu kesehatan reproduksi mereka di masa yang
akan datang. Karena itulah, pelayanan medis secara intensif sangat diperlukan bagi korban.
Selain dukungan medis dan psikologis, korban juga membutuhkan pendampingan di
bidang hukum, mulai dari pendampingan di kepolisian sampai dengan proses di pengadilan.
Selama mendampingi proses hukum, pengawalan terhadap proses hukum yang terjadi dalam
setiap tahapnya sangatlah penting.

Peranan LSM
Untuk menangani kasus kekerasan seksual, diperlukan kerjasama antara beberapa
lembaga yang memiliki kepedulian terhadap korban. Jaringan yang bisa dibangun misalnya

11
antara rumah sakit, LSM, kepolisian, pemerintah melalui dinas terkait seperti Dinas
Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB),
Dinas Kesehatan, Bappeda dan Masyarakat.
Pusat krisis terpadu (PKT) bertujuan untuk memberikan pelayanan menyeluruh bagi
para korban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan anak (KTA), baik dibidang klinik,
medikolegal ,dan psikososial, dengan tujuan akhir adalah pemberdayaan perempuan, dalam
mencapai derajat kesehatan secara optimal.
 Sasaran :
1. Korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa.
2. Korban kekerasan seksual pada anak.
3. Korban kekerasan dalam rumahtangga.
4. Korban penganiayaan dan penelantaran anak.
 Peran Pekerja Sosial :
 Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
 Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
 Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
 Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.
 Peran Relawan Pendamping :
Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
 Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau
beberapa orang pendamping;
 Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
 Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping, dan memberikan dengan aktif penguatan secara
psikologis dan fisik kepada korban.

12
Aspek Hukum6
KUHP pasal 291
1. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu
berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
2. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam apsal 285, 286, 287, 289 dan 290
itu berakibat matinya orang, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
KUHP pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang dibawah umur yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang
dibawah umur, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.
Dengan itu dihukum juga:
1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya/
orang yang dipercayakan/ diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS gila atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kesitu.
Penentuan Jenis Delik
Suatu laporan tentang seorang yang disetubuhi atau dilecehkan secara seksual oleh
seseorang lainnya tidak selalu berarti kasusnya adalah perkosaan. Untuk kasus-kasus
semacam ini kita harus memilah termasuk kategori delik yang manakah kasus tersebut, yang
masing masing mempunyai kriteria dan hukuman yang berbeda satu sama lain.
 Perkosaan
Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori
kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya
(pasal 89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun
penjara.
 Persetubuhan diluar perkawinan
Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15
tahun tidak dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita
yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

13
Untuk perbuatan ini, pelaku dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara (pasal
286 KUHP). Namun, jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui
atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin
maka pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.
Untuk penuntutan ini, harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya
(pasal 287 KUHP). Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun, penuntutan tidak
memerlukan pengaduan.
 Perzinahan
Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan,
dimana salah satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Khusus
untuk delik ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang
diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan
ini diancam dengan hukuman pen]ara selama maksimal 9 bulan.
 Perbuatan cabul
Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia
diancam dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).
Hukuman perbuatan cabul lebih ringan yaitu 7 tahun. Namun, jika perbuatan
cabul ini dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya, dan berumur
dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290
KUHP) maka hukumannya lebih berat. Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap
orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman penjara maksimal 5
tahun (pasal 291 KUHP).
Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang
atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum
dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) .
Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak
yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam
dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun.
Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi
penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam
dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).

14
Interpretasi Kasus dan Kesimpulan
Pada skenario ditulis bahwa keluhan utama si ibu membawa anak perempuannya yang
berusia 11 tahun ke poliklinik anak adalah karena anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing
sejak 2 hari yang lalu. Setelah dokter memeriksa si anak, ternyata ditemukan adanya robekan
lama selaput dara disertai dengan adanya erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan.
Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah terjadi “persetubuhan”.
 Robekan lama selaput dara disertai adanya erosi dan peradangan jaringan vulva
merupakan tanda-tanda persetubuhan. Sedangkan keluhan sakit bila kencing
kemungkinan merupakan sexual transmitted disease.
 Pada pemeriksaan fisik lain kemungkinan ditemukan tanda kekerasan berupa memar,
bekas gigitan, tanda kuku, dan lain-lain.
 Pada pemeriksaan lab bisa saja ditemukan sisa sperma atau cairan mani pada usap vagina
di fornix posterior ataupun pada pakaian dalam korban.
Bila terjadi kasus seperti ini, sebagai dokter kita harus mengetahui bahwa
persetubuhan di luar perkawinan dengan anak di bawah umur 12 tahun adalah tindak pidana
sesuai pasal 287 ayat 1 dan 2 KUHP. Hukum dalam kasus ini menyebutkan bahwa tiap orang
dengan umur di bawah 18 tahun yang belum menikah sebagai orang yang belum mampu
membuat pertimbangan dan keputusan untuk suatu perbuatan hukum. Dalam kasus ini, bila
terjadi persetubuhan, tanpa memandang si anak menyetujui atau tidak persetubuhan itu, maka
dianggap persetubuhan tadi terjadi tanpa persetujuan (consent) si anak.
Dokter juga harus menjelaskan pada ibu si anak bahwa kasus ini adalah tindak pidana
yang harus dilaporkan pada polisi, dan menjelaskan bahwa dengan menyembunyikan suatu
tindak pidana dia sendiri bisa dihukum, dan dengan memudahkan terjadinya persetubuhan
dan atau percabulan pada anaknya, ia dapat dituntut dengan delik pidana pasal 295 KUHP
dengan ancaman penjara 5 tahun.
Dokter juga bisa merujuk pada spesialis obgyn, dokter spesialis forensik, dokter
spesialis jiwa, ataupun seorang psikolog.2,3
Dokter spesialis obgyn akan memeriksa lebih teliti tentang adanya tanda-tanda
persetubuhan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan memperhatikan
perkembangan tanda seks sekunder, pemeriksaan genitalia, serta pemeriksaan lab yang
menunjang misalnya swab vagina, dan swab oral.

15
Dokter spesialis forensik akan mengumpulkan semua barang bukti yang mungkin
tertinggal (pakaian korban, bite mark, kerokan kuku jika korban mengaku mencakar pelaku)
sesuai prosedur, dan memuatnya dalam bentuk Visum et Repertum.
Seorang psikolog bisa membantu gangguan yang mungkin timbul pada mental korban
dan bisa mengusulkan cara yang terbaik yang dapat ditempuh sebagai penyelesaian tindak
pidana.
Penting adanya aturan untuk menjamin agar korban memperoleh kepastian dan
prosedur hukum, medis, psikologis, dan rehabilitasi baik selama proses hukum dan
sesudahnya serta reintegrasi agar korban diterima sebagai manusia dengan hak-haknya yang
harus dipenuhi di masyarakat baik oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Disinilah
pentingnya UU Perlindungan Anak dan UU KDRT harus diterapkan oleh aparat penegak
hukum, jadi bukan menggunakan KUHP saja.

Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan ke-2.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 5-17, 147-159.
2. Sulaiman Zuhdi Manik. Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam
Rumah Tangga. Diunduh dari www.kabarindonesia.com, 2 Januari 2018.
3. Syaiful S. Aspek-Aspek Fisik dan Medis serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam
Penanganan Korban Tindak Kekerasan. Padang: IRD RS Dr. M. Djamil; 2008. h.
96-101.
4. Surja Atmadja, Djaja. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik
Aduan Lainnya. Diunduh dari http://reproduksiumj.blogspot.com, 2 Januari 2018.
5. Andi M. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. Diunduh dari
http://kejaksaan.go.id, 2 Januari 2018.
6. Sakalasastra PP, Herdiana I. Dampak psikososial pada anak jalanan korban
pelecehan seksual yang tinggal di Liponsos anak Surabaya. Jurnal psikologi
kepribadian dan sosial, Juni 2012. Vol. 1. h. 68-73.

16
17

Anda mungkin juga menyukai